"Kau dak usah kwatir, kau nanti akan menginap di rumah Pak Camat, Bu Darni guru kau pernah bilang sama Mamak, dia sudah Mamak kirim surat, ini balasannya," kata Mamak memperlihatkan balasan surat dari kepala sekolahku itu.
Kami membaca surat itu bersama-sama, Bu Darni bilang aku langsung saja menuju rumah Pak Camat, dia kakak kandung Bu Darni. Hanya aku saja yang tinggal di rumah Pak Camat, empat belas temanku yang lain tinggal di sekolah induk itu selama ujian, menempati satu kelas yang sengaja di kosongkan. Karena letak desa kami yang jauh dari kecamatan, setiap tahun sekolahku selalu menginap bila ujian.
Hari ujian tinggal dua hari lagi, Mamak menyiapkan zat hitam itu pada wadah bekas kosmetik yang banyak ditemukan di rumah Wak Iyah. Mamak memasukkan ke wadah bedak itu sedikit demi sedikit agar aku mudah membawa ke mana saja.
"Kau harus berani, Aina. Kau akan pergi sendiri. Jangan mencari perhatian, biarkan kau tidak terlihat dengan siapapun, kalau ada temanmu di sana, jangan kau tegur, biarkan saja. Pura-puralah tidak kenal, demi kebaikanmu. Maaf Mamak tidak bisa mengantarmu ke sana," pesan Mamak.
Aku hanya termenung memikirkan ucapan Mamak, Ah ... aku sulit melakukannya, sudah sebulan lebih aku tidak bertemu teman-temanku, rasanya aku kangen sekali dengan mereka, ingin bermain lagi, ingin bersenda gurau lagi. Ya Allah ... kuatkanlah aku.
***
Aku berangkat pagi ke kecamatan kampungku, sore hari aku sudah sampai di kecamatan, langsung kucari rumah dinas Pak Camat yang berada di belakang kantor kecamatan.
"Kau yang bernama Aina?" Kata Bu camat, sepertinya Bu Darni sudah memberitahukan kedatanganku.
"Iya, Bu," jawabku sopan sambil meyalami dan mencium tangannya.
"Ayo, masuk. Nanti kau tidur dengan Desi ya, sekarang ayo makan dulu," katanya setelah mengantar barang bawaanku ke kamar, aku membawa sekeresek panganan ringan oleh-oleh dari Mamak.
"Wah, gak usah repot-repot Aina, ini lepok ya? Ah, sudah lama aku gak makan lepok durian," kata Bu camat sambil membuka dodol lepok durian yang Mamak beli.
Sore hari Pak camat pulang, ternyata Pak camat memiliki dua anak, Desi masih berumur enam tahun dan Dimas sebaya denganku, dia juga akan menghadapi ujian nasional sepertiku.
Selepas makan malam, aku gerak cepat membereskan meja makan dan mencuci piring serta menyapu ruang makan agar tidak berceceran bekas nasi.
"Enak ya, Yah. Punya anak cewek, lihat itu Aina tanpa di suruh sudah mengerjakan semua," kata Bu Camat dari ruang nonton TV tanpa sengaja kudengar karena volume TV juga kecil.
"Ah, itukan tergantung anaknya dan didikan orang tua, itu si Kusnandar anaknya cewek juga malah sudah SMA kerjanya cuma main, Emaknya semua yang ngerjakan pekerjaan rumah," kata Pak Camat sambil mengganti canel TV.
"Besok Desi akan kudidik seperti Aina," kata Bu Camat.
Ah, Bu camat ... pekerjaan sekedar beres-beres rumah itu pekerjaan yang kecil bagiku, sejak usiaku sepuluh tahun, aku sudah banting tulang membantu Mamak mencari nafkah.
Aku segera pergi ke dapur untuk mengambil air minum, tapi kulihat di meja makan Dimas tengah membuka buku diktatnya, ah ... anak itu sedang belajar, aku sendiri tidak memiliki buku atau sumber yang dijadikan bahan belajar, apa yang harus kupelajari?
"Kau tahu, pena menari-nari di atas kertas itu majas apa?" tanya Dimas membuatku yang lama mematung memperhatikannya gelagapan.
"Apa?" tanyaku kurang jelas apa yang ditanyakannya tadi.
"Kau tahu gak? Kalau pena menari-nari di atas kertas itu majas apa?" tanyanya sekali lagi.
"Oh, itu majas personifikasi," kataku mengingat pelajaran dulu, aku membaca tentang ini berulang-ulang di perpustakaan.
"Bukan hiperbola ya?" tanyanya lagi
"Kalau hiperbola itu, kata yang dilebih-lebihkan. Misalnya suaramu nyaring seperti petir yang menyambar," kataku mencoba menerangkan.
"Oiya, ya ... contoh lainnya, kulitmu hitam legam seperti hitamnya masa laluku," katanya lagi sambil tertawa, aku hanya tersenyum, malu mau ikut tertawa karena gigiku yang kuning. Aku tidak merasa tersinggung dengan ucapannya, aku memaklumi, memang begitu keadaanku.
"Ayolah kita belajar bareng, aku tidak suka belajar. Pelajaran yang kusuka cuma satu, yaitu bahasa inggris, itu karena gurunya cantik," katanya membuatku bahagia, aku bisa belajar walau tidak memiliki media belajar.
"Nah, gitu belajar bareng, kalau gitu Ayah suka lihatnya, daripada kau tiap hari keluyuran saja, Dimas," kata Pak Camat menepuk bahu putranya.
"Ini karena Aina pintar, Yah. Bisa ngajari Dimas, besok ujian PMP dan Bahasa Indonesia aku jamin nilaiku enam puluh paling rendah," kata anak itu berkelakar.
Aku juga gembira, ternyata anak itu tak segan-segan memujiku, hatiku juga menjadi lebih hangat dan semangat.
"Biar belajarnya lebih semangat, sana Yah, belikan martabak," kata Bu camat sambil mengulurkan uang pada Pak camat.
"Wah ... benar itu, Bu," kata Dimas sambil nyengir kuda, wah ... anak degil ini memang menyenangkan, sepertinya dia tidak jijik melihat penampilanku yang buruk rupa.
****
"Kami berangkat, Bu ... Ayah!" kata Dimas sambil menyalami kedua orang tuanya, aku juga mengikuti langkahnya. Anak itu langsung berlari meninggalkan aku.
"Jangan lari-lari, Dim. Tungguin Aina!" pekik Bu Camat pada putranya itu.
Mendengar teriakan ibunya, anak itu memelankan langkahnya. Aku berjalan mensejajarkan dengan langkah Dimas, jarak rumah Pak Camat dan sekolah sekitar tujuh ratus meter.
"Cepat jalannya, nanti terlambat," kataku pada anak lelaki itu yang berjalan sambil menghitung kartu gambar.
"Ah, gak bakal terlambat ini masih pagi," selorohnya
"Di sekolah nanti, kita masih bisa menghapal," kataku mengingat buku diktat anak itu aku bawa.
"Yang kuhapal tadi malam masih kuingat," katanya berjalan santai
"Kalau gitu aku duluan," kataku sambil berlari, dia kaget dan memekik.
"Hei tunggu!" katanya sambil buru-buru memasukkan kartu-kartu itu di tas.
"Ayo kejar aku kalau bisa," kataku masih berlari, kami menuju ke sekolah sambil kejar-kejaran.
"Dimas!!" Panggil teman-teman lelakinya, dia bergabung di sana dan melupakan aku.
Aku segera mencari ruanganku, Alhamdulillah ... aku tidak sekelas dengan teman-temanku, aku tidak perlu menahan gejolak rindu jika melihat mereka sepanjang ujian, bisa-bisa aku tidak konsentrasi.
"Ann ...."
Hampir saja bibir ini memanggil nama Annisa, teman satu bangku-ku dari kelas satu SMP tiga tahun berturut-turut. Kuperhatikan rombongan sekolahku yang baru keluar dari kelas tempatnya menginap. Annisa tampak diam saja, dulu kalau ada aku dia anak yang paling cerewet, semua hal di depan matanya akan dikomentari.Ya Allah, sedih tidak bisa menyapa mereka, sudut mataku menghangat, aku tidak bisa menahan air mata, aku segera menghapus dengan ujung lengan bajuku, aku tidak mau, air mata ini menghapus warna hitam di wajahku.
"Ai ... ayo masuk, sudah lonceng," panggil seseorang dari belakang, itu suara Dimas. Aku segera berbalik, tampak wajah-wajah keheranan memandang ke arahku.
"Siapa dia, Dim?" tanya seorang siswi yang cantik dengan pakaian licin terkena setrikaan, tidak seperti bajuku yang asal lipat saja.
"Oo ini Aina, sepupuku dari mudik," kata Dimas.
Ah, Dimas kau mengenalkanku sebagai sepupumu? Kenapa, Dim? Ah, pertanyaan itu hanya ada di pikiranku saja."Ooo dari Mudik? Pantasan udik gitu," kata cewek itu lagi.
"Kulitnya itu loh ... gosong, kayak arang," temannya menimpali mereka tertawa-tawa mengejekku.
Dimas menggertakkan giginya, sepertinya dia tidak suka aku diejek oleh teman-temannya.
"Woi, kalian enak sekali ya ngejek orang. Laras, kau ini macam paling cantik, tengok tu, hidung kau saja mancung ke dalam. Tengok Aina, biar hitam hidungnya asli mancung," kata Dimas sambil mengamit tanganku memasuki kelas.
"Woi, Dimas marah sepupunya kau ejek, Ras. Bakalan tidak bisa jadian kau sama Dimas," kata Roni kawan Dimas, membuat Laras tambah jengkel.
Tinggal di rumah Pak Camat membuatku senang, semua anggota keluarganya menyambutku dengan tangan terbuka, mereka tidak mempermasalahkan penampilanku yang buruk rupa. Selama menumpang aku juga tahu diri, dengan cekatan semua pekerjaan rumah kukerjakan kecuali memasak, bu camat yang memasak, aku juga takut jika masakanku tidak sesuai selera orang di sini. Aku terbiasa bangun jam lima pagi, sesudah salat subuh, aku langsung mencuci pakaian seluruh keluarga di kamar mandi belakang memakai tangan. Jam enam pagi sudah selesai di jemur, aku tinggal menyapu seluruh rumah dan mengepelnya, jam setengah tujuh aku mandi, sekalian memakai baju di kamar mandi karena harus mengoleskan zat hitam ini ke seluruh tubuh. Aku harus super cepat melakukannya karena waktu mandi hanya cukup sepuluh menit, sudah itu sarapan pagi, jam tujuh tepat berangkat ke sekolah. Ujian dimulai pukul delapan tepat. "Ai, bagaimana kalau SMA nanti kau lanjutin di sini? Tinggal di rumah ini. Lagi pula, Dimas bilang kalau NEM
Laras dan gengnya segera kabur, meninggalkan aku yang terduduk dengan tubuh basah. "Berhenti, kalian. Akan aku laporkan kau pada kepala sekolah, Laras!" Itu suara Dimas. Ya Allah ... gimana kalau Dimas melihat wajah asliku? Aku segera berlari masuk WC dan mengunci pintunya. "Ai ... kau tak apa-apa, Ai?" Suara Dimas mengetuk pintu WC. "Aku tidak apa-apa, Dim. Cuma pakaianku basah semua," jawabku dari dalam. "Ini, kau pakai jaketku, Ai ... ini, ambil ... aku tidak melihatmu," kata Dimas. Aku membuka pintu perlahan, anak itu membelakangiku, tangannya mengulurkan jaket ke belakang. Segera kusambar jaketnya dan segera menutup pintu. "Makasih ya, Dim," kataku. "Iya, tidak apa-apa," jawabnya dari luar. Aku segera mencopot bajuku dan memakainya sebagai pengering tubuh. Warna hitamku telah memudar, aku melihat wajahku dengan kaca kecil bekas kotak bedak, Ya Allah ... wajahku bahkan sudah tidak berwarna hitam lagi. Setelah dirasa tubuh dan wajahku kering, aku segera mengoleskan kembali
Hari ini hari keduaku masuk ke sebuah SMA Negeri terdekat, masa orientasi selama tiga hari membuatku merasa tidak nyaman. Hari pertama aku tidak mendapat kelompok, anak-anak kota itu menolak semua ketika aku akan masuk kelompoknya. Akibatnya para senior mem-bully-ku. Mereka bertanya macam-macam, namun aku menundukkan kepala tidak menjawab apa-apa. Aku hanya bisa menahan kesabaran, bahkan mereka terang-terangan mengejek fisikku yang buruk rupa. Apalagi ketika mereka tahu aku berasal dari mudik, mereka semakin menjadi-jadi mengejekku.Akhirnya aku dimasukkan di kelompok paling terakhir, di kelompok itu kulihat anaknya juga gak pintar-pintar amat dan tampangnya juga biasa, namun mereka tetap menyisihkanku seolah aku alien dari bangsa lain yang tidak layak menjadi teman mereka. Kalau begini aku jadi teringat Dimas, sejak wajahku buruk rupa hanya Dimas yang tulus mau menjadi temanku.Hufh ... aku menghela napas kuat-kuat, kudongakkan wajah keatas langit, Ya Allah ...
Aku melangkah keluar kelas paling terakhir, sudah sebulan ini Fendi pasti menungguku di dekat pagar dengan the gank -nya. Pertama kali cowok itu menungguku, saat masa orientasi, kulihat dia dan beberapa cowok tengah asyik bercengkrama, aku keluar gerbang dengan jalan melipir agar dia tidak melihatku, namun mata temannya melihatku yang memang mempunyai ciri fisik yang menonjol."Itu pacarmu sudah pulang, Fren!" pekik temannya membuat Fendi segera berlari mengejarku.Aku hanya menebalkan muka dan menulikan telinga saat teman-temannya dan anak lain menyoraki kami sebagai couple of the year."Ai, jalannya santai saja jangan cepat-cepat nanti capek loh," katanya mengamit tanganku yang kutepis dengan kasar."Kamu tu kenapa sih? Pakai ngaku-ngaku pacarku segala?" kataku menatapnya penuh amarah."Oh ... itu?" jawabnya dengan santai, tanpa menghiraukan amarahku"Santai saja lah Ai ... aku itu cuma apa ya?" katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Aku melangkah menuju perpustakaan, tempat itu menjadi tempat favoritku setelah sekolah di sini. Aku benar-benar tidak memiliki teman di sini kecuali Fendi, dia juga hanya menemaniku di jalan ketika aku berangkat dan pulang dari sekolah.Selama aku di sekolah, aku makhluk paling kuper, bukannya aku tidak mau bergaul, tetapi mereka yang tidak mau menjadi temanku. Laila, teman sebangku juga enggan bertegur sapa denganku, kalau kusenyumi dia selalu membuang muka. Padahal kalau dengan teman lain, dia akan bercerita dengan heboh. Aku tahu, dia sebangku denganku karena terpaksa tidak ada bangku lain, karena dia terlambat masuk kelas, aku sendiri sengaja memilih bangku paling pojok belakang.Selain buku-buku pelajaran, perpustakaan juga menyediakan buku-buku novel dari pengarang-pengarang terkenal, ah ... aku telah menemukan syurgaku sendiri di sekolah ini. Di kampungku tidak akan pernah kudapati deretan novel-novel indah ini.Aku baru saja menyelesaikan membaca Novel S
Terdengar suara gaduh di gerbang sekolah, kami yang tengah belajar sejarah di jam terakhir terkejut. Bu Maisarah segera keluar kelas mencari informasi, sebelumnya mewanti-wanti agar kami tetap di dalam kelas. Akan tetapi manalah kami tahan berada di dalam kelas, kami segera berhamburan melihat apa yang terjadi. Terlihat Fendi memimpin teman-temannya ke luar gerbang."Fendi! mau ke mana kau?" teriak Pak Ishak guru olah raga kami."Kami gak bisa diam saja, Pak. Kami mau melakukan perlawanan," teriak Fendi berlari keluar gerbang diikuti teman-temannya."Jangan keluar, Bapak sudah menghubungi polisi, hei ... jangan keluar, dengar kalian!" teriak Pak Ishak dan beberapa guru pria melarang mereka tetapi tidak mereka hiraukan.Selama satu jam kami tidak tahu apa yang terjadi, kami hanya mendengar kegaduhan dan teriakan. Sebagian para siswi ikut berteriak ngeri, para guru cemas menelpon para aparat dan beberapa pihak yang berwenang.Aku hanya be
"Iya, katanya ceweknya beneran cantik, ya?""Cewek itu sudah punya cowok, makanya cowoknya marah. Itu tuh, cowoknya yang duduk di sebelah Fendi," kata teman sekolahku sambil menunjuk lapangan.Tanpa sadar aku mengikuti tangan anak itu, di sebelah Fendi?Degg ... Dimas? Benarkah Dimas? Spontan kubuka kaca mataku memastikan siapa cowok yang duduk di sebelah Fendi. Yah ... itu Dimas. Dimas pacar gadis yang jadi penyebab tawuran?Acara sudah selesai, kedua belah pihak saling bermaaf-maafan. Mereka bersalaman dan saling memeluk. Aku menelan ludah melihat Fendi dan Dimas berpelukan, Ah ... pemandangan yang indah. Beberapa anak kelas 2 dan kelas 3 masuk lapangan ikut bersalaman, nampak Ria begitu cemas melihat Fendi kepalanya diperban. Dia mengelus-elus kepala cowok itu walau Fendi berusaha menepisnya.Dari arah gerbang, muncul seorang gadis cantik memakai seragam sekolah yang sedikit ketat. Dimas segera meraih tangan gadis itu dan m
Aku melangkah gontai memasuki gerbang lokalisasi. Tampak orang-orang tengah berkerumun di depan rumah Nek Iyah, aku tergesa ingin melihat apa yang terjadi."Ada apa, Mbak Lili?" tanyaku pada Mbak Lili yang juga ada di situ."Aina ... kau sudah pulang? Itu Ai, itu ... Wak Iyah meninggal dunia," kata Mbak Lili dengan nada sedih."Apa? Nek Iyah meninggal dunia? Innalillahi Wa innailahi rojiun ...," kataku sambil tergesa masuk rumah menyibak kerumunan.Tampak jenazah Nek Iyah ditutipi kain panjang. Mamak dan Dito ada di dekatnya. Beberapa penghuni kompleks hanya duduk-duduk saja. Aku segera memeluk Mamak, menangisi kepergian Nek Iyah. Mulai saat ini, kami tidak tahu lagi nasib kami mau seperti apa tanpa Nek Iyah. Selama ini hanya Nek Iyah yang melindungi keberadaan kami di sini, semua penghuni kompleks masih menaruh rasa segan pada Nek Iyah.Jenazah Nek Iyah dimandikan oleh orang di luar kompleks, Bang Rojak yang mencarinya. Setelah di mand