Sebuah kisah tentang seorang lelaki yang ingin menyelamatkan rumah tangganya dari kehancuran. Imej jelek yang melekat di dirinya membuatnya tidak dianggap.Sumando, kata yang berasal dari bahasa Minang ini memiliki arti sebagai menantu laki-laki, tapi ada tambahan Lapiak Buruak, yang artinya tikar yang sudah jelek sekali. Makna dari Sumando Lapiak Buruak adalah suami yang lebih suka menghabiskan waktu di rumah, berleha-leha dengan anak bini. Lelaki yang malas bekerja mencari nafkah demi menghidupi keluarganya.Tersebutlah Syamil Wafiq, nama lelaki itu. Keberadaannya di rumah sang istri tidak begitu dianggap. Dia cenderung tertutup, dan tidak bisa bergaul dengan orang-orang.Hal itu membuat Shanum Diya-istrinya-merasa bak makan buah simalakama. Suaminya menjadi bahan gunjingan dan lama kelamaan, rumah tangganya berada di ujung tanduk. Bagaimanakah kisah ini bergulir? Akankah Syamil bisa menyelamatkan keluarganya?Sumber gambar:Designed by Freepik
View MoreHidup di dunia ini banyak serba salahnya. Jika tidak pandai-pandai menyikapi keadaan, putus hubungan kekerabatan. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Begitu ujar pepatah lama yang sering didendangkan oleh para perebab dari ranah Pasisia.
Hal itulah yang dialami oleh Syamil saat ini. Tujuannya berumah tangga adalah mencari ketenangan batin, tentunya juga sebagai ibadah yang disunahkan oleh Rasulullah. Namun, membangun mahligai suci itu tentu tidak segampang yang dipikirkan. Halangan dan hambatan sudah pasti akan menyertai perjalanan anak manusia.
Di dalam kamar, di depan meja rias, Shanum Dhiyaāistrinya terisak-isak menahan tangis. Beberapa helai tisu terbuang, lalu dibiarkan mengotori lantai.
"Malu aku, Uda. Malu! Sudah pekak telingaku mendengar gunjingan orang. Sampai kapan aku akan tersiksa dengan semua ini?" Shanum menghapus ingus untuk ke sekian kalinya. Matanya sudah bengkak, cuping hidungnya memerah karena menangis.
"Lalu apa yang kau inginkan, Shanum? Aku pergi dari rumah ini, begitu?" Wajah Syamil mengelam. Sungguh, dia sudah muak dengan ratap tangis istrinya itu. Dia yang sedang bersandar di kepala ranjang menatap tajam ke arah Shanum dengan tatapan berang.
"Kenapa Uda selalu menjawab ingin pergi? Apa Uda tidak mencintaiku lagi? Begitu ringan lidah Uda melontarkan ucapan seperti itu." Nada suara perempuan itu terdengar meninggi.
Syamil turun dari tempat tidur. Dia berjalan mendekati Shanum dan memegang bahu istrinya itu kuat. "Dengar, Num! Aku menikahimu karena aku mencintaimu. Yang aku inginkan hanya kau. Tidak keluargamu, atau siapa pun di rumah ini. Kalau aku tidak suka membaur, itu adalah prinsip hidupku. Aku tidak suka bersosialisasi itu hakku. Tidak ada yang boleh mencampuri urusanku. Kalau kau tidak tahan denganku, silahkan ajukan gugatan cerai. Sudah empat tahun kita bersama, kau masih saja tidak mengenaliku. Sudahlah, aku mau tidur!"
Shanum merasakan dadanya kian sesak. Seolah begitu banyak temali yang mengikat tubuhnya. Dia masih belum puas dengan jawaban Syamil. Padahal begitu sederhana masalah yang terjadi, tapi kenapa begitu rumit bagi suaminya itu?
Syamil mematikan lampu. Membuat ruangan menjadi gelap gulita. Membiarkan Shanum tenggelam dalam kesedihan seorang diri. Lelaki itu merebahkan badan di kasur, menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Berusaha meredam semua amarah yang seakan-akan hendak meledak.
"Kau egois, Uda. Kau hanya mementingkan egomu saja. Dulu kau begitu menyenangkan, begitu manis. Semua orang menyukaimu. Namun, setelah aku keguguran untuk kedua kalinya, kau menutup diri setahun terakhir. Ada apa sebenarnya denganmu, Uda? Kenapa kau seolah-olah membenci dunia ini. Saban hari kau habiskan mendekam dalam kamar. Berleha-leha di rumah. Aku capek, Uda, melihatmu seolah kehilangan jati diri."
Semua keluh kesah Shanum hanya bergema dalam kegelapan. Tidak ada sedikit pun respon dari Syamil. Lelaki itu menulikan telinga, menutup pikiran. Semua ucapan Shanum semakin pudar seiring dengan lindapnya dia ke alam mimpi.
Sementara itu Shanum merasa tidak ada lagi yang bisa dia ucapkan. Tangisannya berhenti tepat ketika dia mendengar suara perutnya sendiri. Sudah dari siang dia tidak mengisi lambungnya.
Kedatangan Etek Jawinarāadik ibunya sore tadi memicu pertengkarannya dengan Syamil. Perempuan yang sudah berusia lima puluh tahun itu menyindir Syamil yang membawa sepiring nasi ke dalam kamar.
"Sudah tak ada lagi adab orang Sumando. Sejak kapan di ranah Minang ini makan dibawa ke kamar? Tegurlah suamimu itu, Num? Ini baru etek yang melihat. Kalau orang lain, bakalan jadi gunjingan orang sekampung lakimu itu. Tak becus, tak elok juga rasanya semacam itu. Etek perhatikan, banyak sekali perubahan sikap si Syamil. Ceritalah sama etek, ada apa gerangan dengannya?"
Jantung Shanum serasa diremas-remas mendengar ucapan Etek Jawinar. Apa lagi wajah eteknya itu terlihat kesal dan cemberut melihat apa yang tadi dilakukan Syamil.
"Tidak ada apa-apa, Etek. Uda Syamil hanya sedang ingin makan di kamar saja sambil mengerjakan pekerjaannya." Shanum berusaha menjawab keheranan eteknya itu dengan tetap tersenyum. Walau ada getar-getar yang menyesakkan dada ketika menyampaikan hal tersebut.
"Kerja apa dia, Num? Bukannya Syamil sudah dipecat dari tempatnya bekerja?" Etek Jawinar bertanya sambil mengupas buah salak yang ada di atas meja.
"Iya, Tek. Sejak di PHK, Uda berusaha mendalami ilmu internet marketing. Jadi ...."
"Ah, sudahlah! Tak perlu kau jelaskan. Etek juga tidak akan paham. Tapi yang harus kau pahami, si Syamil sudah menjadi gunjingan orang banyak." Di kalimat terakhirnya itu, Etek Jawinar berbisik ke telinga Shanum.
"Apa maksud, Etek?" Perasaan Shanum semakin tidak karuan. Dia menatap lekat-lekat mata Etek Jawinar.
"Iya, si Syamil sering ke Lubuak Burai. Berteriak-teriak macam orang hilang akal di sana. Melagu-lagu bak orang gila. Pokoknya, ada yang tidak beres dengan otaknya itu. Saran Etek, segeralah bawa dia berobat. Kalau pun mesti ke Padang, ke Padanglah. Periksakan segera dia ke Gadut."
Paras cantik Shanum berubah pucat. Darahnya serasa sampai ke ubun-ubun. "Maksud Etek ke RSJ?"
Etek Jawinar mengangguk.
"Tidak! Etek jangan asal bicara. Uda Syamil baik-baik saja. Dia tidak gila. Dia tidak gila! Etek dengar, ha?" Shanum berdiri sambil berkacak pinggang.
Etek Jawinar memutar bola mata. Buah salak yang hendak dia makan, kembali ditaruh di atas meja. "Kau sekarang boleh tidak percaya. Tapi itulah yang orang-orang lihat dan dengar, Shanum. Si Syamil sudah putus syarafnya. Lebih baik kau obati sebelum terlambat."
"Silahkan keluar, Tek. Shanum tidak ingin mendengar apa-apa lagi." Shanum membelakangi Etek Jawinar ketika perempuan tua itu kembali hendak bersuara.
"Kau akan menyesal jika tidak segera mengobati Syamil, Num!"
Ucapan Etek Jawinar dibalas Shanum dengan membanting pintu. "Perempuan tua tidak ada kerjaan. Hobinya membuat kisruh suasana saja. Kalau tidak menenggang Amak, sudah kuputuskan hubungan dengannya." Shanum menghentakkan kaki ke lantai. Amarahnya benar-benar tidak terbendung. Dia bergegas memasuki kamar.
Syamil yang sedang memantangi layar laptop terkejut ketika Shanum masuk sambil menangis.
"Katakan kalau apa yang disampaikan Etek Jawinar itu tidak benar, Uda?"
"Apa maksudmu, Num?"
"Dia mengatakan yang tidak-tidak tentang Uda. Katakan kalau semua itu bohong, Uda? Katakan!"
Syamil memutar posisi duduknya. Berusaha fokus mencerna ucapan Shanum. "Aku tidak mengerti dengan apa yang kau tanyakan. Apa yang tidak benar?"
"Dia mengatakan Uda gila. Seluruh orang kampung menggunjingkanmu, Uda."
Jawaban Shanum membuat Syamil tersenyum kecut. "Tidak usah kau pikirkan, Num. Itulah sebabnya aku tidak mau berbaur dan bersosialisasi. Banyak dosa di luar sana."
"Nah, inilah penyebab semua masalah kita, Uda. Kau sekarang menutup diri dari pergaulan. Setiap ada acara, kau tidak pernah mau hadir. Setiap kali ada undangan, kau tidak pernah mau datang. Sekarang, lihat akibatnya? Kau jadi gunjingan dan mereka berpikir yang tidak-tidak. Cobalah, Uda, untuk membaur kembali. Hanya itu saja yang aku inginkan."
"Jika aku tidak mau, kau mau apa? Apa aku tidak punya hak atas diriku sendiri? Apa kau merasa terbebani jika aku tidak suka keluar rumah, jika aku lebih banyak menghabiskan waktu denganmu? Apa kau bosan denganku, Shanum?"
Shanum tergagap. Lidahnya terasa kelu. Tentu saja bukan itu maksudnya. Namun, Syamil telah menanggapi lain.
"Buk ... bukan itu maksudku, Uda! Aku ...."
"Keluar!"
"Tolonglah, Uda. Dengarkan penjelasanku. Aku ...."
"Atau aku yang keluar!"
Syamil tidak peduli dengan apa yang Shanum sampaikan. Dia keluar dari kamar sambil membanting pintu seiring dengan azan Maghrib berkumandang di senja yang muram.
Shanum terisak-isak. Namun, dia bertekad untuk terus membicarakan dan menyelesaikan masalahnya ini. Syamil harus berubah. Harus. Bukan saja demi kebaikan dirinya sendiri, tapi juga demi keutuhan rumah tangga mereka.
Seperti yang dia pikirkan, suaminya itu kembali masuk ke dalam kamar setelah setengah jam berlalu. Shanum sudah menduga, Syamil tidak akan pergi ke mana-mana. Lelaki itu seperti takut bertemu orang luar. Entah apa yang salah, membuat Shanum begitu bingung harus menyikapinya.
Seperti yang disampaikan di awal cerita, mereka kembali bertengkar. Syamil memutuskan untuk tidur, sementara Shanum keluar dari kamar.
Hari belumlah terlalu tua. Namun, Shanum merasakan sunyi yang begitu mencekam di dalam rumahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam.
Dia bergegas ke meja makan. Membuka tudung nasi dan wajahnya menyiratkan kekecewaan. Empat potong daging ayam yang dia goreng siang tadi, ludes tak bersisa. Hanya cabe goreng yang tersaji dalam mangkuk kecil.
"Ya Allah, untuk makan pun, Uda tidak lagi menenggang aku yang kelaparan. Ada apa denganmu, Uda? Kenapa semakin lama, aku semakin tidak mengenalmu?"
Air mata kembali menetes dan berjatuhan di atas piring kosong di depan Shanum. Saat sedih begini, bayangan ibunya berkelebat. "Mak, tolong Shanum," lirihnya pelan dengan dada yang terasa kian sesak.
Catt:
Perebab : tukang rebab. Rebab adalah alat musik gesek dari tanah Minang. Etek : Tante.
Sumando : Menantu lelaki.
Lapiak : Tikar
Buruak : buruk
Etek Jawinar semakin gelisah. Hujan di luar sana kian menggila. Anak perempuannya belum juga pulang, sementara kegelapan telah merajai hari.'Ernaaa! Ke mana kamu pergi, Nak? Ini sudah malam. Ya Allah, apa yang terjadi sebenarnya dengan anakku itu? Kenapa dia belum pulang juga. Hati ini sungguh tidak tenang.'Perempuan tua itu mondar-mandir di atas rumah. Pikirannya benar-benar buntu. Dia selalu kesal kalau Erna sudah menghilang seperti ini. Memang kebiasaan anaknya kalau ada masalah. Menghilang entah ke mana, lalu akan kembali beberapa jam kemudian. Namun, ini rasanya sudah terlalu lama Erna pergi. Etek Jawinar merasa ada yang tidak beres. Di dalam hati dia terus berdoa agar Erna cepat pulang.Bukan saja gelisah memikirkan Erna, pikiran Etek Jawinar juga tersita dengan Shanum yang jug
Etek Jawinar tersentak dari mengenang masa lalunya yang suram. Sejak sirap ilmu pekasihnya lenyap, Rangkuti terkesan menjaga jarak dengannya. Perlahan tapi pasti, suaminya itu seperti tidak mengenalinya lagi.Berbagai cara dia tempuh agar Rangkuti bisa kembali ada dalam genggamannya. Namun, semua usahanya itu sia-sia. Sang kekasih hati sudah berganti rasa. Dia bahkan terkesan semakin kasar dan tidak segan-segan menjatuhkan tangan keras kepadanya.Melihat perubahan ayahnya itu, tentu saja Erna merasa heran. Semua kebigungannya tak kunjung mendapat jawaban. Etek Jawinar bungkam setiap kali Erna menanyakan hal itu.Sekarang, Erna juga terjebak dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Hati Etek Jawinar kian remuk redam. Bagaimana caranya agar nasib Erna lebih baik darinya?
"Tenanglah kamu, Jawinar. Tidak satu jalan untuk membuat Rangkuti menyukaimu. Amak baru tahu kalau kamu diperlakukan seperti itu olehnya. Andai kamu tidak bercerita, tentu amak tidak paham apa masalah yang menimpamu itu." Rohana, ibunya Etek Jawinar membelai lembut kepala anak perempuannya itu lenbut. Dia memang tidak serumah dengan Etek Jawinar.Rohana dan Tamar--suaminya memiliki rumah di Guguak Jirek, daerah yang berada di kawasan Bukik Tubasi. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di sana sambil berkebun dan bercocok tanam di sawah yang ada di daerah tersebut.Sementara Jawinar tinggal di Payobada, rumah yang dibangun khusus untuknya oleh orang tuanya.Rohana benar-benar tidak menduga kalau anak semata wayangnya diperlakukan begitu kejam oleh lelaki yang terlihat begit
"Untuk apa lagi kamu ke sini? Bukankah kamu sudah menalak si Shanum? Lelaki itu harus berpegang teguh pada pendirian. Kamu jatuhkan talak, tapi masih saja mengangkang ke rumah ini. Benar-benar memalukan!" Etek Jawinar sudah berdiri di belakangnya sambil melipat tangan. Syamil segera berbalik dan menatap perempuan tua itu dengan wajah tidak suka. "Apa pun yang aku lakukan itu bukan urusanmu. Mau aku talak, kek, kawin, kek, cerai, kek! Suka-suka akulah! Jadi, jangan buang-buang ludah di depanku karena aku tidak peduli dengan semua omongan sampah yang keluar dari mulut busukmu itu!" Syamil bergegas kembali ke motornya. Hatinya sangat jengkel dan tersinggung mendengar ucapan Etek Jawinar. "Kamu memangSumandola
Setelah Erna tidak berdaya, Syamil menjadi bingung sendiri. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Dia lupa kalau Erna menghilang, orang tuanya pasti akan kebingungan. Etek Jawinar tentu akan mencari Erna di mana pun berada.Sekarang, Erna masih terikat dan dalam keadaan tidak sadarkan diri di kamarnya. Rasa takut mulai merayap di dinding hati Syamil. Dia keluar dan berdiri di langkan Rumah Gadang. Dari ketinggian langkan tersebut, Syamil melihat motor Erna masih terparkir di halaman. Secepat kilat dia berlari ke bawah. Matanya menoleh ke kiri dan ke kanan, mengawasi kalau-kalau ada orang yang melihat.Setelah dia rasa aman, segera dia dorong motor tersebut dan memasukkan kendaraan tersebut ke dalam kandang Rumah Gadang. Tidak akan ada yang tahu dan curiga, kalau Erna sekarang berada di dalam cengkeramannya.
Shanum siuman dengan kepala yang masih terasa sakit. Matanya mengerjap, berusaha menyesuaikan dengan cahaya lampu yang menyala terang. Ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia terkejut begitu menyadari kedua tangannya terikat. Dia coba gerakkan kaki, ternyata kakinya pun terikat. Lebih kaget lagi dia saat menyadari tubuhnya tidak tertutupi sehelai pun pakaian. Sementara AC terasa begitu dingin. Badan Shanum pun menggigil.Dia mulai mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Sesaat kemudian, rasa takut memenuhi pikirannya. Dia sadar sekarang kalau air putih yang dia minum ternyata sudah bercampur dengan obat tidur.Shanum menangis, merasa kalau tubuhnya sudah dijamah oleh Gibran. Selaksa penyesalan muncul di hatinya. Dalam keadaan seperti itu, WAJAH Syamil membayang. Dia merasa sangat berdosa karena tergoda pria lain. Rasa bersala
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments