Share

4. Tidak Jadi Bercerai

Aku terus saja mematut diri di cermin. Tak ada yang menarik di seluruh tubuhku saat dua hari aku terpuruk di dalam kamar dan tak ingin bertemu dengan siapapun. Papa, Mama, Bunda, dan adik-adikku yang akhirnya tahu kejadian yang menimpaku, mereka terus mencoba menguburku, tetapi aku masih belum mampu untuk bertemu dengan mereka.

Aku merasa kotor dan menjijikkan. Sungguh sangat memalukan apa yang telah aku lakukan malam itu. Seandainya waktu dapat kuputar kembali, tentu aku akan bersabar menunggu Julian yang berbincang dengan teman-temannya. Namun, semua telah terjadi dan aku tidak tahu bagaimana kehidupan pernikahan ini ke depannya. Julian memang sudah mengucap talak satu untukku, tetapi aku berharap lelaki itu masih memberi maaf padaku dan mau menerimaku apa adanya.

Langkahku sangat lemah turun dari ranjang. Kugapai ponsel yang sengaja ku matikan sejak dua hari yang lalu. Dalam hati kuberharap, ada kabar baik dari lelaki yang sampai saat ini masih sah sebagai suamiku.

Ada ratusan pesan masuk dan hampir semua mengucapkan selamat atas pernikahan mewahku. Tak sanggup rasanya aku membaca satu per satu karena saat ini hatiku, ragaku, begitu sakit bila mengingat malam pertama yang sia-sia. Kembali air mataku jatuh, saat tanpa sengaja memandang koper yang aku bawa ke hotel waktu itu. Semua lingeri yang aku bawa sudah kuacak-acak sampai tak berbentuk. Kugunting, kusobek, dan kulemparkan semua baju bagus yang sengaja kubeli untuk menyenangkan Julian. 

Benar-benar memalukan dan sangat menjijikkan diri ini. Lelaki itu benar-benar brengsek! Sumpah-serapah entah sudah berapa ribu kali meluncur dari bibirku. Kenapa harus dengan lelaki itu? Kenapa tidak dengan suamiku? Kenapa bisa OB masuk ke dalam kamar hotel dan tidur di sana? Ya Tuhan, ada apa sebenarnya ini?

Sekeras otakku memikirkan apa yang terjadi, sesakit itu pula hati ini merasakan kehancuran. Aku harus mencari tahu, kenapa bisa seperti ini? Papa, ya ... Papa sepertinya bisa membantuku. Dengan tangan gemetar, aku menekan nomor kontak Papa. Aku harus menunggu beberapa saat, karena papa tak kunjung mengangkat panggilanku.

["Halo, Pa. Ini Anes."]

["Ya Allah, Sayang. Ada apa, Nak? Kamu sudah lebih baik?"]

["Pa, Anes mau minta tolong. Bisakah rekaman CCTV tiga jam sebelum peristiwa itu dikirimkan pada Anes. Ada yang tidak beres, Pa. Pasti ada yang sengaja menjebak Anes."]

["Mm ... Papa juga rasa seperti itu. Apa kamu punya musuh?"]

["Mana ada, Pa. Papa tahu siapa teman-teman Anes. Relasi Anes dan orang-orang yang berkumpul dengan Anes, sebagian besar Papa tahu kenal dan dekat dengan keluarganya. Maka dari itu, Pa. Bantu Anes, Pa."]

["Oke, Sayang. Semoga saja ada titik terang dari semua ini. Julian dan papanya belum mengunjungi Papa lagi, sepertinya mereka masih syok. Papa sangat memaklumi itu. Semoga anak Papa kuat ya."]

["Baik, Pa. Anes juga paham. Julian dan keluarganya pasti kecewa. Mungkin saja, jika Anes bisa membuktikan bahwa kejadian itu adalah jebakan, bisa saja ada kesempatan buat Anes kembali bersama Julian. Anes sangat mencintai Julian, Pa."] Aku tak sanggup meneruskan ucapanku lagi. Kuputuskan sambungan pembicaraan dengan papa. Aku benar-benar berharap menemukan titik terang di rekaman CCTV yang akan Papa kirimkan nanti.

Dua hari tidak mandi dan tidak makan. Hanya minum dan minum saja seharian. Tubuhku bau dan sangat lengket. Mungkin dengan mengguyur sedikit tubuhku, pikiran ini bisa lebih segar untuk dibawa memikirkan langkah apa yang harus kuambil selanjutnya.

Kulepas piyamaku satu per satu. Tanda merah itu masih ada di sekujur tubuhku. Sungguh sangat malu, ya Tuhan. Apa yang dilakukan lelaki setan itu pada tubuhku? Kenapa tanda ini tak kunjung hilang, padahal sudah dua hari berlalu.

Kunyalakan shower dengan deras. Kugosok seluruh tubuh ini menggunakan spons yang diberi sabun cair cukup banyak. Dengan sekuat tenaga aku menekan spons itu di atas kulit tubuhku hingga merah dan terasa pedih. Namun sepertinya, tanda ini belum bisa benar-benar hilang dari tubuhku.

Ponsel yang berdering di atas ranjangku. Membuatku tersentak, dan lekas memakai handuk. Dengan langkah lebar aku mendekati ranjang untuk melihat siapa yang meneleponku. Ya Tuhan, nama kekasih hatiku yang muncul di layar. Betapa hati ini membuncah senang dan terharu.

["Halo, Mas. Assalamualaikum."]

["Halo, wa'alaykumussalam. Anes, bersiaplah, kamu akan saya jemput. Kita tidak jadi bercerai."]

["A-apa, Mas? Benarkah ini?"]

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status