Dua pria tampan yang sedang sarapan dengan dua wanita cantik, tidak pernah melunturkan senyum tanggal berhias di wajahnya. Keduanya sangat senang, bisa sarapan bersama seperti ini, dan sedikit terlihat di benak Dafa jika suatu saat nanti ia bisa bersama kedua orang tuanya juga. Dengan status sang adik yang sudah berbeda bersama sahabatnya. Begitu pun Tito, pria itu menunduk mengigit bibir bawahnya ketika sebuah khayalan melintas di otaknya, di mana ia sudah menikah dengan Syifa dan hidup bersama wanita itu. Ketika sarapan seperti ini ada rasa hangat menjalar di hatinya, secara Tito jarang sekali memiliki momen bersama keluarganya seperti ini, hanya untuk sekedar sarapan bersama saja itu adalah hal langka terjadi. Dafa menoleh pada Aya, tidak lama ia tersedak ketika mengartikan arti gerakan tangan sang istri. "Mas, aku jadi nggak sabar mereka menikah, pasti seru sarapan bersama tiap hari.""Uhuk_ uhuk." Aya panik ia mengambil air minum yang langsung di minum hingga tandas oleh Daf
Ayana nenyentak tubuh Dafa, sampai pria itu hampir terbentur pinggiran meja. Kepalanya menggeleng kuat. "Nggak Mas! aku nggak mau." Aya menolak, ia masih takut dan trauma. Membayangkan wajah Rama saja sudah membuat ingatannya terputar kembali di masa, ketika Rama memukulnya. Memberi hukuman, berupa tidak boleh makan dan kurungan di dalam gudang. Tubuh wanita itu bergetar hebat, Dafa pun kian panik. Ini yang paling Dafa takutkan jika membahas pria itu kembali. "Sayang, stop. Jangan di pukul, aku mohon jangan sakiti diri kamu sendiri!" bentak Dafa mencoba meraih tangan Aya yang sedang memukuli kepalanya. Tangisan Aya kian histeris, ia seperti meminta ampun. Bahkan ia terus saja mendorong Dafa agar menjauh. Tak menyerah, Dafa merapatkan tubuhnya pada Aya, menjadikannya tameng agar Aya tak terus menyakiti anggota tubuh yang lain. Dafa tak ingin anaknya kenapa-napa, biarlah dirinya yang merasakan sakit dari pukulan wanita itu. "Ssstt! Sayang sudah, jangan sakiti diri kamu. ingat ana
"Mas gimana keadaan Mba Aya? Mba Aya nggak apa-apa kan?" panik Syifa ketika mendengar kabar dari Tito, kalau Aya sempat ketakutan dan traumanya kambuh kembali. "Alhamdulillah udah nggak apa-apa, Dafa berhasil nenangin Aya,""Alhamdulillah," syukur Syifa, mengusap usap dadanya. "Kalau aku pikir-pikir lagi, mending nggak usah nuruti keinginan mantan Mba Aya itu, lagian dia udah jahat. Gara-gara tuh orang, aku hampir kehilangan calon keponakan!" ucap Syifa mengebu. Tito hanya tersenyum gemas melihat Syifa yang terlihat begitu emosi membicarakan mantan suami dari kakak iparnya. "MAS!" sentak gadis itu. "Kok malah senyum-senyum sih, aku serius loh!" sewotnya, menatap Tito kesal. "Kamu gemesin kalau lagi ngambek," jawab Tito sembari mencubit pipi Syifa. Gadis itu pun merubah mimik wajahnya, kini ia memalingkan wajah menutupi rona merah di pipinya. "Ciye_ ada yang salting." goda Tito. "Nggak! siapa yang salting." balas Syifa tak santai."Masa sih? kok pipinya merah," lanjut pria itu
"Mba tenang ya, jangan mikir soal pria itu lagi," tekan Syifa begitu sabar. "Benar yang di katakan Syifa, kalau kamu merasa tertekan dan nggak mau. Nggak usah pergi, toh Dafa nggak maksa kamu kan?" sambung Tito. Ayana menghela napas besarnya, lalu mengangguk pelan menatap Syifa dan Tito bergantian. "Assalamu'alaikum." salam Dafa yang baru tiba. Pria itu mengerutkan kening dan berlari kearah Aya dengan wajah panik. "Ada apa ini? kenapa pada tegang gini, sayang kamu nggak apa-apa kan?" paniknya, ia menangkup kedua pipi sang istri. Aya tersenyum, namun ia menubruk pria itu lalu memeluk Dafa erat. "Sebenarnya ada apa?" tanya Dafa ke adik dan sahabatnya. "Lo kemana sih?!" sentak Tito. "Istri lagi nggak baik-baik aja lo tinggal!" lanjut Tito sedikit melebarkan matanya, seolah marah, namun sebenarnya hanya menggertak Dafa. "Ck, gue habis ke resto ada sesuatu yang harus gue cek." ujarnya jengkel, tangannya mengusap usap punggung Aya. "Sayang, kamu nggak apa-apa?" tanya lagi Dafa. Aya
Syifa hari ini terlihat begitu bahagia, gadis itu kini menggunakan kaos putih yang di balut kemeja kotak-kotak merah, celana jeans dengan aksen sobek-sobek, sedangkan rambutnya diikat kuda naik memperlihatkan leher jenjangnya.Da berniat memberi kejutan kepada sang kekasih, yang di mana Syifa akan datang ke kantor Tito. Bermodalkan alamat dari sang Kakak, kini gadis itu sedang berada di dalam taksi, wajahnya sangat berseri dan full senyum. Entah kenapa dia ingin sekali datang ke kantor pria itu, sembari membawa makanan yang khusus dia masak untuk Tito. Berhubung hari ini tidak ada jadwal kuliah, maka Syifa mempergunakan waktu luangnya memasak di temani Kakak iparnya. Menatap rantang di pangkuannya, Syifa berharap Tito menyukai masakannya, dan yang lebih spesialnya adalah, Tito adalah pria pertama yang Syifa buatkan makanan. Tiba di gedung tinggi, seketika detak jantung Syifa berdetak cukup kencang, ia sampai harus mendongak untuk melihat setinggi apa gedung itu. Di depan gedung
Hening itulah yang terjadi di ruangan Tito, usai kejadian beberapa menit yang lalu, pria itu segera menarik tangan Syifa pergi dan membawanya ke ruangan kebesarannya. Syifa berdecak kagum, ruangan kantor Tito saat ini jauh lebih besar, dari pada ruangan yang beberapa hari lalu dia datangi. "Mas seharusnya kamu jangan main pecat aja, kan kasian." ucap Syifa pada akhirnya, memberanikan diri. Tito berdecak kesal lalu menghela napas panjang. "Aku nggak pernah nyuruh karyawan aku, nggak sopan sama orang yang sudah datang ke kantor aku.""Tapi tadi kamu lihat, dia nggak sopan." kini giliran Syifa yang menghela napas. "Ya mungkin aku juga yang salah Mas, aku kayaknya salah kostum. Nggak seharusnya aku datang kesini pakai baju kayak gini," ujarnya lalu menunduk melihat penampilannya sendiri. "Apa yang salah, kamu cantik. Dan aku nggak peduli kamu pakai baju apa datang kesini," saut Tito. Sontak pipi Syifa memerah, menyadari hal itu Tito ikut tersenyum mencolek pipi sang kekasih. "Ciyee,
"Gimana Mas? enak nggak masakan aku?" tanya Syifa, wajahnya begitu tegang. Dia takut akan mengecewakan Tito, dia takut masakan yang dia buat tak sesuai apa yang pria itu suka atau inginkan. "Masa masih tanya? lihat dong," Tito menunjuk rantang yang kini sudah kosong tak tersisa. "Gimana menurut kamu?" Syifa justru menggaruk pipinya, ia sama sekali tidak paham dengan apa yang di maksud kekasihnya. Menghela napas berat, Tito terkekeh pelan apalagi melihat raut wajah kebingungan Syifa. "Ya Allah, kamu nggak ngerti?" tanya Tito gemas. "Hehehe_ nggak Mas," sontak Pria berkemeja merah maron itu tertawa terbahak. "Ya ampun, kamu gemesin banget sih." mencubit pipi gadis itu. "Kalau Mas makannya lahap sampai habis nggak tersisa, berarti makanan kamu enak," jelas Tito yang membuat Syifa bisa bernapas lega. "Alhamdulillah, kalau gitu." ucap Syifa menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa, tersenyum dengan senang. "Memang kenapa sih?""Aku takut aja kalau masakan aku gagal, terus Mas Tito ng
Jam menujukan pukul dua siang, saat ini di rumah Dafa hanya ada Aya dan Mbo Darmi, itu pun beliau sedang di belakang. Sedangkan Aya, berada di ruang tengah menonton sendiri. Dafa sedang ke resto dan katanya akan pulang sore, Aya juga tidak bisa melarang, biar bagaimana pun resto adalah pekerjaan suaminya, meskipun Restoran itu milik sendiri dan sudah ada beberapa karyawan dan orang kepercayaan, namun tetap saja Dafa harus bertanggung jawab dan tetap datang untuk mengecek semuanya. Aya mengerutkan kening, saat asyik menonton televisi tiba-tiba suara pintu di ketuk mengusik dirinya, seketika jantungnya berdetak kencang, ia takut yang tidak-tidak. Menoleh ke samping kanan, Aya berharap Mbo Darmi muncul dan membukakan pintu itu, namun sepertinya wanita yang hampir menginjak usia enam puluh tahun tersebut tak mendengar. Aya bingung dan takut, haruskah ia membukakan pintu, bagaimana kalau orang itu jahat, dan membuatnya celaka. Perempuan itu reflek memegang perutnya, ia tidak mau terj