Tangguh dan Steve duduk di meja bundar ruang makan, sedangkan Melinda tengah membuatkan minum untuk suami dan juga Tangguh. Langkahnya sedikit tergesa karena wanita itu ingin segera mengobati lengan suaminya yang berdarah.
"Silakan," katanya singkat sembari meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Tanpa menoleh lagi, Melinda atau yang biasa dipanggil Linda, pergi ke ruang tengah untuk mengambil kapas dan plester juga obat luka di dalam kotak obat.
"Lepaskan bajunya, Pa," seru Linda pada suaminya. Steve menurut dan menarik ke atas baju kausnya dengan hati-hati. Tangguh tak mengeluarkan suara apapun. Ia diam saja sambil menyesap teh yang menurutnya sangat enak.
"Jika sedikit sakit, tahan sebentar ya," kata Melinda lagi sembari membersihkan luka suaminya, lalu memberikan obat luka serta memplesternya dengan rapi.
"Terima kasih, Sayang," ujar Steve pada istrinya. Melinda tersenyum, lalu menyentuh pipi Steve dengan lembut. Wanita itu kembali ke ruang tengah untuk menyimpan obat luka. Lalu ia bergabung bersama suaminya dan juga Tangguh.
"Jadi, bagaimana Papa bisa hampir dirampok dan dilukai?" tanya wanita itu penasaran. Steve tertawa kecil, lalu menyesap teh hangatnya.
"Aku rasa, lelaki itu sudah membuntutiku, Ma. Begitu aku keluar ATM, langsung ia rampas tas dan melukai tanganku. Untung saja Tangguh ada di sana dan menolongku. Kejahatan malam hari sangat mengerikan dan aku benar-benar kapok untuk pergi ke ATM saat malam hari," terang Steve pada istrinya. Melinda hanya bisa menghela napas kasar, lalu menoleh ke arah Tangguh.
"Terima kasih Mas Tangguh. Besok akan saya buatkan sarapan spesial karena Mas Tangguh karena sudah berbuat baik pada suami saya," kata Linda dengan suara gembira. Wanita itu bahkan tersenyum sangat manis pada pemuda kampung yang jarang sekali melihat wanita kota yang bening seperti Linda. Tangguh menjadi sedikit canggung, tetapi ia berusaha mengangguk dengan kepala sedikit kaku.
"Oh, iya, berikan kunci kamar belakang pada Tangguh, biar dia bisa istirahat. Papa mau mandi dulu. Tangguh, saya masuk dulu ya."
"Terima kasih Pak Steve, terima kasih," kata Tangguh dengan penuh haru. Paling tidak malam ini ia memiliki tempat untuk melepas lelah dan kantuk. Melinda mengeluarkan kunci dari dalam laci, lalu memberikannya pada Tangguh.
"Ini, selamat beristirahat." Melinda meletakkan kunci kamar belakang di depan Tangguh, lalu ia masuk ke dalam kamar menyusul suaminya.
"Ah iya, saklar lampu ada di sebelah kanan pintu masuk ya," seru Melinda lagi sebelum masuk ke dalam kamar.
"Baik, Bu, terima kasih." Tangguh mengangguk paham. Pemuda itu beranjak dari duduknya, sambil membawa cangkir teh yang belum ia habiskan isinya. Ia keluar dari pintu samping, lalu berjalan menuju sebuah ruangan sangat kecil di dekat gudang mobil tua Steve.
Secara tidak sengaja dan ia benar-benar tidak tahu, jika harus melewati kamar Steve saat menuju kamar belakang dan sepertinya Melinda lupa menutup kain gorden kamar. Suara tawa renyah Melinda membuat kepala Tangguh menoleh. Pemuda itu menelan salivanya, saat melihat Steve yang tengah memakai handuk, melepas baju istrinya satu per satu.
Tangguh lekas membuang pandangan karena takut. Detak jantungnya juga seakan tengah dipompa kencang hingga bernapas pun terasa sesak. Kakinya ikut gemetar melihat pemandangan yang seharusnya tidak boleh ia lihat. Tangguh mempercepat langkah agar segera sampai di depan pintu sebuah rumah yang akan dia tinggali sementara. Pemuda itu memutar anak kunci dua kali, lalu membuka pintu dengan lebar.
Saklar lampu ada di sebelah kanan pintu. Begitu pesan nyonya majikannya tadi.
Klik
Lampu menyala dan ruangan cukup besar dengan satu buah kasur busa di atas tempat tidur single, tampak sudah lama tak terjamah. Tangguh manaruh cangkir dalam genggamannya ke atas meja berukuran sedang yang berada di pojok kamar. Lelaki itu sengaja membuka pintu sedikit lebar, agar bau apek ruangan bisa segera hilang. Ia pun mengibas-ngibaskan kain sarung yang ada di kursi kayu yang ada di sana, lalu menepuk atas ranjangnya.
Tangguh membuka bajunya, menyisakan kaus dalam putih yang masih bersih. Ia beruntung, karena di dalam ruangan itu ada kamar mandi, sehingga ia tidak perlu ke rumah Steve jika ingin mandi atau buang air kecil.
Tangguh mengambil handuk, lalu membawanya masuk ke dalam kamar mandi. Guyuran air di dalam bak, membuat kepala hingga seluruh badannya merasa segar dan rileks. Hanya saja ia tidak memakai sabun, karena memang belum membelinya. Hanya cairan sampo yang terpaksa ia gunakan untuk membersihkan kepala juga tubuhnya.
Selesai mandi, Tangguh melilitkan handuk hingga pinggang, lalu berjalan santai keluar kamar mandi.
"Eh, Bu, maaf!" Tangguh kaget saat melihat Linda sudah berada di dalam kamarnya, masih mengenakan kimono handuk saja. Tangguh canggung dan sedikit salah tingkah, apalagi Linda menatap tubuhnya tanpa berkedip.
"Tadi saya lupa memberikan selimut. Jadi suami saya meminta saya untuk mengantarnya," kata Linda dengan wajah merona.
"Ah, iya, terima kasih, Bu." Karena lampu ruangan itu cukup terang, Tangguh dapat melihat tanda merah kehitaman di leher wanita itu. Sebagai lelaki normal yang sering berkumpul dengan teman-teman dan membicarakan apapun, tentu saja ia tahu itu tanda apa. Tangguh merasa darahnya naik dengan cepat. Apalagi Melinda tidak nampak ingin segera keluar dari kamarnya.
"Ada apa, Bu?" tanya Tangguh canggung. Kakinya bagai terpaku tak sanggup bergerak. Ia bagaikan patung yang dapat bersuara. Melinda berjalan semakin dekat ke arahnya dan Tangguh semakin takut. Bisa dipastikan ia akan segera balik ke kampung, jika Melinda terus saja bersikap sedikit aneh padanya.
"Apa perlu saya mandikan? Kenapa sampo di kepala kamu masih ada?" ekor mata wanita itu tertarik ke atas kepala Tangguh dan seketika itu juga Tangguh meraba tempat yang diisyaratkan oleh bola mata majikannya. Benar saja, masih ada busa sampo di atas kepalanya.
"Saya permisi, selamat malam dan selamat beristirahat." Melinda tersenyum manis, lalu pergi begitu saja meninggalkan kamar Tangguh.
_Bersambung_
"Aah... yah... yah.... " Tangguh menjatuhkan tubuhnya di samping Linda. Ia tidak bisa melukiskan kata malu pada istrinya mengenai kekuatan di ranjangnya yang hanya bisa bertahan lima menit saja. Linda belum merasakan apa-apa, hanya nikmat pembuka saja, tetapi dirinya malah sudah selesai. Harga dirinya sebagai lelaki benar-benar sedang dipertaruhkan."Tidak apa-apa, Yah. Ibu gak papa. Ini sudah lebih baik dari bulan lalu yang benar-benar hanya dua menit saja." Linda menyentuh pundak polos suaminya. Mendekatkan tubuhnya agar berada dalam pelukan suaminya."Ini sudah dua tahun, Sayang, dan aku hanya bisa bertahan lima menit saja. Ya ampun, aku bingung harus bagaimana lagi," suara Tangguh terdengar begitu getir."Aku belum bisa mengisi rahim kamu dengan anak. Padahal si Kembar sudah ingin adik. Aku minta maaf ya," lirih Tangguh dengan mata berkaca-kaca."Tolong jangan tinggalkan aku karena lima menit ini. Aku tidak mau, Linda, aku bena
"Selamat untuk kalian berdua," kata Darwis sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Awalnya Tangguh ragu untuk menyambut tangan itu, tetapi karena Linda mengangguk pelan, maka Tangguh pun akhirnya menerima jabat tangan dari Darwis."Apa Linda belum menceritakan semuanya padamu? Wajah calon pengantin pria sepertinya begitu marah," sindir Darwis sambil mengulum senyum. Matanya tanpa sengaja menoleh pada dua anak lelaki yang baru saja naik ke atas pelaminan yang masing-masing tengah memegang cup es krim."Apa mereka yang waktu itu di perutmu?" tanya Darwis lagi sambil berbisik. Tangguh mengepalkan tangan, ingin sekali ia memukul lengan wajah Darwis hingga babak-belur, tetapi Linda kembali menahannya dengan mengusap punggung suaminya.Darwis berjalan menghampiri si Kembar, lalu ikut berjongkok di depan mereka."Halo, kenalkan, ini Opa Darwis. Kami siapa namanya?""Tarung, Opa.""Kalau kamu?""Toliq, Opa." Darwis terta
Tangguh ternyata membuktikan ucapannya. Tanggal pernikahan diedit menjadi lebih cepat dua Minggu dari yang ditentukan sejak awal. Semua orang menjadi super sibuk, termasuk Linda dan keluarga besarnya.Seperti hari ini, Linda tengah membagikan belasan batik dan gaun cantik untuk panitia acara pernikahannya. Tangguh yang menyiapkan semuanya, Linda hanya bagian membagikan dan mengatur siapa-siapa saja yang mendapat seragam.Thoriq dan Tarung duduk terdiam di depan televisi, di tengah keriuhan keluarga besar ibunya. Mereka baru saja dijemput pulang sekolah oleh salah satu saudara Linda, karena Linda sudah tidak diperbolehkan keluar rumah oleh Mamanya."Tarung, Thoriq, kenapa?" tanya Linda yang terheran melihat kedua anaknya murung, tetapi tidak ada yang menjawab pertanyaan itu."Kapan ayah Tarung dan Thoriq pulang? Apa nanti saat Ibu menikah lagi, ayah Tarung baru pulang kerja?" tanya Tarung dengan mata berkaca-kaca. Linda menghela nap
Walau dirinya bukanlah gadis, tetap saja mama dari Linda menginginkan anaknya untuk tidak tinggal di rumah Tangguh sampai keduanya sah sebagai suami istri.Ini adalah hari kelima Linda dan Tangguh tidak tinggal berdekatan. Keduanya sesekali bertemu karena ada urusan yang berkaitan dengan mengurus acara pernikahan, sekaligus sekolah untuk si Kembar.Seperti pagi ini, Tarung dan Thoriq sudah rapi dengan pakaian baju kaus, celana jeans, dan juga sepatu boot. Tak lupa tas ransel bergambar Spiderman sudah berada di punggung keduanya.Hari ini adalah hari pertama si Kembar masuk sekolah. Keduanya bersekolah di sekolah alam yang tidak mengenakan seragam. Tangguh sengaja memilih sekolah yang sedikit berbeda dengan yang umum, agar anaknya enjoy bermain sambil belajar."Kamu beneran gak mau sarapan?" tanya Linda pada Tangguh yang sudah duduk di teras rumah orang tua Linda sambil menyesap tehnya."Nggak, belum kepingin. Nanti saja samp
Pertemuan mengharukan pun tidak terelakkan begitu Linda sampai di rumah orang tuanya. Mama dari Linda bahkan pingsan karena terkejut melihat putri yang sudah lama menghilang, kini datang ke rumahnya dengan membawa anak kembar.Satu hal yang membuat keduanya semakin bertangisan, yaitu berita wafatnya ayah dari Linda yang baru saja enam bulan yang lalu."Maafkan Linda, Ma, maaf." Hanya itu yang bisa ia ucapkan berkali-kali di depan mamanya yang terbaring lemas karena pingsan. Tangguh sama sekali tidak berani mengeluarkan suara, walau ia ikut kaget dengan kabar ayah Linda yang sudah tiada."Mbak, ini!" Linda menerima minyak kayu putih dari tangan adik perempuannya. Dengan cekatan dan sangat hati-hati, Linda mengoleskan minyak kayu putih pada hidung dan juga kening mamanya.Wanita paruh baya itu akhirnya membuka mata dengan perlahan. Linda menyuapi sendok demi sendok teh manis hangat kepada Sang mama."Kami darimana saja?" tanyanya de
Pagi hari, keadaan rumah menjadi begitu semarak sejak hadirnya Tarung dan Thoriq. Alicia; anak dari Rucita pun sangat senang dengan dua saudara lelakinya yang berwajah sama. Sering sekali Alicia atau yang biasanya dipanggil Via, tertukar saat bermain dengan si Kembar."Abang Talung dan Abang Tolik kenapa mukanya sama sih, Mom?" tanya Cia pada Rucita yang ia panggil 'mommy'"Karena mereka kembar, Sayang. Lahirnya bersamaan keluar dari perut Uak Linda," jawab Rucita bijak. Ia tengah duduk di teras rumah Tangguh dan sedang mengepang rambut panjang putrinya."Jadi meleka antli pas mau kelual ya, Mom?" (Jadi mereka antre pas mau keluar ya, Mom) Rucita tergelak mendengar celotehan Cia."Iya, harus antre. Biar perut Uak Linda gak sakit," jawab Rucita membenarkan. Cia hanya manggut-manggut paham."Sudah rapi, Cia, sekarang Cia boleh main sama Abang kembar," kata Rucita pada putrinya. Gadis kecil itu pun bergabung dengan kakak sepupunya di depan kolam
"Linda, kamu mau'kan?" Tangguh sekali lagi bertanya pada wanitanya. Linda menghapus air matanya dengan punggung tangan. Bik Mirna tidak mau ketinggalan momen dengan merekam adegan manis di depan pintu rumah majikannya."Kalau aku menolah juga pasti kamu paksa!" Kata Linda ambigu. Tangguh tertawa, tetapi ia masih belum ingin berdiri dari simpuhannya."Terima ya, Teh," suara dari balik punggung Tangguh terdengar bergetar. Ia adalah Rucita yang kebetulan ingin mengantarkan durian ke rumah Tangguh dan sangat senang melihat momen Tangguh yang tengah melamar Linda. Tangguh tersenyum penuh haru saat menoleh ke belakang. Linda pun tidak bisa berkata-kata lagi.Rucita dan Tangguh sama-sama menunggu jawaban darinya. Apakah akhirnya ia harus menyerah dengan takdir? Apakah dengan menerima Tangguh maka luka lamanya akan sembuh?"Kita akan mulai semuanya dari awal. Aku janji akan sayang sama kamu dan anak-anak. Aku akan menjaga kalian. Aku mencintai k
Tangguh sudah berada di restoran. Sore ini, ia ada janji bertemu dengan Dian untuk membicarakan masalah mereka ke depannya. Bagaimanapun, lamaran sudah dilakukan dan dia harus memiliki adab saat memutuskan untuk tidak meneruskan sampai ke pelaminan.Cappucino hangat lolos ke dalam tenggorokannya. Menikmati rintik hujan yang tidak terlalu lebat, tetapi mampu menciptakan aroma tanah basah yang sangat nyaman masuk ke dalam indera penciumannya.Sebuah mobil sedan pintu dua masuk ke area restoran. Tangguh berdiri untuk menyambut wanita yang saat ini masih berstatus sebagai tunangannya."Mas, maaf, saya boleh pinjam payung? Mau jemput wanita yang baru tiba di sana!" Tunjuk Tangguh pada mobil Dian yang baru saja berhenti dengan begitu halus di parkiran."Boleh, ini, Mas." Pelayan lelaki itu memberikan payung cukup besar pada Tangguh."Terima kasih, Mas." Tangguh berlari menghampiri Dian yang baru saja keluar dari mobilnya. Lelaki i
"Kamu sangat pemaksa!" Ketus Linda dengan wajah cemberut. Mau tidak mau, ikhlas tidak ikhlas ia membuka mulut saat Tangguh menyuapinya dengan bubur ayam hangat yang rasanya sangat enak. Berbeda dengan bubur di rumah sakit yang rasanya hambar.Tangguh tersenyum melihat Linda makan dengan lahap dan begitu patuh tanpa suara. Si kembar memperhatikan dua orang dewasa di dekat mereka dengan seringai yang begitu lebar."Om sama Ibu pacalan," bisik Thoriq sok tahu."Pacaran itu apa?" tanya Tarung dengan wajah tidak paham."Olang dewasa yang dekat, telus ciuman, telus nanti tidulan baleng(orang dewasa yang dekat, terus ciuman, terus nanti tiduran bareng), hi hi hi ....""Gak boleh tiduran bareng kalau belum jadi pengantin. Kata Bude Yayu seperti itu," jawab Tarung dengan wajah serius."Pengantin itu apa?" gantian Thoriq yang bertanya pada abangnya. Maklum saja lidah Thoriq belum bisa menyebut huruf R dengan jelas, sehingga Tar