Aku berjanji di dalam hati akan menjadi istri yang baik dan patuh pada suami, dan aku juga akan mencoba memperbaiki kesalahan satu malamku dengan memberikan yang terbaik untuk Julian.
Pakaian yang berserakan sudah aku masukkan kembali ke dalam koper. Kamar yang kutempati beberapa hari ini juga sudah aku rapikan, dan hal yang paling utama aku lakukan adalah memberitahu Mama, Bunda, Papa, bahwa aku tidak jadi diceraikan dan akan segera dijemput oleh suamiku.
Berulang kali aku mengintip keluar jendela menanti kedatangan Julian yang sudah siang, tetapi belum datang juga. Perutku sudah mulai lapar karena rasa sedih yang sudah terbang jauh, maka nafsu makanku sepertinya pulih kembali.
Suara derit mobil berhenti di depan rumah. Dengan berjalan cepat, aku keluar rumah untuk membukakan pintu pagar. pintu ini sedikit macet, sehingga aku sedikit kesusahan untuk membukanya. Kenapa suamiku diam saja? Kenapa tidak menolongku membuka pagar? aku terus saja bergumam tanpa memperhatikan lelaki yang ada di dalam mobil. Pantas saja, di dalam sana ternyata hanya seorang sopir taksi online yang bertugas menjemputku. Kenapa tidak Julian yang menjemputku?
“Mbak Anes ya?” tanya lelaki itu sambil membuka kaca jendela mobil.
“Iya, saya Anes,” jawabku di tengah sedikit rasa kecewa yang mendera.
“Saya diminta jemput Mbak Anes oleh Pak Julian,” katanya lagi. aku hanya mengnagguk paham, dan tanpa menutup pagar kembali, aku masuk ke dalam rumah untuk membawa dua koper besarku.
Sopir taksi itu membantuku mengangkat dua koper yang cukup beratuntuk dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Tak lupa aku memberi kabar pada orang tuaku, bahwa aku sudah dijemput oleh Julian. Semua terpaksa aku lakukan. Tidak mungkin aku beritahu jikalau bukan Julian yang menjemputku saat ini. Tentu akan banyak pertanyaan yang meluncur dari bibir mereka nantinya.
Sedikit lega, tetapi lebih banyak khawatirnya. Aku merasakan tidak nyaman di hatiku. Semakin mendekati rumah mertuaku, maka semakin besar rasa gugupku. Semoga ini hanya perasaanku saja dan jangan sampai ada hal buruk yang terjadi di sana nanti.
Pintu pagar besar terbuka lebar, saat sopir taksi online membunyikan klakson beberapa kali. Mobil melaju pelan untuk parkir di dekat pintu masuk rumah keluarga Julian. Mataku mencari keberadaannya yang tersenyum menyambutku di depan pintu rumahnya, tetapi itu hangan sebatas inginku saja, karena tak ada satu orang pun yang ada di sana. pintu pagar juga terbuka otomatis dari sensor yang ada di dekat pos kemanan rumah. Namun tidak ada Pak Abdul yang biasa berjaga di sana.
“Terima kasih,” kataku pada sopir taksi yang sudah membukakan pintu penumpang belakang untukku. “Sudah semua ya, Mbak. Saya permisi.” Taksi itu pun keluar dari rumah mertuaku. Dengan memantapkan hati serta langkah, aku menggeret koper untuk masuk ke dalam rumah. Untunglah pintu tidak dikunci, sehingga cukup mendorongnya sedikit, pintu dari kayun jati asli itu sudah terbuka sangat lebar.
Seketika hatiku membuncah senang. Apakah ini memang sengaja disiapkan Julian untuk memberikan kejutan padaku? Namun, saat aku menyapu pandangan ke sekeliling rumah, tidak kutemukan siapapun di sana.
“Assalamualaykum,” seruku dengan suara sedikit keras. Seorang wanita paruh baya yang kutahu bernama Bik Darsih menghampiriku dengan tergopoh.
“Wa’alaykumussalam. Eh, Non Anes sudah datang. Mari, Non. Bibik tunjukin kamar Non Anes,” katanya dengan senyuman. Kaki telanjangnyan berjalan sambil menyeret satu koper besarku untuk naik ke lantai dua.
“Julian ke mana, Bik? Rumah sepertinya sepi sekali,” tanyaku masih sibuk mencari keberadaan orang lain selain Bik Darsih.
“Tuan Julian dan Tuan Permana serta Nyonya sudah tidak pulang dari kemarin, Non. Tadi pagi, Bibik ditelepon Tuan Julian untuk menyiapkan kamar untuk Non Anes. Ini kamarnya, Non,” jawab wanita itu sambil membuka lebar pintu kamar sederhana yang akan kutiduri. Tunggu, ini bukan kamar Julian. Di pojok lorong lantai dua inilah kamar Julian, lalu kenapa ininyang jadi kamarku sekarang?
“Bik Darsih gak salah kamar? Saya istrinya Julian Bik, masa kamarnya di sini? Bukannya kamar Julian ada di lorong sana,” cecarku pada kepala pembantu rumah tangga Julian. Kulihat dia pun berekspresi tidak paham dan bingung.
“Anu, Non … mm … kata Tuan Julian, saya disuruh menyiapkan kamar yang ini untuk Non Anes. Saya rasa, Non harus konfirmasi langsung ke Tuan Julian, karena saya hanya menjalankan perintah, Non,” terangnya sambil tersenyum.
Tanpa menunggu persetujuan dariku, Bik Darsih sudah membawa masuk dua koper besar ke dalam kamar dan meninggalkanku yang masih sedikit bingung dengan ini semua.
“Baik, Bik. Terima kasih ya. Nanti biar saya telepon Julian.”
“Sama-sama, Non. Jikalau butuh sesuatu, telepon saja saya atau Isti di bawah ya, Non. Permisi.” Setelah Bik Darsih menutup pintu kamar, dengan tak sabar aku mengmabil ponsel dan menekan angka satu cukup lama pada tombol keypad.
Suamiku
Beberapa kali memanggil, tidak juga diangkat. Rasa cemasku semakin tinggi. Kenapa aku harus asing di rumah mertuaku sendiri? Dua tahun berpacaran dan aku sering berkunjung ke sini, tetapi tidak pernah merasa begitu tak nyaman sampai seperti ini.
Kring KringDering ponsel menyadarkanku dari lumanan. Saat kupandang layar benda pipih milikku ini, ada nama suamiku yang tertera di sana.
[“Halo, asslamualaykum Mas. Kamu di mana? Aku sudah di rumah mama.”]
[“Aku masih sibuk.” ]
[“Mas, aku mau tanya. Kenapa aku tidak tidur di kamar kamu?”]
[“Tidak semudah itu aku bisa menerima kamu seperti tidaak terjadi apa-apa. Aku perlu waktu, Nes. Kamu istirahat saja, kalau tidak malam ini, besok aku baru pulang.”]Bersambung
-Dewasa_ Tak perlu ada adegan melucuti pakaian pengantin wanita kali ini, seperti yang biasa ada di dalam novel-novel yang pernah dibaca oleh Anes, karena wanita itu keluar dari dari kamar mandi sudah dengan handuk kimononya. Wajahnya segar sehabis mandi. Yah, setelah puas buang hajat, Anes merasa perlu mandi agar tubuhnya segar dan siap tempur sebentar lagi. Disajikan tampilan istri yang begitu segar dan menggoda, tentu saja jakun Taka naik turun. Tentu saja naik dan turun, kalau naik saja tidak turun-turun itu tandanya Taka sudah tak bernyawa. He he he … Anes berjalan meliak-liuk begitu menggoda di depan suaminya. Sambil menarik ujung rambutnya yang basah dan memainkannya d
Ekstrapart 2 Salah kamar Penerbangan ke Thailand lumayan lama dan membosankan bagi Taka. Maklum saja, seumur hidupnya belum pernah naik pesawat secara benar-benar terbang di udara. Pernah merasakan naik pesawat saat SMA, saat kunjungan ke Anjungan Transportasi di Taman Mini Indonesia Indah. Tentu pengalaman kali ini sungguh berbeda dan lebih seru baginya, karena ada sang istri tercinta yang sedari tadi menggandeng mesra tangannya, bahkan sesekali menggoda tangannya untuk berbuat mesum. Semoga pembaca memakluminya ya, namanya juga pengantin baru. Ketika pesawat sangat besar itu akhirnya mendarat, Taka berjalan seperti robot dengan kepala sedikit berkunang-kunang bersama dengan Anes ke dalam bandara untuk melewati bagian imigrasi
Taka memeluk istrinya dengan erat, lalu kembali menciumi pipi berisi itu sampai berkali-kali. Keduanya kembali berciuman seakan tiada waktu esok untuk mengulanginya. Hubungan yang sudah halal di mata Tuhan dan negara. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari semua ini selain bersama seseorang yang sangat mencintaimu.Tubuh Anes masih bergetar oleh sisa-sisa kenikmatan yang baru sepuluh menit ia lalui bersama Taka. Bukan hanya satu kali, dia menjerit bahkan sampai tiga kali. Hingga tenggorokannya terasa begitu kering saat ini. Taka pun merasakan hal yang sama. Mendayung menuju puncak memang tidak mudah, hingga suara dan tenaganya sampai terkuras habis. Dengan tubuh polosnya Taka turun dari ranjang, lalu menuangkan air ke dalam dua gelas yang memang sudah disediakan di kamarnya. Air putih itu terasa dingin menyentuh tenggorokan.Taka memberikan satu gelas penuh pada Anes dan memperhatikan sang istri minum dengan sangat rakus. Mata pemuda itu kembali berbinar cepat d
Khusus Dewasa dan setengah tua ya.+++++Hari ini di tangannya, Anes menerima akta cerai yang ia nantikan selama dua bulan. Beberapa lembar surat itu sangat berarti bagi masa depan yang akan ia bangun bersama Taka. Sudah tak sabar rasanya menjadi pengantin dan istri sesungguhnya dari pria yang mencintainya dengan sepenuh hati.Anes memotret beberapa lembar kertas itu, lalu mengirimkannya pada Taka. Ia tahu, pasti calon suaminya itu pasti akan sangat lega dengan hal ini. Ada banyak hal yang perlu disiapkan dengan cepat agar niatan mereka segera terlaksana dengan lancar.TokTok"Nes, boleh Bunda masuk," seru Laili dari balik pintu. Anes menoleh, lalu menjawab,"boleh, Bun, masuk saja." Anes merapikan kembali berkas itu untuk dimasukkan ke dalam amplop coklat besar."Surat dari siapa tadi?" tanya Laili yang kini sudah duduk di sampingnya."Ini, Bun, akta cerai dari pengadilan. Hhuuft ... Anes benar-benar lega," ujar Anes s
"Mbak Salma, ini Heri;tehnisi yang kemarin Mbak tanyain," seru Fajar salah seorang staf yang bertugas di lantai yang sama dengannya. Salma yang sedang membawakan kopi hitam panas untuk Anes berhenti sejenak, lalu tersenyum untuk menyapa."Mari, Mas, ikuti saya." Salma berjalan terlebih dahulu. Ia lupa memberitahu Anes, bahwa akan ada tehnisi yang memperbaiki komputer dan juga CCTV di ruangan Anes. Di atas nampan ia membawakan dua cangkir teh, karena ia tahu Anes sedang bersama suaminya. Si tehnisi berdiri tidak jauh dari Salma, menunggu arahan kapan bisa memulai pekerjaannya.TokTok"Permisi, Bu." Karena pintu tidak tertutup rapat, Salma mendorong sedikit daun pintu dan matanya mendelik kaget melihat Anes tengah ditindih paksa oleh suaminya di atas karpet, tepat di depan meja kerja."Bajingan!" hardik Anes sambil meronta-ronta, membuat Salma terkesiap. Posisi Julian sedang memunggungi pintu masuk sehingga lelaki itu tidak tahu, jika ada seseorang ya
Ririn beserta suaminya, serta Arya dan juga Laili sudah berada di rumah Taka untuk menyaksikan pernikahan siri dari Doni dan Arum. Ada Bude dan beberapa perangkat lingkungan serta tetangga yang juga hadir di sana. Doni sudah siap melakukan ijab kabul dengan meminjam baju koko muslim milik Taka. Sedangkan Arum sudah dirias sederhana oleh ibu-ibu tetangga. Arum mengenakan kebaya yang dipinjam dari tetangga. Walau sedikit kebesaran, tetapi Arum tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin juga di menikah dengan baju daster batik'kan?"Bisa kita mulai?" tanya Pak Ustadz pada semua yang hadir di sana."Dicepatin aja, Pak. Saya sudah siap," balas Doni dengan penuh semangat. Tamu yang hadir di sana pun akhirnya tertawa. Semua wajah memandang Arum dengan penuh suka cita. Akhirnya, masa jandanya berakhir dengan mendapatkan jodoh dokter muda, perjaka pula.Banyak tetangga juga yang iri pada keberuntungan Arum. Termasuk Taka dan Anes yang duduk berdampingan sambil menahan
Jika ada kontes pria paling menyebalkan se-Indonesia, maka Julian sudah pasti sebagai pemenangnya. Bagaimana bisa lelaki itu dengan mudahnya berakting koma untuk sekian lama hanya agar tidak diceraikan oleh istrinya? Apakah kecelakaan ini juga termasuk dalam skenarionya?Anes tidak mau memikirkan apapun. Kakinya melangkah lebar dan cepat untuk segera meninggalkan rumah sakit. Tidak perlu menunggu sampai besok, sore ini juga dia akan ke Pengadilan Agama untuk mengajukan gugatan perceraian pada Julian.Teriakan dari ibu mertuanya sudah tidak lagi ia hiraukan. Air bening menggenang di matanya dan siap terjun bebas membasahi kedua pipinya. Ada perasaan lega, sekaligus kecewa dan juga kesal. Lega karena sebentar lagi niatannya menjadi janda semakin cepat terealisasi, tetapi sekaligus kecewa dan juga kesal dengan Julian dan dirinya sendiri.Bisa-bisanya ia tertipu kembali dengan kelakuan Julian yang sungguh tega dengan dirinya. Jika kemarin ia masih memili
“Lalu … bagaimana dengan Doni, Pa? Apakah hubungan Doni dengan Arum harus ditunda juga sampai urusan dengan Julian selesai?” tanya Doni dengan takut-takut. Keringat sudah membanjiri kening dan juga baju kaus kemeja yang ia pakai. Sungguh bagaikan tengah ditanya oleh malaikat maut jika seperti ini. Detak jantungnya semakin tidak karuan, saat melirik Arum yang juga sama basahnya seperti dirinya.“Memangnya yang mau bercerai dari Julian itu kamu?” balas Arya sambil menahan gelak tawanya. Laili dan Anes pun hampir pecah tawanya mendengar jawaban sang suami. Wajah garang Arya sudah mencair. Lelaki paruh baya itu memang tidak ada masalah dengan hubungan Doni dan juga Arum. Walau wanita yang dicintai putranya itu memiliki keterbatasan, ia sama sekali tidak keberatan.“Ish, Papa! Memangnya Doni alemong?” semua kembali tertawa dan suasana kembali bersahaja. Arum juga akhirnya bisa bernapas lega dengan respon yang diberikan keluarga Don
Semua penghuni rumah Anes keluar begitu mendengar suara gaduh di depan rumah. Arya mematung dengan mulut setengah terbuka melihat ada pertunjukan topeng monyet di pekarangan rumahnya. Baliho berukuran sedang yang berisi kalimat pengungkapan isi hati seorang yang tengah dilanda mabuk asmara, membuat Arya yang tengah berdiri di teras ikut tergelak.Sama halnya dengan Arya, Anes dan Laili pun tertawa terpingkal-pingkal dengan atraksi topeng monyet yang sangat menghibur. Jika biasanya mereka hanya tampil lima menit untuk satu pertunjukan, kali ini, hampir setengah jam topeng monyet itu beratraksi. Dua adik kembar Anes yang sedang duduk di bangku SMP pun ikut tergelak menonton topeng monyet.Atraksi selesai. Taka mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya, lalu diberikan pada dua orang dalang topeng monyet. Baliho yang membentang sudah dilipat kembali oleh Taka. Sungguh pemandangan yang sangat konyol bagi keluarga Arya. Doni pun ternyata ada di sana membantu Taka membe