-Akan kutunjukkan, jika aku berharga. Aku layak dipertahankan, bukan layak dipermainkan.- Audrey
"Audrey!"
Reflek aku menoleh, "Iya, Bu?"
"Besok menghadap Pak Darmawan. Kamu saya nyatakan lolos."
"Terima kasih banyak, Bu." ucapku dengan senyum bahagia.
Badanku gemetar bahagia begitu Tuhan merubah takdirku hanya dengan sekejap mata. Saat aku hampir diujung keputusasaan mencari sumber kehidupan dan tidak tahu harus mengadu kemana.
"Hai, Drey. Gimana hasil interview sama Bu Fatma?" Anjar baru saja tiba lalu duduk di kubikelnya.
Aku mengangguk sumringah kemudian berucap, "Saya diterima. Makasih ya, Njar."
"Sama-sama. Mau pulang nih?"
Aku mengangguk dengan senyum seindah bunga krisantemum.
"Barengan yuk. Gue kemas-kemas dulu ya?"
Sambil menunggu Anjar menata meja kerja dan memasukkan barangnya ke dalam tas, aku mengirim pesan bahagia ini pada Mama.
“Yuk, Drey.”
Karena ini sudah jam pulang kantor, kami berdua menuju lift khusus karyawan bersamaan dengan karyawan yang lain. Begitu pintu lift terbuka, staf yang berdiri di ujung justru mundur selangkah. Kemudian saling bertukar tanya melalui tatapan mata.
Ternyata, ada seorang laki-laki tengah menyandarkan tubuhnya di dinding besi itu dengan tangan kanan memainkan ponsel sedang tangan kiri dimasukkan saku celana. Apakah dia tidak sadar dengan keadaan yang ada di depannya?
Ia seolah-olah tidak merasa hingga bisik-bisik tanpa suara para staf membuatnya mendongakkan kepala.
Who is he?
"Kok nggak masuk?!" tanyanya.
Sejurus kemudian ia menekan tombol tahan ketika pintu lift akan tertutup kembali.
"Duluan saja, Pak."
Kebetulan di kantor ini, ada dua lift yang beroperasi. Satu lift khusus karyawan dan satu khusus direksi.
Bila kehadiran lelaki itu di dalam lift khusus karyawan sangat dihormati, bisa kutebak jika dia salah satu big fish di kantor ini. Lalu dengan seenak hati bisa keluar masuk lift manapun tanpa ada yang bisa menginterupsi.
Boss and his power.
Labor and their weakness.
"Silahkan masuk. Tadi saya salah pencet lift. Maaf." ucapnya datar dan santai.
Namun ada beberapa poin yang tidak biasa. Suara nyaringnya terdengar seksi tanpa cela. Ketampanan Dewa Ares seakan terpahat sempurna di wajahnya. Meski sudah jam pulang kantor, penampilannya masih saja tertata. Dan sikap dingin namun tetap berwibawanya bisa membuat staf manapun menaruh hormat padanya.
Jika aku boleh menilai, ia adalah wujud nyata makhluk Tuhan paling seksi sejagad raya.
"Ayo, masuk." perintahnya lagi karena seperti tidak ada yang berani mengayunkan kaki.
Begitu aku masuk di barisan paling akhir, mau tidak mau hanya aku yang berdiri memunggunginya. Staff keuangan yang lain memilih berdiri berdesakan di pinggir lift dan lelaki ini kembali bersandar santainya sambil memainkan ponsel.
Sikap dingin dan kurang ramahnya sangat elegan. Menandakan bahwa ia bukan atasan sembarangan yang suka berbasa-basi dengan staf jika tidak ada keperluan. Serta posisinya yang kuat bisa dipakai untuk membuang staf rendahan seperti kami hanya dengan sekali sentilan jika berlaku tidak sopan.
Begitu pintu lift terbuka lebar, aku segera memberi jalan lalu ia melenggang keluar. Dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana hitam kainnya, dia berjalan begitu gagah menampilkan tubuhnya yang bugar diikuti kharismanya yang bersinar.
How cool and sexy he is!
"Ngelamunin apa, hayo!!" Anjar mengagetkanku yang masih berdiri terpaku.
Kepalaku menggeleng pelan.
"Yang itu tadi namanya Pak Asmen. Bos kecil di sini."
"Namanya Asmen?" tanyaku memastikan.
"Asmen alias asisten manajer. Dia satu ruangan sama manajer operasional dua. Keren kan?!"
I'm amazed by his acchievement. Pantas saja jika staf keuangan yang lain begitu tunduk, patuh, dan hormat padanya. Ternyata, dia bukan orang sembarangan rupanya.
"Tapi sayang, dia tertutup banget orangnya."
"Killer ya, Njar?"
"Kalau lo nanti kerja bareng dia, siap-siap aja olahraga syaraf dan mental."
Aku meneguk ludah kasar membayangkan betapa tidak bersahabatnya Pak Asmen pada bawahan. Apalagi bawahan baru sepertiku pasti sering melakukan kesalahan.
Bayangan lelaki liberalis, super perfeksionis, bersifat antagonis, dan egois, sudah lebih dulu kulabelkan pada dirinya di awal pertemuan.
"Oh ya, lain kali kalua lo bareng Pak Asmen satu lift, jangan berdiri di depannya ya , Drey. Nggak sopan." imbuhnya.
Aku mengangguk paham, "Tadi gue nggak ngerti. Orangnya dingin ya, Njar?"
Anjar terkekeh pelan, "Pak Asmen is cool as pole and goodly. Banyak yang suka lirik-lirik tapi nggak ada yang ditanggepin."
Aku mengangguk paham seraya membayangkan betapa bahagianya siapapun wanita yang menjadi pendamping hidup lelaki setampan dia. Karena biasanya, lelaki sedingin kutub utara memiliki sifat yang setia.
"Lo naksir pandangan pertama ya, Drey?"
"Ngaco! Gue cuma nanya."
"Kalau lo suka juga nggak apa-apa. Siapa tahu jodoh."
Begitu driver ojol pesananku datang, bersamaan dengan itu pula aku melihat Pak Asmen dijemput sebuah mobil yang out of place terparkir mentereng di depan kantor ini.
Hummer.
Ia berpelukan sesaat dengan si pengendara yang sama-sama parlentenya, saling merangkul pundak keduanya, lalu masuk ke mobil bersama-sama.
"What the hell! Tampan-tampan tapi gay?"
-Perempuan sibuk memimpikan lelaki nakal yang hanya baik kepadanya. Dan lelaki sibuk memimpikan perempuan baik yang hanya nakal kepadanya.- Audrey Setelah dinyatakan diterima di kantor Antara Karya, tugasku sebagai accounting payable masih berada dalam bimbingan Mas Fajar. Dia senior di divisi keuangan dan syukurlah selama membimbingku, ia tidak jual mahal atau sejenisnya. “Audrey, udah kelar belum?” Tanya Mas Fajar. “Dikit lagi mas, tinggal sum FIFO-nya.” “Kanan kiri harus sama ya? Weight average-nya juga harus sama.” “Oke, sip.” Aku mengacungkan jempol. Mas Fajar, pembimbing lapanganku, dia sosok yang hangat dan enak diajak bertukar pikiran. Smart cookie and people person. Namun langkah kami menuju ruangan Bu Fatma pun urung karena Pak Asmen lebih dulu melangkah ke ruangan Bu Fatma dengan tergesa gesa. “Kenapa mas?” “Mega proyek yang ditangani Pak Asmen bermasalah.” "How come?" “Kemarin dia cerita kalau investornya si customer tuh tiba-tiba cabut.” “Terus kenapa Pak Asme
-Kinerja dan pretasi bukan diraih dengan kerja keras dan ambisi. Melainkan dari rasa cinta dan memiliki profesi dengan sepenuh hati.- Audrey Siapa yang tidak seperti sceleton in the closet ketika netranya dihunus tajam oleh atasan yang pernah menegurnya terang-terangan. Apa lagi aku pernah ditegur karena membicarakan pribadinya bersama Anjar, teman satu kubikelku. Kentara sekali jika Pak Asmen memiliki sisi menarik yang layak diperbincangkan namun sayangnya aku lupa kondisi. Pak Asmen itu menarik dilihat dari mana saja. Tuhan begitu baik dengan menganugerahinya raga yang sempurna, wajah yang terukir indah bila disandingkan dengan sang surya, dan karir secemerlang bintang bertaburan kala musim semi. Ia seperti memiliki topik kehidupan yang tidak ada habisnya untuk dikupas termasuk saat ia diam sekalipun. Konon kata orang, atasan yang masih muda, tampan, dambaan staf perempuan, memiliki sifat sok jual mahal yang teramat. Belum lagi sikap dinginnya yang menambah rasa penasaran makhluk
-Menyimpan perasaan itu indah. Karena penuh misteri dan menduga. Sekali dia tersampaikan tidak ada lagi menyimpan.- Tere Liye Siapa yang tidak ciut nyali saat dihadapkan pada tatapan elang nan tajam atasan diikuti komplain customer yang bertubi-tubi? Apalagi aku masih really early new bird di perusahaan ini. Kami adalah team work. Sudah seharusnya aku selalu ada untuk timku apapun acaranya. Entah sedang senang atau sedang susah sekalipun. Berat sama dipikul, ringan sama di jinjing. Namun, ketidakhadiranku beberapa menit yang lalu karena membeli air mineral tanpa seijin Pak Asmen sebagai team leader adalah kesalahan fatal. Ya! Kesalahan fatal! Aku belum mengenal karakter asli Pak Asmen lalu berani memutuskan langkah sepele sendirian tanpa persetujuan. Penilaian awal dirinya yang kusangka atasan baik tapi tertutup oleh sifat dingin dan tegas, kini berubah drastis bak kompeni Belanda tanpa ampun saat menghukum cambuk para tawanan pribumi. Tatapan tajamnya yang semakin tajam saat
-Tidak ada yang lebih sempurna dari besarnya hati untuk memaafkan. Dan tidak ada yang lebih buruk dari membiarkan rasa bersalah itu terus mencengkeram hati.- Audrey Tidak ada istilah 'revisi' itu menyenangkan kecuali sudah mencintai profesi ini sepenuh hati. Bahkan aku tidak mengeluh sama sekali walau harus merunut kesalahan penulisan dan penghitungan material karena data bestek dari Pak Asmen salah. Padahal yang harus kurevisi bukanlah satu atau dua lembar melainkan berlembar-lembar, bagai mencari jarum yang terselip di baju. I get a real kick out of something. Pelajaran berharaga yang bisa kupetik karena kejadian customer Pradana House Group yang marah-marah adalah pentingnya bestek ketika akan mengerjakan proyek pembangunan. Tidak hanya surveyor lapangan, tapi aku juga membutuhkannya untuk mengerjakan laporan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan yang ada di gambar. Bestek adalah kunci pokok atau tolak ukur menentukan scope of work dan rencana anggaran biaya proyek. Dengan ad
-Keputusan sikap yang kuambil hari ini adalah takdir yang akan menentukan jalan hidupku di masa akan datang.- Audrey Gaji pertamaku telah terkirim empat hari yang lalu. Masih tersimpan rapi di dalam ATM dan kugunakan seefektif mungkin untuk keperluan sehari-hari. "Seneng nih gaji pertama cair." Celetuk Anjar. "Banget!" "Baru kali ini ya lo pegang duit segitu banyaknya Drey?" Aku mengangguk dengan wajah berbinar. "Ini masih trainee ya? Apa lagi kalau udah tetap kayak mas Fajar, lo pasti lompat kegirangan sampe nembus plafon." Mas Fajar pura-pura membetulkan kerah kemejanya. "Siapa dulu. Fajar Anggara Syahputra." "Kalau Mas Fajar sih jangan ditanya lagi. Udah jago." Kuberi jari jempol. "Asal nggak ada yang nangis di lift terus lupa lantai tempat kerja." Beberapa hari yang lalu sepulang meninjau lokasi proyek Pradana House bersama Mas Fajar dan Pak Asmen, aku sempat menangis di lobby mendengar ucapan Mas Fajar. Tentang sikap Pak Asmen yang dingin dan bisa saja dengan mudah memb
-Perempuan pintar adalah perempuan yang tahu bagaimana mencintai laki laki. Tapi perempuan yang pernah terluka tahu siapa laki laki yang pantas dicintai.- Audrey Long weekend is coming. Bagi seorang pekerja dan pelajar, mendapat libur panjang seperti mendapat keberuntungan. Targer menghabiskan waktu di luar kos adalah hal mengasyikkan apalagi menghabiskan uang. Mall, tujuan utamaku. Hidup di kota besar, hiburan yang tersaji hanyalah pusat perbelanjaan modern yang menawarkan beragam jenis kebutuhan. Pakaian, makanan, alat rumah tangga, hingga hobi seperti menonton film. Tanpa banyak persiapan aku langsung menggeret Amelia, sahabat terbaikku di kos, untuk menemaniku ke salon dan berbelanja baju kerja keluaran terbaru. Using my first salary. "Ini bagus nggak Mel?" Aku memilih setelan kerja berwarna biru matang di salah satu gerai yang menjual pakaian formal. "Ck...old style. Lo persis aunty aunty tahu nggak." Aku menonyor kepala Amelia. "Pilihin kalau gitu." Aku kembali menyu
-Apa yang menurutku baik, belum tentu menjadi yang terbaik. Membiarkan ia terlepas adalah jalan terbaik.- Audrey "Debaran?" "Atasan lo kan ganteng Drey." Aku menggeleng. "Dia bos killer." "Gue aja kesengsem loh Drey." Andai Amelia tahu bagaimana sadisnya Pak Asmen pada bawahan, pasti ia akan menarik ucapannya kembali untuk mengaguminya. Aku juga heran mengapa rekan-rekan kerja di kantor begitu mengidolakan dirinya? Apakah mereka tidak pernah mendapat teguran atau lirikan sadis darinya? "Lo udah ada cowok masih aja ngelirik yang lain." "Habis dia keren sih. Tipe idaman banget loh." Memilih mengabaikan ucapan Amelia, kami berdua kembali berjalan menuju halaman mall sambil menunggu datangnya taksi online. Lalu duduk di kursi yang berada di bawah pohon ketapang rimbun. Pohon ini mengingatkanku pada bestek karya arsitek idolaku, Paralio. "A picture speaks a thousand words." Gumamku sambil menengadahkan kepala. "Ngomong apaan?" Aku menggeleng dengan menatap rimbunnya pohon ini. "
-Menghindar itu lebih baik dari pada pura-pura tidak melihat.- Audrey Pagi cerah, aku melenggang masuk lantai ground kantor menggunakan setelan kerja terbaru. Rasa percaya diri ini bertambah ketika penampilanku tidak jauh berbeda dengan staf perempuan lain yang lebih senior. Setidaknya, jika ingin memiliki banyak teman, bukankah harus satu frekuensi dengan yang lain? Bahkan demi menjaga penampilanku di awal bulan ini agar tetap terjaga, hari ini aku memilih memesan taksi online. Aku masih muda, seksi, single, dan apa salahnya jika mendapat perhatian dan pujian dari lawan jenis. "Pagi semua." Sapa Pak Rudy ramah. Beliau berjalan bersisian dengan Pak Asmen, sang anak emas. Mereka bak anak kembar beda indukan. Yang satu sudah paruh baya dengan perut membuncit. Yang satu masih muda dengan tubuh seksi. "Pagi pak." Jawab kami serentak seperti memberi hormat pada pak guru. It's been five months, aku jarang melihat Pak Asmen sejak proyek perumahan Pradana Group berakhir. Aku lebih ba