Aku melangkah menuju perpustakaan, tempat itu menjadi tempat favoritku setelah sekolah di sini. Aku benar-benar tidak memiliki teman di sini kecuali Fendi, dia juga hanya menemaniku di jalan ketika aku berangkat dan pulang dari sekolah.
Selama aku di sekolah, aku makhluk paling kuper, bukannya aku tidak mau bergaul, tetapi mereka yang tidak mau menjadi temanku. Laila, teman sebangku juga enggan bertegur sapa denganku, kalau kusenyumi dia selalu membuang muka. Padahal kalau dengan teman lain, dia akan bercerita dengan heboh. Aku tahu, dia sebangku denganku karena terpaksa tidak ada bangku lain, karena dia terlambat masuk kelas, aku sendiri sengaja memilih bangku paling pojok belakang.
Selain buku-buku pelajaran, perpustakaan juga menyediakan buku-buku novel dari pengarang-pengarang terkenal, ah ... aku telah menemukan syurgaku sendiri di sekolah ini. Di kampungku tidak akan pernah kudapati deretan novel-novel indah ini.
Aku baru saja menyelesaikan membaca Novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, sekarang aku akan membaca Tenggelamnya Kapak Van der Wick karya Buya Hamka, Ah ... sayang hanya boleh meminjam satu buku, padahal aku penasaran dengan cerita Azab dan Sengsara karya Miralih Siregar, atau Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Buku-buku itu bisa menemaniku pada jam istirahat, atau ketika tidak ada pelanggan di warung.
"Riaaaa, sini cepetan ... itu nah pacarnya Fendi," sebuah suara terdengar jelas di telingku
Suasana Pepustakaan yang lenggang tidak ada penghalang suara itu masuk ke telingaku, aku menoleh ke belakang, tampak tiga orang cewek sudah berdiri di belakangku.
"Benar kan kataku? Dia pasti ada di perpus kalau istirahat," kata cewek berambut kucir kuda.
"Kau dak salah? Cewek model begini pacarnya Fendi?" kata cewek yang di tengah, rambut pendeknya di potong model polwan.
"Iya ... memang dia. Fendi sampai ngancam aku waktu MOS, kalau sampai cewek ini lecet, dia bakal ngasih perhitungan denganku," kata cewek rambut panjang di sebelahnya, aku mengenal cewek ini, senior yang menjambak rambutku waktu masa orientasi dulu.
"Gila ya Fendi. Menolak aku demi cewek jelek kayak gini ... geser atau gimana otaknya?" kata cewek rambut pendek itu sambil mencak-mencak.
"Hei, jelek!. Kamu pasti pakai pelet ya? Sampai-sampai Fendi mau sama kamu," lanjutnya sambil menunjuk mukaku.
Aku hanya terdiam dengan semua hinaannya, untuk apa kulayani, nyatanya aku juga tidak beneran pacaran sama Fendi.
"Hei, kalau ditanya jawab!" bentak cewek itu sambil menjambak rambutku, aku reflek memegangi rambut dan berusaha melepaskan tangan cewek itu.
"Ria!" pekik seseorang
"Lepaskan dia, kubilang lepaskan dia!" kata anak itu sambil melepaskan tangan Ria dari rambutku.
"Kau kenapa Riko? Kau juga suka sama cewek jelek ini?" tunjuk Ria ke mukaku, aku masih memegangi rambutku yang dijambaknya, rasanya kulit kepalaku seperti terlepas, sakit.
"Dia itu pacarnya Fendi, aku tidak akan membiarkan pacar ketuaku kau sakiti. Ingat Ria, kau tidak punya kuasa seperti waktu SMP dulu," kata anak yang di panggil Riko.
"Kalian semua sudah berubah ya. Aku bela-belain pindah ke sini demi Fendi tapi ini hasilnya, Fendi malah pacaran sama anak yang benar-benar tidak selevel denganku. Aku benci kalian semua, terutama kau cewek jelek. Awas kau ya, tunggu pembalasanku," kata cewek yang di panggil Ria itu sambil berlalu dari ruang perpustakaan sambil menendang tong sampah.
"Kau tidak apa-apa, Ai?" tanya cowok yang dipanggil Riko
"Iya, nggak apa-apa. Kenapa kau mau nolongin aku?" tanyaku
"Fendi itu ketua Geng kami, aku akan selalu menolongmu. Kau pacarnya, hati-hatilah kau. Kalau ada apa-apa segera cari anak yang memiliki tanda ini di seragamnya," kata Riko sambil memperlihatkan lambang burung garuda di lengan sebelah kirinya.
"Ini lambang Geng kami, Garuda putih," katanya lagi
"Riko, boleh nggak aku gabung di Geng kalian?" tanyaku.
Bukan tanpa alasan aku memintanya, aku juga bosan selalu sendiri, siapa tahu aku bisa memiliki teman jika ikut bergabung di Geng mereka.
"Apa? Maaf Ai ... gak bisa. Fendi sendiri yang bilang kalau pacarnya gak bisa ikut bergabung di kelompoknya, dia tidak ingin kamu dalam bahaya," kata Riko membuatku kecewa.
Aish, Fendi itu ... anak slenge'an gitu kok jadi ketua Geng? Benar-benar gak ada wibawanya. Cari tu orangnya yang agak serem gitu, kayak Samadin ... Astagfirullah, ngapain aku mikirin lelaki itu? Najis jijay hih ...
"Riko! Ngapain kamu di sini? Ayo cepetan, Fendi mau ngadakan rapat dadakan," kata teman Riko, bajunya juga ada lambang Garudanya.
Riko segera berlari mengikuti temannya, jiwa kepoku tidak bisa ditahan lagi, aku hanya ingin tahu apa yang dilakukan Fendi, segera aku membuntuti mereka yang berlari ke belakang kelas dua.
Plakkk.
Aku terlonjak kaget, Fendi menampar seorang cowok yang lumayan cukup ganteng, wajah cowok itu merah bekas tamparan, namun dia tidak membalas perlakuan Fendi.
"Senang kau kini, ha? Apa pulak yang kau lakukan. Kau ganggu cewek SMA musuh sekolah kita dari zaman dulu, sekarang sekolah mereka tak terima. Gara-gara kelakuan kau, satu sekolah kena getahnya," kata Fendi sambil melayangkan tinju sekali lagi ke muka cowok itu hingga dia jatuh terduduk.
Aku menutup mulutku, ketika ingin berteriak melihat adegan mengerikan itu. Mata Fendi menyiratkan kemarahan, wajah itu jadi nampak begitu bengis. Ah, kemana Fendi yang kuejek dan kuusir malah tertawa? Inikah wajah aslimu Fendi? Sehingga kau dijadikan ketua Geng?
"Fen ... mereka akan menyerang sekolah kita, sebelum pulang sekolah mereka sudah tiba di sini," kata seorang anggota Geng.
"Suruh Pak Somat mengunci gerbang, jangan sampai ada anak kita yang keluar, bisa mati mereka. Kalian jaga gerbang sekolah, kau Riko ... bilang pada guru dan kepala sekolah kalau sekolah kita akan di serang, yang lain ikut aku ... kita libas mereka," kata Fendi diikuti sorak sorai anggota Geng yang jumlaahnya lebih dari seratus orang.
Wah, gawat ... mereka akan tawuran
"Abang, apakah ibu kandung Abang sudah menghubungi?" tanya Ayuni Mereka akan segera kembali ke Jambi untuk melangsungkan pernikahan satu Minggu lagi. "Tidak, kau lihat ... Wanita itu hanya akan menuruti perkataan suaminya, mana mungkin dia mau membelaku, dari dulu seperti itu, dia bucin banget sama suaminya itu, sampai-sampai menelantarkan anak kandungnya sendiri." Fendi menatap langit dengan wajah datar dari jendela apartemennya, dia juga malas sebenarnya menemui wanita yang sudah melahirkannya itu, kalau bukan uwaknya yang menyuruh menemui ibu kandungnya, dia tidak akan pernah pergi ke sana, ke tempat yang selalu membuatnya traumatis tersebut. "Bagaimana dengan ayah kandung Abang? Apakah dia akan datang ke pernikahan kita?" "Lelaki itu tidak bisa diharapkan, apalagi kondisinya sekarang sedang dipenjara. Cukup saja dari pihakku keluarga uwakku dan keluarga Aina." Yah, sudah tiga tahun yang lalu Sardan ditangkap polisi karena mengedarkan narkoba, hukumannya juga tidak main-main,
Kurang dari dua puluh menit, kedua suami istri itu pulang dari sawah, bajunya sudah kotor terkena lumpur sawah. Melihat mobil bagus di halaman rumah mereka, Aminah begitu gugup dan panik."Siapa to lek, tamunya?""Ya, nggak tahu, Min. Dua orang laki-laki sama perempuan muda. Sepertinya mereka suami istri, atau pasangan kekasih, yang perempuan ayu banget, yang laki-laki juga bagus banget. Cepat temui mereka.""Badanku masih kotor Lek, aku mau besihkan badan dulu di belakang," ujar Mardi suami Minah.Mereka buru-buru membersihkan tubuh mereka, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang menurut mereka layak.Dengan gugup, suami istri itu datang ke ruang tamu, mereka mendapati sepasang anak muda dengan gaya anak kota yang begitu klimis dan rapi yang sangat asing dipandangan mereka."Eh, ada tamu ... Monggo-monggo, maaf ini tamu dari mana ya?" ujar Mardi dengan gugup.Lelaki paruh baya itu mengulurkan tangan pada Fendi yang dibalas Fendi dengan tatapan dingin. Tangan lelaki itu begitu kasar,
Lima tahun kemudian ....Aina bergegas keluar dari aula gedung Balairung kampus, wajahnya sangat sumringah, dia segera mencari keberadaan keluarganya. Di lihat kedua anaknya yang sangat imut itu berlari ke arahnya."Bunda ...."Aina menangkap dan memeluk kedua anak kembarnya dengan bahagia "Bunda ... Bunda tampak hebat dengan baju ini," kata Amira sambil memainkan rumbai yang menjuntai di bajunya."Ini namanya baju toga, bunda kita sudah jadi sarjana," ujar Ammar kepada adik kembarnya."Jadi ini yang dinamakan baju toga? Topinya sangat bagus," cicit Amira."Anak-anak ... Minggir dulu, ayah belum kebagian pelukan bunda kalian."Kedua anaknya melepaskan pelukan pada ibunya dengan cemberut, ayahnya memang begitu, selalu saja mendominasi bundanya dengan arogan."Ayah! Aku mau sama Bunda!" pekik Ammar."Iya, baru sebentar sama bunda," keluh Amira."Sudah, sana ikut nenek ... Itu nenek mau beli es krim loh," bujuk lelaki itu yang sukses membuat kedua anaknya berlari menghampiri neneknya."
Laura mendesah dengan kuat, menarik napas kuat-kuat. Kenangan berhubungan badan delapan tahun yang lalu masih menggema di telinganya, walaupun pandangannya kabur kala itu, tetapi telinganya masih nangkap suara desahan dan ceracauan dari bibir lelaki itu. "Hmmm, kamu tidak mandi?" Suara itu menyentak Laura, menyadarkannya dari lamunan yang tengah bermain dipikirannya. Lelaki itu sudah selesai mandi, memakai kaos oblong hitam dan celana training. Rambutnya yang basah tengah dikeringkan dengan handuk. Laura tergagap, dia begitu gugup karena mendapati lelaki asing tengah sekamar dengannya. "I ... Iya, saya mau mandi," sambarnya langsung menuju kamar mandi. "Saya mau keluar dulu, sebaiknya kau buka pakaianmu itu di sini, kebaya itu membuatmu ribet kayaknya, setengah jam lagi saya akan kembali," ujar Andika. Lelaki itu langsung keluar kamar, Laura yang tengah mematung memandang kepergian lelaki itu dibalik pintu bergegas membuka pakaian kebayanya dan buru-buru masuk kamar mandi, seten
Laura tidak bisa berkata-kata lagi, dia hanya memandang wajah anaknya dengan tatapan rumit, namun Arsen menatapnya dengan tatapan tajam, dengan mulut kecilnya anak itu menangih janji kepada ibunya dengan tegas seperti rentenir menangih hutang. "Mommy, penuhi Janjimu. Kata guru Arsen, seseorang itu yang dipegang omongannya, berani berjanji, harus bisa memenuhi." Semua orang terkesima mendengar perkataan Arsen, Andika sendiri berdiri dengan takjub, putranya ini ... Benar-benar cerdas dan bijaksana. Laura bingung mendengar permintaan anaknya yang tiba-tiba dan dikatakan di depan umum, dia melihay Dave meminta pembelaan, namun Dave malah mendukung Arsen. Situasi yang begitu canggung tidak bisa dihindari. Karena semua itu juga disaksikan oleh semua orang yang berada di sana. "Laura ... maukah kau menikah denganku? Demi Arsen, dia sangat membutuhkan seorang ayah," ujar Andika mendekati Laura. Laura hanya terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa, ini terlalu mendadak. Dia menatap Dav
"Boy ... Perlu teman untuk bermain?" Arsen menghentikan kakinya yang akan menendang bola, beberapa saat dia terpaku menatap lelaki yang ada di hadapannya. Ouh? Is it a dream? Laura yang tengah menenggak minuman spontan tersedak, dia segera menyemburkan minuman yang berada di mulutnya. "DADDY !!" Setelah menyadari siapa yang berada di dekatnya, Arsen berteriak sekencangnya bahkan berlari sekencangnya menghampiri sosok lelaki yang kini tengah berlutut dengan satu kaki, ta ranselnya masih bersandar di bahunya. Keluarga Laras dan keluarga Dodi telah selesai pertemuannya, mereka mengantar orang tua Dodi ke halaman. Ketika mendengar jeritan Arsen yang begitu kencang, semua orang menoleh ke halaman samping di mana ada lapangan futsal. Dave terkejut melihat pemandangan tersebut, seorang lelaki yang telah membuatnya kuatir selama ini tengah memeluk cicitnya, bahkan bocah lelaki itu menangis tersedu-sedu dipelukan lelaki itu. Tanpa pikir panjang, Dave langsung menghampiri ayah dan ana