Share

3. Suami Pembohong

last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-25 18:50:21

"Lebih baik sekarang Mas jujur, untuk siapa buket bunga dan pakaian wanita yang Mas beli tadi sore?" Aku bertanya dengan nada tinggi dan begitu tiba-tiba. Mas Abdu sontak kaget dan menatapku dengan wajah yang tak biasa.

Namun, sedetik berikutnya wajah Mas Abdu berubah sinis. "Oh, bagus! Ternyata benar dugaan saya." Mas Abdu buka suara, sedikit menunduk kemudian membuka laci meja kerja di depannya. Dia mengeluarkan buket bunga yang tadi kulihat dan juga sebuah kado terikat pita merah jambu.

"Sengaja saya simpan. Rencananya buat kejutan nanti malam. Tepat di hari ulang tahun pernikahan kita." Selesai berbicara rahang Mas Abdu mengeras. Jika sedang marah dia akan menyebut dirinya dengan kata ‘saya’.

Tanganku yang sejak awal berkacak pinggang, seketika terhempas ke sisi badan. Syok tentu saja. Rasa cemburu telah membuatku lupa segalanya, termasuk ulang tahun pernikahan kami yang jatuh pada hari esok.

Rasa bersalah membuatku jadi salah tingkah. Apalagi saat melihat tak ada senyum yang melekat pada wajah Mas Abdu. "Maaf, Mas. Aku lupa ...," bisikku lirih.

"Pasti lah lupa! Mama terlalu sibuk mengikuti hawa nafsu dan api cemburu." Setelah meletakkan dua benda yang dia pegang tadi keatas meja, Mas Abdu keluar ruangan meninggalkanku yang termenung sendiri. Semenit kemudian, terdengar suara berdebam, berasal dari pintu yang dibanting dengan sekuat tenaga.

***

Aku berdiri di depan pintu kamar, menarik napas dalam-dalam sembari mengumpulkan keberanian. Aku harus minta maaf pada Mas Abdu karena aku yang bersalah kali ini. Memutar gerendel pintu, kemudian aku mendorongnya perlahan. Terlihat Mas Abdu sedang berbaring di tempat tidur ukuran nomor satu yang terbuat dari kayu jati sembari memandangi ponselnya. Tak sedikit pun dia mengacuhkan kedatanganku.

Menutup kembali pintu kamar, aku berjalan mendekatinya. Responnya tetap sama, acuh tak acuh. Lima menit aku terdiam, mencari kata-kata yang bisa mengalihkan perhatiannya. "Mas, maafin aku!" Dia masih diam. "Mas!" Hening. "Mas Abdu!"

Matanya melirik sedikit, tapi kembali fokus menatap layar ponsel. Mengembuskan napas, kemudian aku duduk di tepian tempat tidur, membelakanginya.

"Mas tau nggak, sikap Mas berubah beberapa minggu ini. Itu sebabnya aku mengawasi gerak-gerik Mas." Lagi-lagi hening, tak ada jawaban darinya. "Di awal aku memergoki Mas sedang menelepon seseorang. Dan ... saat Freya mengirimkan pesan singkat ke ponsel Mas. Saat itu Mas terlihat bahagia. Apa aku nggak boleh curiga, Mas?" Mataku berembun, terasa sedikit basah. "Apa salah jika aku menaruh rasa cemburu? Aku ini istrimu, Mas, dan Freya adalah masa lalumu." Aku mulai terisak.

Mendengar nama Freya disebut, Mas Abdu segera mengubah posisi menjadi duduk. Wajahnya memamerkan raut seperti seseorang sehabis dipergoki melakukan kejahatan. "Papa waktu itu kebetulan bertemu Freya di jalanan. Karena merasa kasihan melihat dia berjalan kaki sendirian, dia Papa tumpangi. Tapi hanya sebatas simpang lorong rumahnya. Nggak Papa antar ke rumah, kok. Papa juga mikirin omongan tetangga, Ma. Apa kata tetangga nanti kalo melihat Papa jalan berdua dengan Freya?" Mas Abdu terdiam sejenak. "Dia mengirimkan pesan hanya untuk mengucapkan terima kasih. Hanya itu, nggak lebih," lanjutnya lagi.

Penjelasan Mas Abdu barusan membuat bahuku berguncang. Aku terisak masih dengan posisi membelakangi Mas Abdu. Suamiku itu beringsut mendekat. Kurasakan tangannya mengelus punggungku perlahan.

"Kenapa Mas nggak cerita sedari awal? Kenapa Mas menutupi? Kenapa Mas membiarkanku menjadi istri yang bodoh karena dibakar api cemburu?"

Mas Abdu meraih tubuhku dalam dekapan. "Sudahlah, Ma. Jangan dibahas lagi. Papa sudah memaafkan Mama, kok."

Setelah melepaskan pelukan, Mas Abdu turun dari tempat tidur, melangkah keluar kamar. Namun, tak lama kemudian dia kembali lagi membawa kado dan buket bunga yang tadi tersimpan di laci meja kerjanya.

"Selamat hari pernikahan, Ma." Mas Abdu menyodorkan kedua barang itu padaku. Aku menyambut barang pemberiannya masih dengan mata yang berlinang.

"Semoga pernikahan kita langgeng dan nggak ada lagi cobaan setelah hari ini." Mas Abdu mendekat ... lebih mendekat dan akhirnya mengecup keningku.

***

Aku terbangun mendapati Mas Abdu sudah tak ada lagi di sebelah. Kulirik jam dinding, masih pukul 02.00 dini hari. Kemana perginya dia, ya?

Rasa kering di tenggorokan membuatku beringsut duduk. Aku meraih gelas kosong di atas nakas. Ah, aku lupa jika tadi sudah menghabisi isinya. Setelah memberiku kado sebagai hadiah ulang tahun pernikahan, Mas Abdu mencumbuku.

Rona merah mencuat di pipi. Teringat kejadian tadi sebelum aku tertidur sebab kelelahan. Menyibak selimut yang menutupi tubuh, perlahan aku turun dari tempat tidur, melangkah mendekati gerendel pintu, meraih lalu membukanya hati-hati agar suara derit daun pintu tidak membuat Taksa terbangun. Perlahan pula aku menutupnya di belakangku.

"Maaf, ya, Yang. Mas nggak jadi kesana. Gauri membuntuti Mas. Padahal Mas udah bawa hadiah buat kamu."

Suara Mas Abdu terdengar sayup-sayup dari ruang tamu. Aku syok tentu saja. Apalagi ini? Apakah kemesraannya barusan hanyalah akting belaka?

Aku mencoba mnguasai diri. Kali ini aku tidak mau melabraknya. Biarkan saja mau sampai kapan kebohongan ini Mas Abdu tutup-tutupi. Hingga waktunya tiba, aku akan menangkapmu dengan selingkuhanmu itu, Mas. Tunggu saja nanti.

Dengan hati bergemuruh kuentakkan kaki ke kamar mandi. Saat itu juga suara Mas Abdu tidak terdengar lagi. Pintu kamar mandi pun menjadi pelampiasan kemarahanku. Aku membantingnya sekuat tenaga hingga menimbulkan suara berdebam yang menggema ke seluruh ruangan di dalam rumah.

***

“Sstt ... Mbak Gauri!” Lamunanku terpecah saat Bu RT sudah berdiri di sebelah. Aku yang sedang memilih-milih sayuran, mau tidak mau menoleh ke arahnya.

“Ya? Ada apa, Bu RT?”

“Maaf sebelumnya, ya, Mbak Gauri. Suami saya cerita, beberapa hari yang lalu dia ngelihat si Janda turun dari sedan papanya Taksa.” Bu RT seolah-olah sedang berbisik, tapi suaranya cukup keras terdengar oleh pembeli yang lain. “Mereka berdua akrab, ya, Mbak?”

“Oh ... mengenai itu, Mas Abdu cerita, kok, Bu. Katanya kasihan karena Freya berjalan kaki dari simpang gapura angkot. Kan cukup lumayan jauh.” Aku menyungging senyum, berusaha mengendalikan raut wajah. Jangan sampai, kemarahan mengubah ekspresiku dan membuat tukang gosip ini ikut senang di atas korban gibahannya.

“Jangan dibiasain, lho, Mbak. Nanti malah kebablasan. Ujung-ujungnya Mbak Gauri yang bakal menyesal.” Bu RT tidak berbisik lagi. Matanya membulat dengan mimik menggurui. Sepertinya dia yang emosi kali ini. Sebab semua ucapannya terbantah oleh responku yang biasa saja.

Masih tetap mengulum senyum, lantas, “Saya itu temenan sama Freya sejak jaman sekolah dulu, Bu. Nggak mungkin kalo mereka berkhianat di belakang saya. Saya juga percaya penuh dengan suami saya.” Aku meraih sayuran yang sudah terpilih, kemudian membawanya ke meja kasir. Bu RT memanyunkan bibir. Sebab gosipnya kali ini tak berhasil menjadi umpan bagiku.

Selesai membayar, aku pamit padanya dan melangkah menuju motor yang terparkir. Hanya dibalas dengan anggukkan dan senyum yang masam olehnya. Aku tak mau ambil pusing meski hatiku cukup panas terpancing ucapan Bu RT tadi. Hanya saja aku tidak mau gegabah. Aku juga tidak mau bila responku akan membocorkan sebuah rencana yang sudah tersusun rapi yang kurencanakan sejak tadi malam.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Wanita Simpanan Suamiku   51. Menua Bersama

    Suasana bandara ramai seperti biasa. Di antara orang-orang yang berlalu lalang mengejar waktu keberangkatan pesawat mereka, ada sepasang pengantin baru yang berjalan santai ke arah konter check-in keberangkatan.Akan tetapi, ada yang berbeda pada wajah Freya. Dia tidak semringah seperti ketika hendak jalan-jalan atau ke tempat-tempat baru seperti sebelum-sebelumnya. Bibirnya mencebik, raut wajahnya masam, berulang kali dia menggerutu sejak tadi."Mereka yang kasih tiket perjalanan ini sebagai kado pernikahan, eh, malah mereka gak ada kabar. Gimana, sih, padahal gak ada salahnya, kan, cuma nganterin ke bandara doang?"Abdu tersenyum geli sekaligus geleng-geleng kepala mendengarkan gerutuan istrinya. Dia mengecup pelan kepala Freya sembari menepuk-nepuk pundaknya berbalut gemas."Mungkin mereka sibuk, Yank. Kan Gauri lagi ngidam, lagi mabuk-mabuknya. Bisa jadi Ali juga lagi sibuk urus pekerjaan di kantor. Jadi mereka gak sempat antar kita hari ini."

  • Wanita Simpanan Suamiku   50. Pesta Pernikahan

    Puluhan unit tenda terbentang luas memenuhi halaman rumah Freya. Bunga-bunga nan harum dan berwarna-warni ditata sedemikian rupa di tiap sudut: tenda, meja prasmanan, ruang tamu sebagai tempat ijab kabul. Kain-kain serta hiasan yang tergelar bernuansa nilakandi dan abu-abu, warna kesukaan Freya, menjadi tema utama.Di kamarnya, teman dan kerabat terdekat berkerumun, mengobrol bahkan memerhatikan gadis itu yang sedang dihiasi jari-jarinya menggunakan inai instans.Gauri juga berada di sana. Freya memintanya untuk datang, sebab malam ini akan diadakan doa selamat agar acara yang berlangsung esok hari berjalan dengan lancar."Kamu deg-deg'an, gak?" Gauri berbisik di dekatnya.Freya tersipu. "Ya, jelas dong. Duh!" Dia mengembuskan napas panjang. Sebenarnya bukan sejak itu saja, tetapi sedari ketika Freya menerima lamaran Abdu, kekasihnya itu."Santai aja, kan, bukan yang pertama." Gauri terkikik."Ya, kan, beda, Gauri." Freya memutar bola matany

  • Wanita Simpanan Suamiku   49. Kabar yang Ditunggu-Tunggu

    Ali mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Dia sedang mengejar waktu sebab waktu yang dia punya, sungguh terbatas.Berulang kali dia mengerutu atau menekan klakson tak henti-henti ketika ada pengendara lain yang menghalangi jalannya.Ali sangat menyesali keputusannya yang datang terlambat. Andai saja sedari awal dia tidak plin-plan dan menolak semua ajakan-ajakan Lena. Setelah dia berbincang cukup lama dengan Abdu, barulah Ali menyadari, perasaan ragu yang sempat datang ketika bertemu Lena ialah bersifat sementara."Itu cuma rasa penasaranmu aja, Li. Karena kamu dulu menyukai Lena dan gak pernah menjalin hubungan dengannya. Kamu akan sadar mencintai siapa bila orang tersebut pergi meninggalkanmu. Kamu akan merasa baik-baik aja atau nelangsa."Sekarang, itu lah yang Ali rasakan, nelangsa. Ketika Freya datang ke kantornya membawa kabar bahwa Gauri akan pergi meninggalkannya, pikirannya seketika kalut. Hatinya gelisah. Ali sedang tidak baik-baik saja.

  • Wanita Simpanan Suamiku   48. Aksi Freya

    Freya menurunkan standar motor metic-nya di parkiran sebuah kantor berlantai tiga. Gadis berkulit putih itu menyimpan jaket dan helm ke jok motor, sebelum melangkah ke lobi untuk bertanya ke meja resepsionis.Kakinya tanpa ragu melangkah, terbalut rasa geram dan amarah. Sejak mengetahui bahwa Gauri hamil, Freya tidak bisa untuk diam saja. Rasanya merupakan perbuatan zholim jika mengetahui kebenaran tetapi malah tidak melakukan tindakan apa-apa.Freya pun kali ini tidak peduli jika aksinya bakal berujung dengan kemarahan Abdu. Itu urusan nanti saja, yang penting saat ini dia harus segera menemui Ali dan menyampaikan fakta yang sebenarnya.Berdasarkan keterangan dari resepsionis, Ali sedang berada di kantornya. Kebetulan pula dia baru selesai menghadiri rapat. Sebelum petugas resepsionis melarangnya ke kantor Ali, Freya setengah berlari menuju lift yang hendak tertutup.Gadis itu berhasil masuk, meski mendapat sorot tatapan tajam dari beberapa orang yang te

  • Wanita Simpanan Suamiku   47. Kehamilan Gauri

    Ali pulang ke rumah tepat ketika jam dinding menunjuk ke angka tengah malam. Gauri sengaja menunggunya di ruang tengah sembari menonton televisi."Kamu belum tidur?" Ali hendak melangkah ke kamar, tetapi ucapan Gauri menghentikan langkahnya."Bisa bicara sebentar, Mas?" Suaranya datar, tetapi senyuman tipis tak lepas dari bibir Gauri.Ali menurut saja tanpa berkomentar apa-apa. Wajahnya kelihatan kusam dan letih, seperti habis bepergian seharian penuh."Mas seharian bersama Lena, kan?" Gauri tidak ingin basa-basi yang menurutnya sangat membuang-buang waktu dan itu memuakkan jika dilakukan di saat hatinya sedang remuk redam."Ya, maaf, aku gak kasih tau." Ali menghela napas. "Tadi dia memintaku mengantarkannya membeli sesuatu. Barang yang dia cari, susah ditemui. Itu sebabnya sampai malam aku baru pulang."Gauri manggut-manggut, mencoba memahami. "Saking sibuknya, sampai-sampai Mas gak bisa lagi kasih kabar via chat atau telepon ke aku, ya? P

  • Wanita Simpanan Suamiku   46. Keputusan Gauri

    Suasana vila menjadi aneh. Sebab perubahan sikap Gauri dan juga Ali terjadi secara bersamaan. Seharusnya masalah yang menerpa mereka, dibicarakan berdua, tetapi didiamkan saja tanpa adanya jalan keluar.Di sisi Gauri, dia ingin kejelasan, tentang apa hubungan yang terjadi antara suaminya dengan Lena. Mengapa sikapnya tunduk saja ketika ditarik kala di pesta itu, bukankah seharusnya saat itu Ali menemani Gauri, bukannya malah menghilang, malah kepergok tengah berciuman. Meski saat itu Ali tidak tahu, bahwa aksinya sedang dilihat oleh istrinya sendiri.Di sisi Ali, pikirannya dipenuhi peristiwa itu, tentang Lena yang menciumnya secara tiba-tiba. Rasa yang dulu telah terkubur dalam, kini seperti berontak dan menggelitik dadanya. Ali sebenarnya sadar diri bahwa Gauri mencurigai sesuatu, tetapi pria itu lebih memilih untuk diam. Dia kehabisan tenaga untuk berdebat. Dia sedang tidak ingin bertengkar dan malah nanti Lena menjadi pelariannya saja.Sehabis sarapan, merek

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status