Hari ini adalah hari yang paling aku nantikan. Menjadi seorang pengantin dari Julian Adi Permana. Lelaki kaya, tampan, berkelas, dan pewaris tunggal dari Permana. Corp. Julian sudah dua tahun menjadi pacarku. Kedua orang tuaku tentu saja setuju bermenantukan Julian. Karena orang tuanya dan papa adalah teman bisnis di dunia perhotelan.
Begitu banyak decak kagum yang aku dengar dari seluruh tamu undangan yang hadir. Hampir semuanya memuji kecantikanku dan ketampanan Julian yang sangat serasi. Kami bak Raja dan Ratu yang begitu cocok bersanding di pelaminan. Ditambah lagi keadaan kami yang sama dalam bidang ekonomi. Sungguh pasangan yang akan menghasilkan keturunan yang berbobot dalam segala hal. Begitu desas-desus yang telingaku tangkap keluar dari mulut mereka.
Semua tamu undangan juga nampak puas dengan jamuan yang dihidangkan oleh chef terbaik hotel. Ya, pernikahan kami memang digelar di ballroom hotel milik papa. Baik acara akad, maupun resepsi mewah seperti ini. Aku sangat puas dan takjub dengan acara sakral kami yang berjalan sangat mulus.Teman- teman kampus, teman nongkrong, teman kantor, semua diundang untuk meramaikan acara pernikahan kami. Belum lagi saudara dari kedua belah pihak, dan juga relasi para orang tua turut hadir memberikan doa serta ucapan selamat.
“Sayang, datang bulannya sudah selesai’kan?” bisik Julian di telingaku. Dengan wajah merona malu aku mengangguk sambil menyeringai.
“Alhamdulillah, bisa langsung malam ini kalau begitu,” katanya lagi sambil mengecup tipis pinggir keningku.
“Sabar, Sayang. Masih dua jam lagi tamunya baru habis,” jawabku sambil tergelak.
“Julian, Anesnya disuapi makan dulu,” ujar mamaku yang sudah berada di sampingku sambil membawakan piring yang berisi lengkap dengan nasi dan lauk pauk.
“Terima kasih, Ma,” ucapku dan Julian bersamaan.
“Dihabiskan, biar nanti malam kuat,” goda bundaku sambil tertawa geli. Ya, aku memang memiliki mama kandung, sekaligus mempunyai bunda sambung yang bernama Laili yang sangat menyayangiku. Keluargaku begitu hangat dan rukun walau papa dan mama berpisah. Sama sekali aku tidak merasa kekurangan kasih sayang dari keduanya.
“Ayo, makan dulu,” seru Julian yang sudah siap memasukkan sendok demi sendok nasi ke dalam mulutku. Harusnya makanan ini sangat enak karena aku tahu siapa yang memasaknya, tetapi disaat seperti ini makanan terasa hambar karena rasa gembira yang luar biasa atas pernikahan ini.
Setelah beberapa suap nasi masuk ke dalam mulutku, kini gentian aku menyuapi Julian. Lelaki itu nampak makan dengan lahap dan ia menghabiskan nasi di dalam piring.
“Tante Ririn tadi lupa bawakan minumnya. Ini, gue bawain, Jul,” Mira memberikan minuman pada kami berdua. Wanita itu adalah kakak angkat Julian yang juga begitu dekat denganku.
“Terima kasih, Mbak,” ujarku padanya. Wanita itu tersenyum manis, lalu berjalan turun dari panggung dengan begitu anggunnya.
“Kita minumnya saling menyuapi yuk, Mas. Sambil minta difoto sama fotografer,” pintaku padanya. Kami pun minum teh dari gelas ukir yang memang sudah disiapkan khusus pengantin. Tak lupa fotografer yang aku minta untuk mengambil potret kami dengan momen manis seperti ini.
Dua jam berlalu. Para tamu undangan satu per satu meninggalkan ballroom dengan membawa souvenir tumbler mewah yang kami sengaja pesan. Tersisa keluarga intiku, relasi bisnis Julian, dan juga beberapa sepupu dari pihak Julian maupun sepupuku sendiri. Aku sudah merasa sangat lelah dan ingin segera berganti pakaian. Namun suamiku masih asik berbincang dengan relasi yang berasal dari Amerika itu.
“Mas, aku ke kamar duluan ya. Biar bersih-bersih duluan. Jangan kelamaan, nanti aku tinggal tidur loh,” kataku padanya sambil berbisik. Lelaki itu mengecup mesra keningku, lalu mengangguk.
“Biar Mama antar sampai lift. Kamar kamu persis di samping lift ya. Ini kartunya.” Mama mengantarku sampai naik lift. Memang kepalaku sedikit terasa berputar, tetapi tak masalah, karena aku akan segera menemui kasur. Tanganku bersandar pada dinding lift, saat kepalaku terasa semakin berputar. Antara pusing, mengantuk, dan gerah yang bersamaan.
Begitu sampai di lantai sepuluh, pintu lift pun terbuka lebar. Dengan sedikit terhuyung, dan pandangan semakin samar, aku mendekat pada kamar yang persis di depan lift. Tanpa sengaja, tanganku bertopang pada daun pintu yang ternyata pintu itu tidak terkunci. Langkahku semakin gontai mencari keberadaan ranjang. Segera kubuka semua pakaian pengantin dengan setengah tak sadar, lalu langsung berbaring tengkurap di atas seprei dingin.
Diantara ketidaksadaranku, kamar ini kurasa tengah berputar. Sentuhan yang diberikan suamiku di malam pertama kami, mampu membuatku tidak berteriak sakit, melainkan sangat menikmati. Tak ada yang mampu membuatku terbang ke awan seperti ini selain suamiku. Kami tertidur kelelahan sambil berpelukan, setelah lelah mengarungi samudra cinta.
“Mas, terima kasih untuk malam terbaiknya,” bisikku di dadanya. Lelaki itu tak menyahut, hanya suara dengkurannya yang cukup keras mengalun indah di telingaku. Satu hal baru yang aku ketahui dari suamiku yang ternyata hobi mendengkur. Tanpa membuka mata, aku semakin mengeratkan pelukan padanya.
“Anes! Apa yang kamu lakukan?!” suara teriakan di dekatku membuatku terlonjak kaget. Mataku melebar sempurna saat melihat Julian dengan wajah kacau dan memerah marah berdiri sambil berkacak pinggang di depanku. Lalu, siapa lelaki yang …. “Tidaaaak!”***
Aku hanya bisa menangis pilu di depan Julian dan kedua mertua, serta orang tuaku. Bagaikan maling yang tertangkap basah setelah merampok, begitulah semua mata memandang ke arahku kini. Di sampingku duduk cukup jauh lelaki culun yang ternyata adalah salah satu office boy di hotel milik papaku. Darimana aku tahu dia OB? Dari seragam yang ia kenakan. Lelaki itu tak bersuara sama sekali setelah habis babak-belur dipukuli oleh Julian dan papaku.Aku jijik dengan diriku sendiri dan aku tak bisa membela diri karena sudah ketangkap basah oleh suamiku sendiri. Pembelaan apapun yang aku sampaikan tetap takkan membuatkan aku dimaafkan dan pernikahan ini berjalan dengan semestinya. Bungaku terlanjur gugur di atas tanah milik orang lain.“Apa benar kamu tidak mengenalnya, Nes?” tanya Julian padaku dengan suara bergetar. Wajah lelaki yang aku cinta itu nampak begitu kecewa dan terluka, dan hal itu tentu membuatku semakin terpukul.“Percaya, Mas.
Aku sudah tak sanggup lagi untuk berdiri. Tulang-belulangku serasa akan lepas dari tempatnya karena merasakan kesedihan yang luar biasa. Papa bahkan harus menggendongku masuk ke dalam rumah lain yang berada tak jauh dari rumah utama keluargaku. Terpaksa papa membawaku pulang ke sani, agar semua keluarga tidak terkejut dengan kondisiku yang sangat menyedihkan. Jangankan untuk berjalan, air saja tidak bisa diterima oleh mulutku.Semua hancur dan itu karena kesalahanku. Sampai saat ini aku pun bingung dengan yang terjadi. Kenapa bisa aku seperti orrang bilang akal saat memasuki kamar yang ternyata salah. Kamar pengantinku dengan Julian, ternyata berada persis di sebelah kamar yang akau masuki. Karena sakit kepala begitu hebat dan pandangan yang samar, aku tak mampu berpikir lain soal kamar itu.Ditambah aku tak paham dengan rasa gelisah yang menyandera seluruh tubuhku ini. Hingga tak sadarkan diri dengan siapa aku melabuhkan mahkotaku.&ld
Aku terus saja mematut diri di cermin. Tak ada yang menarik di seluruh tubuhku saat dua hari aku terpuruk di dalam kamar dan tak ingin bertemu dengan siapapun. Papa, Mama, Bunda, dan adik-adikku yang akhirnya tahu kejadian yang menimpaku, mereka terus mencoba menguburku, tetapi aku masih belum mampu untuk bertemu dengan mereka.Aku merasa kotor dan menjijikkan. Sungguh sangat memalukan apa yang telah aku lakukan malam itu. Seandainya waktu dapat kuputar kembali, tentu aku akan bersabar menunggu Julian yang berbincang dengan teman-temannya. Namun, semua telah terjadi dan aku tidak tahu bagaimana kehidupan pernikahan ini ke depannya. Julian memang sudah mengucap talak satu untukku, tetapi aku berharap lelaki itu masih memberi maaf padaku dan mau menerimaku apa adanya.Langkahku sangat lemah turun dari ranjang. Kugapai ponsel yang sengaja ku matikan sejak dua hari yang lalu. Dalam hati kuberharap, ada kabar baik dari lelaki yang sampai saat ini masih sah sebagai suamiku.
Tak sabar rasanya aku ingin segera dijemput oleh Julian. Kami tidak jadi bercerai dan dia memaafkanku. Sedikit aneh memang, karena begitu mudahnya ia memaafkan keteledoranku. Namun, aku tidak mau terlalu ambil pusing dengan semua itu, yang penting saat ini aku bisa kembali menyandang status sebagai Istri dari Julian Adi Permana.Aku berjanji di dalam hati akan menjadi istri yang baik dan patuh pada suami, dan aku juga akan mencoba memperbaiki kesalahan satu malamku dengan memberikan yang terbaik untuk Julian.Pakaian yang berserakan sudah aku masukkan kembali ke dalam koper. Kamar yang kutempati beberapa hari ini juga sudah aku rapikan, dan hal yang paling utama aku lakukan adalah memberitahu Mama, Bunda, Papa, bahwa aku tidak jadi diceraikan dan akan segera dijemput oleh suamiku.Berulang kali aku mengintip keluar jendela menanti kedatangan Julian yang sudah siang, tetapi belum datang juga. Perutku sudah mulai lapar karena rasa sedih yan
Rumah benar-benar sepi. Tak ada siapapun di rumah ini yang mengajakku bicara, selain Bik Darsih. Waktu sudah semakin larut dan aku tidak juga bisa memejamkan mata. Berulang kali aku mengintip halaman depan, berharap mobil Julian datang, tetapi hingga waktu tepat pukul dua belas malam, lelaki itu belum ada tanda-tanda pulang ke rumah.Kak Mira juga tidak ada. Biasanya wanita itu selalu ada di rumah saat aku berkunjung ke sini. Benar-benar aku kesepian. Berbeda sekali dengan keadaan di rumahku yang banyak orang. Adik-adikku selalu saja ramai berdebat, atau meributkan hal yang tidak penting.Kuputuskan untuk mematikan lampu kamar dan langsung tidur saja. Semoga besok pagi Julian sudah kembali dan kami bisa membicarakan hal ini dengan kepala dingin. Baru saja mulai memejamkan mata, tiba-tiba sekelebat bayangan lelaki asing yang menyentuhku dan mengambil keperawananku, lewat di kepalaku.Mataku terbuka lebar karena kaget sekaligus takut. Semua masih menjadi mis
“Apa maksud pembicaraan ini? Apa yang terjadi dengan Kak Mira?” tanyaku dengan suara bergetar. Mati-matian aku menopang berat tubuh ini dengan berpegangan pada daun pintu, agar tidak jatuh pingsan. Bukannya menjawab, Kak Mira malah pergi meninggalkan kami begitu saja sambil terisak;entah disengaja atau tidak, tubuh kami saling bertabrakan dan dia terlihat masa bodoh.Julian menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Kakinya melangkah menuju meja kerja, lalu duduk di kursi kebesarannya.“Mas, ada apa dengan Kak Mira? Kenapa Mas harus tanggung jawab?!” tanyaku lagi dengan suara tinggi. Air mata sudah siap tumpah membanjiri lantai ruang kerja suamiku.Hatiku berkata, bahwa ada yang tidak baik sudah terjadi antara Kak Mira dan Julian. Namun, lelaki itu hanya membuang pandangan, serasa begitu jijik melihatku. Sengaja aku mendekat ke arahnya, lalu menatapnya dengan penuh air mata.“Katakan, Mas! Jujur
“Apa maksud semua ini, Julian? Kamu menikah lagi tanpa minta ijin dariku? Keterlaluan!” tanganku terkepal menahan tangis. Aku tidak mau dianggap lemah oleh semua keluarga Julian. Sudah cukup beberapa hari ini perasaanku terombang-ambing dengan sikap mereka.Semua yang ada di bawah sana, tentu saja sontak menoleh ke arahku dengan tatapan tidak suka. Namun tidak dengan Kak Mira;wanita yang tengah memakai kebaya putih itu menunduk malu tanpa berani menoleh ke arahku.“Aku minta kamu masuk, Anes!” suara Julian mendikteku. Kaki ini serasa melayang, berjalan mendekati mereka. Nampak Julian sedikit gugup, begitu juga dengan kedua orang tuanya. Sorot mataku tajam menatap delapan orang di sekelilingku secara bergantian. Lalu aku berhenti pada Julian.“Aku tidak pernah tahu apa maksud semua ini? Aku tidak pernah merasa bajingan saat menjadi pacar kamu sekian tahun, dan karena kesalahan satu malam yang seperti disengaja, kamu
Kusambar tas selempang yang berisi dompet dan dua ponsel. Dengan berlari, aku menuruni anak tangga, bukan hanya satu anak tangga melainkan dua anak tangga sekaligus.BrughAku jatuh tersungkur sesaat. Namun itu tak menyurutkan semangatku untuk menyusul Julian yang mobilnya belum keluar dari pekarangan rumah. Aku bangkit kembali, lalu berlari dengan sekencangnya menuju mobil yang sudah siap dikendarai oleh Mang Ismun."Mau apa kamu, Anes?" tanya Bu Dian; mama mertuaku, sekaligus mama mertua Kak Mira. Semua mata memandang aneh dan tak suka padaku. Apa aku peduli? Tentu tidak. Tanpa menjawab pertanyaan mertua, sekaligus tatapan heran Julian, aku masuk ke dalam mobil yang akan membawa pasangan mesra ini untuk berbulan madu."Keluar! Mau apa, Kamu?" Dengan kasarnya, Julian menarik tanganku keluar dari dalam mobil, tetapi aku berpegangan pada sandaran jok, hingga lelaki itu kesulitan menarikku kel