Setelah menyelesaikan percakapan mereka, gadis manusia itu mempersilakan Hyang Yuda untuk masuk ke dalam rumahnya yang sederhana. Begitu masuk ke dalam rumah gadis manusia itu, Hyang Yuda benar – benar terkejut melihat bagian dalam dari rumah itu. Rumah itu sedikit lebih baik di bagian dalamnya dari pada yang terlihat dari luar. Ruangan di dalam rumah terasa hangat dan bersih. Beberapa perkakas dan perabotan yang dimiliki gadis itu terawat dengan baik. Meski ukuran rumah tidak besar, tapi Hyang Yuda melihat semua yang dibutuhkan gadis itu ada di dalam rumah itu.
“Duduklah di sana, Tuan yang baik hati. . .” Gadis manusia itu menunjuk ke arah kursi besar di sudut ruangan di dekat pintu masuk rumah miliknya. “Tuan bisa menunggu di sana sembari saya memasak makan malam untuk kita berdua.”
Hyang Yuda menuruti ucapan gadis manusia itu dan duduk manis di kursi besar yang ada di sudut ruangan itu. Sembari menunggu, Hyang Yuda terkadang melihat – lihat bagian dari rumah sederhana milik gadis manusia itu. Di rumah itu, ada mesin pemintal yang sederhana juga lengkap dengan mesin jahit pakaian yang sederhana. Selain itu, beberapa tanaman obat dan tumbuhan untuk makanan setiap hari juga ditanam di bagian kebun yang berada di samping rumah gadis manusia itu. Dengan menggunakan Wulung Caksu miliknya, Hyang Yuda melihat setiap bagian dari rumah milik gadis manusia itu.
“Tuan. . .” panggil gadis manusia itu kepada Hyang Yuda yang sedang melihat – lihat bagian dalam rumah.
Hyang Yuda menolehkan kepalanya dan menjawab, “Ya?”
“Makan malamnya sudah siap. . .”
Gadis manusia itu kemudian mengajak Hyang Yuda masuk ke bagian dalam rumahnya dan membawa Hyang Yuda menuju dapur kecil miliknya. Di depannya, Hyang Yuda melihat beberapa makanan telah disiapkan oleh gadis manusia itu untuknya.
“Mungkin ini tidak seenak masakan di rumah Tuan, tapi saya harap Tuan mau memakannya sebagai ucapan terima kasih saya kepada Tuan karena bersedia mengantarkan saya pulang ke rumah. . .”
Hyang Yuda duduk lesehan di depan meja makan kecil di dapur milik gadis manusia sedangkan gadis manusia itu duduk persis di depan Hyang Yuda. Gadis manusia itu kemudia mengambil sepiring nasi dan memberikannya kepada Hyang Yuda.
Setelah menerima sepiring nasi, Hyang Yuda mulai mengambil sesendok nasi dan memakannya bersama lauk pauk yang dimasak gadis manusia itu. Sebuah senyuman terbentuk di bibir Hyang Yuda ketika merasakan masakan dari gadis manusia itu untuknya.
“Bagaimana, Tuan? Apakah sesuai dengan selera, Tuan?” tanya gadis manusia itu penasaran.
Hyang Yuda menganggukkan kepalanya dengan tersenyum senang, “Ini, enak.”
Melihat Hyang Yuda yang tersenyum senang memakan masakannya, gadis manusia itu juga tersenyum senang. “Kalau begitu, Tuan bisa memakannya semuanya. Saya senang jika Tuan yang baik hati ini menyukai masakan saya.”
“Tentu. . .” jawab Hyang Yuda sembari memakan masakan gadis manusia itu dengan lahap.
Setelah selesai makan dan mencuci bersih piring yang digunakan untuk makan, gadis manusia itu segera membersihkan tempat tidurnya dan menatanya hingga rapi. Setelah menyelesaikannya, gadis manusia itu kembali mendatangi Hyang Yuda yang sedang duduk bersantai di kursi besar di dekat pintu rumah gadis manusia.
“Tuan yang baik hati. . .”
Panggilan itu membuyarkan kesenangan Hyang Yuda yang merasakan hembusan angin malam yang sejuk di Janaloka. Hyang Yuda menolehkan kepalanya memandang gadis manusia yang baru saja memanggilnya.
“Ada apa?” tanya Hyang Yuda penasaran.
“Tuan. . . saya sudah menata tempat tidur untuk Tuan. . .”
Gadis manusia itu kemudian menarik tangan Hyang Yuda dan membawanya ke kamar yang berada di dekat tempat Hyang Yuda tadinya sedang duduk bersantai.
“Aku tidur di sini?” tanya Hyang Yuda sembari menatap tempat tidur sederhana milik gadis manusia itu.
“Ya, Tuan bisa tidur di sini malam ini.”
“Lalu kamu? Tidur di mana?” tanya Hyang Yuda yang penasaran karena merasa tidak melihat kamar lain di rumah gadis manusia itu.
“Saya akan tidur di kursi besar di dekat pintu masuk tadi. . .”
Mendengar jawaban dari gadis manusia di depannya, alis Hyang Yuda mengerut hingga nyaris menyambung satu sama lain. Egonya sebagai Dewa Perang merasakan sesuatu yang tidak sesuai sedang terjadi.
Hyang Yuda. . . kamu adalah Dewa Perang yang Agung dari Amaraloka. Sebelum menjadi dewa, kamu adalah pria yang gagah berani. . . itulah yang dikatakan semua Hyang kepadamu lima ratus tahun yang lalu. Jadi meski saat ini kamu adalah Dewa Perang yang Agung dari Amaraloka, kamu tentu tidak bisa membiarkan gadis manusia yang sedang terluka tidur di kursi besar yang akan terasa sangat dingin di malam hari, bukan?
Hyang Yuda menggelengkan kepalanya karena egonya lagi. Sementara itu, gadis manusia yang sedang berdiri di samping Hyang Yuda melihat reaksi yang tidak biasa dari Hyang Yuda dan memberanikan dirinya untuk bertanya kepada Hyang Yuda.
“Apakah tempat tidur ini terlihat tidak nyaman untuk Tuan?”
Hyang Yuda menggelengkan kepalanya lagi. “Bukan. . . bukan tidak nyaman. Hanya saja saat ini kamu sedang terluka, lebih baik kamu yang tidur di sini dan aku yang akan tidur di kursi besar di dekat pintu.”
Gadis manusia itu kemudian menggelengkan kepalanya, merasa tidak enak kepada Hyang Yuda. “Tidak, Tuan. Biar saya yang tidur di sana, saya sudah menyusahkan Tuan hari ini. Jadi biarkan saya membayar perbuatan baik Tuan dengan membiarkan Tuan tidur di sini.”
Hyang Yuda kemudian menunduk menatap luka di kaki gadis manusia di sampingnya dan dengan tiba – tiba berlutut berusaha memperhatikan luka gadis manusia itu lebih dekat.
“Lukamu ini. . . bagaimana kamu bisa mendapatkannya?” tanya Hyang Yuda yang sempat melupakan pertanyaan yang harusnya sejak awal ditanyakannya kepada gadis manusia itu.
Melihat Hyang Yuda yang berlutut memperhatikan lukanya, gadis manusia itu kemudian menurunkan badannya dan membuat dirinya tubuhnya sejajar dengan Hyang Yuda.
“Luka ini awalnya ada karena saya yang kurang hati – hati saat berjalan ke desa untuk menjual tanaman obat. Namun dalam perjalanan pulang, ada angin kencang yang mendekat. Sesuatu yang basah menempel di luka ini dan membuat luka di kaki saya tiba – tiba meradang,” jelas gadis manusia itu dengan polosnya.
Hyang Yuda menatap luka di kaki gadis manusia itu dan merasa bersalah.
Jadi benar. . . luka ini karena ulahku tadi. Karena berpikir tidak ada manusia di dekatku, aku mengayunkan Mahakandaga milikku dengan kencang untuk membersihkan darah Durbiksa yang menempel di Mahakandaga.
“Lebih baik, kamu yang tidur di sini. Angin malam di tempatmu sungguh menyejukkan, aku sangat menyukainya. Jadi, biarkan aku tidur di kursi besar di dekat pintu sambil menikmati angin malam. Apakah kamu tidak keberatan?”
Hyang Yuda bermaksud membuat gadis manusia itu tidur dengan nyaman di tempat tidurnya sendiri dan menebus kesalahannya karena telah membuat gadis manusia itu kesakitan karena darah Durbiksa yang tidak sengaja terbawa oleh angin dan masuk ke dalam lukanya.
“Jika Tuan ingin tidur di kursi yang besar itu, maka saya tidak bisa memaksa Tuan.”
“Bagus. . . kalau begitu cepatlah tidur dan mengistirahatkan kakimu itu. . .” Hyang Yuda kemudian mengambil sesuatu dari dalam sakunya yang terhubung ke dalam gudang Amaraloka dan menyerahkannya kepada gadis manusia itu sebelum meninggalkannya untuk tidur. “Gunakan ini sebelum tidur. Oleskan pada lukamu dan besok lukamu pasti sudah membaik.”
“Sekali lagi, terima kasih banyak Tuan yang baik hati.” Gadis manusia itu tersenyum menerima obat pemberian Hyang Yuda. Dan ketika melihat Hyang Yuda berjalan keluar dari kamarnya, gadis manusia itu mengucap salam kepada Hyang Yuda, “Selamat tidur, Tuan yang baik hati.”
“Selamat tidur. . .” jawab Hyang Yuda yang kemudian pergi keluar dari kamar gadis manusia itu dan kembali ke kursi besar di dekat pintu masuk rumah gadis manusia itu.
Hyang Yuda kemudian membaringkan dirinya di kursi besar milik gadis manusia itu dan berusaha memejamkan matanya. Angin malam yang kencang dan sedikit terasa dingin berhembus melewati jendela rumah gadis manusia itu dan menerpa tubuh dan wajah Hyang Yuda.
Setidaknya egoku melakukan sesuatu yang baik hari ini. Untung saja, aku tidak membiarkan gadis manusia itu tidur di sini. Kalau tidak mungkin besok pagi, aku justru mengalami kesusahan karena mendapati gadis manusia itu yang mungkin jatuh sakit karena dinginnya angin malam ini.
Setelah seharian ini, Hyang Yuda selalu memaki egonya yang membuatnya berada dalam masalah. Untuk pertama kalinya, Hyang Yuda memuji egonya untuk hari ini. Sebelum memejamkan mata untuk tidur, Hyang Yuda berbicara sendiri dengan pikirannya.
Aku. . . Hyang Yuda. . . Dewa Perang yang Agung dari Amaraloka tidak akan merasa dingin hanya karena embusan angin malam di Janaloka.
Hyang Yuda perlahan menutup matanya sembari bersidekap menahan dinginnya angin malam yang berembus.
“Begitulah kisah cinta dan kisah perjuangan dari Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara. Setelah terpisah oleh kematian, setelah melewati tiga kehidupan penuh ujian dan penantian yang panjang, Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara akhirnya bersatu kembali di Amaraloka.” “Benarkah begitu Paman?” tanya anak laki – laki dari lima anak laki – laki yang mendengarkan kisah dari pendongeng bernama Rangga. “Benar.” “Lalu apakah kerajaan dan Maharaja melupakan Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara?” tanya satu dari empat anak perempuan yang juga ikut mendengar kisah dari pendongeng bernama Rangga. “Maharaja tidak melupakan adik kesayangannya, Manohara. Hanya saja kisah cinta mereka kemudian terkubur bersama dengan kematian seluruh saksi dari kejadian yang membunuh RakryanTumenggung Sena dan Pawestri Manohara. Semua saksi dalam kejadian itu menyimpan rahasia itu sebagai bentuk sumpah setia kepada Maharaja dan
Hyang Yuda berdiri di depan gerbang Sadyapara menunggu pratiwimba milik Hyang Marana datang membawa atma dari Isvara yang merupakan reinkarnasi keempat dari Manohara. Dengan gugup, Hyang yuda berdiri menunggu sementara Hyang Tarangga yang berdiri menemani di sampingnya tampak begitu tenang seperti biasanya. “Tenanglah, Hyang Yuda.” Hyang Tarangga berusaha menenangkan Hyang Yuda yang begitu gugup bahkan lebih gugup ketika harus memimpin perang. “Kenapa pratiwimba milik Hyang Marana lama sekali, Hyang Tarangga?” Hyang Yuda berkata dengan raut wajah yang sudah tidak lagi bisa menahan rasa sabarnya. “Manusia yang mati hari ini berjumlah ratusan dan belum lagi yang mati di sisi lainnya di Janaloka. Tugas Hyang Marana begitu banyak, jadi tunggulah dengan sabar,Hyang Yuda. Atma dari Isvara tidak akan menghilang.” Tidak lama kemudian dari gerbang masuk Sadyapara, Hyang Yuda melihat kedata
Sepuluh tahun kemudian. Tahun 1945. Isvara kini telah tumbuh menjadi gadis yang cantik dengan karakter dan kepribadian yang baik. Dengan keluarganya yang merupakan keluarga bangsawan, tidak sulit bagi Isvara untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi untuk masa depannya kelak. Isvara yang sudah memiliki kecerdasan yang cukup tinggi sejak masih kecil mengenyam pendidikan di Sakolah Raden Dewi(1) dan lulus di usianya yang masih muda. (1)Sakolah Raden Dewi adalah sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika pada tahun 1904 dengan nama sekolah istri atau sekolah untuk perempuan di Bandung. Sekolah ini mengalami perubahan nama beberapa kali sebelum akhirnya pada tahun 1929 berubah nama menjadi Sakolah Raden Dewi. Hyang Yuda yang melihat pertumbuhan Isvara merasa begitu senang karena Isvara memiliki kehidupan yang benar – benar membuatnya bahagia. Hyang Yuda
Tahun 1925 Hyang Yuda menghela napas panjang ketika mendapati dirinya harus bertugas hanya berdua dengan Hyang Marana. Mendengar helaan napas panjang dari Hyang Yuda, Hyang Marana melirik dengan tajam ke arah Hyang Yuda dan berkata, “Aku mendengar helaan napas panjang itu, Hyang Yuda. Apakah begitu membosankannya bagi Hyang Yuda untuk bekerja bersama denganku?” Hyang Yuda dengan cepat berusaha tersenyum mendengar omelan dari Hyang Marana yang mendengar helaan napas panjangnya dan menjawab pertanyaan dari Hyang Marana, “Tidak, Hyang Marana.” “Kalau begitu berhentilah menghela napas panjang karena bukan hanya Hyang Yuda saja yang merasa sebal. Aku pun juga merasakan hal yang sama. . . Akan lebih baik jika Hyang Tarangga ada di sini menjadi penengah di antara kita berdua. . .” Hyang Yuda menganggukkan kepalanya mendengar ucapan Hyang Marana. Untuk pertama kalinya dalam 600 tahun keh
Seratus tahun kemudian. . . Selama seratus tahun, Hyang Yuda melakukan semua pekerjaan yang dimilikinya dengan giat. Dari pergi melihat jalannya perang bersama dengan Hyang Marana dan Hyang Tarangga, kemudian pergi bersama dengan Hyang Marana dalam menjemput banyak atma manusia yang tewas karena serangan wabah dan sesekali membantu pekerjaan para Hyang lainnya ketika Hyang Yuda sebagai Hyang Ruksa melepas panah Sanghara Gandhewa dan membuat kiamat kecil datang ke Janaloka. Pada tahun 1815, Sanghara Gandhewa yang dilepaskan oleh Hyang Yuda membuat Tambora Giri(1) meletus dan mengakibatkan banyak manusia yang tewas. Hyang Marana dan Hyang Tarangga benar – benardibuat bekerja keras ketika Sanghara Gandhewa milik Hyang Ruksa dilepas ke Janaloka. Tidak hanya itu saja akibat dari letusan Tambora Giri yang sangat dahsyat, tsunami datang di beberapa titik di Janaloka dan mengakibatkan ribuan manusia kehilangan nyawanya. Akibat l
Mendengar ucapanku, sosok hitam dengan wujud wanita itu kemudian memasang wajah murka kepadaku. Tangannya mengepal berusaha merusak selubung pelindung yang dibuat Hyang Yuda sebelum hilang kesadarannya. Tatapan matanya menyala seakan berusaha membakarku dengan amarahnya. Beruntungnya aku,berkat selubung itu aku berhasil menyelamatkan diri dan berjalan menjauh dari sosokhitam dengan wujud wanita itu. Menyadari aku yang perlahan berusaha pergi, sosokhitam dengan wujud wanita itu kemudian memanggil senjata miliknya yakni sabit besar berwarna hitam yang pernah aku lihat ketika sosok itu menyerang Hyang Yuda dan berusaha menghancurkan selubung yang melindungiku. Entah itu beruntung atau mungkin kekuatan Hyang Yuda lebih kuat darinya, selubung itu masih melindungiku dan membuat usaha sosok itu berakhir dengan kegagalan. “Sial. . .” Sosok itu mengumpat kesal ke arahku sembari melempar tatapan tajam penuh amarah kepad