***"Kalau kamu tertekan sama kelakuan Bagas, bilang sama Ayah, Nit."Bagas memamerkan barisan giginya sembari menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal."Ayah itu salah paham," elak Bagas. "Tadi aku lagi nolongin Anita gara-gara hampir jatuh ....""FTV sekali hidupmu, Gas," sindir Vano mencebik. "Jangan macam-macam sebelum halal, hargai calon istri kamu!"Bagas mengangguk lemah. Melawan Vano tidak akan menang pikirnya. Sementara Anita justru terkikik melihat wajah kesal Bagas."Makanya jangan centil," bisik Anita. Wanita itu berlalu meninggalkan Bagas yang tengah menatap punggungnya semakin menjauh. Senyum tipis seketika terbit di bibirnya, bayangan wajah cantik Anita menghiasi pikiran Bagas.Setelah urusan perbajuan selesai, mereka kembali ke rumah karena semua persiapan sudah selesai. Tidak ada adat pingit karena Anita tidak bisa menghandle semuanya sendiri apalagi dia hanya memiliki Haryati dalam hidupnya."Mau nikah kok sering keluar bareng, pamali," seru Diah ketika melihat
***"Setelah mengantar Nenek pulang, ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Nit."Anita menoleh. Sejenak dia melirik ke belakang tempat dimana Haryati sedang duduk. Mobil yang mereka tumpangi berjalan menuju ke rumah Anita setelah hampir seharian dia dan Neneknya berada di rumah Bagas membahas banyak persiapan untuk acara pernikahan.Haryati mengangguk ketika matanya bersiborok dengan mata Cucunya. Dia tahu jika Anita tengah meminta persetujuan melalui kontak mata."Baiklah, Mas."Bagas kembali diam, dia terjebak dengan segala macam prasangka tentang kematian Citra. Apalagi ketika Fredi mengatakan kalau Leo adalah satu-satunya saksi, besar kemungkinan jika Citra memang bunuh, tidak bunuh diri. Begitulah pikir Bagas.Sesampainya di halaman rumah, lelaki bertubuh tegap itu segera membantu Haryati untuk duduk di atas kursi roda. Kaki tuanya yang masih terasa lemah cukup sulit untuk berjalan meskipun dengan jarak yang tidak jauh."Pelan-pelan ya, Nek," kata Bagas lembut. "Nenek baik-baik
*** "Nggak bisa jawab kan? Sebegitu sulitnya kamu membuka hati setelah ada nama Bagas di dalam sana?" Tirta mengalihkan pandangannya kembali fokus pada jalanan di depannya. Sikap diam Sea sudah memberi jawaban jika tidak ada tempat untuk Tirta di dalam hatinya yang sudah lebih dulu Bagas tempati. "Aku bisa membahagiakan kamu, Se. Aku berjanji akan itu, tolong ... berhenti mengharapkan cinta Bagas karena yang kamu dapatkan hanyalah rasa sakit." Sea meremas sepuluh jemarinya cemas. Bukan karena pernyataan cinta Tirta, bukan! Tapi pada obrolan yang sempat Tirta dengarkan, dia gelisah dan takut jika Tirta akan membongkar pertemuannya dengan Haris malam ini. Dia tidak ingin mendapat tatapan benci dari Bagas meskipun dirinya sudah menolak permintaan tolong Haris untuk bekerja sama memisahkan Bagas dan Anita. "Aku janji nggak akan mau diajak ketemu sama Haris lagi, Mas," ujar Sea mencoba mengalihkan pembicaraan. "Lagipula aku sudah menolak tawarannya barusan. Kamu nggak bisa dong ngadui
***"Turun, Sayang!" pinta Bagas lembut. Panggilan sayang yang hanya dia lontarkan saat berduaan dengan Anita akhirnya lolos juga malam ini. "Nanti kamu akan tau semuanya dari mulut Leo."Dada Anita berdebar hebat. Dia bukan wanita bodoh, mendengar Bagas mengatakan "mendengar semuanya dari mulut Leo" membuat pikirannya melayang pada kejadian malam dimana Citra ditemukan mati bunuh diri."A-- apa Leo yang su-- sudah mem ....""Jangan menduga-duga, lebih baik kita masuk sekarang, Nit," sela Bagas cepat. Dia menarik tangan Anita untuk segera berjalan mendekati pintu rumah Leo.Rumah sederhana yang dulu terlihat begitu rapi dan terang ketika malam hari kini nampak sebaliknya. Bunga-bunga di dalam pot dibiarkan mengering dengan dedaunan yang tergeletak di halaman memberi kesan jika si empunya rumah sangatlah tidak pandai menjaga kebersihan.Dari luar nampak sekali jika rumah Leo seperti rumah kosong. Lampu terasnya mati dan menyisak
***"Brengsek kamu, Leo!"Deru napas Anita memburu. Tatapan matanya seakan menguliti wajah Leo yang terlihat tidak memiliki gairah hidup saat ini."Kamu benar, Nit. Brengsek, itulah aku. Aku menyesal tidak bisa menahan tubuh Citra saat itu, bahkan ... kamu tau ... bahkan aku sempat merasa lega dengan harapan Ana bisa membuka hatinya lagi ketika Citra telah mati."Anita menangis. Tangisnya pecah saat itu juga saat Leo mengatakan jika dia ingin memulai hidup baru setelah Citra tiada. Betapa akhir yang sangat tragis untuk hidup Citra, wanita yang dulu selalu bersikap sangat buruk terhadap Anita. Tapi lihatlah, bahkan Anita menjadi salah satu yang paling hancur atas kematian Citra."Pembunuh! Kamu pembunuh!" pekik Anita. "Dia sudah membunuh Citra, Mas. Dia pembunuh!"Bagas lagi-lagi merengkuh tubuh Anita ke dalam pelukan. Dia menepuk-nepuk punggung wanitanya dengan berbisik. "Kendalikan dirimu, Sayang. Tenanglah!"Anita menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Bagas. Tangisan yang entah suda
***"Brengsek! Lo utang penjelasan ke gue. Apa-apaan berani godain adek gue, hah?"Sea menggigit bibirnya semakin kuat. Wajah Pandu yang terlihat tegas membuat jantungnya berdetak lebih cepat. "Santai, Bro. Bukan salah gue jatuh cinta, salahkan Sea yang terlalu pantas untuk dicintai," seloroh Tirta terkekeh. "Gue ada perlu sama Sea, berikan ponselnya. Jangan jadi Abang yang toxic!""Sialan lu, Tir!"Tanpa berkata-kata lagi, Pandu menyerahkan ponsel Sea dengan sorot mata yang sulit diartikan. Sementara Sea menerima ponsel dengan nyengir kuda memamerkan barisan giginya kemudian berlari kencang masuk ke dalam kamar. Pandu menggeleng-gelengkan kepalanya heran, rasa penasaran sementara dia kesampingkan karena akan ada acara besar menyambut Nyonya Bagas esok hari.Sea menutup pintu dengan cepat. Dadanya naik turun menandakan pergerakan napas yang mulai tidak beraturan. Takut karena tatapan Pandu, juga takut kalau Kakaknya akan bertanya macam-macam perihal dirinya dan Tirta.Ponsel Sea kemb
***Sea datang ke rumah Anita dengan mengendari mobil Tomi. Jangan tanya seribet apa sebelum dia datang, bahkan Bagas sudah merengek-rengek minta ikut dengan alasan mencemaskan sosok Anita.Dua jam sebelum berangkat ...."Boleh aku pinjam mobilnya, Yah?"Tomi menoleh. Di ruang tamu ada beberapa laki-laki yang tidak lain adalah Vano, Pandu dan Bagas serta beberapa tetangga yang ikut membantu acara di rumah mereka seperti mengeluarkan beberapa perabotan agar ruangan terasa lengang."Mau kemana? Di rumah lagi sibuk loh ini," tegas Tomi. Rumah yang dia maksut adalah rumah Halimah, tentu saja."Ke rumah Anita, dia bilang kesepian jadi minta aku datang," sahutnya tak acuh. Apalagi saat kepala Bagas yang seketika menoleh ke arahnya setelah menyebut nama Anita. "Apa? Jangan bilang kalau kamu ...." Sea menggantung ucapannya saat Bagas menatap matanya penuh harapan. "Aku ikut, Se," sahutnya cepat.Sea mencebik. Dia memanggil Halim
***"Mas Tirta?" teriak Anita kelepasan. Sea segera menutup mulut Anita dengan jemarinya dan melirik cemas ke arah beberapa orang yang berlalu lalang di dalam rumah Anita. Sementara jasa henna yang tengah melukis kaki Anita hanya bisa tersenyum mendengar obrolan dua wanita muda di depannya. "Gila, kamu serius, Se? Mas Tirtanya Mama Astri?" Anita kembali berbicara dengan intonasi cukup tinggi setelah Sea melepaskan tangannya dari mulut wanita tersebut."Jangan keras-keras, sumpah ... kamu bukan tipe bestie yang bisa diajakin gibah, Nit!" gerutunya sambil memalingkan tubuh tidak lagi menghadap Anita. Anita terkikik, dia meminta maaf dan kembali berseru. "Bagaimana ceritanya, kamu nggak lagi cari pelampiasan karena ditolak Mas Bagas kan?""Anita!" sentak Sea setengah merengek. "Jangan buat nama Mas Bagas kembali hadir di hatiku, aku sudah susah payah merelakan dia buat kamu loh! Nggak tau terima kasih banget!"Anita melipat bibirnya menahan taw