Aku melangkah keluar kelas paling terakhir, sudah sebulan ini Fendi pasti menungguku di dekat pagar dengan the gank -nya. Pertama kali cowok itu menungguku, saat masa orientasi, kulihat dia dan beberapa cowok tengah asyik bercengkrama, aku keluar gerbang dengan jalan melipir agar dia tidak melihatku, namun mata temannya melihatku yang memang mempunyai ciri fisik yang menonjol.
"Itu pacarmu sudah pulang, Fren!" pekik temannya membuat Fendi segera berlari mengejarku.
Aku hanya menebalkan muka dan menulikan telinga saat teman-temannya dan anak lain menyoraki kami sebagai couple of the year.
"Ai, jalannya santai saja jangan cepat-cepat nanti capek loh," katanya mengamit tanganku yang kutepis dengan kasar.
"Kamu tu kenapa sih? Pakai ngaku-ngaku pacarku segala?" kataku menatapnya penuh amarah.
"Oh ... itu?" jawabnya dengan santai, tanpa menghiraukan amarahku
"Santai saja lah Ai ... aku itu cuma apa ya?" katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Kamu jangan marah dan tersinggung ya? Aku ini orangnya hobi menolong orang, jiwa kepahlawananku menggelora seperti Power Rangers, jadi aku bilang kau pacarku biar kau gak dibully sama anak di sini. Jangan GR yo? Aku sama sekali gak suka sama kamu, tapi aku berencana menjadikanmu sahabatku, okey?" katanya membuatku tersenyum, Ah ... aku saja yang menanggapinya berlebihan, melihat rupaku ini, gak mungkin Fendi beneran suka sama aku.
Aku menunggu di gerbang agar Fendi segera menyusulku, anak itu segera beringsut ketika melihatku. Dia berjalan sambil melepaskan baju seragamnya dan memasukkan ke tasnya secara sembarangan, kini dia hanya mengenakan kaos oblong warna hitam.
"Bajunya jangan dikuwel-kuwel gitu nanti kusut" kataku meraih tasnya dan mengeluarkan baju seragam itu lagi dan melipatnya dengan rapi.
"Kalau kau suka kerapian kenapa bajumu juga kusut, rambutmu juga kusut kayak gak pernah disisir, itu gigimu juga kuning gitu kayak gak pernah gosok gigi" katanya sambil menarik tasnya kembali.
Aku hanya terdiam mendengar ocehannya, Aish ... kena skatmat aku, mau jawab apa omongannya itu?
"Besok cobalah kau sisir rambutmu dan gosok gigimu, pasti kau kelihatan cantik," katanya lagi.
"Untuk apa? Aku benci menjadi cantik. Aku ingin menjadi tokoh telenovela yang pernah kutonton waktu aku di kampung," kataku sambil membenarkan letak kaca mata.
"Tokoh telenovela siapa? Rosalinda? Maria Mercedes?" tanyanya dengan tatapan mengejek
"Betty Lafea," jawabku singkat
Diapun tertawa ngakak, kulit sawo matangnya nampak kemerahan akibat tertawa ...
"Kau lucu Ai ... sekarang bahkan tampangmu lebih buruk dari Betty Lafea," katanya sambil mengusap air mata yang meleleh akibat banyak tertawa.
Aku tersenyum masam mendengar perkataannya, gak tahu saja dia, walau Betty Lafea jelek, dia bisa menaklukan bosnya.
"Dengar Fendi ... walau tampangku jelek, aku juga gak mau pacaran sama preman pasar kayak kamu," kataku sambil bersungut.
"Dasar gak tahu terima kasih ... kau hargailah sikit aja pengorbananku ini ...," katanya sambil menarik rambutku.
"Fendi! Sakit tahu" pekikku sambil sambil menepis tangannya.
"Rambutmu ini kusut benarlah ... kusisirin sini, bisa-bisa kutuan rambutmu itu," katanya sambil mengeluarkan sisir kecil dari tasnya.
"Gak usah. Aku malah ingin rambutku gimbal, sepertinya keren," kataku menepis tangannya yang siap menyisir rambutku.
"Ish ... dasar jorok," katanya mengurungkan niatnya dan memasukkan kembali sisir kecil itu ke dalam tasnya.
"Sampai simpang kau jalan sendiri ya? Aku mau ke bengkel Bang Ucok" lanjutnya
"Ngapain ke sana?" tanyaku
"Setiap pulang sekolah aku kerja di cucian motornya," jawabnya
"Ooo, aku juga kerja jaga warung," kataku
"Oya? Asal jangan jadi PSK saja, aku gak bakal rela kalau kamu sampai begitu," katanya
"Dasar aneh ... katanya cuma pacaran pura-pura kok pakai ada istilah gak rela?" tanyaku menatapnya heran
"Emang kamu rela jual tubuhmu?" tanyanya balik bertanya, duh ... pintar banget nih anak memutarkan perkataanku. Membuatku gak bisa lagi berkata-kata.
****
"Minta rokok J* S*m Su tiga bungkus!"
Suara berat milik seseorang membuyarkan konsentrasiku yang tengah mengisi PR matematika ketika ada waktu luang disela-sela menjaga toko. Aku mengangkat kepala dan kudapati seorang lelaki memakai baju kaos tanpa lengan membuat Tatto ular kobra di lengannya terlihat dengan jelas. Sorot matanya begitu tajam seperti mata elang, aku serasa dikuliti dengan tatapan itu. Dengan gugup aku segera bangkit dan mengambilkan barang yang dia maksud dan membungkusnya dengan kantong kresek.
"Korek-nya sekalian," katanya lagi
Akupun memasukkan korek api ke dalam kantong kresek teesebut. Tanpa basa-basi lelaki itu melangkahkan kakinya menuju luar.
"Emmm, semuanya empat puluh dua ribu," kataku pelan dan berusaha sopan.
Lelaki itu menghentikan langkahnya dan menoleh dengan tatapan lebih tajam dari sebelumnya.
"Kau belum tahu siapa aku?" tanyanya dengan suara pelan, namun nada suara itu berat dan ditekan sebagai sebuah ancaman.
"Berani kau minta aku membayar, mau warung kecil ini aku obrak-abrik?" lanjutnya sambil pergi meninggalkan tempat ini.
Aku terpaku di tempat dengan nyali yang begitu ciut, walau volume suara lelaki itu pelan, namun nadanya nampak menakutkan. Tak terasa tanganku gemetaran, kuhembuskan napas berkali-kali ketika lelaki itu menghilang dari pandangan.
Aku kembali terduduk dengan tubuh yang lemas, bertemu lelaki itu secara langsung menjadi pengalaman terhoror dalam hidupku.Aku tidak tahu harus bilang apa pada Nek Iyah, hari ini mungkin dia tidak ada untung, aku tahu jualan sembako seperti ini tiap item cuma untung seratus atau dua ratus perak, paling banter seribu sampai lima ribu rupiah.
"Gak apa-apa, Ai ... memang Samadin selalu Nenek jatah sebungkus rokok tiap hari, sudah dua hari Nenek lupa tidak mengantarkannya," kata Nek Iyah setelah ketemu dengannya dan kuadukan hal itu.
"Bukankah setiap bulan Nenek bayar sewa tempat itu?" tanyaku
"Yah memang begitulah ... yang rokok itu namanya jatah preman," kata Nek Iyah tertawa memperlihatkan giginya yang tinggal dua.
"Gimana mau untung kalau dipalakin terus, Nek?" keluhku
"Kau gak usah kuatir, Nenek jualan cuma untuk menyambung hidup, bukan untuk menjadi kaya. Bisa makan tiap hari dan menggajimu sudah syukur," katanya sambil membelai rambut kusutku.
****.
"Abang, apakah ibu kandung Abang sudah menghubungi?" tanya Ayuni Mereka akan segera kembali ke Jambi untuk melangsungkan pernikahan satu Minggu lagi. "Tidak, kau lihat ... Wanita itu hanya akan menuruti perkataan suaminya, mana mungkin dia mau membelaku, dari dulu seperti itu, dia bucin banget sama suaminya itu, sampai-sampai menelantarkan anak kandungnya sendiri." Fendi menatap langit dengan wajah datar dari jendela apartemennya, dia juga malas sebenarnya menemui wanita yang sudah melahirkannya itu, kalau bukan uwaknya yang menyuruh menemui ibu kandungnya, dia tidak akan pernah pergi ke sana, ke tempat yang selalu membuatnya traumatis tersebut. "Bagaimana dengan ayah kandung Abang? Apakah dia akan datang ke pernikahan kita?" "Lelaki itu tidak bisa diharapkan, apalagi kondisinya sekarang sedang dipenjara. Cukup saja dari pihakku keluarga uwakku dan keluarga Aina." Yah, sudah tiga tahun yang lalu Sardan ditangkap polisi karena mengedarkan narkoba, hukumannya juga tidak main-main,
Kurang dari dua puluh menit, kedua suami istri itu pulang dari sawah, bajunya sudah kotor terkena lumpur sawah. Melihat mobil bagus di halaman rumah mereka, Aminah begitu gugup dan panik."Siapa to lek, tamunya?""Ya, nggak tahu, Min. Dua orang laki-laki sama perempuan muda. Sepertinya mereka suami istri, atau pasangan kekasih, yang perempuan ayu banget, yang laki-laki juga bagus banget. Cepat temui mereka.""Badanku masih kotor Lek, aku mau besihkan badan dulu di belakang," ujar Mardi suami Minah.Mereka buru-buru membersihkan tubuh mereka, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang menurut mereka layak.Dengan gugup, suami istri itu datang ke ruang tamu, mereka mendapati sepasang anak muda dengan gaya anak kota yang begitu klimis dan rapi yang sangat asing dipandangan mereka."Eh, ada tamu ... Monggo-monggo, maaf ini tamu dari mana ya?" ujar Mardi dengan gugup.Lelaki paruh baya itu mengulurkan tangan pada Fendi yang dibalas Fendi dengan tatapan dingin. Tangan lelaki itu begitu kasar,
Lima tahun kemudian ....Aina bergegas keluar dari aula gedung Balairung kampus, wajahnya sangat sumringah, dia segera mencari keberadaan keluarganya. Di lihat kedua anaknya yang sangat imut itu berlari ke arahnya."Bunda ...."Aina menangkap dan memeluk kedua anak kembarnya dengan bahagia "Bunda ... Bunda tampak hebat dengan baju ini," kata Amira sambil memainkan rumbai yang menjuntai di bajunya."Ini namanya baju toga, bunda kita sudah jadi sarjana," ujar Ammar kepada adik kembarnya."Jadi ini yang dinamakan baju toga? Topinya sangat bagus," cicit Amira."Anak-anak ... Minggir dulu, ayah belum kebagian pelukan bunda kalian."Kedua anaknya melepaskan pelukan pada ibunya dengan cemberut, ayahnya memang begitu, selalu saja mendominasi bundanya dengan arogan."Ayah! Aku mau sama Bunda!" pekik Ammar."Iya, baru sebentar sama bunda," keluh Amira."Sudah, sana ikut nenek ... Itu nenek mau beli es krim loh," bujuk lelaki itu yang sukses membuat kedua anaknya berlari menghampiri neneknya."
Laura mendesah dengan kuat, menarik napas kuat-kuat. Kenangan berhubungan badan delapan tahun yang lalu masih menggema di telinganya, walaupun pandangannya kabur kala itu, tetapi telinganya masih nangkap suara desahan dan ceracauan dari bibir lelaki itu. "Hmmm, kamu tidak mandi?" Suara itu menyentak Laura, menyadarkannya dari lamunan yang tengah bermain dipikirannya. Lelaki itu sudah selesai mandi, memakai kaos oblong hitam dan celana training. Rambutnya yang basah tengah dikeringkan dengan handuk. Laura tergagap, dia begitu gugup karena mendapati lelaki asing tengah sekamar dengannya. "I ... Iya, saya mau mandi," sambarnya langsung menuju kamar mandi. "Saya mau keluar dulu, sebaiknya kau buka pakaianmu itu di sini, kebaya itu membuatmu ribet kayaknya, setengah jam lagi saya akan kembali," ujar Andika. Lelaki itu langsung keluar kamar, Laura yang tengah mematung memandang kepergian lelaki itu dibalik pintu bergegas membuka pakaian kebayanya dan buru-buru masuk kamar mandi, seten
Laura tidak bisa berkata-kata lagi, dia hanya memandang wajah anaknya dengan tatapan rumit, namun Arsen menatapnya dengan tatapan tajam, dengan mulut kecilnya anak itu menangih janji kepada ibunya dengan tegas seperti rentenir menangih hutang. "Mommy, penuhi Janjimu. Kata guru Arsen, seseorang itu yang dipegang omongannya, berani berjanji, harus bisa memenuhi." Semua orang terkesima mendengar perkataan Arsen, Andika sendiri berdiri dengan takjub, putranya ini ... Benar-benar cerdas dan bijaksana. Laura bingung mendengar permintaan anaknya yang tiba-tiba dan dikatakan di depan umum, dia melihay Dave meminta pembelaan, namun Dave malah mendukung Arsen. Situasi yang begitu canggung tidak bisa dihindari. Karena semua itu juga disaksikan oleh semua orang yang berada di sana. "Laura ... maukah kau menikah denganku? Demi Arsen, dia sangat membutuhkan seorang ayah," ujar Andika mendekati Laura. Laura hanya terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa, ini terlalu mendadak. Dia menatap Dav
"Boy ... Perlu teman untuk bermain?" Arsen menghentikan kakinya yang akan menendang bola, beberapa saat dia terpaku menatap lelaki yang ada di hadapannya. Ouh? Is it a dream? Laura yang tengah menenggak minuman spontan tersedak, dia segera menyemburkan minuman yang berada di mulutnya. "DADDY !!" Setelah menyadari siapa yang berada di dekatnya, Arsen berteriak sekencangnya bahkan berlari sekencangnya menghampiri sosok lelaki yang kini tengah berlutut dengan satu kaki, ta ranselnya masih bersandar di bahunya. Keluarga Laras dan keluarga Dodi telah selesai pertemuannya, mereka mengantar orang tua Dodi ke halaman. Ketika mendengar jeritan Arsen yang begitu kencang, semua orang menoleh ke halaman samping di mana ada lapangan futsal. Dave terkejut melihat pemandangan tersebut, seorang lelaki yang telah membuatnya kuatir selama ini tengah memeluk cicitnya, bahkan bocah lelaki itu menangis tersedu-sedu dipelukan lelaki itu. Tanpa pikir panjang, Dave langsung menghampiri ayah dan ana