Hyang Yuda yang baru saja memfokuskan pandangannya ke arah perang di hadapannya, kini justru perang di hadapannya itu perlahan mulai usai. Kelelahan yang teramat sangat dan titik kemenangan yang tidak terlihat di antara kedua belah pihak, membuat dua pihak yang berperang memutuskan untuk mundur di saat yang bersamaan.
“Sial. . .” umpat Hyang Marana dengan kesal secara tiba – tiba.
Umpatan Hyang Marana itu berhasil membuat Hyang Tarangga yang fokus dengan pekerjaannya mengalihkan perhatiannya sejenak. “Ada apa, Hyang Marana?” tanya Hyang Tarangga.
“Hyang Yuda. . .” teriak Hyang Marana masih dengan rasa kesalnya. “Karena rasa bosanmu, apa kamu tidak melihat dua Durbiksa(1) yang baru saja melarikan diri?”
(1)Durbiksa dalam bahasa sansekerta berarti iblis.
Hyang Marana berteriak dan membentak Hyang Yuda dengan penuh amarah sembari menunjuk ke arah dua durbiksa yang baru saja melarikan diri dari lokasi perang.
Hyang Yuda yang sempat mengalihkan pandangannya dan tidak fokus melihat jalannya perang, tidak menyadari jika ada dua Durbiksa yang baru saja melarikan diri. Tanpa diperintah, Hyang Yuda segera melayang di udara dan mulai memburu dua Durbiksa yang baru saja melarikan diri, meninggalkan Hyang Tarangga dan Hyang Marana yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
Semua Hyang yang tinggal di Amaraloka(2) memiliki beberapa kemampuan yang sama seperti membuat bayangan karena beberapa tugasnya yang tersebar di seluruh Janaloka, kemampuan ini dinamakan Pratiwimba(3). Kemampuan kedua yang dimiliki oleh semua Hyang adalah melayang di udara dengan kecepatan kasat mata hingga dalam sehari waktu manusia, Hyang bisa memutari Janaloka hingga jutaan kali. Kemampuan ini disebut dengan Gaganacara(4).
(2)Amaraloka dalam bahasa sansekerta memiliki arti Surga.
(3)Pratiwimba adalah kemampuan yang dimiliki oleh semua Hyang yang tinggal di Amaraloka karena banyaknya pekerjaan yang mengharuskan para Hyang berada di beberapa tempat dalam waktu yang bersamaan. Pratiwimba dalam bahasa Jawa Kuno berarti bayangan.
(4) Gaganacara adalah kemampuan semua Hyang yang tinggal di Amaraoka untuk melayang dan bergerak cepat.. Gaganacara dalam bahasa Jawa Kuno berarti melayang.
Dengan menggunakan kemampuan khusus yang dimilikinya yakni Wulung Caksu(5), Hyang Yuda mulai melacak keberadaan dua Durbiksa yang sedang melarikan diri. Sembari melayang di udara, Hyang Yuda melihat dua Durbiksa yang sedang dikejarnya memilih berpencar ke dua arah yang berbeda. Hyang Yuda yang saat ini sudah membuat bayangan hingga sembilan buah, kini terpaksa membuat satu bayangan dirinya lagi untuk mengejar Durbiksa yang melarikan diri ke arah yang berlawanan.
(5)Wulung Caksu dalam bahasa Jawa Kuno memiliki arti mata elang. Wulung berarti Elang dan Caksu berarti mata. Kemampuan khusus yang hanya dimiliki Hyang Yuda yang bertugas sebagai Dewa Perang.
Sial. . . dua durbiksa ini menyusahkan sekali.
Dari dalam pikirannya, Hyang Yuda mendengar suara Hyang Tarangga yang sedang berbicara dengannya menggunakan saluran komunikasi khusus para Hyang.
[Apa kamu butuh bantuan, Hyang Yuda?]
Hyang Tarangga bertanya dengan suara yang terdengar penuh kecemasan.
“Tidak. . . aku sudah membuat satu Pratiwimba untuk mengejar satu Durbiksa yang melarikan diri. . .” jawab Hyang Yuda.
[Kamu yakin, Hyang Yuda?]
“Aku sangat yakin. . . aku pasti bisa menangkapnya dan membawanya ke hadapan Niraya Dorapala(6),” jawab Hyang Yuda dengan sangat yakin.
(6)Niraya Dorapala berarti penjaga gerbang Neraka. Niraya yang dalam bahasa sansekerta berarti Neraka dan Dorapala yang dalam bahasa Sansekerta berarti penjaga gerbang.
[Baiklah kalau begitu. . . Kuharap kamu tidak berlama – lama, Hyang Yuda. . .]
Hyang Yuda memutus saluran komunikasinya dengan Hyang Tarangga dan mulai memfokuskan pikiran dan pandangannya ke arah Durbiksa yang sedang melarikan diri di hadapannya.
“Jangan harap, bisa melarikan diri dariku, Durbiksa. . .” gumam Hyang Yuda merasa kesal.
Dengan menggunakan Wulung Caksu miliknya, tidak butuh waktu lama bagi Hyang Yuda untuk menemukan satu dari dua Durbiksa yang melarikan diri. Hyang Yuda memanggil senjata pusakanya yang bernama Mahakandaga(7) dan dengan secepat kilat, senjatanya yang disimpan di gudang Amaraloka kini sudah berada di tangan kanannya.
(7) Mahakandaga adalah satu dari beberapa senjata pusaka milik Hyang Yuda. Maha yang berarti besar dalam bahasa sansekerta dan Kandaga yang berarti pedang dalam bahasa Jawa Kuno. Mahakandaga berupa pedang besar dan berat yang memilik bagian emas di gagangnya.
“Berhenti. . . .”
Hyang Yuda berteriak ke arah Durbiksa yang kini sudah berada di hadapannya dan membuat angin bertiup kencang ketika suara dari teriakannya yang kencang menggelegar.
Durbiksa yang sudah sangat ketakutan itu berbalik dan berusaha memberi perlawanan kecil kepada Hyang Yuda.
“Ikut aku dengan tenang maka kamu akan sampai di Nirayaloka tanpa luka sedikitpun.”
Hyang Yuda memberi peringatan kepada Durbiksa di hadapannya. Namun, bukannya mengikuti saran yang diberikan oleh Hyang Yuda, Durbiksa di hadapannya justru mengeluarkan sebuah pedang iblis miliknya dan berlari maju ke arah Hyang Yuda dengan niat melukai Hyang Yuda.
Melihat dirinya yang hendak diserang oleh Durbiksa, Hyang Yuda mengangkat Mahakandaga di tangan kanannya. Pedang besar dengan bagian emas di gagangnya itu terlihat bersinar di bawah sinar matahari membuat Durbiksa yang berlari ke arah Hyang Yuda kini kesulitan untuk melihat. Durbiksa mengayunkan pedang miliknya yang mengeluarkan aura hitam khas milik iblis dengan tujuan memenggal kepala Hyang Yuda.
Namun ayunan pedang itu gagal memenggal kepala Hyang Yuda karena Durbiksa tidak bisa melihat dengan jelas akibat cahaya yang dikeluarkan oleh gagang Mahakandaga milik Hyang Yuda. Dengan mudah, Hyang Yuda menghindari serangan Durbiksa hanya dengan mundur satu langkah saja.
Hyang Yuda tersenyum melihat usaha Durbiksa di hadapannya dan berkata, “Aku tidak tahu apakah tindakanmu ini bisa disebut dengan keberanian atau justru sebuah kecerobohan? Tapi, saat aku tadi bilang ikut aku dengan tenang, harusnya kamu mengikuti ucapanku. . .”
Mendengar peringatan Hyang Yuda, Durbiksa di hadapannya gemetar ketakutan. Getaran terlihat di genggaman tangan Durbiksa pada pedangnya.
Melihat lawannya yang ketakutan, Hyang Yuda melangkah maju dan mengayunkan Mahakandaga miliknya. Hembusan angin berubah kencang ketika Mahakandaga diayunkan oleh Hyang Yuda. Mahakandaga dengan cepat telah memotong dua kaki Durbiksa di hadapan Hyang Yuda. Kini Durbiksa di hadapan Hyang Yuda hanya bisa berteriak kesakitan dengan berlumuran darah dan tak lagi bisa berdiri.
Hyang Yuda kemudian memanggil satu senjata pusakanya lagi dari dalam gudang senjata Amaraloka.
“Sangkar kausala(8). . .”
(8) Sangkar Kausala merupakan salah satu pusaka milik Hyang Yuda yang berfungsi untuk memenjarakan terutama Durbiksa dan sebangsanya.
Dengan cepat, sebuah sangkar emas kini sudah berada di telapak tangan kiri Hyang Yuda. Hyang Yuda tersenyum melihat Durbiksa yang kini sudah tidak berdaya di hadapannya.
“Harusnya kamu menuruti saran yang aku berikan sejak awal. . .”
Setelah menyelesaikan ucapannya, Hyang Yuda kemudian melemparkan sangkar kausala di tangan kirinya ke arah Durbiksa yang tidak berdaya di hadapannya. Sangkar kausala yang tadinya berukuran kecil tiba – tiba membesar dan mengurung Durbiksa di depan Hyang Yuda.
Sangkar kausala kemudian bertanya kepada Tuannya, Hyang Yuda, “Mau dikirim ke mana, Tuanku?”
Hyang Yuda tersenyum mendengar suara Sangkar kausala yang sudah lama tidak berbicara dengannya. “Seperti biasanya, kirim Durbiksa ini ke Niraya Dorapala. Dorapala pasti sangat senang sekali menerima hadiah ini, karena sudah lama tidak kedatangan tamu.”
“Baik, Tuan. . .”
Sangkar kausala kemudian menghilang bersama dengan Durbiksa yang berada di dalam kurungannya.
Hyang Yuda kemudian mencari posisi Pratiwimba miliknya menggunakan wulung caksu dan tidak lama kemudian Hyang Yuda tersenyum karena sudah menemukan posisi bayangannya yang sedang mengejar satu Durbiksa yang tadi melarikan diri ke arah lain. Dengan menggunakan Gaganacara dengan kecepatan penuh, dalam sekejap mata Hyang Yuda sudah tiba di lokasi yang sama dengan Pratiwimba miliknya.
Pratiwimba milik Hyang Yuda segera menghilang ketika Hyang Yuda berada di tempat yang sama. Pandangannya kini beralih ke arah Durbiksa yang sedang berdiri menatapnya dengan tajam.
“Sepertinya Durbiksa yang satu ini lebih menyulitkan dari yang tadi. . .” gumam Hyang Yuda melihat tatapan tajam dari durbiksa terakhir yang dikejarnya.
Hyang Yuda memegang erat Mahakandaga miliknya yang masih digenggamnya di tangan kanannya.
“Aku memberi saran padamu, Durbiksa. Ikut aku dengan baik – baik ke Nirayaloka maka kamu akan tiba di Nirayaloka dalam keadaan utuh. . .”
Bukannya membalas kebaikan hati dari Hyang Yuda, Durbiksa di hadapan Hyang Yuda justru meludah ke arahnya.
“Cih. . .”
Mendapat perlakuan tidak hormat dari Durbiksa, harga diri Hyang Yuda sebagai Dewa Perang yang Agung dari Amaraloka tidak terima. Tanpa memberi aba – aba sedikit pun, Hyang Yuda mengayunkan Mahakandaga miliknya dengan cepat. Pedang besar dengan gagang emas itu kemudian berayun dan memotong lengan Durbiksa yang memegang pedang.
Pedang milik Durbisa terjatuh bersamaan dengan lengannya yang teputus. Darah hitam mengalir dari tubuh Durbiksa disertai teriakan kesakitan dari Durbiksa.
“Aku sudah memberimu sedikit kebaikan hati dariku, tapi kamu justru meludahinya dan tidak menghargai kebaikan hati Dewa Perang. Inilah hasil dari perbuatan, Durbiksa.”
Durbiksa yang merasakan kesakitan karena satu lengannya yang terputus, bukannya berlutut dan meminta ampun pada Hyang Yuda. Durbiksa itu justru menyerang Hyang Yuda dengan senjata kecil yang disembunyikannya di balik jubah hitamnya. Senjata yang seukuran dengan belati kecil itu melukai lengan Hyang Yuda dan membuat Hyang Yuda semakin murka.
“Dasar tidak tahu diri. . .” teriak Hyang Yuda penuh dengan amarah.
Hyang Yuda mengayunkan Mahakandaga miliknya lagi, kali ini dengan kecepatan yang berbeda dengan sebelumnya. Hyang Yuda bergerak dengan cepat dan berniat memotong semua bagian tubuh dari Durbiksa yang bisa membuatnya bergerak.
Mahakandaga di tangan Hyang Yuda menebas satu lengan tersisa dari Durbiksa yang sempat melukai tubuh Hyang Yuda. Tidak berhenti di situ saja, Hyang Yuda kemudian mengayunkan Mahakandaga miliknya dan menebas dua kaki dari Durbiksa di depannya.
Kini. . . Durbiksa di hadapannya hanya bisa merasakan sakit di seluruh tubuhnya dengan darah hitam yang terus mengucur dan tidak bisa memberikan lagi perlawanan kepada Hyang Yuda.
Hyang Yuda kemudian memanggil Sangkar Kausala miliknya untuk kedua kalinya.
“Sangkar Kausala. . .” panggil Hyang Yuda.
Sangkar Kausalah muncul di tangan kirinya dengan ukuran kecil dan bertanya kepada Hyang Yuda, “Ada lagi yang harus saya kirim Tuanku, Hyang Yuda?”
Hyang Yuda melirik ke arah Durbiksa di hadapannya yang sudah tidak bisa memberikan perlawanan dan dalam kondisi yang sedikit mengenaskan.
“Kali ini lebih parah dari sebelumnya. . .” jelas Hyang Yuda. “Maaf, membuatmu kotor Sangkar Kausala. . . setelah ini, aku janji akan membersihkanmu.”
“Demi Tuanku, Sangkar kecil ini tidak merasa keberatan sedikit kotor. . .”
Hyang Yuda tersenyum mendengar jawaban yang diberikan Sangkar Kausala dan kemudian melemparkan Sangkar Kausala ke arah Durbiksa yang masih mengerang kesakitan. Begitu dilempar, Sangkar Kausala segera membesar dan mengurung Durbiksa di dalamnya. Dalam sekejap mata, Sangkar Kausala menghilang dan pergi mengantarkan Durbiksa ke Niraya Dorapala.
Hyang Yuda mengayunkan lagi Mahakandaga di tangan kanannya dan membuat darah yang menempel di pedang besar miliknya jatuh ke tanah. Ayunan kencang itu membuat hembusan angin kencang seperti sebuah pisau angin yang tak kasat mata.
Sepertinya. . . aku mengayunkan Mahakandaga terlalu kencang. .
Hyang Yuda hendak melayang pergi untuk menemui Hyang Tarangga dan Hyang Marana karena tugas mereka yang masih belum selesai. Namun langkah Hyang Yuda terhenti ketika mendengar sebuah teriakan yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
“Tolong. . . siapapun tolong aku. . .”
Hyang Yuda menghentikan langkahnya yang hendak melayang pergi dan memastikan lagi pendengarannya yang mendengar suara teriakan seorang gadis manusia dari tempatnya berada.“Kumohon. . . siapapun tolong aku. . .”Teriakan itu terdengar lagi oleh Hyang Yuda untuk kedua kalinya.Haruskah aku menolongnya?Hyang Yuda bertanya dalam pikirannya sendiri.Tidak. . . itu tidak perlu. Pasti akan ada manusia yang lewat yang akan menolongnya.Hyang Yuda menjawab sendiri pertanyaan yang baru saja ditanyakannya kepada dirinya sendiri.Untuk meyakinkan dirinya sendiri, Hyang Yuda menunggu selama beberapa waktu untuk memastikan bahwa akan ada manusia yang lewat dan memberikan pertolongan kepada gadis manusia itu. Namun setelah lima kali teriakan permintaan tolong dari gadis itu, Hyang Yuda tidak menemukan satu manusiapun yang lewat yang akan memberikan pertolongan kepada gadis manusia itu. De
Setelah menyelesaikan percakapan mereka, gadis manusia itu mempersilakan Hyang Yuda untuk masuk ke dalam rumahnya yang sederhana. Begitu masuk ke dalam rumah gadis manusia itu, Hyang Yuda benar – benar terkejut melihat bagian dalam dari rumah itu. Rumah itu sedikit lebih baik di bagian dalamnya dari pada yang terlihat dari luar. Ruangan di dalam rumah terasa hangat dan bersih. Beberapa perkakas dan perabotan yang dimiliki gadis itu terawat dengan baik. Meski ukuran rumah tidak besar, tapi Hyang Yuda melihat semua yang dibutuhkan gadis itu ada di dalam rumah itu.“Duduklah di sana, Tuan yang baik hati. . .” Gadis manusia itu menunjuk ke arah kursi besar di sudut ruangan di dekat pintu masuk rumah miliknya. “Tuan bisa menunggu di sana sembari saya memasak makan malam untuk kita berdua.”Hyang Yuda menuruti ucapan gadis manusia itu dan duduk manis di kursi besar yang ada di sudut ruangan itu. Sembari menunggu, Hyang Yuda terkadang
Dinginnya angin malam di Janaloka yang berembus membuat Hyang Yudi yang terbiasa hidup nyaman di Amaraloka sedikit kesulitan untuk tidur. Tapi, bukan hanya itu saja alasan Hyang Yuda tidak bisa memejamkan matanya. Sesuatu di luar sana, di tengah kegelapan malam mengganggu Hyang Yuda yang berniat untuk tidur.Dalam embusan angin malam yang dingin, Hyang Yuda mencium bau darah yang memuakkan dan membuat jijik Hyang Yuda. Awalnya, Hyang Yuda berniat untuk membiarkan hal itu begitu saja. Namun semakin lama, bau darah yang memuakkan itu semakin menusuk indra penciuman Hyang Yuda dan membuat Hyang Yuda semakin terganggu karena perasaan jijiknya. Mau tidak mau, Hyang Yuda akhirnya memilih bangun dan bangkit dari tempatnya berusaha untuk tertidur.Hyang Yuda kemudian membuka pintu rumah gadis manusia itu dan berjalan keluar di tengah gelapnya malam di Janaloka. Sebelum pergi meninggalkan rumah gadis manusia itu, Hyang Yuda memasangAwarana Catra(1) di sekitar
Setelah berusaha memberikan sugesti kepada dirinya sendiri, Hyang Yuda kini mulai bisa menahan rasa mualnya lagi dan fokus mendengarkan saluran komunikasi dengan Amaraloka yang dibukanya. “Hyang Madyapada. . .” panggil Hyang Yuda melalui saluran komunikasi. [Aku di sini. . . apa yang ingin Hyang Yuda tanyakan padaku?] Hyang Madyapada menjawab panggilan dari Hyang Yuda. “Bisakah aku bertanya, apa mungkin Hyang Madyapada mengetahui tentang Nagendra yang sedang memakan banyak manusia di sekitar tempatku berada?” tanya Hyang Yuda. [Tunggu sebentar, biarkan aku melacak lokasi tempat Hyang Yudaberasa saat ini.] Hyang Madyapada dengan kemampuan khusus miliknya mulai melacak lokasi di mana Hyang Yuda berada. Sementara Hyang Madyapada sedang sibuk melacak lokasi, Hyang Tarangga berbicara dalam saluran komunikasinya. [Sejak siang tadi, ke mana saja Hyang Yuda pergi?] “Bisakah Hyang Tarang
Di Amaraloka yang tenang. . .Sangkar Kausala tiba – tiba muncul di tengah – tengah aula Amaraloka dan membuat beberapa beberapa Raksaka(1) yang berjaga terkejut. (1)Raksaka dalam bahasa sansekerta berarti Penjaga.Sangkar kausala yang tiba dengan Nagendra di dalamnya, kemudian berteriak dengan kencang memanggil nama Hyang Marana.“Hyang Marana yang terhormat. . . aku, Sangkar Kausala pusaka dari Hyang Yuda datang mengantarkan hewan peliharaanmu. . .”Teriakan Sangkar Kausala yangbenar – benar kencang berhasil menarik perhatianbeberapa Hyang yang terjaga akhirnya datang ke aula Amaraloka. Dari pintu gerbang Aula Amaraloka terlihat kedatangan Hyang Tarangga, Hyang Baruna, Hyang Byomanthara(2), Hyang Samirana, Hyang Amarabhawana dan terakhir Hyang Marana. (2)Byomanthara dalam bahasa sansekerta berarti
Setelah makan pagi bersama dengan Sasadara, Hyang Yuda kemudian mengucapkan terima kasih kepada Sasadara dan berpamitan pergi. “Jaga dirimu, Sasadara. Seorang gadis tinggal seorang diri di tempat yang jauh dari pemukiman dan dekat dengan hutan. . . itu pasti sangatlah berat,” ucap Hyang Yuda sebelum pergi. Sasadara menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Hidup seorang diri di pinggir hutan akan lebih mudah bagi saya dan juga banyak orang daripada saya harus tinggal di desa dan membuat banyak orang di desa kesusahan.” Hyang Yuda mengerutkan alisnya dan memandang heran ke arah Sasadara, “Apa maksudnya dengan itu?” Sasadara tersenyum melihat ke arah Hyang Yuda, “Jika kita berjodoh dan bertemu lagi, saya akan menceritakan hal ini kepada Tuan. Bagaimana menurut Tuan?” Hyang Yuda tersenyum mendengar ucapan bijak dari Sasarada kepada dirinya. “Baiklah, jika kita berjodoh dan bertemu lagi. . .” jawab Hyang Yuda.
Hyang Tarangga yang baru saja kembali dari tanah Girilaya kini berdiri di depan Hyang Amarabhawana di aula Amaraloka. Dengan menggunakan saluran komunikasi pribadi, Hyang Amarabhawana meminta Hyang Tarangga untuk segera menemuinya ketika tiba di Amaraloka. Dengan menahan rasa mualnya yang belum hilang sejak melihat kondisi Girilaya yang menjadi tempat pesta makan besar Nagendra, Hyang Tarangga menguatkan dirinya berdiri menghadap Hyang Amarabhawana. “Hyang Tarangga. . .” panggil Hyang Amarabhawana ketika melihat kedatangan Hyang Tarangga. “Ya, saya di sini, Hyang Amarabhawana.” “Maafkan ketidaksabaranku karenameminta Hyang Tarangga segera datang menemuiku setelah pekerjaan Hyang Tarangga yang berat pagi ini.” “Tidak, Hyang Amarabhawana. Sudah menjadi tugas saya mencatat semua atma dan manusia di Janaloka,” jawab Hyang Tarangga dengan sopan dan merendah. “Aku meminta Hyang Tarangga datang kemari karena ada se
Setelah memberikan tugas khusus kepada Hyang Yuda, Hyang Amarabhawana kemudian membagi para Hyang menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Hyang Tarangga dan Hyang Byomanthara bertugas menjaga Amaraloka dan memantau situasi dari semua kelompok dari Amaraloka. Jika diperlukan, Hyang Tarangga dan Hyang Byomanthara dapat melancarkan serangan dari Amaraloka untuk membantu kelompok yang terdesak. Kelompok kedua terdiri dari Hyang Manasija dan Hyang Samirana yang bertugas untuk mengatasi kelompok Baluka. Kelompok ketiga terdiri dari Hyang Baruna dan Hyang Warsa yang bertugas untuk mengatasi Rase. Kelompok ketiga terdiri dari Hyang Marana dan Hyang Madyapada yang bertugas mengatasi Saradula dan terakhir Hyang Amarabhawana yang akan seorang diri mengatasi kelompok Nagendra. Sementara itu, Hyang Yuda akan berkeliling ke seluruh Janaloka untuk memberi bantuan kepada setiap kelompok sembari mencari dalang di balik serangan ini.