Share

8. New Apartment

Abelia tak punya pilihan lain. Ia sudah terlanjur menandatangani kontrak perjanjian menjadi sugar baby tersebut. Maka ia pun terpaksa mengikuti permainan Arsya. Hari itu Pak Luki—sopir keluarga sekaligus orang kepercayaan Arsya—datang membantu Abelia pindah dari indekos ke apartemen baru yang disediakan oleh Arsya di kawasan Sudirman, Jakarta.

Sepeninggalan Pak Luki, Abelia mulai menyusun barang-barang di apartemen barunya. Apartemen itu memiliki satu kamar tidur all in dilengkapi kamar mandi dan dapur mini, serta area ruangan untuk menonton TV yang dibatasi dengan partisi berupa lemari sebagai pemisah dengan area tempat tidur. Meski hanya berupa apartemen studio, Abelia tahu harga unit apartemen itu sangat mahal karena berada di salah satu kawasan pusat bisnis ibu kota.

Selesai berkemas, sore itu Abelia memutuskan untuk tidur sebentar. Malam nanti, Arsya sudah bilang akan datang menemuinya. Kebetulan ada beberapa hal yang ingin Abelia diskusikan, salah satunya adalah nominal uang bulanan yang diberikan oleh Arsya terlalu besar baginya. Arsya tak meminta pembayaran atas uang bulanan yang ia berikan, tetapi Abelia bersikeras untuk menggantinya di kemudian hari karena tak ingin berutang budi.

Malamnya, sepulang kerja Arsya singgah ke apartemen Abelia. Ia mengedarkan pandangannya untuk memastikan semua bagian apartemen terasa nyaman bagi wanita itu.

“Kamu suka kamar apartemen ini? Atau mau apartemen yang lebih besar?” tanya Arsya.

Abelia menggeleng. “Terima kasih. Ini sudah lebih dari cukup. Saya justru takut kalau menempati apartemen yang terlalu besar.”

Arsya mengangguk sambil menatap Abelia yang mengenakan setelan piyama lengan panjang. Lalu ia menurut ketika wanita itu mempersilakannya untuk duduk di sofa.

“Berapa harga sewa apartemen ini?” tanya Abelia ketika mereka sudah duduk.

“Saya membelikannya untukmu.”

Mata Abelia membulat mendengarnya, lantas menghela napas. “Lalu, berapa harga beli apartemen ini? Biar saya cicil setiap bulan pembayarannya padamu.”

“Saya kan sudah bilang kamu tidak boleh membayarnya karena ini pemberian saya. Dan kamu tidak boleh menolak pemberian saya sesuai yang tertulis di kontrak,” ujar Arsya.

“Tapi kenapa kamu harus membelikan apartemen ini untuk saya sedangkan kontrak kita hanya setahun?” Abelia berdecak. “Oh, ya. Saya juga ingin membicarakan tentang nominal uang bulanan yang kamu berikan. Jumlahnya terlalu besar bagi saya.”

Arsya mengernyit. “Kenapa kamu memprotes semua pemberian saya? Jelas saja saya memberikanmu banyak uang dan materi lainnya karena saya mampu. Kamu tidak akan saya jadikan pacar yang tertindas.”

Abelia sudah akan membuka mulutnya, tetapi ia mengatupkannya lagi. Meski terdengar menyebalkan, apa yang dikatakan oleh Arsya itu sepertinya benar. Pemberian yang berlimpah adalah hal yang wajar untuk seorang seperti Arsya pada wanita yang dia mau. Namun, bukankah perjanjian mereka hanya sebatas relationship contract? Dan sudah jelas dalam kontrak bahwa Abelia ingin mengganti semua uang yang Arsya berikan karena ia menganggap tawaran relationship contract ini sebagai caranya meminjam uang pada pria itu.

“Dalam kontrak sudah tertulis bahwa saya akan mengganti uangmu nanti dan saya khawatir tidak sanggup mengganti kalau jumlahnya terlalu besar.” Abelia berusaha menjelaskan.

“Kalau begitu, tidak usah kamu ganti,” sahut Arsya.

“Tapi saya tetap ingin menggantinya!”

“Kalau begitu, gantilah semampumu saja. Tidak usah dipaksakan.”

“Kalau kamu tidak mau mengurangi jumlah uang bulanan itu, maka saya tidak mau tinggal di apartemen ini!” ancam Abelia.

Arsya menatapnya. “Kalau begitu, silakan tinggal di apartemen saya. Akan lebih baik jika kita tinggal bersama dan agar kamu tidak merasa berutang.” Ia tak mau kalah dengan ancaman Abelia.

Abelia menelan ludah mendengar perkataan pria di sampingnya itu. “Only in your dream! Saya tidak akan tinggal bersamamu,” desis Abelia.

“Kalau begitu—”

“Okay, stop!” Abelia meninggikan suaranya, kemudian mengembuskan napas perlahan. “Saya tahu saya tidak punya pilihan lain selain tinggal di apartemen ini.”

Arsya yang sempat tersentak karena nada suara Abelia yang meninggi tadi, kini tersenyum menang. “Good girl,” komentarnya sambil menyilangkan lengan di dada, masih mengulum senyum.

Sementara Abelia melemparkan pandangan mencibir pada pria super menyebalkan yang duduk di dekatnya itu. Rasanya memang begitulah seninya menjadi orang kaya. Menggunakan uang untuk mendapatkan apa pun yang diinginkan, hanya tinggal pintar memainkan kata atau membuat jebakan. Abelia ikut menyilangkan lengannya di dada. Mereka saling berdiam diri untuk beberapa lama.

“Kamu sudah makan malam?” tanya Arsya.

Abelia hanya mengangguk, tak mengubah posisi duduknya.

“Saya belum.”

Saya tidak peduli, sahut Abelia dalam hati.

“Kita pesan delivery, ya. Kita makan malam bersama. Kalau kamu sudah makan, kamu tetap saya minta untuk menemani saya makan,” ujar Arsya seraya menatap layar ponselnya.

Wanita di sampingnya tak menyahut. Abelia memilih untuk tak membantah. Selama Arsya sibuk memilih menu delivery, ia pun kembali membuka laptopnya ingin mencari informasi seputar UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) yang dengan mudah bisa dilakukan di rumah. Abelia tak menyadari bahwa Arsya sudah selesai memesan menu delivery dan kini tengah memperhatikan apa yang ia lakukan.

“Laptop dan ponsel kamu sudah terlihat sangat usang,” komentar pria itu.

Abelia mengerutkan kening. Kata-kata Arsya terdengar seperti penghinaan di telinganya. Ia menatap raut wajah pria itu sejenak. Bagaimana bisa Arsya melontarkan komentar yang tak enak itu tanpa merasa bersalah? Ia kemudian menyipitkan mata, sudah mengetahui ke mana arah pembicaraan Arsya.

“Jangan bilang kamu mau membelikan saya laptop dan ponsel baru?” tebak Abelia.

Arsya mengangguk. “Kamu benar. Besok akan saya belikan dan kamu tidak boleh menolak.”

Kembali Abelia tak menyahut. Ia hanya menghela napas dan melanjutkan kegiatannya. Tak berapa lama makanan delivery pesanan Arsya sudah datang. Abelia yang tadinya sudah makan malam, melihat lezatnya makanan yang tersaji kembali menjadi lapar. Ia pun makan bersama Arsya. Sungguh semua hal bisa ditolaknya kecuali makanan. Arsya hanya tersenyum memandangi Abelia yang terlihat lahap mengunyah makanannya.

Setelah menyelesaikan hidangan, Arsya membuang sisa makanan mereka dan merapikan meja. Sementara Abelia hanya duduk bersandar sambil meminum jus mangga kesukaannya. Ia hanya menoleh sekilas melihat Arsya yang kembali duduk di sampingnya, dengan jarak yang lebih dekat.

“Abelia,” panggil Arsya pelan.

Abelia hanya menaikkan alisnya sebagai jawaban.

“Maafkan saya kalau ada hal-hal yang membuatmu tidak nyaman atau perkataan saya yang mengganggumu tadi.” Arsya terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Saya tidak bermaksud apa-apa. Hanya saja saya memang ingin mengenalmu lebih jauh.”

Kali ini Abelia menoleh.

“Kamu tidak perlu khawatir. Saya tidak akan menyentuhmu melebihi kesepakatan kita. Silakan kamu ingatkan saya atau marah ketika saya melakukan hal-hal yang tidak seharusnya,” tutur Arsya.

Perlahan Abelia mengangguk. Ucapan Arsya yang terdengar tulus itu sedikit menenangkannya. Ia pun mengalihkan pandangannya lagi. Sedangkan Arsya masih memandangi wanita di sampingnya. Kenapa Abelia selalu mengingatkannya akan masa kecil? Arsya tak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Ia hanya menatap lekat wajah cantik itu beberapa lama. Sebelum akhirnya ia menyentuh punggung tangan Abelia dan menggenggamnya.

Abelia tersentak, lantas menarik tangannya dari genggaman Arsya.

Kening Arsya berkerut melihat reaksi Abelia. “Bukankah kita boleh berpegangan tangan? Tertulis dalam kontrak.”

Abelia hanya mengangguk gugup dan menoleh sekilas pada Arsya. Setelahnya Abelia kembali memalingkan wajah. Ia lalu memegangi keningnya. Seketika suatu rekaman peristiwa di masa kecilnya terputar kembali di kepalanya, membuat jantungnya berdebar tak menentu. Ia kemudian memeluk dirinya sendiri menahan gigil. Arsya semakin heran melihat wajah Abelia yang pucat, tak mengerti apa yang sedang terjadi pada wanita itu.

“Are you okay, Abelia?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status