Share

Bab 3

"Kau dak usah kwatir, kau nanti akan menginap di rumah Pak Camat, Bu Darni guru kau pernah bilang sama Mamak, dia sudah Mamak kirim surat, ini balasannya," kata Mamak memperlihatkan balasan surat dari kepala sekolahku itu.

Kami membaca surat itu bersama-sama, Bu Darni bilang aku langsung saja menuju rumah Pak Camat, dia kakak kandung Bu Darni. Hanya aku saja yang tinggal di rumah Pak Camat, empat belas temanku yang lain tinggal di sekolah induk itu selama ujian, menempati satu kelas yang sengaja di kosongkan. Karena letak desa kami yang jauh dari kecamatan, setiap tahun sekolahku selalu menginap bila ujian.

Hari ujian tinggal dua hari lagi, Mamak menyiapkan zat hitam itu pada wadah bekas kosmetik yang banyak ditemukan di rumah Wak Iyah. Mamak memasukkan ke wadah bedak itu sedikit demi sedikit agar aku mudah membawa ke mana saja. 

"Kau harus berani, Aina. Kau akan pergi sendiri. Jangan mencari perhatian, biarkan kau tidak terlihat dengan siapapun, kalau ada temanmu di sana, jangan kau tegur, biarkan saja. Pura-puralah tidak kenal, demi kebaikanmu. Maaf Mamak tidak bisa mengantarmu ke sana," pesan Mamak.

Aku hanya termenung memikirkan ucapan Mamak, Ah ... aku sulit melakukannya, sudah sebulan lebih aku tidak bertemu teman-temanku, rasanya aku kangen sekali dengan mereka, ingin bermain lagi, ingin bersenda gurau lagi. Ya Allah ... kuatkanlah aku.

*** 

Aku berangkat pagi ke kecamatan kampungku, sore hari aku sudah sampai di kecamatan, langsung kucari rumah dinas Pak Camat yang berada di belakang kantor kecamatan.

"Kau yang bernama Aina?" Kata Bu camat, sepertinya Bu Darni sudah memberitahukan kedatanganku.

"Iya, Bu," jawabku sopan sambil meyalami dan mencium tangannya.

"Ayo, masuk. Nanti kau tidur dengan Desi ya, sekarang ayo makan dulu," katanya setelah mengantar barang bawaanku ke kamar, aku membawa sekeresek panganan ringan oleh-oleh dari Mamak. 

"Wah, gak usah repot-repot Aina, ini lepok ya? Ah, sudah lama aku gak makan lepok durian," kata Bu camat sambil membuka dodol lepok durian yang Mamak beli.

Sore hari Pak camat pulang, ternyata Pak camat memiliki dua anak, Desi masih berumur enam tahun dan Dimas sebaya denganku, dia juga akan menghadapi ujian nasional sepertiku.

Selepas makan malam, aku gerak cepat membereskan meja makan dan mencuci piring serta menyapu ruang makan agar tidak berceceran bekas nasi.

"Enak ya, Yah. Punya anak cewek, lihat itu Aina tanpa di suruh sudah mengerjakan semua," kata Bu Camat dari ruang nonton TV tanpa sengaja kudengar karena volume TV juga kecil.

"Ah, itukan tergantung anaknya dan didikan orang tua, itu si Kusnandar anaknya cewek juga malah sudah SMA kerjanya cuma main, Emaknya semua yang ngerjakan pekerjaan rumah," kata Pak Camat sambil mengganti canel TV.

"Besok Desi akan kudidik seperti Aina," kata Bu Camat. 

Ah, Bu camat ... pekerjaan sekedar beres-beres rumah itu pekerjaan yang kecil bagiku, sejak usiaku sepuluh tahun, aku sudah banting tulang membantu Mamak mencari nafkah.

Aku segera pergi ke dapur untuk mengambil air minum, tapi kulihat di meja makan Dimas tengah membuka buku diktatnya, ah ... anak itu sedang belajar, aku sendiri tidak memiliki buku atau sumber yang dijadikan bahan belajar, apa yang harus kupelajari?

"Kau tahu, pena menari-nari di atas kertas itu majas apa?" tanya Dimas membuatku yang lama mematung memperhatikannya gelagapan.

"Apa?" tanyaku kurang jelas apa yang ditanyakannya tadi.

"Kau tahu gak? Kalau pena menari-nari di atas kertas itu majas apa?" tanyanya sekali lagi.

"Oh, itu majas personifikasi," kataku mengingat pelajaran dulu, aku membaca tentang ini berulang-ulang di perpustakaan.

"Bukan hiperbola ya?" tanyanya lagi

"Kalau hiperbola itu, kata yang dilebih-lebihkan. Misalnya suaramu nyaring seperti petir yang menyambar," kataku mencoba menerangkan.

"Oiya, ya ... contoh lainnya, kulitmu hitam legam seperti hitamnya masa laluku," katanya lagi sambil tertawa, aku hanya tersenyum, malu mau ikut tertawa karena gigiku yang kuning. Aku tidak merasa tersinggung dengan ucapannya, aku memaklumi, memang begitu keadaanku.

"Ayolah kita belajar bareng, aku tidak suka belajar. Pelajaran yang kusuka cuma satu, yaitu bahasa inggris, itu karena gurunya cantik," katanya membuatku bahagia, aku bisa belajar walau tidak memiliki media belajar. 

"Nah, gitu belajar bareng, kalau gitu Ayah suka lihatnya, daripada kau tiap hari keluyuran saja, Dimas," kata Pak Camat menepuk bahu putranya.

"Ini karena Aina pintar, Yah. Bisa ngajari Dimas, besok ujian PMP dan Bahasa Indonesia aku jamin nilaiku enam puluh paling rendah," kata anak itu berkelakar.

Aku juga gembira, ternyata anak itu tak segan-segan memujiku, hatiku juga menjadi lebih hangat dan semangat.

"Biar belajarnya lebih semangat, sana Yah, belikan martabak," kata Bu camat sambil mengulurkan uang pada Pak camat.

"Wah ... benar itu, Bu," kata Dimas sambil nyengir kuda, wah ... anak degil ini memang menyenangkan, sepertinya dia tidak jijik melihat penampilanku yang buruk rupa.

****

"Kami berangkat, Bu ... Ayah!" kata Dimas sambil menyalami kedua orang tuanya, aku juga mengikuti langkahnya. Anak itu langsung berlari meninggalkan aku. 

"Jangan lari-lari, Dim. Tungguin Aina!" pekik Bu Camat pada putranya itu. 

Mendengar teriakan ibunya, anak itu memelankan langkahnya. Aku berjalan mensejajarkan dengan langkah Dimas, jarak rumah Pak Camat dan sekolah sekitar tujuh ratus meter.

"Cepat jalannya, nanti terlambat," kataku pada anak lelaki itu yang berjalan sambil menghitung kartu gambar. 

"Ah, gak bakal terlambat ini masih pagi," selorohnya

"Di sekolah nanti, kita masih bisa menghapal," kataku mengingat buku diktat anak itu aku bawa.

"Yang kuhapal tadi malam masih kuingat," katanya berjalan santai

"Kalau gitu aku duluan," kataku sambil berlari, dia kaget dan memekik.

"Hei tunggu!" katanya sambil buru-buru memasukkan kartu-kartu itu di tas.

"Ayo kejar aku kalau bisa," kataku masih berlari, kami menuju ke sekolah sambil kejar-kejaran.

"Dimas!!" Panggil teman-teman lelakinya, dia bergabung di sana dan melupakan aku.

Aku segera mencari ruanganku, Alhamdulillah ... aku tidak sekelas dengan teman-temanku, aku tidak perlu menahan gejolak rindu jika melihat mereka sepanjang ujian, bisa-bisa aku tidak konsentrasi.

"Ann ...." 

Hampir saja bibir ini memanggil nama Annisa, teman satu bangku-ku dari kelas satu SMP tiga tahun berturut-turut. Kuperhatikan rombongan sekolahku yang baru keluar dari kelas tempatnya menginap. Annisa tampak diam saja, dulu kalau ada aku dia anak yang paling cerewet, semua hal di depan matanya akan dikomentari. 

Ya Allah, sedih tidak bisa menyapa mereka, sudut mataku menghangat, aku tidak bisa menahan air mata, aku segera menghapus dengan ujung lengan bajuku, aku tidak mau, air mata ini menghapus warna hitam di wajahku.

"Ai ... ayo masuk, sudah lonceng," panggil seseorang dari belakang, itu suara Dimas. Aku segera berbalik, tampak wajah-wajah keheranan memandang ke arahku.

"Siapa dia, Dim?" tanya seorang siswi yang cantik dengan pakaian licin terkena setrikaan, tidak seperti bajuku yang asal lipat saja.

"Oo ini Aina, sepupuku dari mudik," kata Dimas. 

Ah, Dimas kau mengenalkanku sebagai sepupumu? Kenapa, Dim? Ah, pertanyaan itu hanya ada di pikiranku saja.

"Ooo dari Mudik? Pantasan udik gitu," kata cewek itu lagi.

"Kulitnya itu loh ... gosong, kayak arang," temannya menimpali mereka tertawa-tawa mengejekku. 

Dimas menggertakkan giginya, sepertinya dia tidak suka aku diejek oleh teman-temannya.

"Woi, kalian enak sekali ya ngejek orang. Laras, kau ini macam paling cantik, tengok tu, hidung kau saja mancung ke dalam. Tengok Aina, biar hitam hidungnya asli mancung," kata Dimas sambil mengamit tanganku memasuki kelas.

"Woi, Dimas marah sepupunya kau ejek, Ras. Bakalan tidak bisa jadian kau sama Dimas," kata Roni kawan Dimas, membuat Laras tambah jengkel.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status