Hyang Yuda menghentikan langkahnya yang hendak melayang pergi dan memastikan lagi pendengarannya yang mendengar suara teriakan seorang gadis manusia dari tempatnya berada.
“Kumohon. . . siapapun tolong aku. . .”
Teriakan itu terdengar lagi oleh Hyang Yuda untuk kedua kalinya.
Haruskah aku menolongnya?
Hyang Yuda bertanya dalam pikirannya sendiri.
Tidak. . . itu tidak perlu. Pasti akan ada manusia yang lewat yang akan menolongnya.
Hyang Yuda menjawab sendiri pertanyaan yang baru saja ditanyakannya kepada dirinya sendiri.
Untuk meyakinkan dirinya sendiri, Hyang Yuda menunggu selama beberapa waktu untuk memastikan bahwa akan ada manusia yang lewat dan memberikan pertolongan kepada gadis manusia itu. Namun setelah lima kali teriakan permintaan tolong dari gadis itu, Hyang Yuda tidak menemukan satu manusia pun yang lewat yang akan memberikan pertolongan kepada gadis manusia itu. Dengan terpaksa, Hyang Yuda bergerak ke tempat di mana gadis itu berada.
Melalui saluran komunikasi para Hyang, Hyang Yuda berniat memberi kabar kepada Hyang Tarangga. Namun. . . lebih dulu, Hyang Tarangga menghubunginya melalui saluran komunikasi para Hyang.
[Kenapa belum kembali, Hyang Yuda?]
Hyang Tarangga bertanya karena merasa khawatir dengan Hyang Yuda yang tidak kunjung kembali.
Hyang Yuda belum sempat memberikan jawaban ketika Hyang Marana dengan seenaknya masuk ke saluran dan ikut perbincangan antara dirinya dengan Hyang Tarangga.
[Jangan katakan bahwa menghadapi dua Durbiksa kecil saja kamu membutuhkan waktu yang sangat lama, Hyang Yuda. . .]
Hyang Marana berbicara dengan nada ketusnya.
Hyang Yuda menghela napas panjang dan berusaha menahan emosinya agar tidak terpancing amarah oleh ucapan Hyang Marana.
“Ada sesuatu yang terjadi, Hyang Tarangga. Aku akan pergi memeriksanya lebih dulu. Untuk sementara, biarkan Pratiwimba milikku yang bekerja menemani kalian berdua. Setelah memastikan tidak terjadi apapun, aku akan segera kembali.”
[Baiklah. . . kalau begitu. Berhati – hatilah, Hyang Yuda.]
Hyang Yuda hendak memutuskan saluran komunikasi ketika Hyang Marana tiba – tiba berteriak memanggil namanya, membuat telinga Hyang Yuda yang mendengarnya sedikit kesakitan dan mendengung untuk sesaat.
[Hyang Yudaaaa. . . . .]
“Tidak bisakah Hyang Marana tidak berteriak?” tanya Hyang Yuda sembari memijat telinganya yang sakit mendengar teriakan dari Hyang Marana.
[Bagaimana dengan dua Durbiksa yang sedang kamu kejar? Kamu tidak kehilangan mereka, bukan?]
Hyang Yuda menghela napas panjang lagi dan menyalahkan dirinya yang belum sempat memberitahu bahwa dua Durbiksa yang tadi dikejarnya sudah berada di Nirayaloka.
“Sudah tertangkap, Hyang Marana. Jika Hyang Marana tidak percaya, Hyang Marana bisa bertanya kepada Niraya Dorapala untuk memastikan kebenaran dari ucapanku. . .”
[Sudah. . . biarkan saja Hyang Marana. . .]
Hyang Yuda mendengar suara Hyang Tarangga yang memberikan pembelaan kepada dirinya.
[Tugasmu sudah dikerjakan dengan baik oleh Pratiwimba milikmu. . . kamu bisa tenang memeriksa di sana dan meninggalkan tugasmu kepada Pratiwimba milikmu.]
Hyang Yuda tersenyum mendengar pujian yang diberikan Hyang Tarangga kepada dirinya.
“Terima kasih banyak, Hyang Tarangga.”
Setelah mengucapkan rasa terima kasihnya, Hyang Yuda memutus saluran komunikasinya dan bergerak ke tempat suara gadis yang sedang meminta pertolongan berasal.
Dengan menggunakan kemampuan Gaganacara miliknya, dalam sekejap mata Hyang Yuda sudah tiba di tempat suara gadis itu berasal. Hyang Yuda menggunakan kemampuannya yang lain sebelum mendekat ke tempat gadis itu. Alesyan adalah satu dari beberapa kemampuan yang dimiliki para Hyang untuk menyamarkan dirinya ketika berada di depan manusia. Hal ini dilakukan oleh Hyang Yuda karena beberapa larangan yang ada di Amaraloka yang salah satunya, tidak menunjukkan jati diri mereka sebenarnya di depan manusia. Dengan menggunakan Alesyan(1), para Hyang bisa muncul di depan manusia layaknya seperti manusia pada umumnya.
(1) Alesyan adalah kemampuan yang dimiliki oleh semua Hyang yang tinggal di Amaraloka. Karena larangan Amaraloka yang tidak mengijinkan para Hyang menunjukkan jati diri mereka di depan manusia, maka semua Hyang memiliki kemampuan untuk menyamarkan diri dan berbaur dengan manusia layaknya manusia biasa.
Hyang Yuda menyamar menjadi manusia dengan pakaian manusia yang sesuai dengan tahun 1810 dan berjalan mendekat ke arah gadis yang sedang berteriak meminta pertolongan. Hyang Yuda melihat seorang gadis dengan wajah yang memesona sedang terduduk di bawah pohon dengan luka di kakinya. Hyang Yuda tersentak melihat luka yang ada di kaki gadis itu dan menyadari luka itu telah terkena cipratan darah Durbiksa.
Mungkinkah ini karena ulahku tadi?
Hyang Yuda bertanya di dalam pikirannya sendiri.
“Apakah kamu yang berteriak meminta tolong sejak tadi?” tanya Hyang Yuda ketika mendekat ke arah si gadis.
Gadis itu menganggukkan kepalanya. “Ya, Itu saya, Tuan. Bisakah Tuan membantuku? Padahal awalnya ini hanya luka kecil tapi entah kenapa tiba – tiba luka ini terasa sakit dan meradang, membuat saya tidak bisa berjalan.”
“Di mana rumahmu?” tanya Hyang Yuda, “aku akan membantumu kembali ke rumahmu.”
Gadis itu menunjuk ke sebuah gunung yang tidak jauh dari tempatnya berada dan Hyang Yuda melihat ke arah yang ditunjuk oleh gadis itu.
“Apa maksudnya itu?” tanya Hyang Yuda tidak mengerti dengan arah jari yang ditunjukkan oleh gadis manusia di depannya. “Rumahmu ada di gunung itu?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya, “Bukan ada di gunung melainkan ada di balik gunung itu.”
Hyang Yuda hendak menganga karena rasa terkejut yang menyerangnya namun ego nya menghentikannya. Hyang Yuda menyembunyikan rasa terkejutnya dan berusaha bersikap tenang di depan gadis manusia di hadapannya.
Untuk lima ratus tahun lamanya, baru kali ini aku, Hyang Yuda Dewa yang Agung dari Amaraloks menggunakan kakiku untuk berjalan dan menolong manusia. Dan sekalinya aku berniat menolong manusia, kakiku ini harus berjalan naik dan turun gunung yang tinggi itu. . . Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan kakiku untuk berjalan menyusuri gunung itu. . .
Hyang Yuda memandang gunung yang ditunjuk oleh gadis yang terluka di hadapannya saat ini.
“Andai saja aku bisa menggunakan kemampuan Gaganacara milikku itu. . .mungkin aku bisa menghemat waktuku. . .” gumam Hyang Yuda lirih.
Gadis di hadapan Hyang Yuda dapat melihat ekspresi terkejut yang disembunyikan oleh Hyang Yuda. Merasa sungkan, gadis itu kemudian berkata kepada Hyang Yuda, “Tuan yang baik hati, karena Tuan sudah berbaik hati memberi pertolongan kepada saya, Tuan tidak perlu mengantarkan saya ke rumah saya. Tuan cukup membawa saya ke desa terdekat saja. Saya cukup tahu diri karena rumah saya yang berada jauh di balik gunung itu.”
Hyang Yuda yang memiliki ego yang tinggi sebagai Dewa Perang merasa dikatakan lemah oleh seorang gadis manusia di hadapannya saat ini. Karena egonya juga, Hyang Yuda akhirnya memilih untuk mengantarkan gadis manusia itu kembali ke rumahnya.
“Tidak. . . itu tidak jauh. Menurutku itu sangat dekat.”
Hyang Yuda terkekeh dan tersenyum pahit di saat yang bersamaan.
“Kurasa Tuan belum tahu, saat ini sudah siang hari. Kita mungkin akan sampai di rumah milik saya ketika malam tiba. Apakah Tuan tidak keberatan?”
Hyang Yuda mendekat ke arah gadis di depannya kemudian berbalik dan berjongkok membelakangi gadis manusia itu. Sambil membelakangi gadis manusia itu, Hyang Yuda berkata, “Naiklah. . . aku akan mengantarkanmu pulang.”
“Tuan yang baik hati yakin?” tanya gadis manusia itu untuk kedua kalinya.
“Aku sangat yakin dan tidak merasa keberatan sekalipun.”
Ucapan Hyang Yuda itu membuat gadis manusia itu merasa yakin. Dengan sedikit tertatih dan menahan rasa sakit di kakinya, gadis manusia itu berjalan dan naik ke atas punggung Hyang Yuda.
“Pegangan dengan erat. . .” ucap Hyang Yuda mengingatkan kepada gadis manusia.
Gadis itu mengencangkan rangkulannya di bahu Hyang Yuda sementara Hyang Yuda perlahan berdiri. Dengan mengembuskan nafas yang panjang, Hyang Yuda memulai perjalanan kecilnya membawa gadis manusia di punggungnya.
Hyang Yuda memaki dirinya sendiri di dalam pikirannya ketika memulai perjalanan kecilnya hari ini.
Hyang Yuda. . . kamu adalah Dewa. Bukan dewa biasa melainkan Dewa Perang yang Agung dari Amaraloka. Hanya karena egomu yang tinggi, kamu bahkan rela berjalan menggunakan kakimu dan membawa manusia di punggungmu yang bahkan selama lima ratus tahun tidak pernah kamu lakukan.
Hebatnya lagi. . . perjalanan yang harusnya bisa dilakukan dalam sekejap mata kini harus kamu tempuh dalam waktu setengah hari di Janaloka. Betapa baiknya perbuatanmu hari ini, Hyang Yuda. Semua ini terjadi karena egomu yang bodoh itu.
Benar saja perjalanan itu memakan waktu selama setengah hari lebih. Bukan hanya harus naik dan turun gunung, Hyang Yuda juga harus menyeberangi sungai dan melewati beberapa jalanan dengan kondisi yang jauh dari kata bagus. Beberapa kali, Hyang Yuda nyaris saja terjatuh. Beberapa kali juga Hyang Yuda nyaris saja terpeleset ketika melewati jalanan yang licin dan beberapa kali pula, Hyang Yuda mengumpati kebodohan dirinya sendiri.
Malu dengan perbuatannya sendiri, Hyang Yuda bahkan memutus saluran komunikasi para Hyang. Hyang Yuda hanya meninggalkan Pratiwimbanya untuk berjaga – jaga jika ada sesuatu yang terjadi di Amaraloka.
“Itu dia rumah saya, Tuan yang baik. . .”
Setelah malam tiba dan setelah melewati beberapa hutan kecil, akhirnya gadis di punggung Hyang Yuda menunjuk ke sebuah rumah kecil yang letaknya jauh dari pemukiman.
“Kamu tinggal di sini?” tanya Hyang Yuda tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya saat ini.
“Ya, Tuan yang baik hati. . .” jawab gadis manusia di punggung Hyang Yuda, “Tuan, bisa menurunkan saya di sini.”
Hyang Yuda menuruti ucapan gadis manusia di punggungnya dan berjongkok untuk memberi kemudahan bagi gadis itu turun dari punggungnya. Begitu gadis itu turun dari punggungnya, Hyang Yuda mulai merasakan kakinya yang kesemutan dan tubuhnya yang sedikit kelelahan.
Aku. . . Hyang Yuda. Dewa Perang yang Agung dari Amaraloka, bagaimana bisa aku kelelahan hanya karena berjalan naik turun gunung dengan membawa gadis manusia di punggungku? Ini akan sangat memalukan jika para Hyang tahu apa yang baru saja aku lakukan.
Hyang Yuda berbicara sendiri di dalam kepalanya sembari memaki kebodohan yang baru saja diperbuatnya.
Gadis manusia itu kemudian berjalan masuk ke dalam rumahnya dengan sedikit pincang. Menyalakan lilin di rumahnya yang sangat sederhana dan mengambil semangkuk air segar dari dalam kendi di dalam rumahnya. Gadis manusia itu kemudian memberikannya kepada Hyang Yuda.
“Ini untuk Tuan yang baik hati. . .”
“Ah, terima kasih banyak. . .”
Hyang Yuda menerima pemberian gadis itu dan segera meminum habis air pemberian gadis manusia itu.
“Setelah ini, saya akan memasakkan makan malam untuk Tuan. Saya mungkin tidak bisa membayar dengan uang tapi saya bisa membuatkan makan malam untuk Tuan. . .”
Hyang Yuda menggelengkan kepalanya setelah meminum habis air pemberian gadis manusia itu padanya dan berkata, “Tidak perlu. Kamu lebih baik beristirahat saja dan mengobati lukamu itu, setelah ini aku akan pulang.”
“Tidak. . . jangan pulang sekarang, Tuan.”
Gadis manusia dengan cepat menghentikan tindakan Hyang Yuda yang berniat untuk pulang di malam yang gelap.
Hyang Yuda mengernyitkan kedua alisnya, “Kenapa?”
“Hutan yang tadi kita lewati akan sangat berbahaya jika malam tiba. . .”
“Hutan? Hutan yang mana? Kita tidak hanya melewati satu dua hutan tadi?” Hyang Yuda menatap gadis manusia di hadapannya dan berkata dalam dirinya sendiri.
Aku, Hyang Yuda Dewa Perang yang Agung dari Amaraloka tidak takut akan apapun yang berasal dari Janaloka. Andai saja aku bisa mengatakannya pada gadis ini, akankah gadis ini akan membiarkanku pergi?
“Hutan terakhir yang kita lewati di kaki gunung itu. . . sudah sejak lama hutan itu dihindari jika malam hari tiba. Penduduk di sekitar gunung tahu akan hal itu. Jadi. . . akan lebih baik Tuan yang baik hati bermalam di sini malam ini dan pulang besok di pagi hari,” jelas gadis manusia di depan Hyang Yuda dengan wajah khawatir.
Hyang Yuda menjatuhkan mangkok tempat air yang baru saja digunakannya untuk meminum air dan memandang gadis manusia di depannya itu dengan tatapan tidak percaya.
Hyang Yuda. . . kamu adalah Dewa Perang yang Agung dari Amaraloka. Hari ini berkat egomu itu, kamu harus berjalan kaki setelah lima ratus tahun lamanya tidak berjalan kaki. Hari ini berkat egomu itu, kamu harus naik turun gunung dengan membawa gadis manusia di punggungmu itu. Hari ini berkat egomu itu, kamu merasakan rasa lelah setelah lima ratus tahun lamanya bukan karena berperang melainkan karena berjalan kaki menyusuri gunung. Dan hari ini berkat egomu itu, kamu harus menginap di rumah sederhana milik manusia bersama dengan gadis manusia yang kamu tolong.
Hyang Yuda. . . betapa baiknya kamu sebagai Dewa Perang yang bahkan menolong manusia lemah hanya karena sebuah ego.
Hyang Yuda memaki dirinya lagi untuk kesekian kalinya dalam satu hari ini.
“Begitulah kisah cinta dan kisah perjuangan dari Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara. Setelah terpisah oleh kematian, setelah melewati tiga kehidupan penuh ujian dan penantian yang panjang, Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara akhirnya bersatu kembali di Amaraloka.” “Benarkah begitu Paman?” tanya anak laki – laki dari lima anak laki – laki yang mendengarkan kisah dari pendongeng bernama Rangga. “Benar.” “Lalu apakah kerajaan dan Maharaja melupakan Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara?” tanya satu dari empat anak perempuan yang juga ikut mendengar kisah dari pendongeng bernama Rangga. “Maharaja tidak melupakan adik kesayangannya, Manohara. Hanya saja kisah cinta mereka kemudian terkubur bersama dengan kematian seluruh saksi dari kejadian yang membunuh RakryanTumenggung Sena dan Pawestri Manohara. Semua saksi dalam kejadian itu menyimpan rahasia itu sebagai bentuk sumpah setia kepada Maharaja dan
Hyang Yuda berdiri di depan gerbang Sadyapara menunggu pratiwimba milik Hyang Marana datang membawa atma dari Isvara yang merupakan reinkarnasi keempat dari Manohara. Dengan gugup, Hyang yuda berdiri menunggu sementara Hyang Tarangga yang berdiri menemani di sampingnya tampak begitu tenang seperti biasanya. “Tenanglah, Hyang Yuda.” Hyang Tarangga berusaha menenangkan Hyang Yuda yang begitu gugup bahkan lebih gugup ketika harus memimpin perang. “Kenapa pratiwimba milik Hyang Marana lama sekali, Hyang Tarangga?” Hyang Yuda berkata dengan raut wajah yang sudah tidak lagi bisa menahan rasa sabarnya. “Manusia yang mati hari ini berjumlah ratusan dan belum lagi yang mati di sisi lainnya di Janaloka. Tugas Hyang Marana begitu banyak, jadi tunggulah dengan sabar,Hyang Yuda. Atma dari Isvara tidak akan menghilang.” Tidak lama kemudian dari gerbang masuk Sadyapara, Hyang Yuda melihat kedata
Sepuluh tahun kemudian. Tahun 1945. Isvara kini telah tumbuh menjadi gadis yang cantik dengan karakter dan kepribadian yang baik. Dengan keluarganya yang merupakan keluarga bangsawan, tidak sulit bagi Isvara untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi untuk masa depannya kelak. Isvara yang sudah memiliki kecerdasan yang cukup tinggi sejak masih kecil mengenyam pendidikan di Sakolah Raden Dewi(1) dan lulus di usianya yang masih muda. (1)Sakolah Raden Dewi adalah sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika pada tahun 1904 dengan nama sekolah istri atau sekolah untuk perempuan di Bandung. Sekolah ini mengalami perubahan nama beberapa kali sebelum akhirnya pada tahun 1929 berubah nama menjadi Sakolah Raden Dewi. Hyang Yuda yang melihat pertumbuhan Isvara merasa begitu senang karena Isvara memiliki kehidupan yang benar – benar membuatnya bahagia. Hyang Yuda
Tahun 1925 Hyang Yuda menghela napas panjang ketika mendapati dirinya harus bertugas hanya berdua dengan Hyang Marana. Mendengar helaan napas panjang dari Hyang Yuda, Hyang Marana melirik dengan tajam ke arah Hyang Yuda dan berkata, “Aku mendengar helaan napas panjang itu, Hyang Yuda. Apakah begitu membosankannya bagi Hyang Yuda untuk bekerja bersama denganku?” Hyang Yuda dengan cepat berusaha tersenyum mendengar omelan dari Hyang Marana yang mendengar helaan napas panjangnya dan menjawab pertanyaan dari Hyang Marana, “Tidak, Hyang Marana.” “Kalau begitu berhentilah menghela napas panjang karena bukan hanya Hyang Yuda saja yang merasa sebal. Aku pun juga merasakan hal yang sama. . . Akan lebih baik jika Hyang Tarangga ada di sini menjadi penengah di antara kita berdua. . .” Hyang Yuda menganggukkan kepalanya mendengar ucapan Hyang Marana. Untuk pertama kalinya dalam 600 tahun keh
Seratus tahun kemudian. . . Selama seratus tahun, Hyang Yuda melakukan semua pekerjaan yang dimilikinya dengan giat. Dari pergi melihat jalannya perang bersama dengan Hyang Marana dan Hyang Tarangga, kemudian pergi bersama dengan Hyang Marana dalam menjemput banyak atma manusia yang tewas karena serangan wabah dan sesekali membantu pekerjaan para Hyang lainnya ketika Hyang Yuda sebagai Hyang Ruksa melepas panah Sanghara Gandhewa dan membuat kiamat kecil datang ke Janaloka. Pada tahun 1815, Sanghara Gandhewa yang dilepaskan oleh Hyang Yuda membuat Tambora Giri(1) meletus dan mengakibatkan banyak manusia yang tewas. Hyang Marana dan Hyang Tarangga benar – benardibuat bekerja keras ketika Sanghara Gandhewa milik Hyang Ruksa dilepas ke Janaloka. Tidak hanya itu saja akibat dari letusan Tambora Giri yang sangat dahsyat, tsunami datang di beberapa titik di Janaloka dan mengakibatkan ribuan manusia kehilangan nyawanya. Akibat l
Mendengar ucapanku, sosok hitam dengan wujud wanita itu kemudian memasang wajah murka kepadaku. Tangannya mengepal berusaha merusak selubung pelindung yang dibuat Hyang Yuda sebelum hilang kesadarannya. Tatapan matanya menyala seakan berusaha membakarku dengan amarahnya. Beruntungnya aku,berkat selubung itu aku berhasil menyelamatkan diri dan berjalan menjauh dari sosokhitam dengan wujud wanita itu. Menyadari aku yang perlahan berusaha pergi, sosokhitam dengan wujud wanita itu kemudian memanggil senjata miliknya yakni sabit besar berwarna hitam yang pernah aku lihat ketika sosok itu menyerang Hyang Yuda dan berusaha menghancurkan selubung yang melindungiku. Entah itu beruntung atau mungkin kekuatan Hyang Yuda lebih kuat darinya, selubung itu masih melindungiku dan membuat usaha sosok itu berakhir dengan kegagalan. “Sial. . .” Sosok itu mengumpat kesal ke arahku sembari melempar tatapan tajam penuh amarah kepad