Share

Bab 6

Author: Nainamira
last update Last Updated: 2022-04-24 13:02:20

Hari ini hari keduaku masuk ke sebuah SMA  Negeri terdekat, masa orientasi selama tiga hari membuatku merasa tidak nyaman. Hari pertama aku tidak mendapat kelompok, anak-anak kota itu menolak semua ketika aku akan masuk kelompoknya. Akibatnya para senior mem-bully-ku. Mereka bertanya macam-macam, namun aku menundukkan kepala tidak menjawab apa-apa. Aku hanya bisa menahan kesabaran, bahkan mereka terang-terangan mengejek fisikku yang buruk rupa. Apalagi ketika mereka tahu aku berasal dari mudik, mereka semakin menjadi-jadi mengejekku.

Akhirnya aku dimasukkan di kelompok paling terakhir, di kelompok itu kulihat anaknya juga gak pintar-pintar amat dan tampangnya juga biasa, namun mereka tetap menyisihkanku seolah aku alien dari bangsa lain yang tidak layak menjadi teman mereka. Kalau begini aku jadi teringat Dimas, sejak wajahku buruk rupa hanya Dimas yang tulus mau menjadi temanku.

Hufh ... aku menghela napas kuat-kuat, kudongakkan wajah keatas langit, Ya Allah ... semoga hari ini menyenangkan bagiku, doaku dalam hati.

Pletakkk ....

"Augh!" Aku memegang kepala dan memandang ke bawah, siapa yang berani melempar biji salak ke kepalaku? Mau cari mati?

"Jalan tu jangan melamun." Sebuah suara terdengar dari belakang. 

Nampak seorang cowok dengan seragam SMA berjalan menghampiriku dengan gaya slegek'an. Baju seragamnya yang tidak dikancing sama sekali menampakkan kaos putih polos di dalamnya. Tas selempangnya dipanggul di atas kepala, ditangannya menggenggam buah salak yang sudah dikupas kulitnya, mulutnya asyik mengunyahnya, ini dia pasti tersangka yang melempar kepalaku.

"Ngapain sih ngelempar palak orang!" kataku ketus

"Wah, bisa galak juga kau, kemaren disekolah kenapa melempem?" katanya menjawil pipiku tidak sopan.

"Jangan pegang-pegang!" hardikku judes.

Kuperhatikan dia dengan seksama, kalau memakai seragam SMA berarti dia kakak kelasku dong, sekarang aku kan masih pakai seragam SMP.

"Siapa namamu?" tanyanya mengiringi jalanku.

"Aina," jawabku singkat.

"Lengkapnya?"

"Cuma Aina," jawabku tanpa menoleh kearahnya.

"Aku Fendi, lengkapnya Efendi," katanya percaya diri, idih ... lengkap cuma ditambah huruf E di depan doang, sombong.

"Aku lihat kamu keluar dari kompleks itu, kamu tinggal di sana?" tanyanya lagi

"Ya," jawabku singkat

"Kamu bukan salah satu dari mereka, kan?" dia masih saja bertanya.

"Kau pikir akan ada yang tertarik dengan tampang seperti aku?" tanyaku kini menatapnya agar dia juga merasa jijik.

"Ya nggak mungkinlah ... yang ada orang ilfil," katanya balas menatapku dengan terkekeh.

"Tuh tahu, ngapa nanya! Pergi sana, nanti kamu malah jijik lagi," kataku sewot

"Aku cuma jijik kalau lihat muntahan kucing doang, kamu bukan muntahan kucing, kan? Jadi gak bakal membuatku jijik," katanya sambil melempar biji salak ke sembarang tempat.

"Aku tinggal di sebelah kompleks itu," katanya lagi.

"Aku gak nanya," jawabku sekenanya

"Ow ... tapi kau akan terus bertemu denganku, setiap berangkat sekolah kita akan berangkat bareng, pulang juga begitu. Kau tidak bisa menghindarinya, hanya aku pahlawan di sekolah itu," katanya jumawa sambil menepuk dadanya, Ish ... narsis banget.

"Aku gak mau," kataku mempercepat langkahku.

"Ini keputusan sepihak dariku. Dengar Ai ... kau jangan pernah bercerita kalau kau tinggal di kompleks itu," katanya mensejajari langkah kakiku.

"Kenapa?"

"Aish ... belum apa-apa kau sudah dipelonco di sekolah, apalagi ada anak yang tahu kau tinggal di komplek itu," katanya dengan mimik serius.

"Lagipula aku mau cerita sama siapa? Aku saja nggak punya teman," kataku mempercepat jalanku agar cepat sampai sekolah

****

Ada yang aneh hari ini di sekolah. Aku memang masih tidak dipedulikan dengan siapapun di sini, namun tidak kudengar ejekan atau hinaan dari mulut mereka. Anggota kelompokku bahkan melirikku dengan tatapan aneh yang tidak kumengerti.

Mereka berdiskusi siapa diantara mereka yang akan menyanyikan lagu wajib nasional jika senior menyuruhnya. Mereka saling tunjuk tetapi tidak ada yang bersedia. Heran saja, kenapa lagu wajib saja tidak hapal. Kalau suruh nyanyi lagu Celine Dion atau lagu Mariah Carey, yo susah. Ini lagu wajib nasioanal apa mereka pada gak hapal? Mereka terus menunjuk tanpa menghiraukan kehadiranku, hingga salah satu mengatakan.

"Suruh dia saja," kata salah satu siswi, aku tidak tahu nama mereka semua, mereka tidak memperkenalkan diri padaku.

"Jangan ... dia jangan diganggu sekarang, dia pacarnya Fendi," kata mereka berbisik-bisik.

What? Apa? Biarpun mereka berbisik-bisik, kupingku ini gak budek. Ngomong apa mereka? Pacar Fendi?

"Fendi itu bos preman di sini, kalau kita sampai mengganggu pacarnya bisa habis kita," kata salah satu siswa yang aku dengar dia dipanggil Heru sama senior.

"Iya, kita biarkan saja dia. Gak tahu Fendi bilang apa tadi?" kata yang lain.

Ngegosip apa mereka? Memangnya Fendi bilang apa? Rasanya aku pengen ngamuk, enak saja ngaku-ngaku sebagai pacarku, ni pasti biang keroknya Fendi nih.

"Kok Fendi mau sama orang jelek gitu ya?" 

"Iya, heran. Tapi cocoklah si buruk rupa sama Preman kejam ha ... ha ...." Mereka tertawa berbarengan.

Ish, dikira aku tidak dengar apa? Katanya gak mau menggangguku, tapi mereka masih juga menghinaku dan menyisihkanku. Fendi ... kau mau membuat penderitaanku di sini tambah berat, Ha? Awas kau. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Balik Rupa Burukku   Bab 263

    "Abang, apakah ibu kandung Abang sudah menghubungi?" tanya Ayuni Mereka akan segera kembali ke Jambi untuk melangsungkan pernikahan satu Minggu lagi. "Tidak, kau lihat ... Wanita itu hanya akan menuruti perkataan suaminya, mana mungkin dia mau membelaku, dari dulu seperti itu, dia bucin banget sama suaminya itu, sampai-sampai menelantarkan anak kandungnya sendiri." Fendi menatap langit dengan wajah datar dari jendela apartemennya, dia juga malas sebenarnya menemui wanita yang sudah melahirkannya itu, kalau bukan uwaknya yang menyuruh menemui ibu kandungnya, dia tidak akan pernah pergi ke sana, ke tempat yang selalu membuatnya traumatis tersebut. "Bagaimana dengan ayah kandung Abang? Apakah dia akan datang ke pernikahan kita?" "Lelaki itu tidak bisa diharapkan, apalagi kondisinya sekarang sedang dipenjara. Cukup saja dari pihakku keluarga uwakku dan keluarga Aina." Yah, sudah tiga tahun yang lalu Sardan ditangkap polisi karena mengedarkan narkoba, hukumannya juga tidak main-main,

  • Di Balik Rupa Burukku   Bab 262

    Kurang dari dua puluh menit, kedua suami istri itu pulang dari sawah, bajunya sudah kotor terkena lumpur sawah. Melihat mobil bagus di halaman rumah mereka, Aminah begitu gugup dan panik."Siapa to lek, tamunya?""Ya, nggak tahu, Min. Dua orang laki-laki sama perempuan muda. Sepertinya mereka suami istri, atau pasangan kekasih, yang perempuan ayu banget, yang laki-laki juga bagus banget. Cepat temui mereka.""Badanku masih kotor Lek, aku mau besihkan badan dulu di belakang," ujar Mardi suami Minah.Mereka buru-buru membersihkan tubuh mereka, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang menurut mereka layak.Dengan gugup, suami istri itu datang ke ruang tamu, mereka mendapati sepasang anak muda dengan gaya anak kota yang begitu klimis dan rapi yang sangat asing dipandangan mereka."Eh, ada tamu ... Monggo-monggo, maaf ini tamu dari mana ya?" ujar Mardi dengan gugup.Lelaki paruh baya itu mengulurkan tangan pada Fendi yang dibalas Fendi dengan tatapan dingin. Tangan lelaki itu begitu kasar,

  • Di Balik Rupa Burukku   Bab 261

    Lima tahun kemudian ....Aina bergegas keluar dari aula gedung Balairung kampus, wajahnya sangat sumringah, dia segera mencari keberadaan keluarganya. Di lihat kedua anaknya yang sangat imut itu berlari ke arahnya."Bunda ...."Aina menangkap dan memeluk kedua anak kembarnya dengan bahagia "Bunda ... Bunda tampak hebat dengan baju ini," kata Amira sambil memainkan rumbai yang menjuntai di bajunya."Ini namanya baju toga, bunda kita sudah jadi sarjana," ujar Ammar kepada adik kembarnya."Jadi ini yang dinamakan baju toga? Topinya sangat bagus," cicit Amira."Anak-anak ... Minggir dulu, ayah belum kebagian pelukan bunda kalian."Kedua anaknya melepaskan pelukan pada ibunya dengan cemberut, ayahnya memang begitu, selalu saja mendominasi bundanya dengan arogan."Ayah! Aku mau sama Bunda!" pekik Ammar."Iya, baru sebentar sama bunda," keluh Amira."Sudah, sana ikut nenek ... Itu nenek mau beli es krim loh," bujuk lelaki itu yang sukses membuat kedua anaknya berlari menghampiri neneknya."

  • Di Balik Rupa Burukku   Bab 260

    Laura mendesah dengan kuat, menarik napas kuat-kuat. Kenangan berhubungan badan delapan tahun yang lalu masih menggema di telinganya, walaupun pandangannya kabur kala itu, tetapi telinganya masih nangkap suara desahan dan ceracauan dari bibir lelaki itu. "Hmmm, kamu tidak mandi?" Suara itu menyentak Laura, menyadarkannya dari lamunan yang tengah bermain dipikirannya. Lelaki itu sudah selesai mandi, memakai kaos oblong hitam dan celana training. Rambutnya yang basah tengah dikeringkan dengan handuk. Laura tergagap, dia begitu gugup karena mendapati lelaki asing tengah sekamar dengannya. "I ... Iya, saya mau mandi," sambarnya langsung menuju kamar mandi. "Saya mau keluar dulu, sebaiknya kau buka pakaianmu itu di sini, kebaya itu membuatmu ribet kayaknya, setengah jam lagi saya akan kembali," ujar Andika. Lelaki itu langsung keluar kamar, Laura yang tengah mematung memandang kepergian lelaki itu dibalik pintu bergegas membuka pakaian kebayanya dan buru-buru masuk kamar mandi, seten

  • Di Balik Rupa Burukku   Bab 259

    Laura tidak bisa berkata-kata lagi, dia hanya memandang wajah anaknya dengan tatapan rumit, namun Arsen menatapnya dengan tatapan tajam, dengan mulut kecilnya anak itu menangih janji kepada ibunya dengan tegas seperti rentenir menangih hutang. "Mommy, penuhi Janjimu. Kata guru Arsen, seseorang itu yang dipegang omongannya, berani berjanji, harus bisa memenuhi." Semua orang terkesima mendengar perkataan Arsen, Andika sendiri berdiri dengan takjub, putranya ini ... Benar-benar cerdas dan bijaksana. Laura bingung mendengar permintaan anaknya yang tiba-tiba dan dikatakan di depan umum, dia melihay Dave meminta pembelaan, namun Dave malah mendukung Arsen. Situasi yang begitu canggung tidak bisa dihindari. Karena semua itu juga disaksikan oleh semua orang yang berada di sana. "Laura ... maukah kau menikah denganku? Demi Arsen, dia sangat membutuhkan seorang ayah," ujar Andika mendekati Laura. Laura hanya terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa, ini terlalu mendadak. Dia menatap Dav

  • Di Balik Rupa Burukku   Bab 258

    "Boy ... Perlu teman untuk bermain?" Arsen menghentikan kakinya yang akan menendang bola, beberapa saat dia terpaku menatap lelaki yang ada di hadapannya. Ouh? Is it a dream? Laura yang tengah menenggak minuman spontan tersedak, dia segera menyemburkan minuman yang berada di mulutnya. "DADDY !!" Setelah menyadari siapa yang berada di dekatnya, Arsen berteriak sekencangnya bahkan berlari sekencangnya menghampiri sosok lelaki yang kini tengah berlutut dengan satu kaki, ta ranselnya masih bersandar di bahunya. Keluarga Laras dan keluarga Dodi telah selesai pertemuannya, mereka mengantar orang tua Dodi ke halaman. Ketika mendengar jeritan Arsen yang begitu kencang, semua orang menoleh ke halaman samping di mana ada lapangan futsal. Dave terkejut melihat pemandangan tersebut, seorang lelaki yang telah membuatnya kuatir selama ini tengah memeluk cicitnya, bahkan bocah lelaki itu menangis tersedu-sedu dipelukan lelaki itu. Tanpa pikir panjang, Dave langsung menghampiri ayah dan ana

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status