Aku terus saja mematut diri di cermin. Tak ada yang menarik di seluruh tubuhku saat dua hari aku terpuruk di dalam kamar dan tak ingin bertemu dengan siapapun. Papa, Mama, Bunda, dan adik-adikku yang akhirnya tahu kejadian yang menimpaku, mereka terus mencoba menguburku, tetapi aku masih belum mampu untuk bertemu dengan mereka.
Aku merasa kotor dan menjijikkan. Sungguh sangat memalukan apa yang telah aku lakukan malam itu. Seandainya waktu dapat kuputar kembali, tentu aku akan bersabar menunggu Julian yang berbincang dengan teman-temannya. Namun, semua telah terjadi dan aku tidak tahu bagaimana kehidupan pernikahan ini ke depannya. Julian memang sudah mengucap talak satu untukku, tetapi aku berharap lelaki itu masih memberi maaf padaku dan mau menerimaku apa adanya.
Langkahku sangat lemah turun dari ranjang. Kugapai ponsel yang sengaja ku matikan sejak dua hari yang lalu. Dalam hati kuberharap, ada kabar baik dari lelaki yang sampai saat ini masih sah sebagai suamiku.
Ada ratusan pesan masuk dan hampir semua mengucapkan selamat atas pernikahan mewahku. Tak sanggup rasanya aku membaca satu per satu karena saat ini hatiku, ragaku, begitu sakit bila mengingat malam pertama yang sia-sia. Kembali air mataku jatuh, saat tanpa sengaja memandang koper yang aku bawa ke hotel waktu itu. Semua lingeri yang aku bawa sudah kuacak-acak sampai tak berbentuk. Kugunting, kusobek, dan kulemparkan semua baju bagus yang sengaja kubeli untuk menyenangkan Julian.
Benar-benar memalukan dan sangat menjijikkan diri ini. Lelaki itu benar-benar brengsek! Sumpah-serapah entah sudah berapa ribu kali meluncur dari bibirku. Kenapa harus dengan lelaki itu? Kenapa tidak dengan suamiku? Kenapa bisa OB masuk ke dalam kamar hotel dan tidur di sana? Ya Tuhan, ada apa sebenarnya ini?
Sekeras otakku memikirkan apa yang terjadi, sesakit itu pula hati ini merasakan kehancuran. Aku harus mencari tahu, kenapa bisa seperti ini? Papa, ya ... Papa sepertinya bisa membantuku. Dengan tangan gemetar, aku menekan nomor kontak Papa. Aku harus menunggu beberapa saat, karena papa tak kunjung mengangkat panggilanku.
["Halo, Pa. Ini Anes."]
["Ya Allah, Sayang. Ada apa, Nak? Kamu sudah lebih baik?"]
["Pa, Anes mau minta tolong. Bisakah rekaman CCTV tiga jam sebelum peristiwa itu dikirimkan pada Anes. Ada yang tidak beres, Pa. Pasti ada yang sengaja menjebak Anes."]
["Mm ... Papa juga rasa seperti itu. Apa kamu punya musuh?"]
["Mana ada, Pa. Papa tahu siapa teman-teman Anes. Relasi Anes dan orang-orang yang berkumpul dengan Anes, sebagian besar Papa tahu kenal dan dekat dengan keluarganya. Maka dari itu, Pa. Bantu Anes, Pa."]
["Oke, Sayang. Semoga saja ada titik terang dari semua ini. Julian dan papanya belum mengunjungi Papa lagi, sepertinya mereka masih syok. Papa sangat memaklumi itu. Semoga anak Papa kuat ya."]
["Baik, Pa. Anes juga paham. Julian dan keluarganya pasti kecewa. Mungkin saja, jika Anes bisa membuktikan bahwa kejadian itu adalah jebakan, bisa saja ada kesempatan buat Anes kembali bersama Julian. Anes sangat mencintai Julian, Pa."] Aku tak sanggup meneruskan ucapanku lagi. Kuputuskan sambungan pembicaraan dengan papa. Aku benar-benar berharap menemukan titik terang di rekaman CCTV yang akan Papa kirimkan nanti.
Dua hari tidak mandi dan tidak makan. Hanya minum dan minum saja seharian. Tubuhku bau dan sangat lengket. Mungkin dengan mengguyur sedikit tubuhku, pikiran ini bisa lebih segar untuk dibawa memikirkan langkah apa yang harus kuambil selanjutnya.
Kulepas piyamaku satu per satu. Tanda merah itu masih ada di sekujur tubuhku. Sungguh sangat malu, ya Tuhan. Apa yang dilakukan lelaki setan itu pada tubuhku? Kenapa tanda ini tak kunjung hilang, padahal sudah dua hari berlalu.
Kunyalakan shower dengan deras. Kugosok seluruh tubuh ini menggunakan spons yang diberi sabun cair cukup banyak. Dengan sekuat tenaga aku menekan spons itu di atas kulit tubuhku hingga merah dan terasa pedih. Namun sepertinya, tanda ini belum bisa benar-benar hilang dari tubuhku.
Ponsel yang berdering di atas ranjangku. Membuatku tersentak, dan lekas memakai handuk. Dengan langkah lebar aku mendekati ranjang untuk melihat siapa yang meneleponku. Ya Tuhan, nama kekasih hatiku yang muncul di layar. Betapa hati ini membuncah senang dan terharu.
["Halo, Mas. Assalamualaikum."]
["Halo, wa'alaykumussalam. Anes, bersiaplah, kamu akan saya jemput. Kita tidak jadi bercerai."]
["A-apa, Mas? Benarkah ini?"]
****
Tak sabar rasanya aku ingin segera dijemput oleh Julian. Kami tidak jadi bercerai dan dia memaafkanku. Sedikit aneh memang, karena begitu mudahnya ia memaafkan keteledoranku. Namun, aku tidak mau terlalu ambil pusing dengan semua itu, yang penting saat ini aku bisa kembali menyandang status sebagai Istri dari Julian Adi Permana.Aku berjanji di dalam hati akan menjadi istri yang baik dan patuh pada suami, dan aku juga akan mencoba memperbaiki kesalahan satu malamku dengan memberikan yang terbaik untuk Julian.Pakaian yang berserakan sudah aku masukkan kembali ke dalam koper. Kamar yang kutempati beberapa hari ini juga sudah aku rapikan, dan hal yang paling utama aku lakukan adalah memberitahu Mama, Bunda, Papa, bahwa aku tidak jadi diceraikan dan akan segera dijemput oleh suamiku.Berulang kali aku mengintip keluar jendela menanti kedatangan Julian yang sudah siang, tetapi belum datang juga. Perutku sudah mulai lapar karena rasa sedih yan
Rumah benar-benar sepi. Tak ada siapapun di rumah ini yang mengajakku bicara, selain Bik Darsih. Waktu sudah semakin larut dan aku tidak juga bisa memejamkan mata. Berulang kali aku mengintip halaman depan, berharap mobil Julian datang, tetapi hingga waktu tepat pukul dua belas malam, lelaki itu belum ada tanda-tanda pulang ke rumah.Kak Mira juga tidak ada. Biasanya wanita itu selalu ada di rumah saat aku berkunjung ke sini. Benar-benar aku kesepian. Berbeda sekali dengan keadaan di rumahku yang banyak orang. Adik-adikku selalu saja ramai berdebat, atau meributkan hal yang tidak penting.Kuputuskan untuk mematikan lampu kamar dan langsung tidur saja. Semoga besok pagi Julian sudah kembali dan kami bisa membicarakan hal ini dengan kepala dingin. Baru saja mulai memejamkan mata, tiba-tiba sekelebat bayangan lelaki asing yang menyentuhku dan mengambil keperawananku, lewat di kepalaku.Mataku terbuka lebar karena kaget sekaligus takut. Semua masih menjadi mis
“Apa maksud pembicaraan ini? Apa yang terjadi dengan Kak Mira?” tanyaku dengan suara bergetar. Mati-matian aku menopang berat tubuh ini dengan berpegangan pada daun pintu, agar tidak jatuh pingsan. Bukannya menjawab, Kak Mira malah pergi meninggalkan kami begitu saja sambil terisak;entah disengaja atau tidak, tubuh kami saling bertabrakan dan dia terlihat masa bodoh.Julian menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Kakinya melangkah menuju meja kerja, lalu duduk di kursi kebesarannya.“Mas, ada apa dengan Kak Mira? Kenapa Mas harus tanggung jawab?!” tanyaku lagi dengan suara tinggi. Air mata sudah siap tumpah membanjiri lantai ruang kerja suamiku.Hatiku berkata, bahwa ada yang tidak baik sudah terjadi antara Kak Mira dan Julian. Namun, lelaki itu hanya membuang pandangan, serasa begitu jijik melihatku. Sengaja aku mendekat ke arahnya, lalu menatapnya dengan penuh air mata.“Katakan, Mas! Jujur
“Apa maksud semua ini, Julian? Kamu menikah lagi tanpa minta ijin dariku? Keterlaluan!” tanganku terkepal menahan tangis. Aku tidak mau dianggap lemah oleh semua keluarga Julian. Sudah cukup beberapa hari ini perasaanku terombang-ambing dengan sikap mereka.Semua yang ada di bawah sana, tentu saja sontak menoleh ke arahku dengan tatapan tidak suka. Namun tidak dengan Kak Mira;wanita yang tengah memakai kebaya putih itu menunduk malu tanpa berani menoleh ke arahku.“Aku minta kamu masuk, Anes!” suara Julian mendikteku. Kaki ini serasa melayang, berjalan mendekati mereka. Nampak Julian sedikit gugup, begitu juga dengan kedua orang tuanya. Sorot mataku tajam menatap delapan orang di sekelilingku secara bergantian. Lalu aku berhenti pada Julian.“Aku tidak pernah tahu apa maksud semua ini? Aku tidak pernah merasa bajingan saat menjadi pacar kamu sekian tahun, dan karena kesalahan satu malam yang seperti disengaja, kamu
Kusambar tas selempang yang berisi dompet dan dua ponsel. Dengan berlari, aku menuruni anak tangga, bukan hanya satu anak tangga melainkan dua anak tangga sekaligus.BrughAku jatuh tersungkur sesaat. Namun itu tak menyurutkan semangatku untuk menyusul Julian yang mobilnya belum keluar dari pekarangan rumah. Aku bangkit kembali, lalu berlari dengan sekencangnya menuju mobil yang sudah siap dikendarai oleh Mang Ismun."Mau apa kamu, Anes?" tanya Bu Dian; mama mertuaku, sekaligus mama mertua Kak Mira. Semua mata memandang aneh dan tak suka padaku. Apa aku peduli? Tentu tidak. Tanpa menjawab pertanyaan mertua, sekaligus tatapan heran Julian, aku masuk ke dalam mobil yang akan membawa pasangan mesra ini untuk berbulan madu."Keluar! Mau apa, Kamu?" Dengan kasarnya, Julian menarik tanganku keluar dari dalam mobil, tetapi aku berpegangan pada sandaran jok, hingga lelaki itu kesulitan menarikku kel
Aku terdiam memandang deburan ombak di pesisir pantai, tepat di depan cottage tempatku menginap saat ini. Langit yang tadi berwarna terang, sudah berubah jingga. Namun tak membuat pengunjung pantai beranjak dari tempat duduk mereka. Ada yang bersenda gurau dengan anggota keluarganya. Ada pula yang berasik-masyuk dengan pasangannya.Wajah kebarat-baratan cukup mendominasi pemandangan mataku saat ini. Tawa lepas dan juga rona merah malu-malu para wanita yang sedang berbincang dengan pasangannya, membuat hati ini teriris. Mau apa sebenarnya aku datang ke sini tanpa pasangan? Jika hati ini mengatakan untuk menghibur diri, sungguh sangat tidak tepat aku membohongi diriku sendiri. Bagaimana bisa aku berlibur disaat membayangkan bulan madu suamiku dengan wanita lain?TokTok“Room service,” suara di balik pintu kamar, membuatku menoleh. Tepat di atas pintu ada j
"Cih! Berlagak menjadi pahlawan. Gak bakalan uang lima ratus ribu kamu, bisa mengembalikan masa depanku yang sudah hancur!" hardikku sambil meraih kasar pakaian yang ada di dalam kantong belanja. Masa bodoh dengan lelaki itu yang terdiam sembari menunduk.Jika tidak karena dompetku yang kecopetan, tidak akan mungkin aku mau memakai uang lelaki bajingan itu untuk membayar belanjaku. Kenapa harus dia yang kutemui di sini? Bukannya lelaki lain, mantan pacarku mungkin, atau teman yang cukup dekat denganku.Sengaja kaki ini melangkah lebar meninggalkan area pertokoan. Dengan membuka sandal jepit, aku berjalan menyusuri bibir pantai. Menikmati angin pagi yang begitu kencang dan juga hawa dingin yang menusuk kulit. Walau cuaca terasa seperti musim hujan, tetapi matahari bersinar cukup terang.Debur ombak yang berayun ke arahku, membuat hati ini ikut merasakan gembira. Untuk sementara, isi kepalaku bisa melupakan kesedihan akan na
"Ups ... Sori, terlepas dari tangan saya. Oh, hai ... Kalian ada di sini juga? Saya kirain tertinggal di bandara," tukasku berpura-pura masa bodoh. Langsung aku berbalik badan dan kembali masuk ke dalam kamar. Hati ini panas dengan kelakuan Julian dan juga Mira. Sayang sekali, vas bunga tadi, tidak tepat jatuh di atas kepala Julian ataupun Mira. Jika tidak, itu rasanya lumayan memberi kepuasan padaku.Tak kudengar suara apapun di bawa sana. Itu pertanda, suamiku dengan istri mudanya, tidak menghiraukan perbuatanku. Dapat kupastikan, saat ini juga, keduanya hengkang dari cottage ini."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Ponsel tidak punya, duit sisa delapan puluh ribu. Dompet hilang. Untung udah bayar penginapan untuk satu pekan. Kalau tidak, bisa-bisa aku diusir." Perut ini pun tiba-tiba terasa lapar. Kulirik dua bungkus roti yang masih utuh. Segera kusambar untuk mengisi lambungku yang kosong. Makan pun seperti tidak bernapas. Aku benar-benar kelaparan. L