“Jangan paksa aku untuk menikahi gadis itu, Pah!”
“Baiklah! Kalau kau tidak mau, biar Papah saja yang menikahinya!”
*******
“Aku tidak mau menikahi gadis miskin seperti dia! Apa kata orang nanti. Mereka akan berpikir kalau aku tak becus mencari istri! Aku seorang direktur, Pah! Begitu banyak wanita cantik yang mau aku jadikan istri!”
Braak. Elang Langit ramadan mengebrak meja dengan keras. Pria berusia tiga puluh tahun itu menolak mentah-mentah permintaan papahnya.
“Hanya kamu yang bisa menolong dia dari lintah darat itu! Lihat bagaimana keadaannya? Dia hampir saja jadi korbannya! Setidaknya, dia harus mendapatkan perlindungan sementara waktu sampai hutang-hutang ayahnya lunas!”
“Tidak bisa! kalau papah mau menolongnya, beri saja dia uang. Bereskan!”
‘Tidak semudah itu, Lang. Pria itu mengincar Zahra, kalau tidak ada yang menikahinya,”
“Papah tidak usah terlalu banyak alasan! Pokoknya mamah juga tidak setuju kalau Elang harus menikah dengan perempuan itu! Lagi pula siapa dia sehingga Papah terlalu bernafsu untuk menikahkannya dengan putraku satu-satunya!”
“Dia itu anak sahabat papah. Papah punya hutang budi kepadanya. Saat ini papah ingin membalas kebaikannya.”
“Itu urusan papah. Kenapa jadi Elang yang harus menanggungnya!”
“Iya. Papah tanggung saja sendiri. Jangan bawa-bawa putraku satu-satunya! Dia pengusaha sukses dan bisa mencari wanita yang selevel dengannya. Bukan gadis miskin itu!” Widya menunjuk wajah Zahra.
Mulut anak dan ibu sama pedasnya. Keduanya sama-sama sombong dan tak bisa menghargai orang lain.
Sesaat Baskoro terdiam. Dia merasa gagal mendidik putra dan istrinya. Walaupun Elang berhasil menjadi putra yang membanggakan, akan tetapi sikap angkuhnya, sangat tidak disukai.
Dokter Zahra Ramadani hanya terdiam. Dalam hati dia sangat gerah dengan sikap dari keluarga orang yang banyak membantu biaya kuliahnya.
“Kalau saja bukan karena keinginan Pak Baskoro, Aku juga tidak mau berpura-pura jadi orang bodoh dan mendapat hinaan dari anak dan istri Pak Baskoro.” Zahra bermonolog dalam hati.
Namun hidup adalah pilihan. Zahra tidak bisa mundur dari perjanjian. Inilah pilihan hidupnya. Menikahi pria yang belum dikenal sebelumnya. Pria dengan sifat angkuh yang sangat tidak disukai olehnya.
“Baiklah. Aku mengalah dan tidak akan memaksamu, Elang!”
“Baguslah. Itu membuat hidupku tenang.” Elang menenteng tas kerjanya dan menaiki anak tangga satu persatu menuju kamar.
“Makanya kalau mau merencanakan sesuatu itu pikir dulu!” Istri baskoro tersenyum sinis dan berlalu menyusul putranya. Ibu dan anak punya sifat yang sama. Selalu memandang orang hanya dari status sosial saja.
“Elang! Widya, Tunggu! Aku belum selesai bicara!” Baskoro menghentikan keduanya. Dia bangkit dan menatap punggung anak dan istrinya.
Langkah keduanya terhenti. Sesaat kemudian, mereka membalikkan badan secara bersama.
“Apa lagi, Pah?”
“Papah tidak akan memaksamu. Tapi papahlah yang akan menikahi Zahra!”
Duarr. Pernyataan Baskoro bagai suara petir di siang bolong. Benar-benar mengagetkan. Bukan hanya Istri dan anaknya yang terkejut, Zahra juga tidak menyangka dengan apa yang baru saja keluar dari mulut sahabat ayahnya.
“Pak Baskoro mau menikahi saya?! Tapi ini di luar dari per ....”
“Kau diamlah Zahra! Ini urusanku dengan anak dan istriku.”
“Pah! Apa papah sadar mengucapkan itu?!” Rahang pria tampan itu mengeras. Amarah jelas terlukis pada wajahnya.
“Papah sadar Elang.’
“Papah ngomong apa sih?! kenapa juga harus memaksakan diri!” Widya turun dan mendekat ke arah suaminya. Dia memukuli tubuh pria paruh baya itu.
“Apa belum cukup kau menghianatiku sampai lahir Yunus anakmu si pembawa sial itu!”
“Diam Widya! Jangan terus menghinanya! Dia juga anakku dan punya hak yang sama seperti Elang!”
‘Kau memang tidak pernah berubah!” Widya memukuli dada suaminya sembari menangis. Baskoro hanya terdiam tanpa mau menanggapi kekesalan istrinya.
Dulu wanita ini begitu penurut dan berbakti kepada suami. Namun setelah penghianatan Baskoro dia berubah seratus delapan puluh derajat. Hingga saat ini selalu terjadi kekacauan di rumah. Saat hubungan suami istri sudah tidak harmonis, akan selalu terjadi masalah. Saat sudah tidak selaras, kerikil tajam akan menerpa kehidupan.
Baskoro ingin semua kembali seperti dulu. Rumah tangga yang tentram dan damai. Walau rasanya sangat sulit. Widya selalu mendominasi. Bahkan dia selalu mempengaruhi Elang dengan pengaruh yang buruk. Anak itu sebenarnya baik, tapi hanya karena sang bunda yang salah mendidik, hingga dia menjadi pribadi yang sombong dan tak kenal ampun.
“Widya! Suka tidak suka, Kau harus bisa menerima keputusanku! Ayo Zahra, Kita pergi!” Zahra menarik tangan Zahra dan membawanya keluar.
“Papah Tunggu!” Widya berusaha menyusul suaminya. Tapi lengannya dicekal oleh Elang. Dia tidak rela kalau wanita yang telah melahirkannya terus mengejar lelaki yang sudah jelas menghianatinya. Entah terbuat dari apa pria yang disebut sebagai ayahnya itu. Hubungan Elang dan ayahnya memang tidak baik. Selalu saja ada perdebatan di antara keduanya.
Baskoro menggandeng lengan Zahra dan membawa gadis itu pergi. Walau masih dipenuhi oleh tanda tanya, tetap saja dia mengikuti kemana Baskoro melangkah. Gadis itu tetap percaya kepada pria baik ini. Dia tidak akan mungkin menghianati kepercayaannya.
Sementara, istri Baskoro sedang menangis di pelukan putranya. Dia tak menyangka kalau suaminya akan menghianati untuk yang kedua kalinya. Dia sangat mencintai suaminya dan tak ingin diduakan. Bagaimanapun caranya dia harus menggagalkan rencana gila suaminya untuk menikahi gadis bodoh itu.
“Elang. Apa kau betul-betul sayang sama Mamah, Nak?” Widya menatap putra semata wayangnya dengan penuh harap.
“Kenapa Mamah bertanya seperti itu? Apa Mamah meragukanku?”
‘Tidak, Nak. Mamah percaya. Tapi ... maukah kau melakukan sesuatu untuk Mamah? Berkorban demi Mamah?”
“Tentu. Apa yang mamah inginkan, pasti aku penuhi. Katakanlah!”
Widya memejamkan mata sejenak sembari menghela nafas dan menghembuskannya perlahan. Dia tahu keputusan cepat yang akan di ambil pasti membuat putranya marah. Dia pasti akan menolak mentah-mentah keinginannya. Tapi tak ada cara lain. Hanya ini satu-satunya cara untuk bisa menggagalkan rencana sang suami menikahi gadis itu. Semoga saja Elang menyetujuinya.
“Tolong, lepaskan tangan saya, Pak Baskoro!” seru Zahra dengan wajah kesal. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang direnanakan oleh pria yang sudah dianggap sebagai ayahnya ini.Baskoro melepas tangan Zahra.“Zahra, Bapak tadi cuma ....”“Tolong jelaskan kepasa saya, kenapa Bapak mengatakan hal itu? Bukankah itu di luar perjanjian kita? Maaf, saya tidak mau menikah dengan Bapak! Saya sudah menganggap Bapak seperti ayah saya sendiri!” ucap Zahra begitu tegas. Wanita cerdas ini jelas saja kesal karena sudah keluar dari perjanjian awal.“Zahra! Aku mohon mengertilah. Semua tidak seperti yang kamu bayangkan. Bapak hanya ....”“Maaf, Pak. Saya batalkan perjanjian ini. Saya tidak mau menghancurkan rumah tangga Anda. Pak Baskoro orang yang baik dan sudah banyak membantu saya dan keluarga. Tapi bukan berarti Bapak bisa membuat saya melukai istri Bapak. Sekali lagi saya mohon maaf.
Zahra hanya berdiri mematung. Seolah tak ada yang peduli dengan sakit hati yang dirasakan. Mereka hanya sibuk dengan pertengkaran dan argumen masing-masing.“Rasanya takkan sanggup untuk hidup dengan mereka. Ternyata harta tak menjamin kebahagiaan.” Desis Zahra dalam hati.Sangat berbeda dengan kehiduan keluarganya. Walau hidup sederhana, tapi bahagia. Ayah dan ibunya selalu mencurahkan kasih sayang kepada dirinya. Sebagai anak tunggal, Zahra mendapat limpahan kasih sayang dari kedua orang tuanya.Tujuannya datang ke rumah ini dengan tujuan memenuhi keinginan Baskoro untuk merubah sifat putranya yang sombong menjadi baik. Tapi rasanya mustahil. Lebih baik menyerah walau belum mencobanya. Itu akan lebih baik untuknya.Zahra memutuskan untuk pergi. Tanpa berpamitan, dia melangkah perlahan hingga menghilang dari pandangan.Tanpa Zahra sadari, Elang selalu memperhatikan setiap gerakan wanita berhijab yang sangat sederhana. Dia
Baskoro pergi untuk melamar Zahra seorang diri. Elang mau menikahi Zahra, tapi dengan memberikan syarat, dia tak mau datang melamar. Selain itu, dia juga meminta pernikahan dilaksanakan di rumahnya saja, tanpa perlu mengundang banyak orang. Hanya keluarga inti saja yang datang.Baskoro menyetujui saja keinginan putranya tanpa berpikir panjang. Yang ditakutkan kalau Elang akan berubah pikiran. Dia lalu memutuskan untuk melamar putri sahabatnya. Tak ada bingkisan atau apapun. Dia hanya membawakan uang seratus juta rupiah sebagai pengganti bingkisan.Baskoro tiba di tujuan. Mencoba menarik nafas untuk menghilangkan rasa cemas. Memandangi rumah sederhana tapi penuh dengan cinta. Saat berada di rumah sahabatnya itu dia merasakan kehangatan dari sebuah keluarga.Mengambil tas berwarna hitam di mana tersimpan amplop coklat yang berisi uang. Lalu menuju rumah calon menantunya. Ada rasa berdebar dalam dada, takut kalau sahabatnya itu marah dan kecewa dengan sikap putrany
“Bismillah. Zahra mau, Pak,” jawab dokter muda itu dengan gemetar. Ada rasa ketakutan saat mengambil keputusan yang bisa berpengaruh besar kepada hidupnya. Terutama hubungannya dengan dr. Budi, pria yang sudah mengisi hatinya hampir sepuluh tahun. Apalagi dia juga belum membicarakannya dengan kekasihnya. Yang dikhawatirkan akan terjadi kesalahpahaman nantinya. Namun keputusannya sudah bulat.“Alhamdulillah,” ucap Baskoro dengan senyum mengembang. Dia terlihat sangat bahagia. Jauh dalam hatinya, dia berharap kalau pernikahan ini bukan hanya berbatas waktu. Semoga saja hari-hari yang akan mereka lalui mampu menumbuhkan benih cinta hingga berakhir dengan kebahagiaan.“Sekali lagi terimakasih atas bantuan kalian. Untuk semuanya nanti biar aku yang urus. Kalian terima beres saja,” ucap Baskoro dengan penuh gembira.“Aku percaya padamu,” jawab Mustafa sembari menggenggam tangan sahabatnya.“Oh,ya, tunggu seb
“Ups. Sorry!” seorang pria yang berjalan mundur dan menabrak Zahra yang baru saja datang menuju ruang kerjanya. Beruntung benturan tidak terlalu keras hingga tak membuat gadis berhijab itu terjatuh.“Mas, Budi?” sapa Zahra saat mengetahui siapa yang menabrak dirinya.“Loh, Kamu, Sayang? Aku pikir siapa?” jawab Budi sembari terus menatap ke arah belakang. Hal itu jelas saja mengundang tanya dalam benak kekasihnya.“Mas Budi lihat apa?” tanya Zahra dengan penuh selidik.“Itu, ada Raisya!” jawab Budi sembari menunjuk ke arah wanita berambut panjang yang tergerai.“Raisya artis idola kamu?”“Iya!”“Ah, Masa!” Zahra tak percaya. Netra indahnya mengikuti kemana arah tatapan mata sang pujaan hati.“Oh, itu bukan Raisya. Dia dokter Vero. Pengganti dokter Fadli yang sedang melanjutkan study di luar negeri.”“Kok kamu
Budi menghentikan aktifitasnya. Dia meletakkan ponsel di atas meja dan menatap lekat ke arah sang pujaan. “Kalau tak membutuhkanku untuk membantumu, kenapa kau mengajakku berbicara? Kalau kau mampu selesaikan sendiri, berarti tak ada masalah’kan?”“Ada hubungannya denganmu, Mas,” ucap Zahra dengan tercekat. Matanya merebak dan terasa panas. Sebisa mungkin dia menahan airmata yang mulai menggenang.“Kenapa kamu menangis? Apa permintaannya sangat membebanimu?” Budi terlihat cemas. Dia menghapus airmata di pipi kekasihnya.“Sangat membebani. Karena akan berpengaruh pada hubungan kita,” jawab Zahra makin terisak.“Katakan dengan jelas. Jangan membuatku bingung!” tekan Budi. Dia sangat penasaran dengan pokok pembicaraan.“Pak Baskoro mempunyai anak lelaki yang sangat sombong dan tidak punya belas kasih. Dia tidak akur dengan putranya. Dan Pak Baskoro menaruh harapan padaku untuk bis
Tiba saatnya hari yang ditunggu tiba. Seperti yang telah disepakati sebelumnya, hari pernikahan tiba.Zahra sudah selesai dirias. Walau sederhana tapi terlihat sangat cantik dan anggun. Kebaya warna putih serta jilbab yang senada melambangkan kesucian seorang gadis. Aura kecantikannya sangat terlihat.Zahra terus memandangi wajahnya di depan cermin. Rasanya enggan untuk bergeser dari tempat duduk di depan meja rias.Gadis itu berandai-andai tentang calon suaminya. Kalau saja Budi yang akan bersanding dengannya, dia pasti akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia.Sayangnya, semua itu hanya hayalan. Kenyataan yang sebenarnya tidaklah demikin. Kini Zahra harus menghadapi keputusan yang membuat masalah untuk dirinya sendiri. Hidup adalah pilihan. Dan pilihannya kali ini akan menimbulkan dampak yang tidak baik untuk kehidupannya.Zahra mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Mengusap layar yang terkunci dan memandangi foto pria yang sudah
Zahra menuju ruangan di mana sudah ada penghulu yang menunggu disana. Bersama kedua orangtuanya menuju dua kursi yang berada di hadapan penghulu. Sungguh tiada nuansa kebahagiaan. Tak ada hiasan apapun sebagai tanda adanya pernikahan. Bahkan tak ada seorangpun tamu yang datang. Hanya penghuni rumah saja yaitu kedua orang tua Elang dan seorang lelaki yang mulai beranjak dewasa.Ada sedikit denyut dalam dada saat melihat kenyataan yang ada. Terlihat sekali keluarga ini sama sekali tak menghargai pengorbanan Zahra dan keluarganya. Bahkan sang calon mempelai pria tidak menampakkan batang hidungnya.Zahra menoleh ke arah ayah dan ibunya. Tergambar jelas guratan kecewa pada wajah keduanya.“Bapak sama ibu kecewa dengan pernikahan ini?” tanya Zahra lirih.Walau dengan cepat menghapus airmata, tetap saja Zahra melihat jejak di sana.“Tidak, Nak. Ayo!” Mustafa mencoba mengalihkan perhatian putrinya. Padahal jauh dalam lubuk hati rasa