Aku berdiri di sisi tempat cucian piring. Tanganku bertumpu pada tepiannya. Aku sedikit termenung sebab masih terngiang di pikiran perihal omongan Bu RT saat di warung sayur tadi pagi. Meski sudah berusaha seolah tidak terjadi apa-apa, tetap saja hatiku gundah saat ini.
Bahkan untuk melakukan kegiatan yang kusuka saja—yaitu memasak—aku sedikit malas-malasan. Biasanya dengan semangat, aku selalu mencari resep menu-menu baru di internet untuk kusajikan buat putra semata wayangku, Taksa.Sayur oyong yang kubeli tadi, tergeletak di atas meja makan, masih berada di dalam kantong plastik bersama bahan-bahan yang lain. Melangkah ke meja makan, kutarik salah satu kursi lalu duduk di sana.Melirik ke jam dinding dapur, kulihat pukul sepuluh kurang lima belas menit. Aku mengembuskan napas berat. Sebentar lagi aku harus menjemput Taksa dari sekolahnya. Mana sempat memasak kalau begini.Meraih kantong plastik belanjaan tadi, kubawa menuju kulkas. Membuka pintunya, kemudian aku letakkan secara asal di rak paling bawah. Sungguh ini bukan seperti diriku. Biasanya sayuran itu sudah dibersihkan sebelum aku menyusunnya secara rapi di rak-rak itu. Ah, menyebalkan. Semua masalah ini telah mengubahku, membuat berantakan pikiran serta hatiku.Lebih baik, aku menjemput Taksa saja. Mungkin berkumpul bersama ibu-ibu yang lain sembari menunggu anak-anak kami keluar kelas, bisa sedikit menenangkan pikiran.Kuraih kunci motor yang tergantung di cantolan di sebelah kulkas kemudian melangkah keluar rumah. Setelah memastikan semua pintu dan jendela sudah terkunci rapat, aku menuju motor yang terparkir di garasi. Menyalakannya dan kukendarai ke arah sekolahnya Taksa***"Tumben Mama Taksa udah jemput jam segini?" Mama Joshua menyapa saat aku melangkah mendekatinya. Saat itu dia dan tiga wali murid yang lain, sedang duduk di kursi kayu panjang di warung nasi Bu Haji yang letaknya persis di sebelah TK-nya Taksa.Aku tersenyum, mengambil duduk di sebelah Mama Joshua. "Pengin aja, Mam. Abis aku bingung mau ngapa-ngapain di rumah." Aku sedikit membetulkan letak duduk. "Sedangkan pekerjaan rumah sudah selesai semua.""Sering-sering juga nggak apa-apa, Mama Taksa. Biar bertambah teman kami yang nungguin di sini." Mama Joshua mengulas senyum, dijawab anggukan dari ibu-ibu yang lainnya.Salah satu ibu-ibu itu, yang anaknya duduk di kelas berbeda dengan Taksa, berbisik lirih. "Sstt ... itu si Janda. Bunga Desa."Sontak kami yang mendengarnya, mengalihkan pandangan ke arah tatapan ibu itu. Tampak Freya memakai celana jeans selutut dipadu dengan kaos lengan pendek berjalan mendekat.Freya tersenyum menatapku setelah jarak kami tidak terlalu jauh. Mau tak mau aku membalas senyumannya. Ternyata dia memesan lontong sayur di warung Bu Haji. Sehabis memesan, dia menoleh padaku. "Nungguin anak?" tanyanya."Iya." Kujawab singkat. Dia mengangguk lantas tersenyum lagi. Setelah beberapa tahun tidak pernah bertemu, baru kali ini aku melihatnya secara dekat. Kulitnya putih bersih, rambut terjuntai rapi hitam pekat, alis terukir alami tanpa pensil.Bahkan ketika kulit kakinya terlihat lebih putih dari kulit kakiku, otomatis aku minder. Serta merta membuatku menyembunyikan kakiku yang kulitnya berwarna sawo matang karena selalu tertimpa sinar matahari tiap kali mengantar dan menjemput Taksa pulang sekolah. Ah, Freya benar-benar sempurna."Gauri, aku duluan, ya." Sapaan pamit Freya menyadarkanku dari lamunan."Eh, iya."Dia mengangguk ke arah ibu-ibu yang lain kemudian berjalan menjauh."Cantik kayak gitu aja diselingkuhin, apalagi kayak aku." Ibu-ibu berambut keriting diikat ke belakang, menggeleng menyayangkan."Maksudnya, Mam?" tanyaku penasaran."Iya, kata tetangganya, si Freya minta cerai karena suaminya ketahuan selingkuh." Dia menambahkan.Aku termenung. Jika memang Freya pernah sakit karena pengkhianatan, seharusnya dia sadar diri dan tak mau meladeni Mas Abdu. Tapi, benarkah dia mempunyai hubungan dengan suamiku itu? Setauku dulu semasa gadis Freya pernah menolak Mas Abdu. Mengapa mereka sekarang jadi dekat?Ah, tuduhanku tak berdasar dan tak ada bukti. Lagian, belum tentu wanita yang ditelpon Mas Abdu tadi malam itu Freya. Aku harus mencari bukti terlebih dulu sebelum mengambil tindakan. Agar tidak membuatku malu dan salah langkah lagi.***Ponselku bergetar. Ada pesan dari nomor asing yang baru saja masuk di aplikasi W******p. Penasaran, segera kubuka gambar yang dikirimkan nomor itu.Mataku terbuka lebih lebar. Aku bergegas duduk dari rebahan, untuk melihat secara jelas wajah dua orang yang tertangkap kamera di foto itu.Meski foto itu diambil dari jarak jauh, tapi aku bisa mengenali sosok Mas Abdu dari seragam kerjanya yang berwarna biru. Di hadapannya, sesosok perempuan dengan ciri-ciri Freya, sedang memegang sedotan di gelas besar. Tak salah lagi. Mereka berdua bertemu diam-diam tanpa sepengetahuanku. Pantas saja sudah beberapa hari ini Mas Abdu tak pernah pulang untuk makan siang. Ternyata begini kelakuannya.Aku bersyukur sekali mendapati fakta ini. Namun, siapa yang sudah mengirimkan foto ini padaku? Apakah tujuan si pengirim itu sebenarnya?Dengan penuh rasa penasaran kuketik balasan.[Maaf Anda siapa? Darimana Anda mendapatkan foto ini?]Pesan yang terkirim hanya centang satu, itu tandanya si pengirim sedang offline. Ah, aku tidak mau ambil pusing mengenai hal ini. Yang terpenting saat ini Mas Abdu tidak bisa mengelak lagi dari semua kebohongannya sebab aku sudah mengantongi sebuah bukti.Rasa kantukku hilang setelah melihat foto yang dikirimkan barusan. Gelisah, aku hanya membolak-balik badan di sisi Taksa yang sedang menikmati tidur siangnya.Apa yang harus aku lakukan saat ini? Sungguh aku tidak berdaya. Untuk meminta bantuan Niko, aku enggan. Memang adikku itu bersifat bijaksana, tapi jika seseorang menyakiti hati kakak perempuannya, pastilah dia rela memasang badan. Aku takut akan ada perkelahian antara dia dan Mas Abdu.Baiklah, aku harus menanyakan hal ini terlebih dahulu pada Mas Abdu. Jika dia mengelak, baru aku serahkan masalah ini pada keluarga. Sungguh, aku tak sanggup lagi menghadapi semua kebohongannya.***Mobil sedan putih Mas Abdu berjalan pelan memasuki halaman rumah. Aku sudah menunggunya sejak tadi di ruang tamu. Jam dinding menunjuk ke angka 5 sore hari."Assalamualaikum ...." Mas Abdu memberi salam sembari melepas sepasang sepatunya. "Taksa! Papa pulang ...."Tak ada jawaban dari Taksa. Aku sudah merayunya agar dia menonton kartun saja di kamar menggunakan earphone milikku. Aku tak mau dia menyaksikan perdebatan antara aku dan Mas Abdu yang bakal terjadi."Taksa sedang nonton, Mas, di kamarnya." Raut Mas Abdu berubah saat mendengar kata 'Mas' bukannya 'Papa' seperti biasa. Langkahnya yang semula akan menuju ruang tengah terhenti.Aku masih dengan posisi melipat kaki dan duduk manis di sofa ruang tamu, tetap menunjukkan wajah datar. "Aku ingin bertanya sesuatu pada Mas. Aku harap Mas jawab dengan jujur.""Ada apalagi ini, Ma?" Alisnya naik sebelah. Wajahnya menunjukkan tidak suka. Aku tau dia lelah sepulang bekerja dan dia paling tak suka jika aku tidak membiarkannya istirahat dulu. Namun, bagiku hal yang ingin kutanyakan tidak bisa ditunda-tunda lagi."Kenapa Mas nggak cerita padaku bahwa Mas sudah bertemu dengan Freya?" Aku menunjukkan foto yang terpampang di aplikasi W******p-ku.Mas Abdu menelan ludah. Wajahnya berubah seketika. Cukup lama tatapannya mengarah ke layar ponsel di tanganku.***"Kenapa Mas nggak cerita padaku bahwa Mas sudah bertemu dengan Freya?" Aku menunjukkan foto yang terpampang di aplikasi W******p.Melihat foto yang terpampang di ponselku, raut wajah Mas Abdu berubah. Dia menelan ludah kemudian dia segera mengambil duduk di sofa single di hadapanku."Mama dapat foto itu dari mana?" Jakunnya terlihat naik turun, pertanda dia menelan ludah berkali-kali dan gugup."Sebuah nomor asing mengirimkannya tadi siang," jawabku ketus. "Apa Mas bisa mengelak lagi setelah melihat foto ini?""Bukan begitu, Ma." Mas Abdu berhenti sejenak. "Kami memang bertemu. Itu pun hanya sekali. Freya meminta tolong pada Papa untuk memeriksa listrik di rumahnya. Saat itu Papa sedang makan siang seorang diri dan kami nggak sengaja bertemu." Mas Abdu menunduk, menatap kaki meja di depannya. Hah! Kelihatan sekali jika dia sedang berbohong. Omongannya berbelit-belit."Kenapa nggak menghubungi admin kantor saja, Mas? Kenapa Mas yang harus menangani
Aku mengendarai lagi laju motor ke arah sekolah Taksa dengan benak yang berkecamuk. Di satu sisi aku marah pada Mas Abdu yang sudah mengarang cerita dan kebohongan. Di sisi yang lain ada perasaan malu serta rasa bersalah pada diri Freya.Setelah tiba di tanah lapang tepat di depan warung makanan Bu Haji, kuparkirkan motor di sana. Mengunci setang motor, aku melangkah mendekati Mama Joshua yang sedang duduk sendirian."Kok, sendirian, Mama Joshua? Mana yang lain?" tanyaku sembari mengedarkan pandangan.Wanita berusia setengah abad berdarah Batak itu menjawab, "Iya ... yang lain tadi pada pulang. Saya malas pulang, Mama Taksa. Nanggung banget. Lebih baik saya nunggu di sini aja."Aku meraih ponsel di kantong celana, membuka layarnya dan melihat jam digital. Lima belas menit lagi anak-anak akan keluar kelas.Tak lama setelah aku mengambil duduk di sebelah Mama Joshua, seorang ibu-ibu lain datang mendekat dan ikut bergabung. Dia mengendong anaknya yang
"Sekarang katakan padaku, Mas! Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apa yang Mas inginkan?" tanyaku lagi."Aku masih mencintai Freya hingga saat ini, Gauri ...." Mas Abdu berbicara lirih. Tatapannya masih terpaku pada lantai kamar.Tentu saja aku syok mendengar pengakuannya barusan. Bagaikan dentuman gemuruh mengisi seluruh ruang kepalaku. Jika dia mencintai wanita lain, mengapa Mas Abdu menikahiku? Aku pikir hanya aku satu-satunya wanita yang ada di hatinya.Tanpa sadar, langkahku mundur hingga bersandar pada tembok kamar. Aku butuh tempat untuk menopang tubuhku yang tiba-tiba melemas."Maaf, jika kejujuran ini menyakiti hatimu, Gauri." Mas Abdu belum berani menatapku. Aku masih butuh beberapa detik mencerna tiap ucapannya. Setelah mendapati seluruh tenagaku yang meluruh, aku berdiri, melangkah ke arah meja rias di sudut kamar, aku menarik kursinya lalu duduk di situ."Ceritakan padaku semuanya, Mas. Tanpa ada satu pun yang ditutupi. Sehingga aku bi
Lonceng pulang sekolah berbunyi. Abdu gegas berdiri setelah gurunya meninggalkan kelas terlebih dahulu. Ali sudah menunggunya di ambang pintu kelas. Pemuda berambut keriting itu seperti biasa memberi tumpangan untuk Abdu tiap pulang sekolah."Mampir dulu bentar, yuk, ke rumah Dodot." Ali berbicara sambil memutar-mutar gantungan kunci motor di telunjuk kanannya."Mau ngapain?" Abdu bertanya."Nggak ngapa-ngapain, sih. Pengin mampir aja. Udah lama kita nggak kumpul di sana." Ali membetulkan posisi ranselnya."Bentar aja, ya. Nanti Bibi nyariin aku," jawab Abdu."Takut dimarahi, ya?" Ali meledek."Aku cuma nggak mau ribut. Itu aja." Abdu mengedik bahu. Dia berjalan mengiringi langkah Ali ke arah parkiran motor.Setelah Ali menyalakan mesin, mereka berdua naik ke atas kuda besi keluaran tahun 2000 itu, platnya sudah dilepas, berwarna biru dongker dengan list merah jambu. Terkadang Abdu tersenyum sendiri melihat kendaraan milik sahabatnya
"Li, aku pinjam motormu, ya?" Abdu berdiri meraih kunci motor Ali yang tergeletak di atas meja ruang tamu rumah Dodot."Mau jemput Freya lagi?" Ali bertanya sambil mengunyah gorengan. "Jadi obat nyamuk lagi, dong, akunya!" Ali menggoda Abdu. Sesungguhnya dia turut senang setelah sosok Abdu berubah menjadi periang. Bukan seperti Abdu yang dulu, minder dan tak bersemangat sebelum bertemu Freya."Kan ada Dodot. Ya, kan, Dot?" Abdu menatap Dodot sambil memakai sepatu di ambang pintu, lalu mengikat talinya menjadi simpul yang rapi.Dodot yang awalnya sedang rebahan di lantai keramik, bergerak bangkit dan duduk, membuat gerakan seolah sedang menyelipkan rambut ke telinga kemudian melambai pada Ali. Sontak Abdu tergelak melihatnya."Apa dosaku, Ya Allah!" Ali bergidik kemudian melempar sebiji cabe rawit tepat mengenai hidung Dodot yang bangir. Dodot tertawa lepas memperdengarkan suara baritonnya.Abdu bersenandung, melangkah ke motor Ali yang terparkir di
"Tadi malam Laila bilang, Minggu besok katanya si Freya ulang tahun. Gimana kalo party yang direncanakan kita bikin hari itu aja, Du," saran Ali saat dua sahabat itu sedang duduk di sofa ruang tamu rumah Dodot. Seperti biasa, mereka berkumpul sehabis pulang dari sekolah."Ulang tahun? Aku malah nggak tau sama sekali. Freya nggak bilang apa-apa." Abdu menatap Ali serius."Dia bilang ke adikku malah jangan kasih tau ke kamu. Katanya nggak mau merepotkan. Takut kamu kasih kado." Ali mengangkat bahu. "Kayaknya Laila cerita semua tentang kamu, deh. Termasuk kamu nggak pernah dikasih uang saku."Abdu menarik napas. "Seharusnya Laila jangan cerita-cerita mengenai hal itu.""Yah, kan, bagus, Du. Kamu jadi tau kalo Freya nerima kamu karena dia benar-benar tulus." Ali menambahkan. "Banyak pemuda di kampung yang dia tolak, padahal anak orang berduit. Contohnya aja si Luki. Itu tandanya pacarmu itu nggak matre."Abdu termenung. Setelah mengetahui hari ulang ta
Seorang gadis berkulit putih sedang mematut diri di depan cermin. Dia merapikan rambutnya yang hitam pekat lurus sebahu dengan jemarinya. Berkali-kali dia membetulkan tali pinggang hijau muda yang mempunyai rumbai-rumbai panjang. Kerah baju kaosnya pun tak luput dari perhatiannya.Melangkah keluar kamar kemudian Freya menghampiri ibunya yang sedang duduk di ambang pintu penghubung antara ruang tengah dan dapur."Bu, Freya mau pergi dulu, ya. Ada temen yang bikin acara." Gadis yang duduk di bangku SMP kelas 3 itu pamit pada ibunya sembari mencium tangan."Sendirian atau ada yang jemput?"Freya tersipu menatap ibunya. "Fre dijemput Kak Abdu, Bu.""Pulangnya jangan kesorean, ya. Jangan sampai Magrib," ujar wanita yang menurunkan gen kulit putih ke putrinya itu.Freya melangkah ke ruang tamu, duduk di sofa, menunggu kedatangan Abdu sembari berdebar. Berulang kali dia mengembuskan napas untuk menenangkan rasa gugupnya. Meski sudah sering kali ber
Hingga sore menjelang, Abdu tak jua kunjung datang. Atas bujukan Wulan pula, dia mengajak Freya mampir ke rumahnya yang tak jauh dari rumah Dodot tersebut. Wulan juga berjanji akan mengantar Freya dengan motornya setelah dia menjemput motornya dulu ke rumah.Ali tidak bisa mencegah. Dia membiarkan saja kedua gadis itu pergi menjauh. Pikirannya dipenuhi rasa penasaran atas apa yang telah terjadi antara sahabatnya dan Freya, yang menurutnya sangat janggal. Ali tidak percaya jika Abdu dan Freya bisa bertengkar hebat di satu bulan usia hubungan mereka. Apalagi hari ini gadis itu berulang tahun.Setelah jam 7 malam, baru lah Abdu datang. Baju singletnya basah, kemeja yang semula terpakai rapi, sudah tersampir di bahunya. Wajahnya pun terlihat sangat lelah."Kemana aja, sih, Du? Kenapa kamu pergi ninggalin Freya begitu aja? Kamu tau nggak tadi dia menangis? Apa yang sebenarnya sudah terjadi?" Ali menyambut dengan pertanyaan yang bertubi-tubi."Aku dari kebun da