Share

HILANG

“Udah lah, Ken. Kalau kamu banyak pikiran begini, bisa-bisa kamu anter pesanan yang salah ke meja pelanggan,” ucap Roy mendekati Ken yang duduk menopang dagu di meja barista. Pikirannya mengawang entah kemana.

“Ya, gimana lagi, Bro! Polisi belum ngasih kabar lagi. Aku jadi makin panik. Udah hampir satu minggu. Tapi, nggak ada kemajuan apa-apa,” jawab Ken lesu. Wajahnya seperti tidak dialiri darah.

“Ayolah.. Kamu juga akhir-akhir ini jarang makan, lho! Nanti kurus kayak aku, hahaha,” hibur Roy.

Tapi tetap saja, gurauan Roy seperti terhalang tabir surya. Tidak ada reaksi yang memuaskan dari Ken. Wajahnya tetap bermuram durja di kala cafe sepi pengunjung.

“Kalau cafe lagi sepi gini, mendingan kamu lihatin chef-chef di belakang yang lagi masak. Lihatin orang masak tuh hiburan banget, lho. Untung-untung kalau mereka mau ngajarin kita. Tapi jangan sama chef Danny. Dia galak banget! Mana pelit ilmu lagi,” tukas Roy sembari tangannya merapikan cangkir-cangkir kopi di laci kaca.

“Aku lagi nggak selera buat begitu, Roy. Pikiranku masih amburadul. Masih kacau balau,” jawab Ken singkat.

“Ya, aku tahu kalau kamu masih mikirin orang tua kamu yang tiba-tiba menghilang satu minggu lalu. Aku juga khawatir karena selama ini mereka baik banget sama aku. Aku curiga ada perampok yang masuk ke rumah kamu,” Roy menghentikan aktifitasnya.  Tubuhnya ia dudukkan di kursi kayu yang ada di samping Ken.

“Kalau sampai aku nemuin orang yang nyulik orang tuaku, bakal aku habisin orang itu! Kalau mereka punya dendam sama Mama Papaku, nggak kayak gini dong caranya!” nada Ken meninggi. Kekesalan dan rasa sakit hatinya mengusik di jiwanya lagi.

“Udah.. Udah.. Tenang.. Sekarang, kamu cuma harus makan yang banyak. Kondisimu jangan sampai menurun. Kan nggak lucu kalau orang tuamu udah ketemu ehhh.. malah kamu yang sakit. Makanya, kamu harus bener-bener jaga kondisi!” ucap Roy menasehati.

“Dih, perhatian banget kamu, Roy! Naksir ya sama aku? Dihhh!” gurau Ken sinis.

“Amit-amit! Mending aku jomblo seumur hidup dari pada harus jeruk makan jeruk! (suka sesama jenis),” sahut Roy.

Terlihat senyuman dan tawa kecil nampak dari wajah Ken. Akhirnya, Roy berhasil menghibur Roy walau pun hanya sekejap. Tak heran, walau Roy tiga bulan lebih muda dari Ken, tapi Roy seringkali menjadi sosok kakak untuk Ken.

“Nah, gitu dong ketawa! Hahahaha!” celetuk Roy.

Ken hanya geleng-geleng melihat tingkah teman kerjanya yang sekaligus teman dekatnya sejak mereka duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMA). Satu-satunya alasan mengapa mereka bisa bekerja di Cafe La Pose adalah karena cafe itu milik Kak Edward, kakak ipar Ken. Ya! Kak Edward menikah dengan Kak Rose (kakak kandung Ken) dua tahun lalu dan mendirikan sebuah cafe yang menjual aneka ragam kopi dan makanan penutup.

Saat peresmian cafe selesai, tentu saja Ken dapat bekerja di tempat itu tanpa harus repot mengirim surat lamaran. Dan beruntungnya, Ken menggandeng salah satu sahabatnya untuk bekerja bersama dia. Dia adalah Roy.

“Kemarin kamu kabur kemana sih, Ken? Bisa-bisanya kamu ninggalin aku sendirian waktu cafe lagi ramai-ramainya! Tega banget ya kamu,” omel Roy.

“Yaaa, ada lah pokoknya. Bantuin orang!” jawab Ken singkat.

“Hmmm.. Pasti kamu pakai kemampuan unikmu lagi ya? Ada apa lagi kemarin? Orang makan batu? Anak kecil makan kelereng? Orang makan sate kambing yang udah busuk?” tanya Roy beruntun.

“Enggak, lah! Beda ini kasusnya. Lebih menantang!” jawab Ken.

“Hmm.. Pasti urusan sama cewek kemarin yang lewat yaaa.. Cakep juga lho cewek itu.. Sayangnya, kayak orang mabuk. Kayak nggak terawat, berantakan, pakaiannya kotor.. Iyuuuh. Nggak banget deh! Jangan sampai kamu suka sama cewek itu,” celoteh Roy dengan ekspresinya yang berlebihan. Seperti benar-benar jijik terhadap Sarah.

“Dih. Aku nggak ada perasaan apa-apa sama dia. Aku cuma nolongin dia doang! Sebatas itu. Nggak lebih,” Ken membela diri.

Melihat temannya yang salah tingkah, Roy hanya terkekeh.

“Kalau lagi santai begini, kamu nggak usah pakai pakaian yang terlalu rapi, Roy! Ini kan cuma cafe. Kamu nggak perlu pakai pakaian serba formal gitu. Kemeja panjang, celana panjang, topi.. Bahkan kamu juga pakai sepatu formal dan sarung tangan. Kamu nyaman-nyaman aja pakai pakaian lengkap begitu? Aku aja cuma pakai kaos dan celana jeans. Sama sendal. Udah! Simpel kan?” papar Ken tegas.

“Yee.. Kamu sih nggak tahu gimana rasanya punya alergi udara dingin. Kalau aku sampai kedinginan, badanku jadi gatal-gatal. Kulitnya timbul ruam kemerahan. Paling parah sih di tangan sama kaki. Kalau wajah masih aman lah.. Tapi kadang buat jaga-jaga, aku juga sedia masker,” jawab Roy.

“Tapi, kamu dulu SMA baik-baik aja, lho. Inget kan kita pernah main basket sambil hujan-hujanan?” tanya Ken lagi.

“Iya dulu sih nggak begitu parah. Nggak selalu kambuh juga.. Tapi, makin kesini makin nggak beres. Apa aku harus periksa ke dokter kulit, ya? Kalau lagi gatal tuh rasanya bikin nggak betah!” keluh Roy. Wajahnya terlihat bingung dan khawatir.

Dua bulan pertama Roy kerja di cafe, dia masih baik-baik saja. Dia sesekali masih bisa pakai pakaian lengan pendek walau pun dia selalu menyediakan jaket tebal di dekatnya. Tidak disangka, penyakit itu bisa menjadi parah hanya karena udara yang semakin dingin.

“Yaa.. bisa sih kapan-kapan kamu cek ke dokter. Siapa tahu penyakitmu bisa sembuh. Biar bisa main basket sambil hujan-hujannan lagi, HAHAHAHA!” canda Ken.

Mereka berdua tertawa terbahak-bahak mendengar apa yang mereka bicarakan bersama. Sampai saat mereka tengah tertawa, seorang pelanggan datang.

Tingg..

Bel tanda pelanggan datang berbunyi.

“Ah, akhirnya ada yang datang. Heran deh sepi banget dari tadi,” ucap Roy sembari beranjak dari tempat duduknya.

“Silakan, Kak.. Mau pesan apa?” tanya Roy dengan ramah.

“Saya mau pesan itu,” jawab pembeli itu sambil menunjukkan jarinya ke arah Ken.

“Hah? Kamu mau beli teman saya?” Roy kebingungan.

Mendengar hal itu, Ken yang awalnya kembali melamun tanpa memperhatikan siapa yang datang, sontak menoleh ke arah meja pemesanan.

“Sarah?” ucap Ken terkejut.

“Hai, Ken,” jawab Sarah dengan senyum lebar yang memenuhi bibirnya.

Sarah terlihat jauh berbeda. Dia mengenakan kaus bermotif bunga-bunga yang dipadu dengan celana jeans biru. Rambutnya, dipotong hingga menggantung tak menyentuh bahunya. Tak lupa dengan make up natural yang lembut. Wajahnya terlihat sangat bersih dan ceria.

Sarah, sangat cantik!

“Wah.. Wah.. Ada yang tiba-tiba berubah jadi super model,” ucap Ken ringan. Wajahnya terpesona dengan sosok cantik yang baru ia kenal kemarin.

“Hah? Aku cuma perbaiki diri sedikit. Biar kamu nggak ngatain aku kayak zombie lagi,” gurau Sarah.

Roy masih melongo dan mencerna apa yang terjadi.

“Nih, cewek yang kemarin!” tukas Ken dengan percaya diri.

“Hah? Serius? Kamu yang kemarin kayak orang mabuk itu?” tanya Roy tergesa-gesa.

“Hahaha.. Ya, anggap aja aku udah sembuh dan jadi Sarah yang baru. Orang yang berusaha bangkit dari keterpurukan,” jawab Sarah. Ucapannya begitu cerdas dan ringkas. Sedikit mengusik hati Ken.

Roy masih belum selesai melongo.

“Udah.. Udah.. Kamu pengen makan apa? Biar aku yang bayar. Kamu bilang aja sama si Roy, tuh,” pinta Ken.

“Oh.. Nama kamu, Roy.. Jadi, Roy, ada rekomendasi makanan yang khas di sini?” tanya Sarah.

Roy tersenyum. Dengan sigap dia tunjukkan sebuah foto makanan di sebuah buku menu.

“Ini! Namanya Spicy Chicken Cake!” kata Roy dengan antusias.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status