Share

Si pengacau suasana

Author: Juniarth
last update Last Updated: 2022-01-31 16:23:46

-Menyimpan perasaan itu indah. Karena penuh misteri dan menduga. Sekali dia tersampaikan tidak ada lagi menyimpan.- Tere Liye

Siapa yang tidak ciut nyali saat dihadapkan pada tatapan elang nan tajam atasan diikuti komplain customer yang bertubi-tubi? Apalagi aku masih  really early new bird di perusahaan ini.

Kami adalah team work. Sudah seharusnya aku selalu ada untuk timku apapun acaranya. Entah sedang senang atau sedang susah sekalipun. 

Berat sama dipikul, ringan sama di jinjing. 

Namun, ketidakhadiranku beberapa menit yang lalu karena membeli air mineral tanpa seijin Pak Asmen sebagai team leader adalah kesalahan fatal.

Ya! Kesalahan fatal!

Aku belum mengenal karakter asli Pak Asmen lalu berani memutuskan langkah sepele sendirian tanpa persetujuan. Penilaian awal dirinya yang kusangka atasan baik tapi tertutup oleh sifat dingin dan tegas, kini berubah drastis bak kompeni Belanda tanpa ampun saat menghukum cambuk para tawanan pribumi.

Tatapan tajamnya yang semakin tajam saat marah membuatku hilang keberanian bahkan hanya untuk menatap wajahnya. Hanya berbekal doa pada Tuhan sang pemilik semesta agar berbaik hati melunakkan hati Pak Asmen.

Mas Fajar memberi kode agar aku mendekati customer. Sedang Pak Asmen tetap dengan tatapan mengintimidasinya melihat interaksi kami bertiga.

"Mbak ini harusnya standby. Bukan bikin saya nunggu kayak gini! Saya ini owner proyek!"

Gerutuan customer makin memberatkan langkahku untuk mendekat, serta melemahkan keberanianku untuk menjelaskan. 

"S...saya minta maaf pak atas keterlambatan yang terjadi. Saya baru saja membeli air minum." 

"Semua sedang standby demi kelancaran proyek. Saya tahu semua sedang menahan haus karena terik, termasuk saya juga kalau mbak nggak tahu."

Aku mengangguk lalu menunduk penuh sesal. "Maafkan saya pak. Saya akan lebih mengutamakan proyek ini selanjutnya. Saya sangat menyesal."

Customer berdecak kesal dengan gerutuan yang masih keluar dari bibirnya. 

"Maaf pak atas keteledoran saya, kalau boleh tahu kendala apa yang membuat kami harus merevisi laporan keuangan?"

"Makanya jangan main pergi sebelum selesai!"

Komplainnya harus kuterima dengan lapang dada karena begitulah konsumen, mereka bersikap seolah-olah menjadi raja. Bila sudah di atas angin perkataannya seperti tidak memanusiakan orang sepertiku. 

Ternyata ada lebihan lahan yang tidak tergambar di bestek buatan Pak Asmen. Sehingga jumlah perumahan yang semula hanya dibangun sebanyak 120 unit, bisa bertambah menjadi 124 unit. Otomatis akumulasi laporan keuangannya pun berubah dan aku harus menggantinya dari awal. 

Baiklah, hanya sebatas itu kesalahannya dan aku bisa merevisinya dengan cepat. Tapi customer tetap saja menggerutu dengan menyalahkan kami yang tidak bisa bekerja dengan profesional. Mungkin customer kali ini bukanlah orang yang murah hati. 

Pak Asmen meminta maaf dan berjanji akan memberikan gambar bestek yang baru dalam waktu secepat mungkin agar tidak mengganggu rencana pembangunan yang sudah tersusun. Atau nama baiknya sebagai blue-eyed man Pak Rudy akan tercoreng. Tangan kanan seperti dia selain memiliki tanggung jawab yang besar pada kantor, juga pada nama baiknya sendiri. 

"Saya mau dalam minggu ini bestek kelar! Anda harusnya melihat dengan teliti denah sertifikat yang saya berikan! Biar tidak mengulang lagi. Akhirnya perlu waktu lagi!" Ocehnya terus menerus.

Gerutuan customer seperti tidak ada habisnya meski kami sudah meminta maaf dan berjanji akan memberikan yang terbaik dalam waktu sesingkat mungkin. Hal ini membuat jiwa sensitifku terkulik karena merasa hanya dia saja yang paling benar diantara kami. 

Aku kembali memastikan ulang jika Pradana House Group masih setuju dengan price list yang ditawarkan oleh vendor pertama, menambah jumlah material untuk penambahan unit, dan bersedia menerima material dan price list dari vendor lain jika vendor pertama mengalami kekosongan atau kendala.

Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, tidak ada pembicaraan ringan seperti berangkat tadi. Pak Asmen hanya diam dan fokus menyetir.

'Apa dia marah ke gue?'

'Apa dia pusing harus mengerjakan bestek ulang?'

'Apa dia kesal dengan Pradana?'

Mas Fajar pun tidak kalah canggung. Ia hanya diam sambil memandangi jalanan dengan  penuh hikmat karena mengajak Pak Asmen berbicara saat dalam kondisi marah bukan ide yang bagus. Aku benci situasi tegang seperti ini lalu diturunkan Pak Asmen di lobby kantor sedang ia melenggang masuk ke parkiran basement.

"Lo tadi kemana sampai gak ada? Pak Asmen tuh perfeksionisnya minta ampun. Gue aja mending nahan boker dari pada ninggalin dia."

"Gue cuma beli minum mas."

"Pak Asmen itu nggak bisa ditebak kalau lagi illfeel. Dan lo udah bangunin macan tidur."

"Masak hal gitu aja Pak Asmen nggak mau maafin gue sih mas?"

"Paling penilaian akhir kontrak lo yang berbicara."

"Mas, gue takut dipecat. Sumpah." Ucapku dengan mata berkaca-kaca.

"Eeeh... Jangan nangis disini! Udah ah ayo naik."

Aku mengikuti langkah Mas Fajar menuju lift dengan tangan sibuk mengusap air mata kesedihan. 

Ting....

"Pak?" Sapa Mas Fajar.

Melihat siapa yang ada di dalam lift aku bersembunyi di belakang tubuh Mas Fajar.

"Silahkan."

"Duluan saja pak." Mas Fajar menyilahkan.

"Ayo, jangan buang-buang waktu." Ia menekan tombol tahan lift.

"A...ayo Drey." Ajak Mas Fajar, kemudian kuikuti dengan hati carut marut.

Mengapa Pak Asmen harus naik lift khusus karyawan?

Bukankah lebih nyaman naik lift direksi yang menjadi haknya?

Apa dia sengaja mau membuatku tertekan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Bukan Perempuan Mainanmu   Terlanjur mencintai kakak ipar

    POV RADO Tak terasa, sudah tiga bulan lamanya, Mbak Sasha tinggal di rumah ini bersama aku dan Mama. Berkat kegigihan dan terapi yang setiap hari dilakukan bersama tenaga medis yang selalu datang ke rumah, akhirnya Mbak Sasha bisa berjalan dengan lancar. Selama tiga bulan itu juga, ketika Mas Kian tidak memiliki waktu pulang ke rumah karena dituntut pekerjaan yang padat, akulah yang menggantikan perannya sebagai ayah untuk Shakira dan .... suami untuk Mbak Sasha. Mau bagaimana lagi, Mama sudah berusia lima puluh tahun lebih, wajar jika tidak bisa ikut membantu Mbak Sasha begadang bila Shakira rewel. Entah karena demam setelah imunisasi, tidak mau tidur malam, mengganti popok, dan lain sebagainya. Aku tidak keberatan karena dengan begitu akhirnya Mbak Sasha bisa lebih dekat denganku. Bukankah jika aku menemani Mbak Sasha, itu artinya aku bisa satu kamar dengannya? Bahkan dia mulai bergantung padaku jika membutuhkan sedikit banyak hal. Aku tidak keberatan jika dia repotkan karena m

  • Aku Bukan Perempuan Mainanmu   Bahagia setelah pernikahan

    POV PARALIOKetika Sasha mengucap kata cintanya padaku setelah pertikaian dan perpisahan kami selama ini, betapa bahagianya aku. Hatiku seperti disiram air surga. Hanya sekedar kata cinta dan pelukan tulus darinya saja, aku begitu bahagia. Ya, hanya untuk sekedar kembali mendapatkan ketulusan cinta Sasha, banyak yang harus kuperjuangkan dan kukorbankan. "Aku mencintaimu, Mas."Aku mengurai pelukan kami lalu menangkup wajahnya yang menggemaskan. Maklum, usia Sasha terpaut sebelas tahun denganku. Betapa beruntungnya aku memiliki istri daun muda seperti dirinya. Mau menerima duda sepertiku dengan segenap cinta tulusnya. Dan kali ini aku tidak akan melepaskannya lagi.Aku menarik pelan wajahnya lalu kusatukan kening kami berdua. Saat hatinya dipenuhi oleh cinta untukku, aku tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk makin merayunya. "Jangan ragu sama cintaku, Sha. Kali ini aku sungguh-sungguh.""Sebenarnya, aku kadang masih ragu sama kamu, Mas. Tapi, aku sadar kalau perasaanku ke kamu

  • Aku Bukan Perempuan Mainanmu   Cinta di hati keduanya

    POV RADO Satu botol berisi obat penenang yang kusimpan baik-baik akhirnya kukeluarkan setelah beberapa minggu ini kutinggalkan. Aku tidak kuat menahan ledakan di dalam dada akibat melihat Mas Kian yang mulai bersikap sangat manis pada Mbak Sasha. Aku tidak terima!!!Aku segera mengeluarkan satu pil itu dari wadah lalu menelannya dengan sisa air yang ada di tas sekolah. Setelah tertelan dengan benar, aku terduduk di tepi ranjang dengan menundukkan wajah. Tidak lama berselang seulas senyum disertai kekehan pelan keluar dari bibirku. Ini artinya reaksi obat telah bekerja dengan baik menenangkan syarafku akibat ledakan emosi yang tidak bisa kukendalikan. "Mas Kian sialan! Ngapain dia sok manis ke Mbak Sasha. Kemarin bilang nggak mau ujung-ujungnya doyan!" "Kenapa harus kamu sih, Mas? Kenapa harus kamu yang ketemu Mbak Sasha? Kenapa bukan aku?!" "Tapi nggak masalah, aku bakal cari cara buat deketin Mbak Sasha. Waktuku sama dia lebih banyak ketimbang sama kamu. Lihat aja nanti, Mas!"

  • Aku Bukan Perempuan Mainanmu   Aku, kau, dan suamimu

    POV RADO "Apa maksudmu tanya kayak gitu, Do? Memangnya siapa yang benar-benar suka sama aku?" Tanya Mbak Sasha yang masih setia duduk di kursi rodanya. Aku mengambil kursi lalu memposisikan di dekat kursi roda Mbak Sasha. Lalu duduk di sebelahnya dengan tatapan begitu lekat lengkap dengan seragam sekolah putih abu-abu yang sudah kukenakan di pagi hari ini. "Seseorang, mungkin." Kepala Mbak Sasha menggeleng. "Nggak ada, Do. Kamu ini bercanda aja sukanya." "Dari pada Mbak Sasha nggak bahagia sama Mas Kian." "Sebelum Masmu nikahin aku, statusku ini cuma perempuan hamil tanpa suami. Bayangin, betapa jeleknya aku di mata orang. Lalu seseorang dari masa laluku nawarin pernikahan karena anaknya butuh kasih sayang seorang ibu dan anakku butuh sosok ayah. Intinya kami saling melengkapi tapi nggak ada rasa cinta." "Kalau kamu sekarang tanya kenapa aku kayak nggak bahagia sama Masmu, gimana aku bisa bahagia kalau dia adalah orang bikin aku nggak bisa percaya sama apa itu cinta dan kesetia

  • Aku Bukan Perempuan Mainanmu   Nekat melakukan pendekatan

    POV RADO Masih menggenggam tangan Mbak Sasha dengan tidak tahu malunya sembari menatap wajahnya yang masih setengah lesu itu, aku kembali berucap. "Ya karena aku sayang sama kamu, Mbak." "Sayang?" Beonya dengan nada tidak mengerti. "Sayang yang gimana maksud kamu Rado? Aku nggak ngerti." "Kamu berubah baik, berubah hangat, dan ... membingungkan." Wajar jika Mbak Sasha bingung menghadapi perubahan sikapku yang terlalu mendadak ini. Sedang perasaanku sendiri juga berubah begitu cepat setelah berulang kali aku menciumnya tanpa tahu siapapun. "Sayang ... sebagai ..." "Rado, maaf." Mbak Sasha kemudian menarik tangannya dari genggamanku. "Kita ini ipar dan nggak seharusnya kamu pegang tanganku kayak gini." Imbuhnya. Binar cinta dimataku untuk Mbak Sasha meredup karena ucapannya kemudian kepalaku tertunduk lesu karena seperti menelanjangi diriku sendiri dihadapan Mbak Sasha. Aku melupakan pelajaran mengendalikan diri dan emosi yang biasa dokter Rafael ajarkan padaku. Bahwa ledak

  • Aku Bukan Perempuan Mainanmu   Pulangnya si cinta pertama

    POV RADO Sejak Mbak Sasha dinyatakan sadar dari tidur panjangnya, aku dan segenap penghuni rumah sangat berbahagia. Akhirnya, penantian dan doa yang terus kami panjatkan membuahkan hasil. Apalagi jika itu bukan karena bayi mungil yang belum memiliki nama ini sangat membutuhkan Mbak Sasha. Mas Kian melarang kami memberi dia nama karena itu akan menjadi hak Mbak Sasha sepenuhnya. Apapun itu aku tidak masalah asal Mbak Sasha siuman dan bisa segera pulang. "Mama mau ke rumah sakit sekarang?" Ini sudah dua hari sejak Mbak Sasha siuman, dan kemarin Mas Kian sudah kembali ke kota untuk bekerja. "Iya, besan mau pulang ganti baju. Giliran Mama yang jaga sekarang." "Titip salam buat Mbak Sasha ya, Ma." "Iya, Rado ganteng. Kamu sanggup kan sama si mungil di rumah?" "Sanggup, kan ada pengasuhnya juga." "Ya udah, Mama berangkat dulu. Taksinya udah nungguin." Tanpa Mama, Mas Kian, bahkan orang tua Mbak Sasha sekalipun, mereka tidak tahu jika aku sudah berulang kali mencium bibir Mbak Sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status