Sarah.
Perempuan muda yang hidupnya terbiasa mewah sejak kecil itu sedang duduk menerima semua kemurkaan yang ditumpahkan ayahnya. Dalam sebulan ini, terhitung sudah lima kali ia harus keluar-masuk ruang kerja sang ayah karena ulah yang telah diperbuatnya.
"Kalau gak ada Arsen, mungkin kamu sudah berdiam diri di penjara sekarang! Kamu itu putri semata wayang di keluarga ini tetapi kelakuannya luar biasa gak bisa diatur! Macam orang sepuluh saja!" dada Haris bergemuruh karena emosi. Kepalanya pening karena tingkah laku putrinya yang selalu berbuat masalah dan tak kunjung taubat.
"Kalau kamu gak bisa berubah. Ayah terpaksa akan mengurung kamu sampai di hari pernikahan kamu tiba!"
"A-apa?? Ayah.."
"Diam! Ayah belum selesai bicara" perintahnya merasa geram.
"Apabila kamu acuh akan kesalahanmu dan tak mau berubah, ayah akan mengurungmu hingga hari pernikahan tiba. Ayah juga akan tetap mengurungmu apabila karena perbuatan burukmu di masa yang akan datang menyebabkan perjodohan ini sampai batal!""Masih beruntung hanya masalah ini yang Arsen ketahui. Coba kalau dia tahu seperti apa kelakuanmu terdahulu. Bisa-bisa ia menolak untuk melanjutkan perjodohan ini"Sarah hanya diam tertunduk mendengarkan ultimatum dari ayahnya tanpa rasa bersalah. Ya, benar sekali. Tanpa ada rasa bersalah.
"Untuk seminggu kedepan, kamu dilarang berpergian kemanapun tanpa orang-orang yang ayah setujui untuk menemanimu. Semua kebutuhanmu akan dibebankan kepada asisten rumah ini. Sehingga tidak ada alasan lagi untuk kamu keluar-keluar gak jelas"
"Sekarang kamu keluar dan langsung masuk ke kamarmu. Ini sudah larut malam. Segeralah kamu istirahat""Baik, ayah. Selamat malam" ucapnya tak sabaran karena ingin cepat-cepat keluar dari ruangan itu.
***
Sarah melihat jam di dinding kamarnya. Pukul menunjukkan angka 7 lewat 45 menit. Berarti sudah hampir 6 jam ia berada di kamarnya. Dengan ponsel digenggaman, panas tubuhnya terbakar rasa iri sebab melihat satu pesan yang berisikan foto temannya, Kayla. Sedang bersenang-senang bersama yang lainnya.
"Ayah keterlaluan banget sampe ngurung segala. Mana si Kayla pake acara pamer-pamer ke gue lagi. Hhh!"
Tak lama setelah menggerutu, terdengar satu dentingan notifikasi lagi. Nama 'Ayah♡' menghiasi layar ponsel yang sedang menyala tersebut.
Ayah♡
Turun sekarang!
"Astaga.. Mau diapain lagi sih gue" ucapnya sedikit cemas.
***
(Beberapa jam sebelumnya)
Haris yang sedang fokus berbincang dengan pria bersetelan jas abu-abu mendadak terkejut saat pelayan rumahnya tiba-tiba menghampiri.
"Tuan. Ada tamu yang ingin bertemu anda" ujarnya seraya tertunduk hormat.
"Siapa?"
***
Sebuah mobil mercedez berwarna hitam masuk ke kawasan mewah dan berhenti di salah satu rumah. Kemudian, nampak turun seorang pria bertubuh tinggi dari mobil mahal tersebut.
"Saya ingin bertemu Tuan Haris" ucapnya kepada salah seorang penjaga rumah yang berdiri di depan gerbang. "Maaf sebelumnya, apakah anda sudah membuat janji dengan beliau?" tanya sang pelayan secara langsung kepada pria tersebut.Mendengar pertanyaan laki-laki tersebut, alisnya mengernyit heran. 'Siapa orang ini? Apa dia orang baru sampai-sampai tak mengenaliku?' ucap dirinya dalam batin."Apakah saya harus membuat janji saat saya ingin bertemu dengan calon m..""Kalau begitu sebutkan saja nama anda. Saya akan menyampaikan kedatangan anda kepada beliau" 'Astaga! Orang ini benar-benar tak tahu sopan santun! Lihat saja bagaimana dia dengan lancangnya menginterupsi penjelasanku!' ia menggerutu kesal dalam hati. "Saya Arsen. Saya rekan kerja Tuan Haris" jawab Arsen sambil tersenyum dengan terpaksa. Dalam hati, ia tertawa atas 'kemalangan' yang akan terjadi sebentar lagi kepada pria lancang ini."Baik, Pak Arsen. Saya akan kedalam dan menyampaikannya kepada Tuan Haris. Harap tunggu sebentar"
"Baiklah" jawab Arsen kemudian.Arsen tak habis fikir. Ia benar-benar berdiri ditinggalkan di depan gerbang rumah. Ini adalah 'kebanggaan' terbesar selama ia hidup. Demi menjalankan dramanya, ia rela menunggu sambil berpanas-panasan. Biarlah Tuan Haris melihat kondisinya yang 'memprihatinkan' sekarang. Sopirnya yang menyimak drama tersebut hanya menggeleng-gelengkan kepala.
***
"Namanya Arsen, Tuan" jawab sang pelayan sambil tertunduk.
"Apa?? Dimana dia sekarang?" tanyanya tak sabaran. "Di-di depan Tuan. Menunggu di gerbang depan" "Apa!?" kali ini Haris berteriak sambil berdiri dari duduknya."Bisa-bisanya kamu menyuruhnya menunggu di depan gerbang! Panas-panas begini lagi!" murkanya sambil berjalan tergesa-gesa menuju depan. Sang pelayan hanya menunduk takut sambil membuntuti langkah tuannya."Saya minta maaf tuan. Pak Arsen bilang belum membuat janji untuk bertemu. Makanya saya ke dalam terlebih dahulu untuk menyampaikan" balasnya kemudian.Haris mendadak berhenti dan berbalik menghadap pelayannya."Orang itu calon menantu saya! Maka dari itulah tak perlu membuat janji!"Kemudian ia melanjutkan langkahnya. Kali ini ia yang harus turun tangan sendiri dalam menjemput 'tamu' akibat kesalahan sang pelayan baru."Ma-maaf Tuan. Saya tidak tahu""Maaf.. maaf" ucapnya dengan geram.Setelah hampir sampai, Haris melihat sang calon menantu berdiri di bawah teriknya sinar matahari. Mendadak kepalanya berdenyut pusing memikirkan apa yang harus ia ucapkan saat berhadapan dengan Arsen nantinya."Astaga.. Arsen"Dipeluknya c
Sore itu, Haris tak kunjung bangun. Padahal sudah hampir 2 jam ia terbaring tak sadarkan diri di kamarnya. Seorang dokter beserta asisten yang khusus merawat keluarga Arsen telah dipanggil untuk menangani Haris. "Seharusnya kamu mendengarkan saya"Arsen mendudukkan dirinya di samping Sarah yang sedang memegang tangan ayahnya."Tapi kamu acuh tak acuh. Kamu fikir 430 miliar itu sedikit bagi ayah kamu?" Arsen menghela nafasnya sebentar lalu bersuara lagi."Saya harus kembali ke kantor. Kalau ada perkembangan tentang ayahmu, kabari saya segera" titahnya mengingatkan Sarah. Sarah hanya mengangguk tanpa bersuara. Diliriknya pintu kamar, tampak Arsen melangkah semakin jauh tanpa menoleh ke arahnya lagi. Ia menghela nafas berat. Ada sedikit rasa tak rela atas kepergian Arsen. *** "Katakan kepada Manajer Ken kalau saya belum bisa bertemu dengannya" perintah Arsen kepada sang sekretaris. "Atur ulang jadwal meeting. Kemudian jangan
'Hari ini kita akan fitting gaun pengantinmu jam 3 sore'Begitulah pesan singkat yang Sarah terima 5 menit yang lalu. Ia sudah membaca pesan itu namun belum juga membalasnya. Masih menimang-nimang karena memikirkan balasan apa yang mesti ia tulis."Katanya sibuk banget sama urusan kantor. Kenapa tiba-tiba ngajak pergi? Dasar labil" ujarnya sedikit jengkel.Membuka aplikasi chatting, kemudian ia mengetuk di bagian nama 'Arsen' lalu menuliskan balasan.'Bukannya kamu sibuk? Tidak usah memaksakan kalau beneran lagi sibuk'Sarah melanjutkan acara nonton TV-nya di ruang tengah. Walau sedang dalam masa 'kurungan' oleh ayahnya, dia tetap diperbolehkan melakukan aktivitas apapun asal masih di dalam lingkungan rumah.Tak lama, datanglah satu pesan lagi di ponselnya.'Saya memang sibuk. Maka dari itu jangan bertingkah'"Apa!? Siapanya yang bertingkah? Astaga.. Pria ini benar-benar menguji kesabaranku. Padahal aku hanya
Sarah duduk termenung di sopa ruang tengah sendirian, hingga kemudian terdengar suara langkah kaki di telinganya. Ia menoleh ke belakang, tepatnya ke arah sumber suara. Ternyata ayahnya sedang berjalan menuju ke arahnya dengan tatapan bingung."Kok belum berangkat juga?" tanya sang ayah saat sampai lalu ikut duduk di samping putrinya."Seharusnya ayah menanyakan hal itu kepada Arsen. Bukan kepadaku" jawabnya dengan merengut. Ia menopang dagunya dengan kedua tangan. Ia melanjutkan, "Bilangnya pergi jam 3. Tapi sekarang udah hampir jam 5 gak dateng-dateng""Kamu udah coba telepon dia? Barangkali Arsen sedang terjebak macet" tanya Haris sekaligus memberikan usulan."Ngapain. Males banget ak.." belum selesai Sarah berucap, dering panggilan terdengar nyaring dari ponselnya yang ia simpan di dalam tas. Tanpa berlama-lama, ia segera mengangkat panggilan itu setelah membaca nama yang tertera disana. Tentu saja rasa geram muncul seketika saat tahu bahwa orang yang
Arsen dan Pak Wiryo makan dengan tenang di kantin rumah sakit itu. Mereka memutuskan untuk makan disana karena menurut Arsen duduk di koridor dirasa kurang nyaman."Habis ini Tuan Arsen akan saya antar pulang ke rumah dulu baru saya balik lagi kesini. Biar saya saja yang menunggu pasien selagi kerabatnya datang" ujar Pak Wiryo tanpa bermaksud memerintah tuannya sambil mengangkat gelas kopinya."Tidak perlu. Saya akan disini sampai gadis itu boleh pulang" ucap Arsen kalem. Pak Wiryo yang mendengar ucapan tuannya spontan tersedak kopi yang baru saja diseruputnya."Tuan.. Jangan bercanda lagi disituasi seperti ini" sahut Pak Wiryo."Saya tidak sedang bercanda" Arsen berujar tanpa menatap ke lawan bicaranya. Ia melanjutkan makan malamnya dengan tenang. Tapi Pak Wiryo bisa melihat ada yang janggal dari air mukanya. Seperti sedang menutup-nutupi sesuatu."Bagaimana mungkin tuan tak pulang? Bapak dan Ibu nanti khawatir. Terlebih Non Yousi" kat
Pagi itu, Yousi masuk ke kantor Arsen dengan langkah terburu-buru. Satpam legendaris, yang kebetulan sudah lama bekerja di perusahaan itu menatap heran akan kedatangan sang putri konglomerat yang terkenal pintar tapi jarang disiplin tersebut. Ia mengikuti langkah Yousi dari belakang, berusaha mengejar. Yousi yang menyadari keberadaan seseorang di belakangnyapun lantas menoleh dan berhenti saat tahu siapa yang membuntuti langkahnya. "Non Yousi kenapa pagi-pagi buta kemari?" tanya lelaki 50 tahunan itu terlebih dahulu."Pak Endang! Adik saya dimana??" balasnya dengan suara agak tinggi dan terlihat cemas."Pak direktur? Belum dateng non. Kan masih terlalu pagi sekarang mah“ jawab Pak Endang sekenanya.“Jadi dia gak lembur?" tanyanya tambah cemas."Enggak non. Semalam aja pulangnya sedikit lebih awal" jelas Pak Endang dengan wajah bingung. Yousi yang mendengar ucapan Pak Endang malah semakin tambah cemas. Matanya yang besar membuat seketik
"Tidak" jawab Nara sambil menggelengkan kepalanya, "Cepat panggilkan perawat. Aku ingin ke toilet" imbuhnya kemudian. "Oh.. Toilet" kata Arsen bergumam lalu beranjak berdiri dari duduk manisnya. Ia harus pergi mencari perawat seorang diri karena Pak Wiryo sedang tidak ada sebab telah izin untuk pulang ke rumahnya. Tak lama, seorang perawat wanita pun masuk ke dalam ruangan. Kemudian membantu Nara dengan memapahnya untuk duduk di kursi roda. Rasa nyeri itu memang masih terasa apalagi bekas operasinya baru semalam. Namun Nara tetap memaksakan dirinya untuk menggapai kursi itu. Saat berhasil, ia pun bernafas lega. Setelah selesai, perawat itu hendak memegang kedua bahu Nara agar kembali berbaring di ranjang, namun tiba-tiba saja Nara menahan gerakannya. "Tidak. Biarkan saja. Aku ingin duduk di kursi ini" "Baiklah" kata perawat itu sambil tersenyum lalu meninggalkan Nara. Nara duduk menatap ke arah luar jendela kaca. Tatapannya terfokuskan k
"Sudah semakin sore. Lebih baik kita segera masuk, udaranya bertambah dingin" ujar Arsen kepada Kepada Nara. Mendengarnya, Nara hanya mengangguk menurut. Dengan hati-hati, Arsen mendorong kursi roda itu kembali ke bangunan rumah sakit. Dalam hati, ia memikirkan bahwa harus segera pulang kerumah. Sepertinya keadaan rumah sudah cukup kacau tanpa keberadaan dirinya. Dari kejauhan, lorong ruangan dimana Nara dirawat tampak sepi. Hanya ada beberapa perawat dan juga.. Seseorang yang sangat Arsen kenal? "Papa?" ucap Arsen pelan. *** "Apa yang kau lakukan disana Arsen!? Kau sengaja membuat kekacauan di rumah ini? Tak tahukah kau mamamu berjaga tengah malam hingga susah tidur, karena menunggu kepulanganmu!?" murka Rusihan sambil membuka kasar pintu rumah mereka. Saat mereka masuk kedalam rumah megah tersebut, dua orang perempuan ikut turun dari lantai atas karena mendengar keributan. "Arsen.. Kamu dari mana nak? Mama khawati