Share

Terjerat Skandal Istri Bos
Terjerat Skandal Istri Bos
Penulis: Diganti Mawaddah

1. Kecopetan Membawa Berkah

"Sial! Sial! Sial! Bisa-bisanya Noval malah kena masalah. Sekarang gue harus ke mana? Ya Tuhan, bagaimana ini?" Tangguh terus saja menggerutu sangat kesal saat mengetahui teman yang mengajaknya bekerja di Jakarta malah tengah ditahan karena mengambil ponsel milik pelanggan restoran. 

Pemuda itu berjalan menyusuri trotoar jalan, tanpa tahu harus ke mana. Lelah berjalan, Tangguh melihat warung kopi. Ia berniat untuk beristirahat sejenak di sana sambil memikirkan harus ke mana ia malam ini. 

Tangguh yang menggendong tas ranselnya di punggung, kini memindahkannya ke depan. Ia membuka risleting tas untuk mengambil dompet.

"Eh, ke mana?" pekik Tangguh tertahan saat benda yang ia cari tidak ketemu. Wajahnya semakin pucat dan ketakutan. Tangguh berjalan ke pinggir ruko yang tutup. Ia mengeluarkan semua isi tasnya untuk memastikan lagi bahwa dompetnya mungkin terselip.

"Ya ampun," gumam Tangguh terduduk pasrah saat mendapati tasnya yang robek seperti disayat pisau tajam. Disitulah ia sadar, bahwa ia kecopetan. 

Brug!

Brug!

Tiba-tiba saja, matanya menangkap kegaduhan yang terjadi di depan sebuah anjungan tunai mandiri. Seorang pria setengah tua tengah mempertahankan tasnya dari seorang lelaki tinggi besar yang tengah memakai helm. Bahkan lelaki itu hendak menusuk pria tua itu berkali-kali. 

Tangguh bangun dari duduknya, lalu melepas sepatunya. Ada sebuah batu bata yang tinggal separuh tergeletak di ujung kakinya. Tangguh mengambil batu itu, sambil berlari dengan kaki telanjangnya dan

Brak!

Bugh!

Tangguh melemparkan batu itu ke punggung si pria, hingga pria itu tersungkur. Tangguh maju dan menendang pria itu lagi tepat di selang*angannya, hingga pria itu menjerit kesakitan. Tangguh mengambil cepat tas milik lelaki setengah baya itu, lalu melemparkan pada pemiliknya.

Perampok itu berlari ketakutan setelah aksinya gagal. Napas Tangguh terengah-engah, antara rasa takut, sekaligus puas. Kekesalannya karena kehilangan dompet seakan ia tumpahkan pada lelaki perampok itu.

"Kamu gak papa, Dek? Ya Tuhan, terima kasih. Kalau tidak ada kamu, mungkin saya sudah mati," ujar pria itu dengan wajah penuh kelegaan. Lengan pria itu berdarah dan dia meringis kesakitan.

"Anda berdarah, Pak." 

"Tidak apa-apa. Saya baik-baik saja. Terima kasih banyak."

"Syukurlah, saya permisi, Pak. Hati-hati di jalan." Belum lagi lelaki tua itu menyahut, Tangguh sudah kembali berlari untuk menghampiri tasnya yang ia tinggalkan di emperan toko. Ia duduk sambil termenung, lalu tak lama kemudian, memejamkan mata.

"Anak muda, kamu sedang apa di sini?" tanya pria itu menghampiri Tangguh.

"Heh, saya berniat bekerja di Jakarta, Pak. Eh, teman saya yang mau memasukkan saya kerja malah berurusan dengan polisi. Sekarang, saya mau balik kampung saja dan saya baru sadar, kalau dompet saya dicopet. Jadi ...."

"Apa keahlianmu?" tanya lelaki tua itu sedikit penasaran. Sambil menekan tangannya yang berdarah, ia duduk di samping Tangguh.

"Mesin dan bersawah." Lelaki itu tersenyum senang, lalu merangkul pundak Tangguh.

"Kamu mau tidak bekerja bersama saya? Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih, karena kamu telah menolong saya." Tangguh menoleh pada lelaki itu dan menatapnya dengan antusias.

"Pekerjaan apa, Pak?" 

"Saya kolektor mobil-mobil lama. Ada yang masih bisa dipakai, ada yang tidak. Montir saya pulang kampung mengundurkan diri dan saya belum dapat montir baru. Apa kamu bersedia jadi montir saya. Kamu bisa tinggal di bengkel yang ada di belakang rumah saya. Yah, tidak besar, tetapi cukup sebagai tempat kamu beristirahat. Bagaimana?" Tentu itu saja ini tawaran menggiurkan bagi Tangguh, apalagi saat ini ia sendiri tidak tahu harus ke mana dan jika harus pulang kampung, tidak memiliki uang yang cukup.

Tangguh tak langsung menjawab. Pemuda itu nampak ragu.

"Ayolah, kamu coba dulu. Kalau nanti tidak berhasil, kamu akan saya berikan ongkos untuk pulang kampung. Bagaimana?"

"Baiklah, Pak, terima kasih banyak." 

Kini Tangguh sudah berada di dalam mobil pick up milik Pak Steven;itu nama yang disebutkan lelaki tua itu. Sepertinya memang keturunan bule, karena matanya saja berwarna biru dan kulit lelaki tua itu sangat putih. Walaupun Steven fasih berbahasa Indonesia, tetapi wajah semi kebarat-baratannya tidak bisa disembunyikan.

"Pak Steve orang bule ya?" tanya Tangguh sambil tersenyum samar.

"Iya, Bapak saya Belanda, ibu saya Jawa. Saya lahir dan besar di sini, jadi udah tidak nampak seperti bule lagi. Apalagi istri saya orang sini asli, jadi ... saya sudah sama seperti orang pribumi lainnya," terang Steve sambil terus fokus menyetir mobilnya. 

"Oh, begitu. Anak Bapak ada berapa?" tanya Tangguh lagi.

"Saya tidak memiliki anak. Sudah sepuluh tahun menikah, tapi belum dikaruniai anak. Mungkin belum jodohnya punya anak. Gak papa, yang penting hari tua saya sudah ada istri cantik yang mengurus."

"Oh, begitu." Tangguh kembali menggut-manggut paham. 

Mobil masuk ke pekarangan rumah besar dan sedikit kuno milik Pak Stev. Di depan teras rumahnya, nampak seorang wanita berdiri di dekat pilar besar dengan gaun tidur yang tipis yang sedikit mengkilap. 

"Itu istri saya, cantik'kan?" 

"Eh, gelap, Pak. Saya belum terlalu jelas melihat wajahnya," sahut Tangguh sambil tersenyum. Steve tertawa sambil menepuk pundak Tangguh.

"Bisa saja kamu ini!" Mobil berhenti, dan wanita tadi berlari menghampiri mobil suaminya.

"Darimana saja, Pa? Ya ampun, tangan Papa kenapa? Papa terluka? Papa dirampok?" cecar wanita itu tanpa mempedulikan kehadiran Tangguh. 

"Aku tidak apa-apa, Sayang. Pemuda ini yang telah menolongku." Steve mencium kilat bibir istrinya, lalu menunjuk ke arah Tangguh yang tengah tergugu. 

"Tangguh, kenalkan ini istri cantik saya, Melinda. Sayang, kenalkan ini Tangguh. Jika tidak ada dia, pasti kamu sudah jadi janda rebutan orang sekampung." Tangguh mengulurkan tangannya dengan kaku, dan disambut oleh Melinda dengan senyuman tipis. Tangguh merasa wanita di depannya ini bukan sekedar cantik, tapi seperti boneka Barbie. 

Sungguh di luar perkiraannya, istri cantik yang dimaksud Steve, di dalam otaknya adalah ibu-ibu bertubuh tambun dan berkulit hitam. Ini malah masih sangat muda, mungkin lebih tua beberapa tahun saja darinya. 

"Tangguh, Bu," ujar Tangguh sambil mencium punggung tangan Melinda sebagai tanda hormat. Kaki Tangguh hampir saja berubah jadi jeli, saat mencium aroma sangat wangi, tetapi lembut, punggung tangan istri Steve. 

"Melinda," katanya dengan suara datar, tetapi disertai senyuman.

"Sayang, ambilkan selimut untuk Tangguh. Beberapa hari ini, ia mungkin akan tinggal di sini untuk membantuku mengurus bengkel. Apa kamu tidak keberatan?"

"Tentu saja tidak." Ekor mata Melinda melirik Tangguh, hingga pemuda itu merasa sangat canggung.

"Aku jadi tidak kesepian lagi saat Papa pergi berbelanja barang-barang aneh untuk bengkel itu." Stev tertawa renyah sambil merangkul mesra pundak istrinya. Keduanya berbalik badan untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan Tangguh menelan Saliva, lalu dengan kilat membuang pandangannya dari Melinda. Pakaian yang dikenakan wanita itu benar-benar membuat otak lelaki manapun pasti menjelajah ke alam gaib.

"Tangguh, kenapa bengong? Sini, masuk dulu," seru Steve sambil menggerakkan tangannya meminta Tangguh untuk ikut masuk ke dalam rumah.

Bersambung_

Komen (12)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
kasihan nasib tangguh....merantau numpang teman..malah trman ditahan lolisi...untung ada pak steven
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
jsjdkdlddldldld
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
sukses bunda ceritanya bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status