Share

Beli Kucing Dalam Karung

Sore itu, Haris tak kunjung bangun. Padahal sudah hampir 2 jam ia terbaring tak sadarkan diri di kamarnya. Seorang dokter beserta asisten yang khusus merawat keluarga Arsen telah dipanggil untuk menangani Haris.

"Seharusnya kamu mendengarkan saya"

Arsen mendudukkan dirinya di samping Sarah yang sedang memegang tangan ayahnya.

"Tapi kamu acuh tak acuh. Kamu fikir 430 miliar itu sedikit bagi ayah kamu?" Arsen menghela nafasnya sebentar lalu bersuara lagi.

"Saya harus kembali ke kantor. Kalau ada perkembangan tentang ayahmu, kabari saya segera" titahnya mengingatkan Sarah.

Sarah hanya mengangguk tanpa bersuara. Diliriknya pintu kamar, tampak Arsen melangkah semakin jauh tanpa menoleh ke arahnya lagi. Ia menghela nafas berat. Ada sedikit rasa tak rela atas kepergian Arsen. 

***

"Katakan kepada Manajer Ken kalau saya belum bisa bertemu dengannya" perintah Arsen kepada sang sekretaris. 

"Atur ulang jadwal meeting. Kemudian jangan lupa mengumumkan bahwa sore ini kita tidak perlu briefing" lanjutnya kemudian. Tangannya dengan lihai menandatangani tumpukan rendah berkas-berkas yang ada di meja kerjanya. 

"Akan saya laksanakan segera" 

"Setelah semua urusan anda selesai, pulanglah segera. Sementara saya akan pulang lebih awal" 

"Baik. Kalau begitu saya permisi" sang sekretarispun berjalan keluar dari ruangan Arsen.

***

Dering satu panggilan di ponsel mencuri perhatian Arsen yang sedang bersandar di kursi penumpangnya. Saat ini, ia sedang dalam perjalanan pulang menuju ke rumahnya.

"Halo" sapanya langsung tanpa melihat dengan jelas siapa yang menelepon. Ia memejamkan matanya dengan tenang. Merasakan dinginnya AC yang menyeruak masuk ke dalam kulit putihnya.

"Arsen. Ayah sudah siuman" ucap seseorang di seberang.

Tanpa memerlukan waktu yang lama untuk tahu suara siapa yang sedang berbicara. Arsen segera membalas pernyataan yang belum berbalas itu. 

"Syukurlah kalau begitu" jawab Arsen sekedarnya. Jujur saja, ia belum terbiasa berbicara dengan Sarah. Sulit sekali untuk menutupi rasa gugupnya. Apalagi mereka berdua dijodohkan. 

"Iya" 

"Apa dokter dan asistennya sudah pulang?" tanya Arsen kemudian. Ia sadar itu bukanlah pertanyaan yang penting. Tapi lumayanlah, ada bahan untuk berasa-basi walaupun terlalu malas untuk melakukannya. Terpaksa, agar membangun kesan ramah di depan calon istri. 

"Sudah, ayah yang menyuruh mereka pulang begitu ia sadar" 

"Baiklah" 

"Iya.." balas Sarah dengan singkat. Sebenarnya ia cukup ahli bermain kata. Tapi entah kenapa, tiba-tiba ia jadi gagu begini. Ia sendiri pun merasa heran. 

"Kalau begitu sampaikan salam saya kepada ayahmu" 

"Aku akan menyampaikannya" 

"OK. Tutuplah teleponnya" suruh Arsen dengan tetap setia memejamkan matanya. Ia lelah dan ingin segera pulang, tetapi masih ada hal yang harus ia urus. Bisakah hari-hari cepat berlalu? Ia ingin segera pensiun.

Masalahnya ia hanya seorang direktur sekarang ini. Sedangkan papanya bercita-cita agar dirinya menjabat sebagai CEO menggantikan posisi sang papa. Butuh waktu yang lama agar bisa pensiun, pikirnya.

"Pak, kita mampir beli kopi dulu. Saya takut terlalu mengantuk saat bertemu rekan kerja nantinya" 

"Baik, tuan" 

***

Disisi lain, Haris hanya duduk bersandar memalingkan wajahnya dari Sarah. Sarah menghela nafas kasar. Sepertinya sang ayah sangat marah kepadanya.

"Arsen menitipkan salam untuk ayah" katanya lalu diam sejenak, barangkali ayahnya akan ikut bersuara. 2 menit berdiam, hasilnya nihil. Sang ayah tetap setia menatap ke arah jendela kamar. Mungkin pemandangan di luar sana lebih menarik dari keberadaannya sekarang. Ia pun ikut menatap ke jendela lalu menunduk lesu. 

Merasa mengganggu istirahat ayahnya, Sarahpun melangkah keluar setelah menyampaikan salam dari Arsen. 

***

Malam itu keluarga Arsen sedang menikmati makan malamnya dengan tenang. Obrolan merekapun terkesan santai karena hanya membahas tentang rencana pernikahan anak bungsu keluarga super kaya itu. 

"Arsen, kamu udah yakin ingin menikah dengan Sarah? Seenggaknya kamu berkenalan lebih lama dulu dengannya. Jangan terburu-buru memutuskan sesuatu. Takutnya kamu bernasib sama seperti Suvin, beli kucing dalam karung" ingatkan Yousi akan kejadian tempo hari kepada adiknya.

"Huss.. Tidak baik mengungkit yang sudah-sudah" kata Rusihan menasehati putrinya.

Sebelumnya, Yousi juga sudah memperingati Suvin, sang sepupu. Untuk membatalkan rencana pernikahannya dengan sang pacar lantaran Yousi bisa melihat tabiat yang tak baik dari perempuan tersebut. Terbukti setelah baru seminggu menikah, istri Suvin terciduk sedang berpelukan mesra di sebuah kamar hotel mewah. Karena hal mengerikan itu, Yousi tak mau kejadian yang tak mengenakkan kembali terjadi di keluarganya.  Apalagi kepada adiknya yang begitu ia jaga dengan baik sedari kecil.

"Saya sudah yakin untuk menikahi Sarah" ucap Arsen dengan kalem.

Di ujung kiri meja makan, mamanya ikut bersuara, "Kalau mama sih enggak menentang keputusan kamu, seandainya kamu sudah yakin untuk menikahinya. Yah, semoga saja pilihan kamu yang sekarang adalah pilihan terbaik"

Rusihan ikut menimpali, "Kita doakan saja semuanya berjalan lancar dan pernikahan Arsen berumur panjang. Oh ya Arsen, kapan kamu pergi menemani Sarah untuk fitting gaun pengantinnya?"

"Saya belum memberi tahu Sarah kapan rencananya. Habisnya beberapa hari ini urusan di kantor sangat menyibukkan"

"Kalau begitu, kenapa tidak Yousi saja yang melakukannya" usul sang papa kemudian lalu menoleh ke arah putrinya.

"Kapan? Kalau besok atau lusa aku belum bisa. Ada janji bertemu desainer dari luar kota" jelasnya dengan datar.

"Tidak usah merepotkan kak Yousi, pa. Biar saya saja. Saya akan mengusahakan untuk meluangkan waktu sesempat mungkin" tolaknya secara halus.

"Baiklah kalau begitu" tutup Rusihan menerima keputusan putranya.

Acara makan malam itupun kembali berlanjut hingga perhatian semua orang teralihkan saat Arsen berdiri menyudahi makan malamnya. 

"Saya sudah selesai" ucap Arsen kemudian berjalan naik ke atas menuju kamarnya. 

Arsen memang masih tinggal serumah dengan kedua orang tuanya. Sebelumnya, ia sudah berencana pindah ke kediamannya sendiri. 1 unit apartemen mewah yang cukup jauh dari rumah utama keluarganya sudah ia beli beberapa tahun yang lalu. Namun keinginannya untuk pindah harus ditunda lantaran sang mama tak mengizinkannya tinggal sendiri sebelum ia menikah.

Ia merebahkan tubuh di atas kasurnya. Memikirkan tentang pernikahannya yang tak lama lagi akan digelar. Pernikahannya dengan perempuan yang sama sekali tak ia cintai. Namun walaupun begitu, ia berjanji tak akan mengecewakan orang-orang yang berharap atas pernikahan ini. Terlebih membuat calon istrinya kelak menyesal telah mau dijodohkan dengannya.

Belum lama membaringkan tubuhnya, ia pun terlelap menuju alam bawah sadar. Pekerjaan hari ini sangat melelahkannya karena sudah cukup lama ia telantarkan, lantaran sibuk mengurus pernikahannya yang tak lama lagi akan dihelat di suatu gedung privat.

Pukul 23:43, Arsen terbangun karena kedinginan. Ia beranjak ke kamar mandi karena sadar belum mencuci wajah dan menggosok giginya. Setelah selesai, ia mematikan AC kamarnya lalu menarik selimut dan mencoba memejamkan matanya lagi. Malam ini, ia memimpikan hal yang begitu indah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status