Home / Romansa / MELODI ABELIA / 10. Mengubah Kontrak

Share

10. Mengubah Kontrak

last update Last Updated: 2021-06-30 05:11:24

Jalanan ibu kota tak terlalu padat di akhir pekan. Arsya melajukan mobilnya dengan kecepatan lumayan tinggi, namun tak terburu-buru. Kami sama-sama mengenakan pakaian kasual hari ini. Meski berpakaian kasual, Arsya tetap terlihat seperti orang berada. Aku memandangi wajah pria di sampingku itu. Walaupun dia menyebalkan, aku harus mengakui bahwa dia memang sangat tampan.

“Kenapa menatap saya seperti itu?” tanya Arsya tanpa menoleh.

Aku berdehem. “Tidak. Saya hanya ingin memastikan bahwa kamu memang orang yang dapat dipercaya. Tentang kontrak perjanjian kita, saya harap kamu tidak melanggarnya."

Arsya tersenyum. “Tenang saja. Saya adalah orang yang bisa dipercaya, makanya saya bisa menjadi direktur di usia muda."

“Kamu terlalu jemawa," cibirku. “Semuanya akan lebih mudah kalau saat itu kamu hanya meminjamkan uang pada saya, tanpa meminta saya menandatangani kontrak menyebalkan itu."

“Saya sudah bilang kalau saya hanya meminjamkan uang padamu, maka tidak ada keuntungannya bagi saya. Lagi pula, saya ingin mengenalmu lebih jauh.” Arsya menoleh sekilas padaku, lalu fokus kembali menatap jalanan di depannya.

Benar-benar pria aneh, sungutku dalam hati.

Sesampainya di mall, aku dan Arsya menonton film di bioskop terlebih dahulu. Setelahnya, Arsya mengajakku ke beberapa outlet fashion eksklusif. Dia membelikan pakaian dan barang fashion lainnya dengan harga yang cukup fantastis bagiku. Kalaupun misalnya aku menjadi orang kaya, kurasa aku akan berpikir ulang untuk membeli barang-barang semahal itu.

Namun Arsya tetap membelikannya untukku, meski aku berusaha menolak. Karena malas berdebat, maka kuterima saja. Rasanya aku ingin mengubah kontrak, terutama poin ketentuan darinya tentang pemberian hadiah. Benar-benar menyebalkan kalau aku harus menerima semua pemberiannya karena terikat akan ketentuan itu.

Aku menghela napas ketika memasuki outlet ke sekian. Saat aku dan Arsya sedang memilih blazer, aku melihat ada dua orang pengunjung wanita memperhatikan kami.

“Ceweknya cantik, tapi tidak kelihatan berkelas seperti cowoknya,” komentar salah seorang di antara mereka.

Sudah jelas komentar itu ditujukan untukku karena tak ada orang lain selain kami di dekat situ. Namun aku pura-pura tak mendengar.

“Sepertinya bukan istri atau pacar,” sahut pengunjung wanita yang satu lagi.

“Terus apa? Simpanan?”

Mereka lalu tertawa terbahak. Mendengar itu, aku tak bisa menahan langkahku untuk menghampiri mereka.

“Maksud kalian apa membicarakan saya seperti itu?” tanyaku membuat kedua wanita itu tersentak.

“Dengar, ya. Saya bukan simpanan! Dia single, saya single. Tidak ada yang salah jika kami menjalin hubungan meski kami berbeda kelas sosial.” Aku mengatur nada bicaraku namun menekankan setiap kata yang kuucapkan.

Mereka baru saja akan membuka mulut, ketika aku bersuara lagi. “Dan kalaupun saya seorang simpanan, apa hak dan urusan kalian membicarakan saya?!”

“Maaf, Mbak.” Mereka berkata serempak dengan wajah pucat.

“Ada apa, Abelia?” tanya Arsya yang kini sudah berdiri di sampingku lagi.

Aku hanya menoleh sekilas padanya, lantas berbalik. “Saya mau pulang, Arsya,” ucapku seraya bergegas beranjak meninggalkan outlet. Tak kupedulikan Arsya yang memanggilku.

“Saya tidak tahu bahwa kamu adalah orang yang temperamental,” komentar Arsya ketika kami sudah berada di dalam mobil.

Keningku berkerut mendengarnya. Sesaat kemudian aku menyadari bahwa yang dia maksud adalah tindakanku menghampiri dua pengunjung wanita yang menggunjingku tadi.

“Temperamental?" Aku tertawa kecil." Saya membela diri malah kamu tuding temperamental!”

Arsya tak menyahut. Ia lalu menyodorkan sebotol air mineral padaku dan aku meneguknya hingga setengah botol. Ternyata aku haus. Atau karena masih diliputi kekesalan? Kuletakkan botol air mineral itu kembali. Arsya masih mengunci mulutnya. Keheningan menguasai kami untuk beberapa saat.

“Kamu orang pertama yang membuat saya menyusul langkah seorang wanita dan memanggil namanya sambil membawa paper bag berisi belanjaan,” ujar Arsya kemudian, masih tak menoleh.

Ada raut ketidaksukaan di wajahnya. Apa dia merasa kesal akan hal itu? Tapi aku tidak seharusnya merasa bersalah, bukan?

“Maaf,” ucapku memandang lurus ke depan. “Tapi kalau kamu tidak mau melakukannya, seharusnya tidak usah kamu lakukan.”

“Kamu juga orang pertama yang tidak menghargai saya dengan berbicara seperti itu.”

Aku menoleh. “Saya kan sudah bilang maaf. Sebaiknya kita memang tidak usah berbelanja saja tadi!”

“Dan kamu adalah orang pertama yang berani mengomeli saya seperti itu,” sahut Arsya lagi. “Mama saya bahkan tak pernah melakukannya.”

Aku menghela napas kasar. “Sepertinya saya adalah orang pertama yang membuat harimu jadi buruk.”

“Sepertinya begitu.” Arsya menaikkan alisnya, menyetujui ucapanku.

“Kalau begitu kamu pulang saja. Turunkan saya di sini, saya bisa pulang sendiri,” sungutku.

Arsya menatapku dan menggeleng. “Saya akan singgah ke apartemenmu dan kamu harus membuat suasana hati saya jadi baik lagi.”

“Apa maksudmu?” tanyaku.

Kembali Arsya tak menyahut. Dan aku pun memilih untuk tak peduli. Kupalingkan wajahku ke arah jendela, menatap hampa ke tepi jalan. Pikiran tentang pengubahan kontrak itu melintas lagi di kepalaku. Kuputuskan untuk mengatakannya pada Arsya nanti.

Sesampainya di apartemen, aku ingin segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun dari sudut mata kulihat Arsya mengikuti langkahku. Alarm di kepalaku menyala dan jantungku berdegup. Ketika aku berbalik, Arsya sudah berada di hadapanku. Aku mundur hingga bersandar pada lemari. Arsya melangkah mendekat dan meletakkan sebelah lengannya di atas kepalaku. Ia menatapku lekat.

“What are you doing, Arsya?” Aku menahan tubuhnya. “Jangan macam-macam!”

Arsya tak menjawab. Ia memandangi wajahku beberapa lama, lalu tersenyum.

“Saya akan memasak untukmu,” ucapnya seraya menjauhkan tubuhnya, membuatku mengembuskan napas lega.

Ia lalu berjalan ke arah lemari pendingin dan mengambil sekotak kemasan spaghetti instant. Ketika kulihat ia sibuk di dapur dan kupastikan ia tak berniat melakukan hal buruk padaku, aku bergegas mandi dan berganti baju. Begitu selesai, kulihat dua porsi spaghetti telah terhidang di atas meja makan kecil dekat dapur. Kami lalu duduk berseberangan. Aku mengangguk ketika ia menyuruhku menghabiskan makananku. Aku sudah merasa lapar lagi. Padahal tadi sebelum menonton film dan berbelanja, kami sudah makan siang.

“Saya tidak tahu kalau kamu bisa memasak,” komentarku. Spaghetti yang dihidangkannya terasa lezat di lidahku.

“Hanya bisa memasak masakan western yang mudah,” jawabnya.

Selanjutnya kami tak saling bicara. Hanya terdengar suara denting peralatan makan. Usai menikmati hidangan, kami beranjak ke sofa untuk menonton TV. Entah kenapa aku tak menikmati acara-acara yang ditayangkan, meski sudah memindah saluran beberapa kali. Aku menoleh pada Arsya. Ia pun hanya menatap kosong pada layar datar itu. Keheningan kembali menguasai kami. Sungguh, kami terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Aku terkekeh dalam hati.

“Arsya, saya ingin mengubah kontrak.” Suaraku memecah keheningan. Setelah ragu sesaat, akhirnya kusampaikan juga keinginan yang sejak tadi memenuhi kepalaku.

Kening Arsya berkerut. “Untuk apa?”

“Lebih tepatnya menghapus poin kedua persyaratan darimu,” ujarku.

Arsya menggeleng dan kembali mengalihkan pandangannya ke layar TV.

Aku berdecak. “Tapi saya tidak mau terus-terusan menerima pemberianmu. Saya merasa tak enak hati. Apalagi barang-barang yang kamu belikan harganya sangat mahal.”

“Arsya!” Tanpa sadar aku memegang lengannya karena ia tak kunjung menyahut. Namun aku segera menarik tanganku lagi.

Ia menghela napas. “Kamu hanya boleh mengubah sedikit, tidak boleh menghapus poin itu.”

Terdengar lebih baik daripada tidak diperbolehkan sama sekali. Aku pun mengangguk dan bergegas membuka laptop untuk mencari file kontrak. Poin kedua yang semula berbunyi:

Pihak II tidak boleh menolak hadiah ataupun pemberian berupa materi lainnya dari pihak I, kecuali uang.

Kutambahkan menjadi:

Pihak II tidak boleh menolak hadiah ataupun pemberian berupa materi lainnya dari pihak I, kecuali uang dan pemberian dengan nominal harga yang sangat mahal.

Setelah menyetujui perubahan pada poin itu, Arsya ingin menambahkan satu poin lagi dalam ketentuannya. Kami sempat berdebat namun akhirnya menemukan kesepakatan. Ketentuan dari Arsya ditambahkan satu poin lagi yang berbunyi:

Pihak I diperbolehkan untuk menemui Pihak II setiap hari dengan waktu berkunjung tidak lebih dari pukul 11 malam.

Usai mengetik perubahan kontrak, aku pun mencetaknya untuk kami tanda tangani. Setelahnya, Arsya tak juga pulang. Apakah dia benar-benar ingin menghabiskan waktu bersamaku seharian hingga pukul 11 malam nanti? Mataku sudah sangat mengantuk, namun aku tak berani tidur. Tentu saja aku belum bisa memercayai Arsya sepenuhnya. Pria di sampingku itu tersenyum memandangiku yang menguap berkali-kali. Sampai kemudian ia berpamitan karena ada urusan mendadak, aku benar-benar merasa lega. Setelah ia berlalu, aku segera merebahkan diri di ranjang dan terlelap.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MELODI ABELIA   From Author

    Hello, MELODI ABELIA readers! Thank you so much for reading love story of Abelia and Arsya. Hope you like it. Cerita ini memang bukan tema populer, tapi aku menyukainya. Tema novel ini memang sedikit dark dengan mengangkat isu kesehatan mental dan konflik keluarga yang pelik. Di sini hampir setiap tokohnya melakukan kesalahan, tidak ada yang sempurna. Masing-masing memiliki sisi baik dan buruk, juga memiliki keterikatan dengan masa lalu. Masing-masing tokoh juga mengalami perkembangan karakter.Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari novel ini, semoga kamu bisa mengambil pelajaran di dalamnya, ya. Semoga juga bisa menjadi bacaan yang menghibur dan berkesan. That's it. Thank you and see you. With Love,Author Remahan Croissant NOTE: JANGAN MENJIPLAK KARYA INI SEBAGIAN ATAUPUN SELURUHNYA. SANK

  • MELODI ABELIA   50. The Eternal Love

    Sekian tahun berlalu. Abelia terbangun di pagi hari karena sinar mentari yang mengintip dari sela tirai jendela kaca. Segera ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya, ia melihat kalender. Ia tak akan pernah lupa pada tanggal itu. Hari ulang tahun Arsya, pria yang sangat dan akan selalu ia cintai. Perlahan Abelia menghela napas. Sambil menyunggingkan senyum, ia beranjak ke kamar anaknya. Putranya yang bernama Abizhar, berumur 5 tahun. Putrinya yang bernama Aubrie, berumur 3 tahun. Abelia segera membangunkan mereka untuk mandi dan bersiap-siap. Karena mereka sulit sekali dibangunkan, Abelia menciumi pipi mereka hingga terbangun. "Ayo, bangun. Hari ini ulang tahun papa," ucap Abelia. Abizhar dan Aubrie segera bangkit dari ranjang mungil mereka masing-masing. "Oh, ya. Hari ini ulang tahun papa!" seru mereka. "Apakah kita akan menemui papa hari ini, Ma?" tanya Abizhar. "Tentu saja, Sayang. Makanya mandi, biar cepat bertemu papa." Abelia tersenyum. "Ayo, mandi, M

  • MELODI ABELIA   49. For The Love of Abelia

    Penantian Arsya berakhir sudah. Hari bahagianya bersama Abelia yang sempat tertunda kini telah terwujud. Sebuah hari bahagia di mana ia dan sang kekasih akhirnya mengucap ikrar suci dan janji untuk saling setia dalam ikatan pernikahan. Mereka mengikuti semua prosesi pernikahan yang sakral dalam suasana syahdu. Para tamu yang hadir pun ikut terlarut. Ijab kabul dan prosesi adat telah selesai dilakukan. Sekarang saatnya mereka bersanding di pelaminan mengebakan sepasang gaun pengantin hasil rancangan desainer ternama. Arsya terlihat semakin tampan dalam balutan tuxedo berwarna putih, sedangkan Abelia mengenakan gaun panjang sederhana berwarna putih yang terlihat mewah dengan taburan payet di bagian dada. Para tamu mengagumi keelokan penampilan mereka. Ditambah dengan dekorasi pernikahan yang didominasi dengan warna putih semakin membuat suasana pesta pernikahan itu begitu agung. Arsya menoleh pada Abelia, wanita yang sudah sah menjadi istrinya. Keel

  • MELODI ABELIA   48. Penantian Arsya

    Kebekuan melingkupi Abelia dan Arsya sepanjang perjalanan. Setibanya di apartemen Abelia pun mereka masih saling berdiam diri tanpa sepatah kata terucap. Sambil menahan air mata, Abelia menatap Arsya. Mereka saling menatap dalam diam dengan pandangan yang redup. Suasana yang dingin pun tercipta. Semua kebahagiaan yang terjadi pada mereka belakangan ini seolah lenyap begitu saja. Abelia merasa dia harus kembali mengulang masa-masa sakit, tetapi kali ini lebih perih. Masa lalu yang kelam kembali datang menghampiri. Membuat luka yang sudah hampir sembuh kini menganga kembali. "Arsya," panggil Abelia pelan. "Lebih baik kita akhiri hubungan ini." Perlahan Abelia melepaskan cincin tunangan yang melekat di jari manisnya. Melihat itu, Arsya menahannya dan menggeleng. "Aku tidak mau, Abelia." "Lalu maumu bagaimana? Tetap menjalani hubungan sampai ke pernikahan setelah semua fakta itu?" cecar Abelia. Sejenak Arsya terdiam, lantas mengangguk. "Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan seora

  • MELODI ABELIA   47. Misery

    Suasana bahagia masih meliputi hati Abelia dan Arsya sejak hari pertunangan mereka kemarin. Mereka tak bisa menyembunyikan kelegaan akan hubungan mereka yang sudah masuk ke jenjang yang lebih serius. Kedua pihak keluarga juga sudah membicarakan persiapan pernikahan mereka yang rencananya akan dilaksanakan dalam beberapa bulan ke depan. Hanya tinggal selangkah lagi untuk benar-benar saling memiliki.Kini Abelia bisa sedikit lebih fokus pada outlet barunya yang sudah dibuka dan beroperasi. Ia sudah mempekerjakan beberapa orang karyawan yang didapatnya dari rekomendasi supplier produk jualannya. Hari-hari yang sibuk akan segera dimulai. Abelia harus membagi waktu antara mengurusi bisnis dan mempersiapkan pernikahan.Namun, Abelia tak merasakan masalah berarti karena ada Arsya yang selalu mendukungnya. Hari itu Arsya menemani Abelia mengunjungi outlet-nya yang dinamakan Abelia Mode. Selain menjual kain, Abelia juga berencana untuk memproduksi pakaian berbahan d

  • MELODI ABELIA   46. Engagement and Something

    Hari pertunangan Abelia dan Arsya secara resmi tengah berlangsung. Mereka memilih tema garden party sebagai dekorasi. Lantunan musik romantis terdengar dari sebuah band akustik yang berada di salah satu sudut taman. Nada dan melodi yang merdu itu seakan membuat para tamu terhanyut dalam kesyahduan. Keluarga dari kedua belah pihak telah datang. Abelia datang hanya bersama keluarga intinya yang sempat menginap semalam di hotel. Sementara dari pihak keluarga Arsya tidak hanya dihadiri oleh keluarga inti, tetapi juga kerabat dekat termasuk Derry dan Delisha. Semua tamu tampak menikmati suasana pesta yang hangat itu. Arsya dan Abelia berdiri berdampingan di depan sebuah dekorasi hiasan bunga bertuliskan inisial nama keduanya. Mereka mengobrol dengan para kerabat yang sebaya. Setelah para kerabat itu berlalu, Delisha berjalan mendekati Arsya dan Abelia yang tampak sibuk bercanda satu sama lain. Melihat itu, Dikta menyusul karena merasa khawatir Delisha akan membuat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status