"Pada akhirnya, semua laki-laki sama saja. Lihatlah dia yang langsung pergi setelah mengetahui kenyataan kalau aku sudah mempunyai seorang anak," lirih Gisa sambil dia arahkan pandangannya pada mobil Catra yang menghilang di sebuah belokan.
"Mami, macuk," ajak Dean sambil menunjuk kearah pintu rumah.
Gisa menoleh kearah Dean sambil memberikan senyum hangatnya. "Oke, baby. Let's gooooo ... " Pekiknya sambil berlari kearah rumah dengan posisi Dean dibuat seperti pesawat terbang.
Gelak tawa Dean dan Gisa terdengar sampai tempat Catra berhenti. Catra sebenarnya belum pulang. Catra meminta sopir berhenti di tikungan dekat rumah Gisa sambil melihat ke arah Dean yang sedang tertawa bahagia.
Dia memegang dadanya yang berdetak cepat. Nafasnya terasa sesak dengan mata yang memanas siap menumpahkan segala rasa yang berkecamuk dalam hatinya.
Catra keluar dari dalam mobil dengan tangan kanannya merogoh ponsel dari dalam saku celananya. Dia cari nama seseorang disana dengan tangan yang gemetar.
Abhi calling...
Yang Catra hubungi adalah Abhinav, sahabat Catra yang tau segala perjalanan hidup Catra.
Saat nada panggilan ketiga, Abhi menjawab panggilan dari Catra. Dia pergi ke balkon kamar rawat Kayanna agar tidak menggangu Kayanna yang tengah tertidur pulas.
"Abhi ... Abhi ... " lirihnya saat Abhi mengangkat panggilan Catra. Kemudian setelahnya tangis Catra mulai pecah.
"Catra, kenapa? Apa terjadi sesuatu?" tanyanya panik.
"Abhi, Gista! Aku benar-benar menemukannya ... " lirihnya sambil duduk di pinggir jalan dengan kedua kaki ditekuk dan tangan bersandar pada lutut.
"Kapan kamu bertemu dengan dia? Bukannya saat ini kamu sedang mengantar pegawai magang yang mendonorkan darahnya untuk, Kayanna?" tanyanya pada Catra.
"Nirwasita Gistara Savrinadeya. Dia adalah, Gista!" tuturnya terjeda. Catra mencoba mengatur kembali nafasnya. "Bahkan tato yang kami buat di hari perpisahan kami di Melbourne, masih jelas terpajang indah di leher jenjangnya," lanjut Catra dengan antusias.
Saat di dalam mobil, Gisa menggulung rambutnya ke atas, sehingga tato sayap kupu-kupu yang di buat di belakang lehernya terlihat dari tempat Catra duduk karena posisi Gisa yang menghadap kearah jendela.
Perasaannya seketika membuncah. Ingin rasanya Catra memeluk Gisa saat itu juga. Namun Catra mencoba menahan segala egonya sebelum semua kebenaran tentang menghilangnya Gisa tiga tahun lalu terungkap.
"Jadi maksud kamu, Gisa adalah Gista?! Perempuan yang sudah membuat hidup kamu berantakan selama 3 tahun terakhir?!" tanyanya tidak percaya.
"Ya, dia Gista. Bahkan saat ini dia memiliki anak yang sangat mirip dengan nya." Jawab Catra antusias. Dia menghapus air matanya dengan punggung tangan sambil terselip senyum saat mengingat wajah anak itu.
"Wait ... jadi dia sudah menikah?" tanya Abhi penasaran.
"Dia belum menikah!"
"Kalau belum menikah, lantas siapa ayah dari anak itu? Apa dia Janda?" tanya Abhi kembali.
"Ckk, Dia anakku Abhi ... dia darah dagingku! Aku yakin 100%," jawabnya penuh keyakinan.
"Tunggu, tunggu, tunggu. Kamu tidak sedang berkhayal, 'kan?" tanya Abhi memastikan sambil tangan Abhi mengurut keningnya pusing setelah mendengar hal mengejutkan tersebut.
"Aku tidak pernah seyakin ini, Abhi. Seorang Catra Ganendra yang terkenal dengan kemampuannya menaklukan pesaing perusahaan lain bahkan seringkali ragu dalam mengambil keputusan." Sombongnya, hingga membuat Abhi di sebrang sana merotasi bola matanya jengah dengan kenarsiaan sahabatnya.
"Tapi, untuk hal ini aku yakin dia, anakku! Dia bahkan mewarisi warna mataku. Warna mata langka yang bahkan Kayanna pun' tidak mewarisinya. Hanya pria Ganendra yang memilikinya." Jelasnya kembali.
"Tapi sepertinya dia tidak mengenali kamu," ragu Abhi.
"Itu yang sedang aku cari tahu. Aku sudah memerintahkan informan untuk mencari tahu segala sesuatu tentang Gista dari 3 tahun lalu."
"Oke, semoga berhasil. Aku turut bahagia kawan, bahkan kamu sudah menjadi seorang ayah hanya dalam waktu semalam," ucap tulus Abhi diakhiri dengan gelak tawa yang tertahan saat dia ingat kalau Kayanna tengah tertidur pulas.
***
Siang ini, Gisa akan pergi menemui ayahnya. Itu adalah jalan terakhir dia mendapatkan biaya operasi untuk bibinya.
Gisa sudah membayangkan akan seperti apa suasana pertemuan tersebut. Namun demi sang bibi yang sudah mengurus dia dan anaknya, Gisa rela menahan cacian dan makina yang akan dia dapatkan dari ayah dan ibu tirinya.
Gisa datang kesebuah restoran mewah tidak jauh dari perusahaannya. Gisa menelpon rumah ayahnya terlebih dahulu namun menurut asisten rumah tangga yang bekerja disana, ayahnya pergi ke Restoran Mega Diamond, untuk bertemu klien. Sang ibu tiri pun, pergi ke restoran yang sama untuk arisan sosialita nya.
Saat Gisa masuk kedalam restoran tersebut, dia edarkan pandangan matanya kesegala arah untuk mencari posisi sang ayah. Tampak sang ayah sedang bersama asistennya.
Tidak jauh dari tempat ayahnya, sang ibu tiri tengah asyik berbincang dengan ibu-ibu sosialita yang diyakini sebagai istri para pejabat dan pengusaha.
Gisa menarik nafasnya panjang kemudian dia hembuskan pelan. Dia berusaha mengumpulkan keberanian. Bahkan tangannya ia kepalkan sesaat untuk menyalurkan kegugupannya. Ia pandangi sesaat wajah sang ayah yang 3 tahun ini sangat dia rindukan.
Hari ini Gisa memakai kemeja Lilac dengan pita di bagian leher dan sebuah rok span berwarna putih setinggi lutut dengan belahan dibagian belakang. Heels putih setinggi 7cm membuat Gisa tampak anggun saat berjalan mendekati meja ayahnya.
"Ayah ... " panggilnya saat dia sudah berdiri disebrang kursi sang ayah.
Nirwan Radeya, nama dari ayah Gisa. Dia menengok kearah sumber suara. Nirwan menatap Gisa dengan tatapan tidak suka. Gisa berpindah kesamping tempat duduk sang ayah. "Ayah ... " panggilnya lagi penuh rindu. Matanya sudah mengkristal.
"Siapa yang kamu panggil ayah?!" tanyanya dengan nada dingin sambil membuang mukanya kearah lain. "Ada perlu apa kamu datang kesini?" tanyanya lagi.
"Ayah, Bibi, Bibi ... membutuhkan biaya operasi," ucapnya pelan sambil menundukkan wajahnya tidak kuat jika harus melihat wajah dingin ayahnya.
"Sudah aku duga! Wanita sialan seperti kamu memang hanya bisa menyusahkan. Anak tidak tahu diri!" hardik Jocelyn ibu tirinya yang datang menuju meja tempat Gisa berdiri. Entah sejak kapan dia mendengarkan pembicaraan Gisa dan ayahnya.
Gisa hanya menunduk menyembunyikan wajahnya dari pandangan orang-orang yang mulai saling berbisik membicarakannya. Kedua tangan Gisa saling meremas satu sama lain.
Jocelyn, ibu tiri Gisa langsung mendorong tubuh Gisa hingga dia terhuyung dan jatuh tersungkur kelantai. Gisa meringis memegangi kakinya yang sakit.
Sambil bertolak pinggang, Jocelyn tidak menghentikan hinaannya. "Setelah membuat malu keluarga dengan mengandung anak haram, kamu dengan tidak tahu dirinya datang dan meminta uang? Dasar wanita tidak tahu diuntung!" hinanya pada Gisa.
Gisa terpekur, matanya panas, hatinya hancur. Sejujurnya Gisa ingin sekali pura-pura tuli, sehingga tidak harus mendengar kata-kata yang menyakitkan yang ibu tirinya utarakan.
Nirwan, ayah Gisa hanya berdiri di samping istrinya sambil menarik lengan istrinya pelan agar menghentikan tindakannya. "Sudah Ma, malu dilihat banyak orang," bisiknya pada Jocelyn.
"DIAM! Mama belum puas bicara dengan anak sialan ini!" bentaknya pada Nirwan sambil jari telunjuknya ia simpan didepan mulut suaminya.
"Jangan sekali-kali lagi muncul dihadapan kami! Ingat itu!" lanjutnya.
Gisa semakin menundukan wajahnya. Dia mencoba menyembunyikan tangisnya. Hatinya hancur, saat anaknya dihina sedemikian rupa di hadapan banyak orang. Gisa bahkan mendengar orang-orang menggunjingnya. Apalagi saat ini ayah kandungnya sendiri tidak membela Gisa sedikit pun.
Perhatian orang-orang teralihkan saat pria tampan datang dari arah yang berlawanan dengan kursi Nirwan. Bahkan tidak sedikit dari mereka tau dengan pria tersebut.
Ibu-ibu ingin menjadikan pria tersebut sebagai seorang menantu. Sementara gadis-gadis ingin dijadikan istri oleh pria yang terkenal dingin terhadap perempuan itu.
Penampilannya begitu mencolok. Dia menggantung Sunglasses mahal nya pada kemeja hitam yang 3 kancing teratasnya terbuka. Lengan kameja tersebut digulung sebatas sikut sehingga memperlihatkan lengannya yang putih berotot. Dibelakang pria tersebut, berdiri 1 orang pria yang tidak kalah tampannya memegang tas kerja dengan brand ternama.
Mereka berjalan kearah meja Nirwan. Jocelyn langsung merapihkan penampilannya. Sementara Nirwan langsung menyambut pria tersebut dengan senyuman. Bahkan Gisa yang masih berada di lantai, tak Nirwan hiraukan.
Pria itu berhenti saat akan mencapai meja Nirwan, kemudian berkata, "Batalkan semua proyek yang berhubungan dengan pria itu!" perintahnya pada asisten yang berdiri dibelakangnya sambil menunjuk wajah Nirwan.
Gisa menengadahkan wajahnya melihat kearah pria tersebut. Tanpa diduga, pria itu berjongkok. Dia bawa tubuh rapuh itu masuk kedalam pelukannya "Kamu ... " panggil Gisa lirih dengan air mata yang tumpah saat itu juga.
Terima kasih sudah membaca ❤️❤️ Jangan lupa Vote ya!!
Tubuh tegap tersebut masih memeluk tubuh rapuh Gisa. "Maaf, selama 3 tahun ini aku tidak bisa melindungi kamu dan anak kita. Terima kasih sudah bertahan ditengah hujatan dan cacian yang kamu dapatkan dari orang-orang," ucap Catra dalam hati. Ya, laki-laki yang menjadi penyelamat Gisa hari ini adalah Catra. Laki-laki yang bahkan lamaran dadakannya Gisa tolak. Awalnya Gisa pikir Catra akan ikut menghujatnya atau bahkan tertawa puas dengan apa yang Gisa alami saat ini. Mungkin Catra akan berpikir Gisa sedang menerima karma atas penolakannya semalam, pikir Gisa. Namun Catra justru memeluknya, merangkulnya seolah-olah dia berkata semua akan baik-baik saja. Entahlah pelukan tersebut begitu menenangkan. Seperti pelukan seseorang yang Gisa rindukan namun entah siapa Gisa pun tidak mengerti. Dia bawa tubuh rapuh itu kedalam gendongannya. Orang-orang didalam restoran saling melempar pandang dengan seribu tanya dibenak mereka. Bagaimana seorang Catra Ganendra yang
Gisa menyerongkan tubuhnya menghadap Catra yang sedang mengemudi, "Pak, saya menyetujui permintaan Bapak untuk menikah!" ucap Gisa membuat Catra bersorak dalam hati. Catra mengangguk pelan dengan wajah dibuat sebiasa mungkin nyaris tanpa ekspresi. Jangan sampai Gisa tau kalau sebenarnya saat ini Catra tengah bereuphoria merayakan kemenangannya. Kemudian Gisa melanjutkan kalimatnya, "Tapi ... " ucapnya terjeda. Catra mengerutkan keningnya mendengar kata "tapi" yang Gisa lontarkan. "Saya ingin pernikahannya dilakukan di kantor catatan sipil tanpa pesta resepsi," lanjut Gisa. Catra memelankan laju kendaraannya kemudian berhenti di pinggir jalan yang jauh dari keramaian. Catra arahkan wajahnya menghadap Gisa dengan kedua tangan bertumpu pada setir mobil. "Kenapa?" tanya Catra bingung. Gisa menelan ludahnya dengan susah payah saat wajah tampan Catra sangat dekat dengannya. Mata hijau Catra menatap penuh intimidasi. Gisa tidak gentar! Dia melanjutka
Catra masuk kedalam ruangannya disambut kehebohan Abhi saat melihat Catra menggendong Dean. Abhi yang awalnya sedang duduk di kursi kebesaran Catra, langsung berdiri dan berjalan kearah Catra yang datang sambil membawa Dean di pangkuannya. "Wah ... wah ... wah ... " seru Abhi sambil bertepuk tangan. "Benar-benar little Catra. Lihatlah bagaimana cara dia menatap uncle, nya. Sama persis seperti kamu, Catra." Lanjut Abhi saat melihat Dean menatap Abhi dengan tatapan dingin seperti mengintimidasinya. Biasanya anak 2 tahun akan menangis saat bertemu dengan orang baru. Namun Dean berbeda. Dia terlihat sedang memprovokasi lawan bicaranya. Benar-benar gambaran seorang Catra. Wajahnya boleh mirip Gisa, namun segala sifatnya menurun dari Catra. "Ckk ... cepat bilang, ada hal penting apa yang ingin kamu sampaikan?!" tanya Catra sedikit menggerutu pada Abi sambil mendudukan Dean di sofa ruangannya. "Hay boy. Nama kamu siapa?" tanya Abhi pada Dean sambil m
Catra ketar ketir mencari keberadaan anaknya. Ia masuk kedalam toilet, namun nihil Dean tidak ditemukan didalam sana. Catra kemudian berlari menuju restoran. Disana pun tak ditemukan sosok Dean. Catra bertanya kepada orang-orang yang ada di dalam restoran, mereka yang melihat Dean mengatakan kalau Dean keluar dari dalam restoran. Catra mencoba untuk tenang. Dia menelpon salah satu bodyguard yang selalu mengikuti Catra kemanapun Catra pergi. Bodyguard tersebut masuk kedalam mall untuk mencari Dean serta meminta rekaman Cctv dari pengelola mall. Sementara Catra terus mencari di sekitar restoran. Catra sudah frustasi. Bagaimana kalau Gisa tau bahwa anaknya hilang? Catra yakin, Gisa bukan hanya membatalkan pernikahan mereka saja tapi juga akan membunuh Catra. Orang-orang yang tau siapa Catra menatap kagum pria yang terlihat sedang panik itu. "Dean, maaf ... Daddy bahkan tidak becus menjaga kamu!" lirih Catra dengan kedua tangannya ia simpan di pinggang dan kepala
Saat ini Catra tengah berdiri di depan sebuah pintu ruang rawat inap seseorang. Catra menarik nafasnya dalam sebelum masuk kedalam ruangan tersebut. Catra mengetuk pintu pelan. Terdengar jawaban dari dalam ruangan tersebut. Catra masuk dengan disambut tatapan penuh tanya perempuan paruh baya yang tengah berbaring diatas ranjangnya. Saat ini Catra sedang menemui Serravina, yang selama 3 tahun terakhir sudah merawat Gisa dan Dean sang anak. Serravina merupakan adik dari Arsita, mendiang ibunya Gisa. Nama depan Gisa sendiri diambil dari gabungan nama ayah dan ibunya, Nirwan dan Arsita. Catra mendekat kearah Bibi Sera kemudian membungkuk hormat. Bibi Sera mengerutkan dahinya bingung melihat seorang pria yang tidak dia kenal langsung membungkuk hormat padanya. Namun tak urung Bibi Sera pun membalas dengan membungkukkan tubuhnya setelah dia mendudukkan bokongnya diatas ranjang. Serravina dipindahkan pagi tadi atas perintah Catra semalam. Rencananya Catra ak
Pagi-pagi sekali Catra sudah meninggalkan ruangan tempat dia menghabiskan malam pertamanya bersama Gisa. Bukan di hotel ataupun resort mewah di sebuah pulau, tetapi di rumah sakit tempat Gisa dirawat. Malam pertamanya pun tidak seperti pasangan lainnya yang dipenuhi dengan desahan dan erangan. Malam pertama Catra dan Gisa, mereka habiskan dengan tidur di tempat masing-masing. Gisa diatas ranjang bersama Dean, sementara Catra tidur diatas sofa bed. Baik Gisa maupun Dean, mereka masih terlelap saat Catra meninggalkan ruang rawat inap tersebut. Pagi ini Catra ada meeting penting dengan beberapa klien. Rencananya Gisa akan keluar rumah sakit siang ini. Sebelum meninggalkan rumah sakit tersebut, Gisa berniat untuk menemui bibinya terlebih dahulu. "Mommy sudah cembuh?" tanya Dean saat melihat Gisa sudah berjalan tanpa kursi roda. "Ya, Mommy sudah sembuh!" jawab Gisa mencoba membenarkan perkataan Dean. "Dean ikut Mommy ketemu nenek ya," ajak Gisa pad
Tangan Catra dia letakan disisi kanan dan kiri meja. Sementara tubuh Gisa terpenjara di tengah-tengah tangan Catra. Dia mencondongkan tubuhnya, kedepan badan Gisa. Gisa menahan dada Catra dengan kedua tangannya. "Pak ... a ... Anda mau apa?" tanya Gisa tergagap dengan jantung yang bertalu kencang. Catra menyeringai dengan seringai yang cukup membuat Gisa ketakutan dan semakin mengeratkan tangannya pada dada Catra. Gisa bahkan dapat merasakan tekstur padat dari dada bidang Catra yang sedang disentuhnya. Gisa memejamkan kedua matanya saat tubuh Catra semakin menempel dan menekan tubuh bagian depan dari Gisa. Sekiranya Catra akan meminta haknya malam ini, Gisa hanya bisa pasrah. Dia teringat kembali nasehat dari bibinya tadi pagi yang meminta Gisa bertindak sebagaimana seorang istri harus bertindak. Namun setelah beberapa saat, yang Gisa rasakan tubuh kekar Catra menjauh, "Nnnngggg" suara bising dari alat pengering rambut yang Gisa dengar kemudia
Pagi-pagi sekali Gisa terbangun dari tidur lelapnya. Semalam Gisa sempat mengkhawatirkan Dean yang mulai tidur terpisah dengannya. Namun saat melihat Cctv yang tersambung pada monitor di kamarnya, Gisa dapat tidur dengan tenang saat dilihatnya Dean langsung tertidur pulas walau harus tidur ditemani Bu Bertha. Selain mengkhawatirkan Dean, Gisa juga belum terbiasa dengan kebiasaan barunya karena harus tidur bersebelahan dengan Catra. Pengetahuan baru Gisa tentang Catra suaminya adalah, Catra si gila kerja yang saat waktunya tidur pun' dia akan membawa MacBook nya keatas tempat tidur dan mulai memeriksa ulang pekerjaannya. Gisa beranjak dari tempat tidur untuk pergi mencuci wajah dan mengganti pakaiannya. Namun kemana suaminya pergi saat jam masih menunjukkan pukul 6 pagi? Saat bangun tidur, Gisa mendapati dirinya hanya seorang diri di atas tempat tidur mewahnya. Setelah membereskan tempat tidur dan menyiapkan pakaian kerja untuk Catra, Gisa pergi menuju