"Sial! Sial! Sial! Bisa-bisanya Noval malah kena masalah. Sekarang gue harus ke mana? Ya Tuhan, bagaimana ini?" Tangguh terus saja menggerutu sangat kesal saat mengetahui teman yang mengajaknya bekerja di Jakarta malah tengah ditahan karena mengambil ponsel milik pelanggan restoran.
Pemuda itu berjalan menyusuri trotoar jalan, tanpa tahu harus ke mana. Lelah berjalan, Tangguh melihat warung kopi. Ia berniat untuk beristirahat sejenak di sana sambil memikirkan harus ke mana ia malam ini.
Tangguh yang menggendong tas ranselnya di punggung, kini memindahkannya ke depan. Ia membuka risleting tas untuk mengambil dompet.
"Eh, ke mana?" pekik Tangguh tertahan saat benda yang ia cari tidak ketemu. Wajahnya semakin pucat dan ketakutan. Tangguh berjalan ke pinggir ruko yang tutup. Ia mengeluarkan semua isi tasnya untuk memastikan lagi bahwa dompetnya mungkin terselip.
"Ya ampun," gumam Tangguh terduduk pasrah saat mendapati tasnya yang robek seperti disayat pisau tajam. Disitulah ia sadar, bahwa ia kecopetan.
Brug!
Brug!Tiba-tiba saja, matanya menangkap kegaduhan yang terjadi di depan sebuah anjungan tunai mandiri. Seorang pria setengah tua tengah mempertahankan tasnya dari seorang lelaki tinggi besar yang tengah memakai helm. Bahkan lelaki itu hendak menusuk pria tua itu berkali-kali.
Tangguh bangun dari duduknya, lalu melepas sepatunya. Ada sebuah batu bata yang tinggal separuh tergeletak di ujung kakinya. Tangguh mengambil batu itu, sambil berlari dengan kaki telanjangnya dan
Brak!
Bugh!Tangguh melemparkan batu itu ke punggung si pria, hingga pria itu tersungkur. Tangguh maju dan menendang pria itu lagi tepat di selang*angannya, hingga pria itu menjerit kesakitan. Tangguh mengambil cepat tas milik lelaki setengah baya itu, lalu melemparkan pada pemiliknya.
Perampok itu berlari ketakutan setelah aksinya gagal. Napas Tangguh terengah-engah, antara rasa takut, sekaligus puas. Kekesalannya karena kehilangan dompet seakan ia tumpahkan pada lelaki perampok itu.
"Kamu gak papa, Dek? Ya Tuhan, terima kasih. Kalau tidak ada kamu, mungkin saya sudah mati," ujar pria itu dengan wajah penuh kelegaan. Lengan pria itu berdarah dan dia meringis kesakitan.
"Anda berdarah, Pak."
"Tidak apa-apa. Saya baik-baik saja. Terima kasih banyak."
"Syukurlah, saya permisi, Pak. Hati-hati di jalan." Belum lagi lelaki tua itu menyahut, Tangguh sudah kembali berlari untuk menghampiri tasnya yang ia tinggalkan di emperan toko. Ia duduk sambil termenung, lalu tak lama kemudian, memejamkan mata.
"Anak muda, kamu sedang apa di sini?" tanya pria itu menghampiri Tangguh.
"Heh, saya berniat bekerja di Jakarta, Pak. Eh, teman saya yang mau memasukkan saya kerja malah berurusan dengan polisi. Sekarang, saya mau balik kampung saja dan saya baru sadar, kalau dompet saya dicopet. Jadi ...."
"Apa keahlianmu?" tanya lelaki tua itu sedikit penasaran. Sambil menekan tangannya yang berdarah, ia duduk di samping Tangguh.
"Mesin dan bersawah." Lelaki itu tersenyum senang, lalu merangkul pundak Tangguh.
"Kamu mau tidak bekerja bersama saya? Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih, karena kamu telah menolong saya." Tangguh menoleh pada lelaki itu dan menatapnya dengan antusias.
"Pekerjaan apa, Pak?"
"Saya kolektor mobil-mobil lama. Ada yang masih bisa dipakai, ada yang tidak. Montir saya pulang kampung mengundurkan diri dan saya belum dapat montir baru. Apa kamu bersedia jadi montir saya. Kamu bisa tinggal di bengkel yang ada di belakang rumah saya. Yah, tidak besar, tetapi cukup sebagai tempat kamu beristirahat. Bagaimana?" Tentu itu saja ini tawaran menggiurkan bagi Tangguh, apalagi saat ini ia sendiri tidak tahu harus ke mana dan jika harus pulang kampung, tidak memiliki uang yang cukup.
Tangguh tak langsung menjawab. Pemuda itu nampak ragu.
"Ayolah, kamu coba dulu. Kalau nanti tidak berhasil, kamu akan saya berikan ongkos untuk pulang kampung. Bagaimana?"
"Baiklah, Pak, terima kasih banyak."
Kini Tangguh sudah berada di dalam mobil pick up milik Pak Steven;itu nama yang disebutkan lelaki tua itu. Sepertinya memang keturunan bule, karena matanya saja berwarna biru dan kulit lelaki tua itu sangat putih. Walaupun Steven fasih berbahasa Indonesia, tetapi wajah semi kebarat-baratannya tidak bisa disembunyikan.
"Pak Steve orang bule ya?" tanya Tangguh sambil tersenyum samar.
"Iya, Bapak saya Belanda, ibu saya Jawa. Saya lahir dan besar di sini, jadi udah tidak nampak seperti bule lagi. Apalagi istri saya orang sini asli, jadi ... saya sudah sama seperti orang pribumi lainnya," terang Steve sambil terus fokus menyetir mobilnya.
"Oh, begitu. Anak Bapak ada berapa?" tanya Tangguh lagi.
"Saya tidak memiliki anak. Sudah sepuluh tahun menikah, tapi belum dikaruniai anak. Mungkin belum jodohnya punya anak. Gak papa, yang penting hari tua saya sudah ada istri cantik yang mengurus."
"Oh, begitu." Tangguh kembali menggut-manggut paham.
Mobil masuk ke pekarangan rumah besar dan sedikit kuno milik Pak Stev. Di depan teras rumahnya, nampak seorang wanita berdiri di dekat pilar besar dengan gaun tidur yang tipis yang sedikit mengkilap.
"Itu istri saya, cantik'kan?"
"Eh, gelap, Pak. Saya belum terlalu jelas melihat wajahnya," sahut Tangguh sambil tersenyum. Steve tertawa sambil menepuk pundak Tangguh.
"Bisa saja kamu ini!" Mobil berhenti, dan wanita tadi berlari menghampiri mobil suaminya.
"Darimana saja, Pa? Ya ampun, tangan Papa kenapa? Papa terluka? Papa dirampok?" cecar wanita itu tanpa mempedulikan kehadiran Tangguh.
"Aku tidak apa-apa, Sayang. Pemuda ini yang telah menolongku." Steve mencium kilat bibir istrinya, lalu menunjuk ke arah Tangguh yang tengah tergugu.
"Tangguh, kenalkan ini istri cantik saya, Melinda. Sayang, kenalkan ini Tangguh. Jika tidak ada dia, pasti kamu sudah jadi janda rebutan orang sekampung." Tangguh mengulurkan tangannya dengan kaku, dan disambut oleh Melinda dengan senyuman tipis. Tangguh merasa wanita di depannya ini bukan sekedar cantik, tapi seperti boneka Barbie.
Sungguh di luar perkiraannya, istri cantik yang dimaksud Steve, di dalam otaknya adalah ibu-ibu bertubuh tambun dan berkulit hitam. Ini malah masih sangat muda, mungkin lebih tua beberapa tahun saja darinya.
"Tangguh, Bu," ujar Tangguh sambil mencium punggung tangan Melinda sebagai tanda hormat. Kaki Tangguh hampir saja berubah jadi jeli, saat mencium aroma sangat wangi, tetapi lembut, punggung tangan istri Steve.
"Melinda," katanya dengan suara datar, tetapi disertai senyuman.
"Sayang, ambilkan selimut untuk Tangguh. Beberapa hari ini, ia mungkin akan tinggal di sini untuk membantuku mengurus bengkel. Apa kamu tidak keberatan?"
"Tentu saja tidak." Ekor mata Melinda melirik Tangguh, hingga pemuda itu merasa sangat canggung.
"Aku jadi tidak kesepian lagi saat Papa pergi berbelanja barang-barang aneh untuk bengkel itu." Stev tertawa renyah sambil merangkul mesra pundak istrinya. Keduanya berbalik badan untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan Tangguh menelan Saliva, lalu dengan kilat membuang pandangannya dari Melinda. Pakaian yang dikenakan wanita itu benar-benar membuat otak lelaki manapun pasti menjelajah ke alam gaib.
"Tangguh, kenapa bengong? Sini, masuk dulu," seru Steve sambil menggerakkan tangannya meminta Tangguh untuk ikut masuk ke dalam rumah.
Bersambung_
Tangguh dan Steve duduk di meja bundar ruang makan, sedangkan Melinda tengah membuatkan minum untuk suami dan juga Tangguh. Langkahnya sedikit tergesa karena wanita itu ingin segera mengobati lengan suaminya yang berdarah. "Silakan," katanya singkat sembari meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Tanpa menoleh lagi, Melinda atau yang biasa dipanggil Linda, pergi ke ruang tengah untuk mengambil kapas dan plester juga obat luka di dalam kotak obat. "Lepaskan bajunya, Pa," seru Linda pada suaminya. Steve menurut dan menarik ke atas baju kausnya dengan hati-hati. Tangguh tak mengeluarkan suara apapun. Ia diam saja sambil menyesap teh yang menurutnya sangat enak. "Jika sedikit sakit, tahan sebentar ya," kata Melinda lagi sembari membersihkan luka suaminya, lalu memberikan obat luka serta memplesternya dengan rapi. "Terima kasih, Sayang," ujar Steve pada istrinya. Melinda tersenyum, lalu menyentuh pipi Steve dengan lembut. Wanita itu kembali ke
Tangguh memang terbiasa bangun sebelum subuh untuk berolah raga dan juga membereskan rumah. Walau sudah ada adik perempuannya di rumah, tetapi untuk urusan menyapu dan mengepel, sudah menjadi tugas dan kebiasaannya. Selesai dengan membereskan rumah sederhananya, Tangguh pergi keluar rumah dengan memakai baju kaus dan celana training. Ia ingin lari pagi—menghirup udara pagi ibu kota yang masih terlihat asri, karena masih banyak pohon di sekitar area perumahan. Melinda menyingkap sedikit tirai jendela kamarnya untuk melihat siapa yang tengah membuka pagar. Bibirnya mengerucut saat tahu pemuda yang menumpang di belakang rumahnya akan berolah raga. Linda menutup tirai kembali, lalu berjalan mendekati ranjang;di mana suaminya masih mendengkur dengan keras. “Sayang, kamu tidak ingin berolah raga? Staminamu payah sekali setahun belakang ini,” bisik Linda di telinga suaminya. Steve membuka matanya sedikit, lalu berbalik badan me
"Pak, Pak Steve ... tolong!" teriak Tangguh begitu masuk ke dalam pekarangan rumah Steve. Ia meletakkan Linda berbaring di atas kursi panjang terbuat dari rotan yang ada di teras rumah Steve.Clek"Loh, ada apa ini?" tanya Steve saat membuka pintu dan melihat istrinya tengah terkulai lemas. Pria setengah baya itu berjongkok di dekat istrinya sambil mengecek hidung dan juga denyut nadi."Ada apa, Guh? Kenapa bisa istri saya pingsan seperti ini? Cepat ambilkan minyak kayu putih di dalam! Ada di dapur. Kotak obat berwarna putih yang menempel di dinding," seru Steve dengan wajah khawatir. Tangguh bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil minyak kayu putih sesuai perintah Steve. Setelah menemukannya, Tangguh kembali berlari ke teras untuk memberikan minyak itu pada Steve, lalu dengan inisiatifnya sendiri Tangguh masuk kembali ke dalam rumah untuk membuatkan teh."Papa," lirih Linda membuka matanya dengan perlahan."Syukurlah kamu sudah sadar.
Pekerjaannya dimulai sekarang, tepat pukul sembilan pagi, Tangguh mulai mengecek satu per satu mobil rongsokan milik Pak Steve. Ada banyak jenis mobil yang Tangguh baru benar-benar melihatnya secara nyata. Biasanya ia hanya melihat sekilas lewat majalah atau internet, sekarang mobil tua hampir punah dan tampilan sangat mengerikan ada di depan matanya."Gimana, kamu suka?" tanya Steve begitu melihat Tangguh antusias. Pemuda itu tentu saja langsung mengangguk senang sembari menarik garis bibirnya."Saya merasa ini berkah untuk saya karena sudah bertemu dengan Pak Steve dan istri. Saya berjanji akan bekerja sebaik-baiknya. Biasanya saya hanya melihatnya dari internet atau majalah saat saya sekolah, namun sekarang semua kendaraan kece ini ada di depan mata saya," papar Tangguh dengan penuh semangat. Kakinya berkeliling memperhatikan tumpukan mobil tua yang hampir punah."Saya yang beruntung bertemu denganmu. Oh iya, sore ini saya akan ke kota, apa kamu ingin m
"Sayang, apa yang kau lakukan pada Tangguh?""Eh, Sayang ... aku membawakan kalian teh dan kue. Kedatanganku yang tiba-tiba membuat kepala anak muda ini terbentur kap mobil dengan cukup keras. Jadi aku melihatnya, khawatir ada luka dalam di sana. Kamu tahu sendiri'kan kalau luka di kepala itu sangat sensitif?" Linda berjalan mendekat pada suaminya dengan sebelah kaki yang pincang. Steve kembali iba dan mengulurkan tangannya untuk membantu Linda yang kesulitan saat berjalan."Harusnya kamu tidak perlu repot, Sayang. Kami baru saja sarapan'kan. Mungkin agak siang, tetapi karena kamu sudah berbaik hati membawakan teh dan kue, aku akan mencicipinya terlebih dahulu, baru ke peternakan." Steve merangkul pinggang istrinya.Tangguh yang merasa malu dengan pemandangan romantis suami istri majikannya, kembali memilih melanjutkan aktivitasnya."Tangguh, apa kepalamu baik-baik saja?" tanya Steve pada Tangguh."Tidak apa-apa, Pak, nanti juga sembuh,
Tangguh memperbaiki keran air dengan cepat, sehingga Linda dapat meneruskan mencuci piring sambil tersenyum sangat manis pada pemuda itu. Melihat baju Tangguh yang kotor, reflek tangan Linda menyentuh bagian dada pemuda itu, menepuk-nepuknya dengan pelan."Kamu berotot sekali," bisik Linda membuat Tangguh kembali menahan napas cukup lama. Steve masih berada di teras rumah sedang menelepon seseorang sehingga ia tidak mengetahui yang terjadi di dapur antara istrinya dan juga Tangguh."S-saya permisi, Bu." Tangguh yang semakin takut, memutuskan untuk pamit undur diri, tetapi Linda dengan sigap menahan tangan Tangguh dan menariknya dengan kasar, hingga tubuh keduanya bertabrakan.Tangguh mendelik kaget dan ia tidak berani mengembuskan napas, saat kedua bola matanya bertatapan begitu lekat dengan bola mata Linda. Ia ingin sekali berontak, tetapi sisi lain hatinya menahannya untuk menikmati momen langka ini.CupDengan sedikit berjinjit, Linda mengecup p
Dewasa 21+ "Apa kau benar-benar mencintaiku?" bisik Linda saat keduanya sudah berada di dalam kamar yang dikunci. "Tentu saja, saya mencintai Bu Linda. Apa itu boleh?" tanya balik Tangguh sambil menahan aliran darah yang tiba-tiba begitu kencang menuju senjata miliknya. Kedua masih mengunci pandangan dengan kedua tangan Tangguh memeluk pinggang Linda. "Aku pun sama," jawab Linda begitu lembut sambil melepas pelukan Tangguh pada pinggangnya, lalu tangan wanita itu memegang tangan Tangguh, jemari mereka bertautan dengan tatapan saling mengunci. Linda mendorong lembut tubuh pemuda itu hingga menabrak dinding. Meletakkan tangan Tangguh di atas kepalanya dan sedikit berjinjit untuk mengulum mesra bibir kekasihnya. Linda menekan kakinya pada kedua kaki Tangguh dalam keheningan yang membuat desah napas Linda dan juga Tangguh, serta alunan gesekan kedua tubuh mereka terdengar semakin keras. Tangguh menur
Linda sangat senang dengan Tangguh. Pemuda itu begitu sehat dan kuat sehingga mereka bisa mengulanginya hingga beberapa kali. Tak terlihat lelah atau napas yang tersengal karena kelelahan. Wanita muda itu tahu ia tidak pernah salah menentukan lelaki selama hidupnya. Tangguh berbaring memejamkan kedua matanya dengan kedua tangan sebagai alas kepalanya. Pemuda itu tidak benar-benar tidur hanya ia tengah memikirkan perbuatannya yang terlalu nekat dan membahayakan.“Sebaiknya saya kembali bekerja, Nyonya,” kata Tangguh sembari mencoba bangun dari posisinya. Linda yang tengah memeluknya dengan tubuh polos tentu tidak akan membiarkan momen langka ini berlalu begitu cepat. Baru pukul satu siang dan masih ada tiga jam lagi sampai suaminya pulang. Ia masih ingin bermalas-malasan bersama pemuda tampan dan juga kuat seperti Tangguh.“Nanti saja, aku masih ingin memelukmu,” bisik Linda dengan menahan lengan Tang