Главная / Lainnya / HYANG YUDA / 6. DEWA PERANG MENANGKAP RAJA ULAR

Share

6. DEWA PERANG MENANGKAP RAJA ULAR

Aвтор: mahesvara
last update Последнее обновление: 2021-06-13 18:52:06

Setelah berusaha memberikan sugesti kepada dirinya sendiri, Hyang Yuda kini mulai bisa menahan rasa mualnya lagi dan fokus mendengarkan saluran komunikasi dengan Amaraloka yang dibukanya. 

“Hyang Madyapada. . .” panggil Hyang Yuda melalui saluran komunikasi. 

[Aku di sini. . . apa yang ingin Hyang Yuda tanyakan padaku?] 

Hyang Madyapada menjawab panggilan dari Hyang Yuda.

“Bisakah aku bertanya, apa mungkin Hyang Madyapada mengetahui tentang Nagendra yang sedang memakan banyak manusia di sekitar tempatku berada?” tanya Hyang Yuda. 

[Tunggu sebentar, biarkan aku melacak lokasi tempat Hyang Yuda berasa saat ini.]

Hyang Madyapada dengan kemampuan khusus miliknya mulai melacak lokasi di mana Hyang Yuda berada. Sementara Hyang Madyapada sedang sibuk melacak lokasi, Hyang Tarangga berbicara dalam saluran komunikasinya. 

[Sejak siang tadi, ke mana saja Hyang Yuda pergi?] 

“Bisakah Hyang Tarangga tidak bertanya mengenai hal itu?” 

Hyang Tarangga hendak bertanya lebih lanjut lagi namun dihentikan oleh Hyang Madyapada yang sudah menemukan lokasi di Hyang Yuda berada. 

[Aku sudah menemukan lokasinya. . .]

“Lalu bagaimana menurutmu, Hyang Madyapada?” tanya Hyang Yuda penasaran. “Apakah sebelum ini, Nagendra ini sudah berada di sini? Jujur saja kukatakan, siang tadi aku berjalan melewati jalan yang sama namun tidak merasakan kehadiran Nagendra atau bahkan melihat bayangan Nagendra di sekitar sini. Namun saat malam tiba, angin malam yang berembus datang bersama dengan bau yang memuakkan dari genangan darah di tempat Nagendra sedang makan besar.” 

[Sebelum ini. . . tidak pernah ada catatan atau keluhan dari para manusia mengenai keberadaan Nagendra di lokasi itu. Hanya saja. . .]

Hyang Madyapada hendak melanjutkan ucapannya ketika dipotong dengan tiba – tiba oleh Hyang Marana. 

[Hanya saja apa? Cepat katakan yang jelas. . .]

Hyang Samirana dan Hyang Baruna yang ikut mendengarkan dalam saluran yang dibuka oleh Hyang Yuda pun juga mulai hilang kesabaran karena penasaran milik mereka. 

[Ya, cepat katakan. . .]

[Ada apa sebenarnya dengan lokasi di mana Hyang Yuda berada saat ini?]

Hyang Madyapada yang didesak oleh banyak Hyang pun mau tidak mau akhirnya memberi penjelasan kepada para Hyang yang tersambung dengan saluran komunikasi yang dibuka oleh Hyang Yuda.

[Sebenarnya. . . lokasi tempat Hyang Yuda berada sekarang adalah lokasi Girilaya(1). Beberapa ratus tahun yang lalu di tempat Hyang Yuda berada saat ini adalah lokasi di mana para Wasi(2) dikuburkan. Tanah di lokasi itu menjadi suci dan tenang selama beberapa ratus tahun lalu. Aku benar – benar tidak tahu jika ada Nagendra yang sedang menggunakan tanah suci itu untuk membantai para manusia.]

(1)Girilaya dalam bahasa sansekerta berarti bukit pemakaman. 

(2)Wasi dalam bahasa sansekerta berarti biksu, pertapa.

Hyang Yuda akhirnya mengerti kenapa di siang hari tadi ketika melewati jalan yang sama, dirinya sama sekali tidak menyadari keberadaan Nagendra maupun bau menyengat dari darah para korban Nagendra. Tanah itu merupakan tanah suci di mana aura gelap dari Nagendra dan Durbiksa biasanya akan tertutupi. Tapi malam ini, angin yang berembus sedikit kencang tidak bisa menyembunyikan bau memuakkan dari darah para korban Nagendra dan membuat Hyang Yuda yang menghirupnya merasa terganggu. 

“Inilah alasannya, kita para Hyang sama sekali tidak bisa merasakan adanya keberadaan Nagendra di tempat ini. Aura dari tanah suci menutupi aura gelap dari Nagendra. . .” jelas Hyang Yuda dalam saluran komunikasinya. 

[Jadi apa yang akan Hyang Yuda lakukan sekarang?]

Hyang Tarangga bertanya dengan nada sedikit khawatir. 

“Haruskah aku membunuhnya atau menangkapnya, Hyang Tarangga?” 

Hyang Yuda berbalik mengajukan pertanyaan kepada Hyang Tarangga dalam saluran komunikasi yang dibukanya ke Amaraloka. 

[Jangan dibunuh. . .]

Hyang Yuda mendengar suara Hyang Marana yang sedikit berteriak di dalam saluran komunikasinya dengan Amaraloka. 

[Jika tidak dibunuh, apa yang akan kita lakukan dengan Nagendra itu?] 

Kali ini, Hyang Baruna mengajukan pertanyaan kepada Hyang Marana. 

[Kita bisa menjadikannya hewan peliharaan di Amaraloka. . .]

Hyang Marana memberikan jawaban dengan nada santainya. 

[Siapa yang akan memelihara ular itu di Amaraloka? Bukankah kamu tadi juga merasa mual saat tahu bahwa Nagendra saat ini sedang melakukan pesta makan besar?]

Kali ini giliran Hyang Samirana yang mengajukan pertanyaan kepada Hyang Marana dengan nada suara yang sedang menahan rasa jijik dan muaknya. 

[Biar aku yang memeliharanya. . . lagi pula di Amaraloka, Nagendra tidak akan pernah bisa makan besar seperti yang sedang dilakukannya saat ini di Janaloka. Mungkin dengan menangkap Nagendra, kita juga bisa mengetahui beberapa makhluk yang juga menggunakan tanah suci untuk membantai para manusia di Janaloka.]

Hyang Yuda mendengar jawaban dari Hyang Marana dan merasa setuju dengan jawaban Hyang Marana. 

[Hyang Yuda. . .]

Hyang Tarangga memanggil nama Hyang Yuda dalam saluran komunikasi. 

“Ya, Hyang Tarangga?” 

[Hyang Yuda bisa menangkapnya dan memberikan Nagendra kepada Hyang Marana, tapi jika situasi yang kamu hadapi di luar perkiraan dan membuat Hyang Yuda kesulitan, Hyang Yuda bisa membunuh Nagendra. Jika hal itu terjadi, biar aku yang memberikan penjelasan kepada Hyang Amarabhawana(3) nantinya.]

(3)Amarabhawana dalam bahasa sansekerta memiliki arti langit.

“Baiklah, aku mengerti Hyang Tarangga,” jawab Hyang Yuda. 

[Berhati – hatilah, Hyang Yuda. Jika sesuatu terjadi dan Hyang Yuda membutuhkan pertolongan, Hyang Yuda bisa memanggil kami.]

Seperti biasanya, Hyang Tarangga selalu bersikap bijak di antara semua Hyang yang dikenal oleh Hyang Yuda. 

“Tentu saja aku membutuhkan bantuan Hyang Tarangga dan Hyang Marana. Setelah aku berhasil menangkap atau membunuh Nagendra, siapa lagi kalau bukan Hyang Tarangga dan Hyang Marana yang akan memeriksa tumpukan tubuh manusia di sekitar sini. . .” 

Hyang Yuda segera mematikan saluran komunikasi yang dibukanya ke Amaraloka. Namun sesaat sebelum menutup saluran komunikasinya, Hyang Yuda mendengar suara beberapa Hyang yang bergidik ngeri dan jijik mendengar kalimat terakhir Hyang Yuda. Dan dari beberapa suara yang didengar oleh Hyang Yuda, suara Hyang Marana yang bergidik ngeri dan merasa jijik yang paling kencang yang didengar Hyang Yuda. 

Hyang Yuda menutup saluran komunikasinya dengan Amaraloka dan memperhatikan gerakan Nagendra sembari menimbang – nimbang bagaimana caranya untuk mengalahkan Nagendra dengan ukuran besar itu. 

Sekitar lima belas menit lamanya, Hyang Yuda memperhatikan Nagendra dan setelah mengatur beberapa rencana dalam pikirannya, Hyang Yuda kemudian memanggil dua benda pusaka miliknya yakni Buntala(4) dan Sangkar Kausala. 

(4)Buntala dalam bahasa sansekerta berarti tombak.

Buntala muncul di tangan kanan Hyang Yuda sementara Sangkar Kausala muncul di tangan kirinya. Melihat kemunculan Sangkar Kausala, Hyang Yuda berbisik kepada Sangkar Kausala, “Sangkarku yang baik, maafkan Tuanmu ini yang belum menepati janji dan membuatmu harus mengurung hewan itu di dalam tubuhmu.” 

Sangkar Kausala yang mendengar bisikan Hyang Yuda kemudian menatap Nagendra dengan sedikit bergidik, “Tuan yakin ingin menangkapnya dan bukan membunuhnya?” 

Hyang Yuda menganggukkan kepalanya dan menjawab dengan berbisik, “Kamu hanya perlu mengantarkannya ke depan Hyang Marana begitu tiba di Amaraloka. Hewan itu akan menjadi peliharaan Hyang Marana.” Hyang Yuda tersenyum kecil ketika sebuah pikiran nakal terlintas di dalam pikirannya.

“Apa yang Tuan sedang pikirkan?” tanya Sangkara Kausala dengan berbisik ketika menyadari senyuman kecil terbentuk di sudut bibir Tuannya. 

Hyang Yuda kemudian mendekat Sangkar Kausala ke dekat bibirnya dan membisikkan sesuatu pada Sangkar Kausala. 

“Apa kamu mengerti?” tanya Hyang Yuda pada Sangkar Kausala. 

“Saya mengerti, Tuanku.” 

Hyang Yuda tersenyum membayangkan apa yang akan terjadi nantinya di Amaraloka, “Baiklah. . . sebelum itu, kita harus menangkap Nagendra itu lebih dulu.” 

Hyang Yuda mengangkat tangan kanannya yang menggenggam erat Buntala dan bersiap melemparkan Buntala ke arah Nagendra yang sejak tadi masih asyik berpesta pora memakan tubuh – tubuh manusia. Hyang Yuda menarik nafasnya dan membuat ancang – ancang sebelum melemparkan Buntala di tangan kanannya. 

Ketika merasa sasaran yang ditujunya sudah tepat, Hyang Yuda berteriak sembari melemparkan Buntala di tangan kanannya, “Saharsa(5) Buntala. . .”

(5)Saharsa dalam bahasa sansekerta berarti seribu. 

Buntala di tangan kanan Hyang Yuda dilemparkannya ke arah Nagendra yang sedang sibuk berpesta. Mendengar teriakan Hyang Yuda, Nagendra menyadari adanya bahaya yang mendekat dan berusaha melarikan diri. Namun sebelum sempat bergerak, Buntala milik Hyang Yuda jatuh dan menancap di ekor Nagendra membuat Nagendra tidak bisa bergerak. 

Nagendra yang merasa dirinya dalam bahaya, kini berusaha menggerakkan tubuhnya mendekat ke arah Hyang Yuda dan berusaha menyerang dengan taring miliknya. Akan tetapi sebelum Nagendra berhasil mendekati Hyang Yuda, Buntala milik Hyang Yuda yang menancap di ekor Nagendra seakan membelah dirinya menjadi seribu Buntala dengan ukuran yang sama dan menancap di seluruh tubuh Nagendra. 

Merasakan seribu Buntala milik Hyang Yuda yang menancap di seluruh tubuhnya, Nagendra hanya bisa meraung kencang karena rasa sakit yang menyerangnya dengan cepat. Darah Nagendra yang mengalir dari setiap luka, membuat aroma memuakkan yang sudah sejak tadi terhirup oleh Hyang Yuda semakin memuakkan. Dengan cepat Hyang Yuda melemparkan Sangkar Kausala di tangan kirinya ke arah Nagendra. 

Sangkar Kausala membesar dan dengan cepat mengurung Nagendra ke dalam dirinya. Setelah berhasil mengurung Nagendra ke dalam Sangkar Kausala, Hyang Yuda memanggil Buntala miliknya untuk kembali ke tangan kanannya. 

Nyaris saja. . . untung saja, Buntala tidak menancap di kepala Nagendra. Kalau tidak mungkin Nagendra akan langsung tewas begitu saja dan aku akan menerima omelan dari Hyang Marana karena tidak sengaja membunuhnya. 

Hyang Yuda menatap Nagendra yang meraung kesakitan di dalam Sangkar Kausala. 

“Hei, Nagendra. . .” teriak Hyang Yuda. 

Nagendra tidak menjawab panggilan Hyang Yuda dan masih berteriak meraung kesakitan. 

“Jika kamu masih terus meraung dan tidak menjawab panggilanku, aku akan melemparkan Buntala ini ke tubuhmu lagi dan membuat seribu luka lagi di tubuhmu, bagaimana?”

Hyang Yuda berteriak mengancam Nagendra. 

Nagendra yang mendengar ancaman Hyang Yuda dan membayangkan dirinya menerima seribu luka lagi segera menghentikan raungannya. Dengan terpaksa, Nagendra menoleh ke arah Hyang Yuda dan menatap wajah dewa yang baru saja menangkap dan melukainya. 

“Bagus. . . sekarang aku akan mengajukan pertanyaan untukmu. Kamu harus menjawabnya dengan jujur, kalau tidak Buntala di tangan kananku akan membuat seribu luka di tubuhmu setiap kali aku mendapat jawaban yang tidak jujur darimu.” 

Nagendra menganggukkan kepalanya karena merasa takut dengan Buntala milik Hyang Yuda yang akan menancap lagi di tubuhnya. 

“Sejak kapan kamu tinggal di sini dan memakan banyak manusia?” 

Pertanyaan pertama diajukan oleh Hyang Yuda. 

“Belum lama ini. . .” jawab Nagendra dengan suara bergetar karena rasa takutnya. 

Hyang Yuda mengajukan pertanyaan kedua kepada Nagendra, “Dari mana kamu tahu bahwa tanah ini akan menyamarkan aura gelapmu?” 

“Mara(6). . . ah, tidak kurasa lebih tepat jika menyebutnya dengan Mahamara(7). Aku mengetahui tanah ini dari Mahamara yang tidak sengaja kutemui. Dia berkata padaku, jika aku tinggal di tanah ini aku bisa memakan manusia tanpa harus takut ketahuan oleh Dewa di Amaraloka.” 

(6)Mara dalam bahasa sansekerta berarti Setan.

(7)Mahamara dalam bahasa sansekerta berarti Raja Setan. 

Hyang Yuda merasa ada sesuatu yang ganjil dengan penjelasan Nagendra karena merasa selama ini belum ada Mara yang mendapat gelar Mahamara. Hyang Yuda kemudian mengajukan pertanyaan terakhir ke Nagendra yang berada di hadapannya. 

“Bagaimana rupa Mahamara itu?” 

Nagendra diam sejenak sebelum memberikan jawaban kepada Hyang Yuda, namun setelah beberapa saat wajah Nagendra justru semakin kebingungan dan tidak bisa memberikan jawaban kepada Hyang Yuda. 

“Maafkan saya, Hyang. Entah kenapa saya tidak bisa mengingat wajah Mahamara itu.” 

Hyang Yuda yang merasa tidak percaya dengan jawaban yang diberikan Nagendra kemudian memanggil sebuah benda pusaka miliknya dari Amaraloka. 

“Bares Katana(8). . .” panggil Hyang Yuda. 

(8)Bares Katana adalah salah satu pusaka Hyang Yuda yang digunakan untuk melihat kejujuran seseorang atau makhluk dengan cara menusuk atau menancapkan Bares Katana di tubuh subjek. Jika Bares Katana mengeluarkan cahaya putih maka subjek berkata jujur dan jika Bares Katana mengeluarkan cahaya hitam, maka dapat dipastikan subjek berkata tidak jujur. 

Bares dalam bahasa sansekerta berarti jujur dan Katana dalam bahasa sansekerta berarti anak panah

Dalam sekejap mata, Bares Katana muncul di tangan kiri Hyang Yuda. Begitu mendapatkan Bares Katana, Hyang Yuda melemparkan Bares Katana dengan tangan kirinya ke arah kepala Nagendra yang sudah setengah mati ketakutan. 

Begitu Bares Katana menancap di kepala Nagendra, cahaya putih muncul membuat Hyang Yuda yang tadi tidak mempercayai ucapan Nagendra menghela napas merasa lega. 

“Sangkar Kausala. . .” teriak Hyang Yuda memanggil pusakanya. 

“Ya, Tuanku. . .” jawab Sangkar Kausala dengan penuh rasa hormat. 

“Kamu bisa mengantarkan Nagendra kembali ke Amaraloka dan ingat apa yang kuperintahkan tadi kepadamu.” Hyang Yuda mengerlingkan satu matanya ke arah pusakanya itu. 

“Tentu Tuanku. Saya pasti akan melakukannya.” 

Sangkar Kausala menghilang dengan cepat mengantarkan Nagendra yang akan menjadi peliharaan Hyang Marana. Senyuman kecil terbentuk di sudut bibir Hyang Yuda dan dengan tiba – tiba Hyang Yuda bersiul karena perasaan senang yang datang kepadanya. Dalam pikirannya, Hyang Yuda membayangkan apa yang sedang terjadi saat ini di Amaraloka. 

Sekali – kali, mungkin aku bisa memberi Hyang Marana itu sedikit pelajaran. . .

Hyang Yuda berjalan berusaha keluar dari tempat pesta makan besar Nagendra. Dengan bersiul dan wajah senangnya, Hyang Yuda melupakan tumpukan tubuh manusia yang bertebaran dan genangan darah manusia di sekitar tempatnya berada. Tanpa sengaja, kakinya menginjak tubuh manusia dan membuat jubah emasnya terciprat oleh darah manusia. 

“Sial. . .” umpat Hyang Yuda kesal. “Aku lupa kalau aku masih berada di tempat mengerikan ini.” 

Dengan melayangkan tubuhnya, Hyang Yuda berusaha cepat pergi meninggalkan tempat pesat Nagendra. Namun rasa mual yang tadi sempat hilang kini kembali menyerangnya dan membuat Hyang Yuda nyaris saja muntah. 

Aku. . . Hyang Yuda, Dewa Perang yang Agung dari Amaraloka. Aku tidak akan kalah dari bau memuakkan ini. Aku tidak akan muntah hanya karena menghirup bau memuakkan ini. 

Hyang Yuda memberikan sugesti kepada dirinya sendiri sembari berusaha meninggalkan tempat pesta makan besar Nagendra. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • HYANG YUDA   EXTRA CHAPTER

    “Begitulah kisah cinta dan kisah perjuangan dari Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara. Setelah terpisah oleh kematian, setelah melewati tiga kehidupan penuh ujian dan penantian yang panjang, Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara akhirnya bersatu kembali di Amaraloka.” “Benarkah begitu Paman?” tanya anak laki – laki dari lima anak laki – laki yang mendengarkan kisah dari pendongeng bernama Rangga. “Benar.” “Lalu apakah kerajaan dan Maharaja melupakan Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara?” tanya satu dari empat anak perempuan yang juga ikut mendengar kisah dari pendongeng bernama Rangga. “Maharaja tidak melupakan adik kesayangannya, Manohara. Hanya saja kisah cinta mereka kemudian terkubur bersama dengan kematian seluruh saksi dari kejadian yang membunuh RakryanTumenggung Sena dan Pawestri Manohara. Semua saksi dalam kejadian itu menyimpan rahasia itu sebagai bentuk sumpah setia kepada Maharaja dan

  • HYANG YUDA   74. EPILOG

    Hyang Yuda berdiri di depan gerbang Sadyapara menunggu pratiwimba milik Hyang Marana datang membawa atma dari Isvara yang merupakan reinkarnasi keempat dari Manohara. Dengan gugup, Hyang yuda berdiri menunggu sementara Hyang Tarangga yang berdiri menemani di sampingnya tampak begitu tenang seperti biasanya. “Tenanglah, Hyang Yuda.” Hyang Tarangga berusaha menenangkan Hyang Yuda yang begitu gugup bahkan lebih gugup ketika harus memimpin perang. “Kenapa pratiwimba milik Hyang Marana lama sekali, Hyang Tarangga?” Hyang Yuda berkata dengan raut wajah yang sudah tidak lagi bisa menahan rasa sabarnya. “Manusia yang mati hari ini berjumlah ratusan dan belum lagi yang mati di sisi lainnya di Janaloka. Tugas Hyang Marana begitu banyak, jadi tunggulah dengan sabar,Hyang Yuda. Atma dari Isvara tidak akan menghilang.” Tidak lama kemudian dari gerbang masuk Sadyapara, Hyang Yuda melihat kedata

  • HYANG YUDA   73. DEWA PERANG DAN KEMATIAN ISVARA

    Sepuluh tahun kemudian. Tahun 1945. Isvara kini telah tumbuh menjadi gadis yang cantik dengan karakter dan kepribadian yang baik. Dengan keluarganya yang merupakan keluarga bangsawan, tidak sulit bagi Isvara untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi untuk masa depannya kelak. Isvara yang sudah memiliki kecerdasan yang cukup tinggi sejak masih kecil mengenyam pendidikan di Sakolah Raden Dewi(1) dan lulus di usianya yang masih muda. (1)Sakolah Raden Dewi adalah sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika pada tahun 1904 dengan nama sekolah istri atau sekolah untuk perempuan di Bandung. Sekolah ini mengalami perubahan nama beberapa kali sebelum akhirnya pada tahun 1929 berubah nama menjadi Sakolah Raden Dewi. Hyang Yuda yang melihat pertumbuhan Isvara merasa begitu senang karena Isvara memiliki kehidupan yang benar – benar membuatnya bahagia. Hyang Yuda

  • HYANG YUDA   72. DEWA PERANG DAN PENANTIAN YANG BERAKHIR

    Tahun 1925 Hyang Yuda menghela napas panjang ketika mendapati dirinya harus bertugas hanya berdua dengan Hyang Marana. Mendengar helaan napas panjang dari Hyang Yuda, Hyang Marana melirik dengan tajam ke arah Hyang Yuda dan berkata, “Aku mendengar helaan napas panjang itu, Hyang Yuda. Apakah begitu membosankannya bagi Hyang Yuda untuk bekerja bersama denganku?” Hyang Yuda dengan cepat berusaha tersenyum mendengar omelan dari Hyang Marana yang mendengar helaan napas panjangnya dan menjawab pertanyaan dari Hyang Marana, “Tidak, Hyang Marana.” “Kalau begitu berhentilah menghela napas panjang karena bukan hanya Hyang Yuda saja yang merasa sebal. Aku pun juga merasakan hal yang sama. . . Akan lebih baik jika Hyang Tarangga ada di sini menjadi penengah di antara kita berdua. . .” Hyang Yuda menganggukkan kepalanya mendengar ucapan Hyang Marana. Untuk pertama kalinya dalam 600 tahun keh

  • HYANG YUDA   71. DEWA PERANG DAN SERATUS TAHUN PENANTIANNYA

    Seratus tahun kemudian. . . Selama seratus tahun, Hyang Yuda melakukan semua pekerjaan yang dimilikinya dengan giat. Dari pergi melihat jalannya perang bersama dengan Hyang Marana dan Hyang Tarangga, kemudian pergi bersama dengan Hyang Marana dalam menjemput banyak atma manusia yang tewas karena serangan wabah dan sesekali membantu pekerjaan para Hyang lainnya ketika Hyang Yuda sebagai Hyang Ruksa melepas panah Sanghara Gandhewa dan membuat kiamat kecil datang ke Janaloka. Pada tahun 1815, Sanghara Gandhewa yang dilepaskan oleh Hyang Yuda membuat Tambora Giri(1) meletus dan mengakibatkan banyak manusia yang tewas. Hyang Marana dan Hyang Tarangga benar – benardibuat bekerja keras ketika Sanghara Gandhewa milik Hyang Ruksa dilepas ke Janaloka. Tidak hanya itu saja akibat dari letusan Tambora Giri yang sangat dahsyat, tsunami datang di beberapa titik di Janaloka dan mengakibatkan ribuan manusia kehilangan nyawanya. Akibat l

  • HYANG YUDA   70. DEWA PERANG DAN PENYESALAN SASARADA

    Mendengar ucapanku, sosok hitam dengan wujud wanita itu kemudian memasang wajah murka kepadaku. Tangannya mengepal berusaha merusak selubung pelindung yang dibuat Hyang Yuda sebelum hilang kesadarannya. Tatapan matanya menyala seakan berusaha membakarku dengan amarahnya. Beruntungnya aku,berkat selubung itu aku berhasil menyelamatkan diri dan berjalan menjauh dari sosokhitam dengan wujud wanita itu. Menyadari aku yang perlahan berusaha pergi, sosokhitam dengan wujud wanita itu kemudian memanggil senjata miliknya yakni sabit besar berwarna hitam yang pernah aku lihat ketika sosok itu menyerang Hyang Yuda dan berusaha menghancurkan selubung yang melindungiku. Entah itu beruntung atau mungkin kekuatan Hyang Yuda lebih kuat darinya, selubung itu masih melindungiku dan membuat usaha sosok itu berakhir dengan kegagalan. “Sial. . .” Sosok itu mengumpat kesal ke arahku sembari melempar tatapan tajam penuh amarah kepad

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status