Hari yang disebutkan Ayah, akhirnya tiba juga. Bu Fatimah akan datang bersama Samudra, anaknya. Lucunya Nirmala jatuh sakit tepat di hari ini. Bagiku dia hanya pura-pura saja agar tetap berada di rumah. Entah apa yang akan direncanakannya, aku sudah berpasrah diri kalau memang laki-laki yang bernama Samudra itu bukan jodohku. Mungkin Tuhan sedang mempersiapkan jodoh terbaikNya.
"Biarlah dia tetap di rumah. Ibu malah khawatir kalau dia harus diungsikan ke tempat lain. Lagian Ayah kan tahu, Nirmala ini kalau sakit, orangnya manja banget. Dikit-dikit Ibu." Ibu menatap Nirmala dengan penuh cinta. Diusapnya lembut rambut bergelombang Nirmala. Ia terbaring lemah di tempat tidur dengan berselimutkan sampai batas leher.
"Memang kamu sakit apa, Nir? Kok mendadak," tanyaku menyelidik.
"Ehm ... Nggak tahu, tiba-tiba nggak enak badan, Kak. Lemas dan sedikit batuk." Nirmala tiba-tiba batuk.
"Ya sudah … terserahlah. Yang penting kamu tetap di kamar dan jangan ke depan, apalagi ikut bergabung. Ini hari penting kakakmu. Paham kan?" Nirmala menganggukkan kepala.
"Obat juga jangan lupa diminum, biar lekas sembuh," lanjut Ayah tampak mengkhawatirkannya. Nirmala kembali mengangguk lemah.
Aku sendiri bingung apakah harus percaya padanya atau tidak. Kalau dilihat dari tampilannya, memang sangat menyakinkan kalau Nirmala sedang sakit. Bibirnya pun tampak pucat.
"Ayah percaya sama Ibu. Nirmala nggak akan kemana-mana. Dia tetap di dalam kamar sampai pertemuan keluarga ini selesai," janji Ibu meyakinkan Ayah.
Ayah mengangguk mempercayai ucapan Ibu. "May, kamu bersiaplah!" Titahnya padaku sembari melangkahkan kaki keluar kamar Nirmala.
"Iya, Yah," jawabku lirih. Kening mengkerut saat tak sengaja bertatap mata dengan Nirmala. Dia tersenyum menyeringai. Apa maksud senyumannya itu? Apakah sakit ini hanya akal-akalannya saja.
***
"Silakan masuk Bu." Ibu mempersilakan Bu Fatimah masuk ke dalam ruang tamu. Keluarga Bu Fatimah telah datang.
"Terima kasih Bu Denok," sapa Bu Fatimah. Denok adalah nama ibu sambungku, yaitu ibunya Nirmala.
Terdengar langkah tegap seseorang di belakang Bu Fatimah. Ada juga suara derap kecil mengekor langkah besar tersebut. Aku duduk dengan cemas di ruang tengah. Sesekali mengintip dari balik dinding partisi dengan bentuk rak yang berisi buku dan hiasan lainnya yang membatasi ruangan ini, menunggu panggilan Ayah ataupun Ibu.
"May, ke depan. Jangan lupa bawa kue dan minuman yang sudah kamu siapkan," titah Ibu. Aku mengangguk dan berlalu ke dapur.
Terdengar suara Ayah dan Ibu Fatimah saling bertukar tanya mencoba mencairkan suasana yang tampak kaku. Ada juga suara bariton selain suara Ayah, ikut bicara. Aku yakin Itu suaranya Samudra. Kuhampiri mereka dengan rasa gugup.
"Nah, ini May, Maysarah--anak kami," ucap Ayah memperkenalkanku di hadapan lelaki itu, setelah meletakkan jamuan kecil di atas meja. Aku hanya mengangguk dan sekilas menatapnya. Wajah itu sama persis dengan yang di foto. Tampan. Malah sekarang jauh lebih muda dari foto yang ditunjukkan ibunya kemarin.
"Nak May, ini Samudra dan itu anaknya--cucu saya juga--Bulan namanya." Bu Fatimah memperkenalkan Samudera dan cucunya kepadaku.
Samudra mengulurkan tangannya. Kubalas dengan menangkupkan kedua tangan di atas dada. "Maysarah," ucapku memperkenalkan diri.
Lelaki di hadapanku terlihat canggung dan menarik tangannya kembali.
Aku yang berdiri, turun sedikit berjongkok mensejajarkan badan dengan gadis kecil yang duduk di hadapanku.
"Hai, nama Tante Maysarah, panggil saja Tante May. Nama kamu siapa?" Kucoba menyapa anaknya dengan ramah yang bernama Bulan. Tangan kujulurkan ke arahnya. Anak kecil perempuan, dengan bando berwarna pink di atas kepalanya itu menoleh cepat ke ayahnya, seperti meminta jawaban atas pertanyaanku.
"Bulan," jawabnya dengan menangkupkan kedua tangan di dada persis sepertiku membalas uluran tangan ayahnya barusan.
Semua yang berada di ruangan ini tergelak tertawa melihat polah Bulan.
"Sayang, kalau diminta salim, balas uluran tangannya. Kan begitu yang Nenek ajarkan." Bu Fatimah mencoba menjelaskan.
"Maksud nenek, kalau Bulan salim sama sesama perempuan harus jabat tangan, tapi kalau sama anak laki-laki baru seperti yang Bulan lakukan tadi," timpal Samudra ikut menjelaskan dengan lembut.
Bulan walau kulihat masih dengan raut bingung, tetap menganggukkan kepala tanda mengerti.
"Nggak papa, maaf ya, cara Tante tadi membingungkan Bulan ya?" Anak kecil dengan bulu mata lentik ini mengangguk lemah. "Nama Bulan cantik, secantik orangnya." Gadis kecil itu langsung tersenyum manis menanggapi ucapanku.
Jadi Tante May ini yang akan menjadi Bunda Bulan?"
"Hah!" Mataku melebar saat dia menyebutku akan menjadi bundanya. Bu Fatimah hanya tertawa kecil berbanding terbalik dengan Samudra yang wajahnya tampak datar saja tanpa ekspresi.
"Iya, itu kalau Tante May bersedia," ucap Bu Fatimah menjawab pertanyaan cucunya sambil melirikku.
"Tante May mau ya? Bulan kesepian kalau di rumah ditinggal Ayah kerja," timpalnya membuatku salah tingkah. Aku jadi bingung bagaimana caraku menjawab pertanyaan bocah berumur lima tahun?
"Bulan … hussstttt!" Samudera menegur Bulan dengan menempelkan telunjuk ke atas bibir, isyarat diam.
"Maaf, Yah," lirihnya berucap seraya menutup mulutnya dengan satu tangan.
"Tidak apa, namanya juga anak kecil," tukas Ayah dengan terkekeh kecil melihat tingkah menggemaskan Bulan.
"Ekhem … jadi gimana Pak? Apa kalian sudah mempunyai jawaban atas lamaran waktu itu?" Timpal Bu Fatimah.
"Ehm … kalau saya terserah May, kalau Samudera sendiri kenapa mau dijodohkan dengan anak saya?" tanya balik Ayah.
Lelaki yang duduk merangkul anaknya ini menatapku sekilas. "Saya tidak punya waktu untuk mencari sendiri, Pak. Saya rasa pilihan Ibu saya tidak pernah salah. Apalagi saya mempunyai satu anak perempuan. Malah kalau saya boleh tanya, apa putri Bapak tidak keberatan menikah dengan saya yang merupakan duda beranak satu ini?"
Ayah melirikku, begitupun yang lain ikutan menatap ke arahku mencari jawaban.
"Permintaan saya cuma satu, tolong jaga dan sayangi Bulan seperti anak sendiri. Kebahagiaannya adalah kebahagiaan saya ju--" ucapan Samudera terjeda. Ia menatap ke arah lain. Aku mengikuti arah pandangannya yang tertuju ke dalam.
Nirmala. Ia muncul dengan pakaian rapi khas dia berangkat kerja di pagi hari. Kemeja cokelat dengan rok pendek selutut ditambah sepatu high heels menghiasi kaki jenjangnya. Aku tertunduk lesu setelah kemunculannya. Mungkin ini rencananya yang ingin menunjukkan diri di hadapan calon suamiku.
"Nirmala, kamu kok?" tanya Ibu Denok kaget. Begitupun Ayah.
"I--itu, Mala ha--rus ker--ja, Bu, Yah. Ada kerjaan yang ternya--ta belum Mala selesaikan, maaf," jawabnya dengan terbata. Tatapan matanya tak lepas dari Samudera. Sedang lelaki yang duduk di hadapanku ini hanya melihat sekilas lalu kembali menatap ke depan, ke arah Ayah.
"Tapi ini kan hari Sabtu dan kamu kan lagi sakit," tegur Ibu pelan.
"Urgent Bu, lagipula badan Mala sudah agak mendingan." Aku tersenyum getir mendengarnya.
Heh! Actingmu luar biasa Nir.
Ayah menghela napas berat. "Pergilah!" Pandangannya tertuju ke Samudra dan Bu Fatimah.
"Iya, Yah. Maaf," sahutnya lagi berjalan menghampiri kami.
"Maaf, boleh nanya." Nirmala menghentikan langkahnya di depan Samudra.
Kami semua menatap intens Nirmala. Apalagi maunya?
"Saya?" tanya balik Samudera.
"Bapak Biru 'kan? Biru Samudra."
Lelaki yang kuketahui namanya hanya Samudra mengangguk pelan. "Ya," jawabnya. Ia menautkan kedua alisnya.
Mata Nirmala terbelalak mendengar jawaban Samudra. "Kenal--kan Pak. Saya Nirmala--anak marketing di perusahaan Bapak."
Deg. Aku terkejut begitupun Ayah dan Ibu.
"Maksudnya?" tanya Ibu, bingung.
"Pak Biru adalah CEO di perusahaan Samudra group. Dia bos besar Nirmala, Bu."
"apa!" Ibu terkejut mendengar siapa jati diri Samudra sebenarnya. Begitu juga dengan kami yang berada di sini. Aku bahkan tidak tahu menahu siapa sosok calon suamiku ini."Kenalkan Pak, saya Nirmala, anak marketing. Baru masuk dan masih dalam masa percobaan enam bulan." Tangan Nirmala masih mengambang di udara menunggu sambutan dari Samudra.Lelaki yang sedang ditunggu sambutan tangannya ini melirikku sekilas, lalu, "Samudra," jawabnya dengan menangkupkan kedua tangan di dada tanpa mengulurkan tangannya ke arah Nirmala. Aku kaget, apalagi melihat Bulan malah tertawa terkikik, melihat uluran tangan Nirmala yang tidak diterima ayahnya."Kayaknya Tante ini juga nggak tahu Nek, kalau bukan perempuan tidak boleh salaman," celoteh Bulan masih dengan tawa yang belum hilang. Aku sampai mengulum senyum saat Nirmala menarik tangannya dengan malu.&nbs
Aku mematut diri di cermin. Menatap bayangan sendiri. Kulepas kacamata yang sudah bertengger manis di pangkal hidung. Mengamati sebentar wajah ini tanpa kaca berbingkai dua tersebut, lalu memasangnya kembali.Perkataan Nirmala terngiang kembali di telinga. Apa hubungannya dengan kacamata ini? Aku hanya menggunakannya saat ke sekolah saja. Lagian ke sana buat ngajar, bukan buat narik perhatian kaum Adam. Heh! Saranmu tidak perlu keturuti. Gaya pakaian seharianku juga tidak kuno, apalagi ketinggalan jaman. Penampilanku masih modis. Lebih baik jadi diri sendiri. Tidak ingin juga jadi orang lain, apalagi jadi kamu, Nir.Kepalaku menoleh ke suara pintu yang berderit. Nirmala. Untuk apa lagi dia masuk ke kamarku sepagi ini? Apa gegara dia barusan muncul di benakku? Sepertinya aku harus memasang alarm di ponsel, sebagai pengingat untuk selalu mengunci pintu.
Setiap hari aktivitasku hanya seputar rumah dan sekolah. Setelah selesai ngajar, maka langsung pulang ke rumah. Pergi keluar kalau ada kepentingan mendesak saja atau memang ada ajakan dari teman terdekat. Itu pun perginya cuma sebentar. Biasanya pergi pas weekend atau libur ngajar.***"Kasihan ya Bu May. Gagal terus nikahnya. Mungkin kena karma ibunya kali. Iya kan Lin?" Kaki yang ingin melangkah masuk ke dalam kantor guru, terhenti di depan pintu yang terbuka. Kuusap pelan dada, meredakan emosi yang mulai naik. Selalu saja ada yang mengaitkan tentang nasib burukku yang gagal menikah dengan almarhumah Bunda."Hussstttt! Jangan bicara sembarang. Memang takdir saja. Lagi pula mungkin itu cara Tuhan menyeleksi jodoh Bu May. Asal Bu Rahma tahu, calon Bu May yang sebelumnya nggak ada yang beres. Untunglah Bu May dikasih lihat terlebih dulu daripada menyesal di kemudian," timpal Linda membelaku. Linda memang
Tidak mungkin Ken--pemuja rahasiaku itu. Kalau memang ia, kenapa bisa menyukaiku dan memberikan banyak hadiah, serta untaian kata suka. Apa bagusnya aku di mata anak bau kencur ini? Penampilanku saja kalah jauh dengan siswi cantik yang sering dekat dan mengejarnya.Lagipula kalau kutanyakan tentang secret admirer itu, kurasa dia tidak akan mengaku, atau bisa jadi bukan dia. Justru malah aku yang malu karena sudah menudingnya sebagai sang pemuja rahasia. Itu memalukan. Mau ditaruh dimana mukaku saat ngajar nanti.Bukan, pasti bukan dia. Anak tengil ini tidak mungkin menyukaiku apalagi sampai mengajak menikah."Ada apa Bu? Saya ganteng. Udah biasa, Bu. Jangan melihat saya seperti itu, saya malah tambah ganteng jadinya. Kan Bu May bisa lihat sendiri kalau banyak cewek pada ngejar saya." Ken memuji dirinya sendiri karena kutatap intens. Nyesel rasanya menatapnya be
"Ken, Rio. Pulang ke rumah ya! Jangan keluyuran lagi dengan masih mengenakan seragam sekolah," perintahku pada dua anak didik yang salah satunya masih menatapku penuh tanya. Aku berlalu masuk ke dalam mobil duduk di samping Nirmala.Aku menatap lekat perempuan yang masih mengenakan pakaian kerja di sampingku ini."Bingung ya Kak, kenapa aku bisa berada di dalam mobil ini?" tanyanya sesuai dengan apa yang bersarang di benakku.Nirmala tersenyum sambil mendekatkan badannya lebih maju ke arahku."Pak Biru minta khusus aku buat nemani Kakak. Takut selera Kakak terlalu biasa atau rendahan." Nirmala tersenyum saat mengatakannya. Saat dia menekankan kata rendahan, aku tahu dia sedang mengejekku."Kenapa Kak? Masih tidak percaya?" Aku melengos dengan menatap ke depan."Atau perlu kuhubungi Pak Biru dan bilang calon istrinya t
Kami diajak ke lantai atas dengan ruangan yang terlihat lebih besar dibandingkan lantai bawah."Maysarah. Sini Nak, sudah ditunggu dari tadi." Bu Fatimah berseru memintaku menghampirinya yang duduk di sofa berbentuk huru L. Beliau tidak duduk sendiri. Ada lelaki berpakaian unik yang wajahnya pernah kulihat di tivi sebagai host sebuah reality show."Oh ini calon mantu Bu Fatimah. Cucok. Setengah bule, ye," ucap Desainer ternama yang tenar dengan nama Chandra Gunawan menatap ke arah Nirmala.Calon ibu mertuaku itu mengernyit. Sedang Nirmala tersenyum jumawa, besar kepala karena pasti yang ditebak sang desainer adalah dirinya."Maysarah ini, calon mantu saya. Tolong dandani dia dengan gaun pengantin yang sudah saya pesan tempo itu sama kamu," ujar Bu Fatimah merangkulku hangat menyanggah tebakan sang desainer."Eh maaf, salah orang ya. Eyke kira yang ono, dan
Plak!Aku sampai terdorong saat Ibu memberikan sebuah tamparan di pipi. Kaget, baru saja tiba di rumah dan masuk ke dalam ruang tamu, tiba-tiba Ibu datang dan langsung menamparku begitu saja.Sakit. Perih dan panas masih terasa bekasnya menjalar di pipi ini. Ada apa dengannya? Kenapa bisa Semarah itu padaku?"Gimana? Sakit kan? Seperti itulah rasa sakit yang dirasakan oleh Mala, May." Masih dengan wajah merah padam dan napas memburu, Ibu mengatakan semua itu padaku. Jujur, aku tidak paham dengan apa yang dimaksud olehnya."Apa maksud Ibu?" tanyaku masih dengan mengusap bekas tamparan kerasnya. Aku terduduk di kursi tamu. Menatap dengan tajam ke arah Nirmala yang tersenyum samar di hadapanku."Pake nanya lagi! Ngapain kamu ajak adikmu ke butik dengan alasan minta temenin? Hah! Kalau ujung-u
"Tinggal menghitung hari. Ayah sudah menyebar undangan untuk keluarga terdekat, jauh hari sebelumnya. Ayah sangat bersemangat. Nggak sabar menunggu hari H-nya." Ayah tampak antusias saat berkata. Senyum semringah selalu menghiasi bibir tebalnya."Nah, sisanya tinggal tetangga dekat dan lingkaran pertemanan kita. Terutama kamu May. Kartu undangan bisa kamu bagikan buat teman-teman di sekolahmu. Apa kamu sudah cerita?""Belum Yah. Mungkin hari ini," jawabku penuh kebimbangan takut pernikahan ini batal lagi."Bismillah, May. Kalau memang Samudra jodohmu, insyaAllah bakal dilancarkan Allah, jalan kalian. Percayalah. Jangan lupa berdoa." Ternyata Ayah memperhatikan raut wajahku. Ia mencoba menenangkanku"Iya, Yah. InsyaAllah." ucapku disertai anggukkan kepala.***&nb