Share

4. Nomor Asing

Aku berdiri di sisi tempat cucian piring. Tanganku bertumpu pada tepiannya. Aku sedikit termenung sebab masih terngiang di pikiran perihal omongan Bu RT saat di warung sayur tadi pagi. Meski sudah berusaha seolah tidak terjadi apa-apa, tetap saja hatiku gundah saat ini.

Bahkan untuk melakukan kegiatan yang kusuka saja—yaitu memasak—aku sedikit malas-malasan. Biasanya dengan semangat, aku selalu mencari resep menu-menu baru di internet untuk kusajikan buat putra semata wayangku, Taksa.

Sayur oyong yang kubeli tadi, tergeletak di atas meja makan, masih berada di dalam kantong plastik bersama bahan-bahan yang lain. Melangkah ke meja makan, kutarik salah satu kursi lalu duduk di sana.

Melirik ke jam dinding dapur, kulihat pukul sepuluh kurang lima belas menit. Aku mengembuskan napas berat. Sebentar lagi aku harus menjemput Taksa dari sekolahnya. Mana sempat memasak kalau begini.

Meraih kantong plastik belanjaan tadi, kubawa menuju kulkas. Membuka pintunya, kemudian aku letakkan secara asal di rak paling bawah. Sungguh ini bukan seperti diriku. Biasanya sayuran itu sudah dibersihkan sebelum aku menyusunnya secara rapi di rak-rak itu. Ah, menyebalkan. Semua masalah ini telah mengubahku, membuat berantakan pikiran serta hatiku.

Lebih baik, aku menjemput Taksa saja. Mungkin berkumpul bersama ibu-ibu yang lain sembari menunggu anak-anak kami keluar kelas, bisa sedikit menenangkan pikiran.

Kuraih kunci motor yang tergantung di cantolan di sebelah kulkas kemudian melangkah keluar rumah. Setelah memastikan semua pintu dan jendela sudah terkunci rapat, aku menuju motor yang terparkir di garasi. Menyalakannya dan kukendarai ke arah sekolahnya Taksa

***

"Tumben Mama Taksa udah jemput jam segini?" Mama Joshua menyapa saat aku melangkah mendekatinya. Saat itu dia dan tiga wali murid yang lain, sedang duduk di kursi kayu panjang di warung nasi Bu Haji yang letaknya persis di sebelah TK-nya Taksa.

Aku tersenyum, mengambil duduk di sebelah Mama Joshua. "Pengin aja, Mam. Abis aku bingung mau ngapa-ngapain di rumah." Aku sedikit membetulkan letak duduk. "Sedangkan pekerjaan rumah sudah selesai semua."

"Sering-sering juga nggak apa-apa, Mama Taksa. Biar bertambah teman kami yang nungguin di sini." Mama Joshua mengulas senyum, dijawab anggukan dari ibu-ibu yang lainnya.

Salah satu ibu-ibu itu, yang anaknya duduk di kelas berbeda dengan Taksa, berbisik lirih. "Sstt ... itu si Janda. Bunga Desa."

Sontak kami yang mendengarnya, mengalihkan pandangan ke arah tatapan ibu itu. Tampak Freya memakai celana jeans selutut dipadu dengan kaos lengan pendek berjalan mendekat.

Freya tersenyum menatapku setelah jarak kami tidak terlalu jauh. Mau tak mau aku membalas senyumannya. Ternyata dia memesan lontong sayur di warung Bu Haji. Sehabis memesan, dia menoleh padaku. "Nungguin anak?" tanyanya.

"Iya." Kujawab singkat. Dia mengangguk lantas tersenyum lagi. Setelah beberapa tahun tidak pernah bertemu, baru kali ini aku melihatnya secara dekat. Kulitnya putih bersih, rambut terjuntai rapi hitam pekat, alis terukir alami tanpa pensil.

Bahkan ketika kulit kakinya terlihat lebih putih dari kulit kakiku, otomatis aku minder. Serta merta membuatku menyembunyikan kakiku yang kulitnya berwarna sawo matang karena selalu tertimpa sinar matahari tiap kali mengantar dan menjemput Taksa pulang sekolah. Ah, Freya benar-benar sempurna.

"Gauri, aku duluan, ya." Sapaan pamit Freya menyadarkanku dari lamunan.

"Eh, iya."

Dia mengangguk ke arah ibu-ibu yang lain kemudian berjalan menjauh.

"Cantik kayak gitu aja diselingkuhin, apalagi kayak aku." Ibu-ibu berambut keriting diikat ke belakang, menggeleng menyayangkan.

"Maksudnya, Mam?" tanyaku penasaran.

"Iya, kata tetangganya, si Freya minta cerai karena suaminya ketahuan selingkuh." Dia menambahkan.

Aku termenung. Jika memang Freya pernah sakit karena pengkhianatan, seharusnya dia sadar diri dan tak mau meladeni Mas Abdu. Tapi, benarkah dia mempunyai hubungan dengan suamiku itu? Setauku dulu semasa gadis Freya pernah menolak Mas Abdu. Mengapa mereka sekarang jadi dekat?

Ah, tuduhanku tak berdasar dan tak ada bukti. Lagian, belum tentu wanita yang ditelpon Mas Abdu tadi malam itu Freya. Aku harus mencari bukti terlebih dulu sebelum mengambil tindakan. Agar tidak membuatku malu dan salah langkah lagi.

***

Ponselku bergetar. Ada pesan dari nomor asing yang baru saja masuk di aplikasi W******p. Penasaran, segera kubuka gambar yang dikirimkan nomor itu.

Mataku terbuka lebih lebar. Aku bergegas duduk dari rebahan, untuk melihat secara jelas wajah dua orang yang tertangkap kamera di foto itu.

Meski foto itu diambil dari jarak jauh, tapi aku bisa mengenali sosok Mas Abdu dari seragam kerjanya yang berwarna biru. Di hadapannya, sesosok perempuan dengan ciri-ciri Freya, sedang memegang sedotan di gelas besar. Tak salah lagi. Mereka berdua bertemu diam-diam tanpa sepengetahuanku. Pantas saja sudah beberapa hari ini Mas Abdu tak pernah pulang untuk makan siang. Ternyata begini kelakuannya.

Aku bersyukur sekali mendapati fakta ini. Namun, siapa yang sudah mengirimkan foto ini padaku? Apakah tujuan si pengirim itu sebenarnya?

Dengan penuh rasa penasaran kuketik balasan.

[Maaf Anda siapa? Darimana Anda mendapatkan foto ini?]

Pesan yang terkirim hanya centang satu, itu tandanya si pengirim sedang offline. Ah, aku tidak mau ambil pusing mengenai hal ini. Yang terpenting saat ini Mas Abdu tidak bisa mengelak lagi dari semua kebohongannya sebab aku sudah mengantongi sebuah bukti.

Rasa kantukku hilang setelah melihat foto yang dikirimkan barusan. Gelisah, aku hanya membolak-balik badan di sisi Taksa yang sedang menikmati tidur siangnya.

Apa yang harus aku lakukan saat ini? Sungguh aku tidak berdaya. Untuk meminta bantuan Niko, aku enggan. Memang adikku itu bersifat bijaksana, tapi jika seseorang menyakiti hati kakak perempuannya, pastilah dia rela memasang badan. Aku takut akan ada perkelahian antara dia dan Mas Abdu.

Baiklah, aku harus menanyakan hal ini terlebih dahulu pada Mas Abdu. Jika dia mengelak, baru aku serahkan masalah ini pada keluarga. Sungguh, aku tak sanggup lagi menghadapi semua kebohongannya.

***

Mobil sedan putih Mas Abdu berjalan pelan memasuki halaman rumah. Aku sudah menunggunya sejak tadi di ruang tamu. Jam dinding menunjuk ke angka 5 sore hari.

"Assalamualaikum ...." Mas Abdu memberi salam sembari melepas sepasang sepatunya. "Taksa! Papa pulang ...."

Tak ada jawaban dari Taksa. Aku sudah merayunya agar dia menonton kartun saja di kamar menggunakan earphone milikku. Aku tak mau dia menyaksikan perdebatan antara aku dan Mas Abdu yang bakal terjadi.

"Taksa sedang nonton, Mas, di kamarnya." Raut Mas Abdu berubah saat mendengar kata 'Mas' bukannya 'Papa' seperti biasa. Langkahnya yang semula akan menuju ruang tengah terhenti.

Aku masih dengan posisi melipat kaki dan duduk manis di sofa ruang tamu, tetap menunjukkan wajah datar. "Aku ingin bertanya sesuatu pada Mas. Aku harap Mas jawab dengan jujur."

"Ada apalagi ini, Ma?" Alisnya naik sebelah. Wajahnya menunjukkan tidak suka. Aku tau dia lelah sepulang bekerja dan dia paling tak suka jika aku tidak membiarkannya istirahat dulu. Namun, bagiku hal yang ingin kutanyakan tidak bisa ditunda-tunda lagi.

"Kenapa Mas nggak cerita padaku bahwa Mas sudah bertemu dengan Freya?" Aku menunjukkan foto yang terpampang di aplikasi W******p-ku.

Mas Abdu menelan ludah. Wajahnya berubah seketika. Cukup lama tatapannya mengarah ke layar ponsel di tanganku.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status