Share

TOXIC RELATIONSHIP
TOXIC RELATIONSHIP
Author: Triyuki Boyasithe

1. PERTENGKARAN

Hidup di dunia ini banyak serba salahnya. Jika tidak pandai-pandai menyikapi keadaan, putus hubungan kekerabatan. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Begitu ujar pepatah lama yang sering didendangkan oleh para perebab dari ranah Pasisia.

Hal itulah yang dialami oleh Syamil saat ini. Tujuannya berumah tangga adalah mencari ketenangan batin, tentunya juga sebagai ibadah yang disunahkan oleh Rasulullah. Namun, membangun mahligai suci itu tentu tidak segampang yang dipikirkan. Halangan dan hambatan sudah pasti akan menyertai perjalanan anak manusia.

Di dalam kamar, di depan meja rias, Shanum Dhiya—istrinya terisak-isak menahan tangis. Beberapa helai tisu terbuang, lalu dibiarkan mengotori lantai.

"Malu aku, Uda. Malu! Sudah pekak telingaku mendengar gunjingan orang. Sampai kapan aku akan tersiksa dengan semua ini?" Shanum menghapus ingus untuk ke sekian kalinya. Matanya sudah bengkak, cuping hidungnya memerah karena menangis.

"Lalu apa yang kau inginkan, Shanum? Aku pergi dari rumah ini, begitu?" Wajah Syamil mengelam. Sungguh, dia sudah muak dengan ratap tangis istrinya itu. Dia yang sedang bersandar di kepala ranjang menatap tajam ke arah Shanum dengan tatapan berang.

"Kenapa Uda selalu menjawab ingin pergi? Apa Uda tidak mencintaiku lagi? Begitu ringan lidah Uda melontarkan ucapan seperti itu." Nada suara perempuan itu terdengar meninggi.

Syamil turun dari tempat tidur. Dia berjalan mendekati Shanum dan memegang bahu istrinya itu kuat. "Dengar, Num! Aku menikahimu karena aku mencintaimu. Yang aku inginkan hanya kau. Tidak keluargamu, atau siapa pun di rumah ini. Kalau aku tidak suka membaur, itu adalah prinsip hidupku. Aku tidak suka bersosialisasi itu hakku. Tidak ada yang boleh mencampuri urusanku. Kalau kau tidak tahan denganku, silahkan ajukan gugatan cerai. Sudah empat tahun kita bersama, kau masih saja tidak mengenaliku. Sudahlah, aku mau tidur!"

Shanum merasakan dadanya kian sesak. Seolah begitu banyak temali yang mengikat tubuhnya. Dia masih belum puas dengan jawaban Syamil. Padahal begitu sederhana masalah yang terjadi, tapi kenapa begitu rumit bagi suaminya itu?

Syamil mematikan lampu. Membuat ruangan menjadi gelap gulita. Membiarkan Shanum tenggelam dalam kesedihan seorang diri. Lelaki itu merebahkan badan di kasur, menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Berusaha meredam semua amarah yang seakan-akan hendak meledak.

"Kau egois, Uda. Kau hanya mementingkan egomu saja. Dulu kau begitu menyenangkan, begitu manis. Semua orang menyukaimu. Namun, setelah aku keguguran untuk kedua kalinya, kau menutup diri setahun terakhir. Ada apa sebenarnya denganmu, Uda? Kenapa kau seolah-olah membenci dunia ini. Saban hari kau habiskan mendekam dalam kamar. Berleha-leha di rumah. Aku capek, Uda, melihatmu seolah kehilangan jati diri."

Semua keluh kesah Shanum hanya bergema dalam kegelapan. Tidak ada sedikit pun respon dari Syamil. Lelaki itu menulikan telinga, menutup pikiran. Semua ucapan Shanum semakin pudar seiring dengan lindapnya dia ke alam mimpi.

Sementara itu Shanum merasa tidak ada lagi yang bisa dia ucapkan. Tangisannya berhenti tepat ketika dia mendengar suara perutnya sendiri. Sudah dari siang dia tidak mengisi lambungnya.

Kedatangan Etek Jawinar—adik ibunya sore tadi memicu pertengkarannya dengan Syamil. Perempuan yang sudah berusia lima puluh tahun itu menyindir Syamil yang membawa sepiring nasi ke dalam kamar.

"Sudah tak ada lagi adab orang Sumando. Sejak kapan di ranah Minang ini makan dibawa ke kamar? Tegurlah suamimu itu, Num? Ini baru etek yang melihat. Kalau orang lain, bakalan jadi gunjingan orang sekampung lakimu itu. Tak becus, tak elok juga rasanya semacam itu. Etek perhatikan, banyak sekali perubahan sikap si Syamil. Ceritalah sama etek, ada apa gerangan dengannya?"

Jantung Shanum serasa diremas-remas mendengar ucapan Etek Jawinar. Apa lagi wajah eteknya itu terlihat kesal dan cemberut melihat apa yang tadi dilakukan Syamil.

"Tidak ada apa-apa, Etek. Uda Syamil hanya sedang ingin makan di kamar saja sambil mengerjakan pekerjaannya." Shanum berusaha menjawab keheranan eteknya itu dengan tetap tersenyum. Walau ada getar-getar yang menyesakkan dada ketika menyampaikan hal tersebut.

"Kerja apa dia, Num? Bukannya Syamil sudah dipecat dari tempatnya bekerja?" Etek Jawinar bertanya sambil mengupas buah salak yang ada di atas meja.

"Iya, Tek. Sejak di PHK, Uda berusaha mendalami ilmu internet marketing. Jadi ...."

"Ah, sudahlah! Tak perlu kau jelaskan. Etek juga tidak akan paham. Tapi yang harus kau pahami, si Syamil sudah menjadi gunjingan orang banyak." Di kalimat terakhirnya itu, Etek Jawinar berbisik ke telinga Shanum.

"Apa maksud, Etek?" Perasaan Shanum semakin tidak karuan. Dia menatap lekat-lekat mata Etek Jawinar.

"Iya, si Syamil sering ke Lubuak Burai. Berteriak-teriak macam orang hilang akal di sana. Melagu-lagu bak orang gila. Pokoknya, ada yang tidak beres dengan otaknya itu. Saran Etek, segeralah bawa dia berobat. Kalau pun mesti ke Padang, ke Padanglah. Periksakan segera dia ke Gadut."

Paras cantik Shanum berubah pucat. Darahnya serasa sampai ke ubun-ubun. "Maksud Etek ke RSJ?"

Etek Jawinar mengangguk.

"Tidak! Etek jangan asal bicara. Uda Syamil baik-baik saja. Dia tidak gila. Dia tidak gila! Etek dengar, ha?" Shanum berdiri sambil berkacak pinggang.

Etek Jawinar memutar bola mata. Buah salak yang hendak dia makan, kembali ditaruh di atas meja. "Kau sekarang boleh tidak percaya. Tapi itulah yang orang-orang lihat dan dengar, Shanum. Si Syamil sudah putus syarafnya. Lebih baik kau obati sebelum terlambat."

"Silahkan keluar, Tek. Shanum tidak ingin mendengar apa-apa lagi." Shanum membelakangi Etek Jawinar ketika perempuan tua itu kembali hendak bersuara.

"Kau akan menyesal jika tidak segera mengobati Syamil, Num!"

Ucapan Etek Jawinar dibalas Shanum dengan membanting pintu. "Perempuan tua tidak ada kerjaan. Hobinya membuat kisruh suasana saja. Kalau tidak menenggang Amak, sudah kuputuskan hubungan dengannya." Shanum menghentakkan kaki ke lantai. Amarahnya benar-benar tidak terbendung. Dia bergegas memasuki kamar.

Syamil yang sedang memantangi layar laptop terkejut ketika Shanum masuk sambil menangis.

"Katakan kalau apa yang disampaikan Etek Jawinar itu tidak benar, Uda?"

"Apa maksudmu, Num?"

"Dia mengatakan yang tidak-tidak tentang Uda. Katakan kalau semua itu bohong, Uda? Katakan!"

Syamil memutar posisi duduknya. Berusaha fokus mencerna ucapan Shanum. "Aku tidak mengerti dengan apa yang kau tanyakan. Apa yang tidak benar?"

"Dia mengatakan Uda gila. Seluruh orang kampung menggunjingkanmu, Uda."

Jawaban Shanum membuat Syamil tersenyum kecut. "Tidak usah kau pikirkan, Num. Itulah sebabnya aku tidak mau berbaur dan bersosialisasi. Banyak dosa di luar sana."

"Nah, inilah penyebab semua masalah kita, Uda. Kau sekarang menutup diri dari pergaulan. Setiap ada acara, kau tidak pernah mau hadir. Setiap kali ada undangan, kau tidak pernah mau datang. Sekarang, lihat akibatnya? Kau jadi gunjingan dan mereka berpikir yang tidak-tidak. Cobalah, Uda, untuk membaur kembali. Hanya itu saja yang aku inginkan."

"Jika aku tidak mau, kau mau apa? Apa aku tidak punya hak atas diriku sendiri? Apa kau merasa terbebani jika aku tidak suka keluar rumah, jika aku lebih banyak menghabiskan waktu denganmu? Apa kau bosan denganku, Shanum?"

Shanum tergagap. Lidahnya terasa kelu. Tentu saja bukan itu maksudnya. Namun, Syamil telah menanggapi lain.

"Buk ... bukan itu maksudku, Uda! Aku ...."

"Keluar!"

"Tolonglah, Uda. Dengarkan penjelasanku. Aku ...."

"Atau aku yang keluar!"

Syamil tidak peduli dengan apa yang Shanum sampaikan. Dia keluar dari kamar sambil membanting pintu seiring dengan azan Maghrib berkumandang di senja yang muram.

Shanum terisak-isak. Namun, dia bertekad untuk terus membicarakan dan menyelesaikan masalahnya ini. Syamil harus berubah. Harus. Bukan saja demi kebaikan dirinya sendiri, tapi juga demi keutuhan rumah tangga mereka.

Seperti yang dia pikirkan, suaminya itu kembali masuk ke dalam kamar setelah setengah jam berlalu. Shanum sudah menduga, Syamil tidak akan pergi ke mana-mana. Lelaki itu seperti takut bertemu orang luar. Entah apa yang salah, membuat Shanum begitu bingung harus menyikapinya.

Seperti yang disampaikan di awal cerita, mereka kembali bertengkar. Syamil memutuskan untuk tidur, sementara Shanum keluar dari kamar.

Hari belumlah terlalu tua. Namun, Shanum merasakan sunyi yang begitu mencekam di dalam rumahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam.

Dia bergegas ke meja makan. Membuka tudung nasi dan wajahnya menyiratkan kekecewaan. Empat potong daging ayam yang dia goreng siang tadi, ludes tak bersisa. Hanya cabe goreng yang tersaji dalam mangkuk kecil.

"Ya Allah, untuk makan pun, Uda tidak lagi menenggang aku yang kelaparan. Ada apa denganmu, Uda? Kenapa semakin lama, aku semakin tidak mengenalmu?"

Air mata kembali menetes dan berjatuhan di atas piring kosong di depan Shanum. Saat sedih begini, bayangan ibunya berkelebat. "Mak, tolong Shanum," lirihnya pelan dengan dada yang terasa kian sesak.

Catt:

Perebab : tukang rebab. Rebab adalah alat musik gesek dari tanah Minang. Etek : Tante.

Sumando : Menantu lelaki.

Lapiak : Tikar

Buruak : buruk

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ervin Warda
Hiks shanum😩 Bagus kak😍 semangat nulisnya💪
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status