Share

3. SHANUM

last update Last Updated: 2021-06-11 18:30:46

Shanum sampai di pasar Batusangkar setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit dari kampungnya menggunakan ojek. Dia sampai di toko pukul sembilan lewat lima menit. Selama masa pandemi ini, toko buka agak siang dan juga tutup lebih cepat.

Beruntungnya Shanum memiliki majikan yang sangat baik. Walau Shanum sering datang terlambat, pemilik toko tidak menganggap itu masalah besar.

Majikannya itu bernama Gibran. Usianya hanya terpaut lima tahun dari Shanum. Kalau Shanum tiga puluh tahun, maka bosnya itu tiga puluh dua tahun, sedang  Syamil usianya tiga puluh dua tahun.

Gibran berperawakan tinggi besar, berwajah bak orang Arab. Badannya yang tegap dan rupa yang tampan, sedikit banyaknya menjadi dilema tersendiri bagi Shanum. Apalagi Gibran sudah dua tahun menduda. Sedangkan Shanum adalah satu-satunya karyawati di toko tersebut.

Gibran sedikit tersentak ketika mendengar salam dari luar toko. Dia yang sedang menyusun baju, segera menoleh ke arah sumber suara. Senyumnya seketika menyeruak begitu melihat Shanum datang. Namun, melihat wajah perempuan itu, senyum Gibran langsung pudar.

"Bertengkar lagi?"

Wajah Shanum memerah. Dia mengangguk pelan dan masuk ke dalam toko dengan tampang lesu. Sesaat kemudian dia ikut membantu Gibran menyusun pakaian yang akan dijual . "Lelah aku, Uda. Uda Syamil masih saja tidak bisa ditebak jalan pikirannya. Aku BINGUNG harus bersikap bagaimana. Tidak tahu lagi bagaimana caranya agar dia bisa menerima kenyataan."

Gibran menerima bungkusan plastik yang disodorkan Shanum. "Sabarlah, Num. Tidak semua orang bisa menerima kenyataan dengan cepat. Kalau aku di posisi Syamil, mungkin tidak akan jauh berbeda. Dia dipecat, lalu kau keguguran. Bagaimana tidak hilang semangat hidupnya?"

"Tapi sampai kapan, Uda? Waktu terus berjalan. Sesuatu yang sudah mati, tidak akan bisa kembali lagi. Setiap hari itu ke itu saja yang kami ributkan. Belum lagi gunjingan orang-orang tentang Uda Syamil. Aku malu."

Gibran menghela napas panjang. Bukan sekali dua kali Shanum curhat masalah rumah tangganya. Gibran juga tidak keberatan. Dia sudah menganggap Shanum seperti adiknya sendiri. Makanya sedaya upaya dia memberikan pandangan agar Shanum tidak salah dalam mengambil langkah.

"Num, hidup berumah tangga tentunya tidaklah mudah. Banyak halangan dan rintangan. Makanya pernikahan itu bernilai ibadah di mata Allah. Kalau kita mampu melewati semua ujian, sudah bisa dipastikan kalau Allah akan menempatkan kita di tempat terindah dan menaikkan derajat kita di mata manusia. Bersabarlah. Tidak ada yang lebih baik dari itu."

"Makasih, Uda. Aku akan coba lebih keras lagi. Namun, jika suatu saat aku tidak mampu lagi bertahan, mungkin aku akan melepaskan semuanya, Uda. Aku juga berhak untuk bahagia, bukan?"

Gibran terkejut mendengar ucapan Shanum. "Astaghfirullah, Num. Istighfar. Jangan pernah berpikir untuk bercerai. Jangan biarkan iblis memenangkan pertempuran, Num. Bukankah prestasi tertinggi mereka kalau bisa memisahkan suami dari istri? Please, kendalikan emosimu. Aku yakin, kau pasti bisa melewati semua ini. Percayalah!"

Air mata tidak mampu lagi Shanum tahan. Dia terisak-isak menahan kepedihan hati. Melihat Shanum menangis, walau sedikit ragu, Gibran membawa tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Shanum pun menumpahkan kesedihannya di dada pria tampan tersebut.

Di saat seperti itulah Etek Jawinar muncul. Dia terkejut, segera menyembunyikan diri di sebuah tiang bangunan agar tidak terlihat oleh Shanum dan Gibran. Tubuh perempuan tua itu bergetar hebat. Dia yang tadi berniat hendak mengantarkan makanan untuk Shanum, jadi urung dia lakukan. Tungkainya terasa lemas. Berbagai pikiran buruk melintas di pikirannya.

'Pantas saja Syamil hilang akal dan pikiran. Perbuatan Shanum seperti ini rupanya. Tidak bermalu! Mau saja dipeluk lelaki lain. Akan aku apakan anak ini? Hmmm, mungkin ini kesempatan bagiku agar bisa membuatnya hengkang dari kampung. Sejak dia ada Galogandang, semua sawah dan ladang yang biasanya aku kelola, berpindah ke tangannya. Kau tunggu saja, Num! Tak akan aku biarkan kau menginjakkan kaki lebih lama di kampung kita.' Seringai culas membayang di wajah tuanya. Dengan cepat Etek Jawinar mengabadikan momen Shanum dan Gibran berpelukan melalui ponsel cerdas miliknya. Sambil bersorak di dalam hati, dia menjauh dari tempat tersebut.

Sementara itu setelah merasa lega, Shanum perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukan Gibran. Dia menatap malu lelaki keturunan Arab tersebut. Dadanya berdegup kencang. Ada perasaan nyaman dan aman yang selama ini dia rindukan. Hangatnya tubuh Gibran membuat desir-desir aneh di hati Shanum. Kembali dia mencuri pandang, menatap Gibran yang tersenyum tulus kepadanya.

"Sudah mendingan?" Gibran mengelus kepala Shanum lembut. Perempuan itu mengangguk, wajahnya memerah.

"Ya sudah, sekarang kita fokus kerja dulu, ya? Kau jangan pernah merasa putus asa. Apa pun masalahmu, ceritakan saja kepadaku. Aku siap mendengarkanmu, dua puluh empat jam. Hehehe."

Untuk kesekian kalinya dada Shanum berdebar melihat senyum manis yang terpatri di wajah Gibran.

'Ya Tuhan, tolong aku ....' rintihnya pilu, gamang dengan suasana hatinya sendiri. Dia sadar dan paham, ada satu benih yang tidak seharusnya dia biarkan tumbuh di dalam hatinya. Benih yang jika dibiarkan akan bertunas, lalu akar-akarnya akan menancap kuat menghunjam ke dalam jiwa. Jika itu terjadi, maka akan sulit baginya untuk keluar dari lingkaran setan yang nantinya akan tercipta.

Namun, jauh di dalam pikirannya, dia bertanya-tanya, sampai kapan dia akan tahan dengan pesona Gibran? Lelaki itu begitu baik hati, bersahabat, saleh, dan pastinya menjadi idaman setiap wanita.

Bukannya Shanum tidak tahu kenapa Gibran masih kuat menduda sampai sekarang. Cintanya begitu besar kepada --Zaira--istrinya yang meninggal sewaktu melahirkan. Zaira tidak saja kehilangan nyawanya, tapi nyawa anaknya pun tidak tertolong. Hal itu membuat Gibran memendam luka yang entah kapan bisa disembuhkan.

Shanum merasa iri dengan almarhumah Zaira. Dibanding Syamil, tentu Gibran jauh lebih unggul. Tidak saja memiliki paras dan tubuh yang sempurna, tapi juga memiliki uang yang banyak. Hasrat untuk bisa memasuki hati Gibran pun kian berkobar di hati Shanum.

'Aku tidak peduli. Bagaimana pun, aku punya hak untuk bahagia. Aku punya hak untuk menikmati hidup. Jika perkawinanku dengan Uda Syamil tidak bisa lagi dipertahankan, maka aku akan berjuang agar Uda Gibran mau menerimaku sebagai istrinya.' Shanum menatap lekat-lekat punggung Gibran yang berdiri membelakanginya. Dia tidak pernah merasakan perasaan ingin memiliki yang begitu kuat menguasai hatinya.

Namun, suasana hati Shanum berubah drastis ketika seseorang datang melenggang-lenggok menuju toko. Seorang perempuan cantik berbaju warna kuning gading, dan memakai rok biru selutut. Kulitnya putih bersih. Sementara rambutnya panjang bergelombang. Sungguh kecantikan yang sempurna.

Shanum tentu saja tahu dan kenal dengan gadis tersebut. Namanya Kanaya, biasa dipanggil Naya. Seorang karyawan Bank Daerah yang berprofesi sebagai Marketing. Sering mendatangi toko dan merayu Gibran agar mau mengambil modal yang dia tawarkan. Namun, Gibran kerap menolak. Kanaya bukannya kapok, tetapi kian tertantang. Dia tidak segan-segan merayu dan bersikap manja ke Gibran. Hal itu membuat Shanum terbakar api cemburu.

"Selamat pagi, Uda Gibran?" Kanaya menyapa Gibran sambil tersenyum cantik.

"Halo, pagi juga, Naya. Wah, semakin cantik saja." Gibran memuji sambil mempersilakan Kanaya masuk. Di dalam toko hanya ada dua kursi. Shanum yang sadar diri, segera memberikan kursi yang dia duduki ke perempuan itu. Di dalam hati dia menyumpah habis-habisan. Susah bagi Shanum untuk menyembunyikan perasaannya. Dari pada terbakar api, Shanum memutuskan untuk izin keluar dan berdalih membeli sarapan.

"Uda mau aku belikan sarapan?" Shanum sudah hendak berdiri. Namun, Kanaya segera menahan tubuhnya.

"Uni di sini saja. Kebetulan aku belum sarapan. Maksudku ke sini mau mengajak Uda Gibran sarapan di luar. Nanti, aku bungkuskan untuk Uni, ya?"

Wajah Shanum seketika berubah. Dia menoleh ke arah Gibran yang seperti terpukau dengan kecantikan Kanaya. "Benar Uda mau pergi dengan Naya?"

Suara Shanum membuyarkan lamunan Gibran. Lelaki itu terlihat salah tingkah. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Oh ... eh ... oh, ya .... Ya. Nanti aku belikan kau sarapan, Num. Jaga toko, ya? Aku dan Naya pergi dulu."

Sakit. Itu yang terasa di hati Shanum sekarang. Dia menggigit bibir dan menghela napas panjang begitu melihat Kanaya menggandeng lengan Gibran.

Untuk kesekian kalinya, air mata mengalir membasahi pipi Shanum.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TOXIC RELATIONSHIP   30. CEMAS

    Etek Jawinar semakin gelisah. Hujan di luar sana kian menggila. Anak perempuannya belum juga pulang, sementara kegelapan telah merajai hari.'Ernaaa! Ke mana kamu pergi, Nak? Ini sudah malam. Ya Allah, apa yang terjadi sebenarnya dengan anakku itu? Kenapa dia belum pulang juga. Hati ini sungguh tidak tenang.'Perempuan tua itu mondar-mandir di atas rumah. Pikirannya benar-benar buntu. Dia selalu kesal kalau Erna sudah menghilang seperti ini. Memang kebiasaan anaknya kalau ada masalah. Menghilang entah ke mana, lalu akan kembali beberapa jam kemudian. Namun, ini rasanya sudah terlalu lama Erna pergi. Etek Jawinar merasa ada yang tidak beres. Di dalam hati dia terus berdoa agar Erna cepat pulang.Bukan saja gelisah memikirkan Erna, pikiran Etek Jawinar juga tersita dengan Shanum yang jug

  • TOXIC RELATIONSHIP   29. MANGKAWEH

    Etek Jawinar tersentak dari mengenang masa lalunya yang suram. Sejak sirap ilmu pekasihnya lenyap, Rangkuti terkesan menjaga jarak dengannya. Perlahan tapi pasti, suaminya itu seperti tidak mengenalinya lagi.Berbagai cara dia tempuh agar Rangkuti bisa kembali ada dalam genggamannya. Namun, semua usahanya itu sia-sia. Sang kekasih hati sudah berganti rasa. Dia bahkan terkesan semakin kasar dan tidak segan-segan menjatuhkan tangan keras kepadanya.Melihat perubahan ayahnya itu, tentu saja Erna merasa heran. Semua kebigungannya tak kunjung mendapat jawaban. Etek Jawinar bungkam setiap kali Erna menanyakan hal itu.Sekarang, Erna juga terjebak dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Hati Etek Jawinar kian remuk redam. Bagaimana caranya agar nasib Erna lebih baik darinya?

  • TOXIC RELATIONSHIP   28. SIRAP

    "Tenanglah kamu, Jawinar. Tidak satu jalan untuk membuat Rangkuti menyukaimu. Amak baru tahu kalau kamu diperlakukan seperti itu olehnya. Andai kamu tidak bercerita, tentu amak tidak paham apa masalah yang menimpamu itu." Rohana, ibunya Etek Jawinar membelai lembut kepala anak perempuannya itu lenbut. Dia memang tidak serumah dengan Etek Jawinar.Rohana dan Tamar--suaminya memiliki rumah di Guguak Jirek, daerah yang berada di kawasan Bukik Tubasi. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di sana sambil berkebun dan bercocok tanam di sawah yang ada di daerah tersebut.Sementara Jawinar tinggal di Payobada, rumah yang dibangun khusus untuknya oleh orang tuanya.Rohana benar-benar tidak menduga kalau anak semata wayangnya diperlakukan begitu kejam oleh lelaki yang terlihat begit

  • TOXIC RELATIONSHIP   27. RANGKUTI

    "Untuk apa lagi kamu ke sini? Bukankah kamu sudah menalak si Shanum? Lelaki itu harus berpegang teguh pada pendirian. Kamu jatuhkan talak, tapi masih saja mengangkang ke rumah ini. Benar-benar memalukan!" Etek Jawinar sudah berdiri di belakangnya sambil melipat tangan. Syamil segera berbalik dan menatap perempuan tua itu dengan wajah tidak suka. "Apa pun yang aku lakukan itu bukan urusanmu. Mau aku talak, kek, kawin, kek, cerai, kek! Suka-suka akulah! Jadi, jangan buang-buang ludah di depanku karena aku tidak peduli dengan semua omongan sampah yang keluar dari mulut busukmu itu!" Syamil bergegas kembali ke motornya. Hatinya sangat jengkel dan tersinggung mendengar ucapan Etek Jawinar. "Kamu memangSumandola

  • TOXIC RELATIONSHIP   26. BUKTI

    Setelah Erna tidak berdaya, Syamil menjadi bingung sendiri. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Dia lupa kalau Erna menghilang, orang tuanya pasti akan kebingungan. Etek Jawinar tentu akan mencari Erna di mana pun berada.Sekarang, Erna masih terikat dan dalam keadaan tidak sadarkan diri di kamarnya. Rasa takut mulai merayap di dinding hati Syamil. Dia keluar dan berdiri di langkan Rumah Gadang. Dari ketinggian langkan tersebut, Syamil melihat motor Erna masih terparkir di halaman. Secepat kilat dia berlari ke bawah. Matanya menoleh ke kiri dan ke kanan, mengawasi kalau-kalau ada orang yang melihat.Setelah dia rasa aman, segera dia dorong motor tersebut dan memasukkan kendaraan tersebut ke dalam kandang Rumah Gadang. Tidak akan ada yang tahu dan curiga, kalau Erna sekarang berada di dalam cengkeramannya.

  • TOXIC RELATIONSHIP   25. LUKA BATIN

    Shanum siuman dengan kepala yang masih terasa sakit. Matanya mengerjap, berusaha menyesuaikan dengan cahaya lampu yang menyala terang. Ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia terkejut begitu menyadari kedua tangannya terikat. Dia coba gerakkan kaki, ternyata kakinya pun terikat. Lebih kaget lagi dia saat menyadari tubuhnya tidak tertutupi sehelai pun pakaian. Sementara AC terasa begitu dingin. Badan Shanum pun menggigil.Dia mulai mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Sesaat kemudian, rasa takut memenuhi pikirannya. Dia sadar sekarang kalau air putih yang dia minum ternyata sudah bercampur dengan obat tidur.Shanum menangis, merasa kalau tubuhnya sudah dijamah oleh Gibran. Selaksa penyesalan muncul di hatinya. Dalam keadaan seperti itu, WAJAH Syamil membayang. Dia merasa sangat berdosa karena tergoda pria lain. Rasa bersala

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status