Share

Salah Kamar
Salah Kamar
Penulis: Diganti Mawaddah

1. Malam Pertama

Hari ini adalah hari yang paling aku nantikan. Menjadi seorang pengantin dari Julian Adi Permana. Lelaki kaya, tampan, berkelas, dan pewaris tunggal dari Permana. Corp. Julian sudah dua tahun menjadi pacarku. Kedua orang tuaku tentu saja setuju bermenantukan Julian. Karena orang tuanya dan papa adalah teman bisnis di dunia perhotelan. 

Begitu banyak decak kagum yang aku dengar dari seluruh tamu undangan yang hadir. Hampir semuanya memuji kecantikanku dan ketampanan Julian yang sangat serasi. Kami bak Raja dan Ratu yang begitu cocok bersanding di pelaminan. Ditambah lagi keadaan kami yang sama dalam bidang ekonomi. Sungguh pasangan yang akan menghasilkan keturunan yang berbobot dalam segala hal. Begitu desas-desus yang telingaku tangkap keluar dari mulut mereka.

 

Semua tamu undangan juga nampak puas dengan jamuan yang dihidangkan oleh chef terbaik hotel. Ya, pernikahan kami memang digelar di ballroom hotel milik papa. Baik acara akad, maupun resepsi mewah seperti ini. Aku sangat puas dan takjub dengan acara sakral kami yang berjalan sangat mulus.

Teman- teman kampus, teman nongkrong, teman kantor, semua diundang untuk meramaikan acara pernikahan kami. Belum lagi saudara dari kedua belah pihak, dan juga relasi para orang tua turut hadir memberikan doa serta ucapan selamat. 

“Sayang, datang bulannya sudah selesai’kan?” bisik Julian di telingaku. Dengan wajah merona malu aku mengangguk sambil menyeringai. 

“Alhamdulillah, bisa langsung malam ini kalau begitu,” katanya lagi sambil mengecup tipis pinggir keningku. 

“Sabar, Sayang. Masih dua jam lagi tamunya baru habis,” jawabku sambil tergelak. 

“Julian, Anesnya disuapi makan dulu,” ujar mamaku yang sudah berada di sampingku sambil membawakan piring yang berisi lengkap dengan nasi dan lauk pauk. 

“Terima kasih, Ma,” ucapku dan Julian bersamaan. 

“Dihabiskan, biar  nanti malam kuat,” goda bundaku sambil tertawa geli. Ya, aku memang memiliki mama kandung, sekaligus mempunyai bunda sambung yang bernama Laili yang sangat menyayangiku. Keluargaku begitu hangat dan rukun walau papa dan mama berpisah. Sama sekali aku tidak merasa kekurangan kasih sayang dari keduanya. 

“Ayo, makan dulu,” seru Julian yang sudah siap memasukkan sendok demi sendok nasi ke dalam mulutku. Harusnya makanan ini sangat enak karena aku tahu siapa yang memasaknya, tetapi disaat seperti ini makanan terasa hambar karena rasa gembira yang luar biasa atas pernikahan ini. 

Setelah beberapa suap nasi masuk ke dalam mulutku, kini gentian aku menyuapi Julian. Lelaki itu nampak makan dengan lahap dan ia menghabiskan nasi di dalam piring. 

“Tante  Ririn tadi lupa bawakan minumnya. Ini, gue bawain, Jul,” Mira memberikan minuman pada kami berdua. Wanita itu adalah kakak angkat Julian yang juga begitu dekat denganku. 

“Terima kasih, Mbak,” ujarku padanya. Wanita itu tersenyum manis, lalu berjalan turun dari panggung dengan begitu anggunnya. 

“Kita minumnya saling menyuapi yuk, Mas. Sambil minta difoto sama fotografer,” pintaku padanya. Kami pun minum teh dari gelas ukir yang memang sudah disiapkan khusus pengantin. Tak lupa fotografer yang aku minta untuk mengambil potret kami dengan momen manis seperti ini. 

Dua jam berlalu. Para tamu undangan satu per satu meninggalkan ballroom dengan membawa souvenir tumbler mewah yang kami sengaja pesan. Tersisa keluarga intiku, relasi bisnis Julian, dan juga beberapa sepupu dari pihak Julian maupun sepupuku sendiri. Aku sudah merasa sangat lelah dan ingin segera berganti pakaian. Namun suamiku masih asik berbincang dengan relasi yang berasal dari Amerika itu. 

“Mas, aku ke kamar duluan ya. Biar bersih-bersih duluan. Jangan kelamaan, nanti aku tinggal tidur loh,” kataku padanya sambil berbisik. Lelaki itu mengecup mesra keningku, lalu mengangguk. 

“Biar Mama antar sampai lift. Kamar kamu persis di samping lift ya. Ini kartunya.” Mama mengantarku sampai naik lift. Memang kepalaku sedikit terasa berputar, tetapi tak masalah, karena aku akan segera menemui kasur. Tanganku bersandar pada dinding lift, saat kepalaku terasa semakin berputar. Antara pusing, mengantuk, dan gerah yang bersamaan. 

Begitu sampai di lantai sepuluh, pintu lift pun terbuka lebar. Dengan sedikit terhuyung, dan pandangan semakin samar, aku mendekat pada kamar yang persis di depan lift. Tanpa sengaja, tanganku bertopang pada daun pintu yang ternyata pintu itu tidak terkunci. Langkahku semakin gontai mencari keberadaan ranjang. Segera kubuka semua pakaian pengantin dengan setengah tak sadar, lalu langsung berbaring tengkurap di atas seprei dingin. 

Diantara ketidaksadaranku, kamar ini kurasa tengah berputar. Sentuhan yang diberikan suamiku di malam pertama kami, mampu membuatku tidak berteriak sakit, melainkan sangat menikmati. Tak ada yang mampu membuatku terbang ke awan seperti ini selain suamiku. Kami tertidur kelelahan sambil berpelukan, setelah lelah mengarungi samudra cinta. 

“Mas, terima kasih untuk malam terbaiknya,” bisikku di dadanya. Lelaki itu tak menyahut, hanya suara dengkurannya yang cukup keras mengalun indah di telingaku. Satu hal baru yang aku ketahui dari suamiku yang ternyata hobi mendengkur. Tanpa membuka mata, aku semakin mengeratkan pelukan padanya.

 

“Anes! Apa yang kamu lakukan?!” suara teriakan di dekatku membuatku terlonjak kaget. Mataku melebar sempurna saat melihat Julian dengan wajah kacau dan memerah marah berdiri sambil berkacak pinggang di depanku. Lalu, siapa lelaki yang …. 

“Tidaaaak!” 

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kia Candew
bagus bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status