Share

Sembilan Tahun Lagi
Sembilan Tahun Lagi
Penulis: Sandra Setiawan

1. Janji

Saat ini, 2021[1]   

JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… sudah hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu.

Bunda Zia VIII-2, 2021  : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya.

Bunda Zia VIII-2, 2021  : Saya sudah di SPBU dekat sekolah.

Savannah Gayatri      : Baik, Bunda. Santai aja.

Savannah Gayatri      : Saya masih di kelas kok.

Savannah Gayatri      : Hati-hati di jalan.

Dan itu lima menit lalu. Sambil menunggu, pandanganku tertuju ke arah lapangan. Masih cukup ramai meski matahari sedang di puncak sengatannya. Tapi ada satu sosok yang meski aku hanya meliriknya sekilas, yang sekilas itu bisa membuatku terpaku menatapnya. Seperti dia membalas tatapanku padahal dia berkacamata hitam. Aku seperti mengenali sosoknya. Mata yang tertutup kacamata hitam itu seperti lurus menatapku tajam dan tatapan itu membuatku beku sesaat. Sekilas yang membuatku menoleh ke arahnya lagi. Dan benar, aku masih bisa merasakan tatapannya. Aku kembali membeku, merasa tersesat entah di mana.

Tok tok tok

Suara ketukan di pintu membuatku tersadar dan segera mengalihkan pandangan. Ah, orang yang kutunggu datang. Bergegas aku berdiri menyambutnya. Sebergegas dia berjalan mendekat dengan tangan terkatup di dada. Meminta maaf. Segera saja proses pengambilan rapor terjadi. Tanpa antrian, kami santai berbincang mengingat dia adalah tamu terakhir yang datang.

“Ya sudah, Bu, kami pamit dulu. Terima kasih ya, Bu Maaf sudah bikin Ibu harus stay lebih lama di sekolah,” ujar sang ibu setelah satu jam kami berbincang. Sepasang suami istri berdiri bersamaan lalu bergantian menyalamiku di balik meja.

“Sama-sama, Pak, Bund. Ah, nggak apa-apa. Sudah biasa kok, Bunda. Anggap aja nunggu KBM selesai.”

“Ah, Bu Anna mah bisa aja menghibur saya. Saya beneran merasa bersalah loh, Bu. Ndilalah berdua nggak bisa banget ninggalin kantor.”

“Tapi sekalianya datang ya berdua. Saya senang kalau orangtua datang berdua ambil rapot. Kita bisa ngobrol langsung tentang anak-anak.”

“Iya, Bu. Benar itu.” Kali ini si bapak yang menjawab.

“Semoga Zia makin rajin belajarnya ya. Sudah naik kelas IX loh.” Aku menyalami kedua orang di depanku seramah dan sesantun mungkin.

“Aamiin.”

“Penempatan kelas seperti biasa ya, Bund. Menyusul.”

“Baik, Bu Anna. Terima kasih.”

Aku berdiri mengantar dua orang itu sampai ke pintu. Lalu kami bertiga membungkukkan sedikit punggung, menghormat. Aku masih terus tersenyum di balik punggung mereka, terus mengantar dengan senyum sampai keduanya menghilang di balik pintu mobil.

Ruang kelas sudah kosong. Meski sangat sadar tamu terakhir sudah pergi, tapi untuk memastikan, aku tetap melirik ke lembar absen. Semua kolom tanda tangan sudah terisi. Dan memang sudah tidak ada lagi berkas rapot yang tadi menumpuk di meja.

Akhirnyooo.... selesai juga...

Aku meregangkan tubuh, merentangkan tangan lebar-lebar sebagai tanda kelegaan lalu mengangkat tangan setinggi-tingginya tanda kebebasan. Selesai sudah kerja keras semua guru sepanjang ujian akhir semester sampai pembagian rapot.

Saatnya libur panjang kenaikan kelas.

Mengingat itu, senyumku semakin lebar, rentangan tanganku semakin lebar juga. Terbayang kegiatan yang kususun sebagai pengisi liburan.

Menghabiskan koleksi drakor, tidur di sela-sela waktu menonton, bersosmed, hang out bersama teman, … Itu seminggu. Seminggu lagi akan aku habiskan bersama Bhaga. Cutinya beririsan dengan libur sekolah. Dan seminggu itu akan aku habiskan berdua saja dengannya. Baru membayangkannya saja sudah bisa membuat pipiku merona. Segera kutepis pikiran-pikiran wanita dewasa yang mendadak muncul ketika sosok lelaki itu hadir.

Ah, libur selalu menyenangkan. Sehari saja menyenangkan, apalagi berminggu-minggu. Well, oke, ada tugas piket di antara libur itu. Tapi abaikan saja. Tak ada kesibukan berarti mengisi jadwal piket. Apalagi aku bukan panitia penerimaan peserta didik baru.

Di luar matahari masih terik. Hari sudah lewat dari tengahnya. Aku masih di kelas di saat sebagian besar rekan kerjaku sesama guru sudah lama pulang. Beberapa wali murid tidak bisa datang sesuai jadwal. Terpaksa aku memundurkan waktu. Begitulah. Sebagai guru aku harus banyak mengalah. Sudah begitu pun masih sering disalahkan. Seakan tugas mendidik menjadi tanggung jawab guru 100% sementara orangtua tinggal menunggu hasil kerja guru. Yang jika tidak sesuai standar keinginan orangtua maka itu adalah salah guru.

Sikap orangtua yang seperti ini justru melahirkan anak-anak yang keras. Anak-anak yang ingin menunjukkan eksistensi dirinya dengan cara apa pun. Dan sepanjang karier mengajarku, aku sudah sering melihat siswa yang seperti itu.

Aku hanya bisa menarik napas panjang. Tapi begitulah. Aku mencintai profesi ini. Dan kalau cinta sudah berkata, aku bisa apa? Hanya tinggal menikmati ulah si cinta itu saja.

Sambil tanganku merapikan berkas di meja, aku melirik ke luar yang masih terik. Matahari seperti itu yang akan menemaniku pulang. Membayangkannya saja membuatku membutuhkan pintu ke mana saja milik Doraemon yang bisa langsung membuatku sampai di rumah.

Tanpa sadar, pandanganku tertuju pada sosok seorang lelaki dengan setelan jas rapi dan aviator sunglasses berdiri di tengah lapangan. Penanpilannya cukup mencolok apalagi sekolah sudah sangat sepi, nyaris kosong.

Lelaki yang tadi sekitas kulihat tapi seakan dia juga melihatku.

Ah, tidak ada urusan dengan dia, semua rapot sudah diambil. Aku kembali melanjutkan aktifitas, bersiap pulang.

Meja sudah rapi. Bahkan tas sudah terkancing. Aku sudah siap pulang ketika suara ketukan di pintu terdengar lembut. Mendongak, aku tersenyum.

“Ya?”

Aku menjumpai sosok yang tadi berdiri di tengah lapangan sudah berjalan ke arahku.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

Santai, sosok itu duduk di kursi di depanku.

Dia masih mengenakan kacamata, dengan wajah tertutup rambut halus, aku tidak bisa mengenali sosok itu sama sekali. Dia pasti melihat dahiku yang berkeryit tanda berpikir keras.

“Kenapa sih kamu nggak sabaran? Aku kan sudah bilang, tunggu aku.” Tamuku berkata dengan nada serius seakan berbincang dengan karib.

Hah?

“Ayo kita nikah.”

“Gimana?” Aku tidak bisa menutupi ekspresi bodoh yang jelas langsung terbentuk di wajah.

Tamuku menarik napas panjang, semacam jengkel. Mungkin dia jengah dengan ekspresi bodohku. Jengkel yang membuatnya membanting punggung ke sandaran kursi sambil melepas kacamata. Kali ini matanya terlihat jelas. Hitam legam tajam menatap lurus ke arahku.

Mata itu....

Sepertinya pernah kulihat.

Dulu. Entah kapan.

Kerutan di dahiku makin jelas. Demi menjawab rasa ingin tahuku, aku tak sungkan balas menatap mata legam tajam itu. Benar-benar berusaha menggali ingatan mengenali si pemilik mata.

“Dulu aku suruh kamu, tunggu aku sembilan tahun lagi, kenapa kamu nggak sabar? Malah nikah sama Bhaga. Ck.” Dia berdecak.

Deg.

Mendengar kalimat singkat itu, aku langsung limbung dengan memori yang segera berkelindan ke masa yang disebut lelaki di depanku itu.

Tunggu aku sembilan tahun lagi.

Ya.

Wajahku tak lagi bodoh. Ganti terperangah dan terus menatap mata gelap di depanku. Mulutku yang terbuka hanya aku tutup dengan sebelah tangan. Total tersedot ke kala itu.

Sembilan tahun lalu ada seorang murid mengucapkan sebaris kalimat.

Tunggu aku sembilan tahun lagi.

Aku mengingat kalimat itu, tapi siapa yang akan menyangka pengucapnya seserius itu? Sungguh, kupikir dia bergurau atau hanya urusan hormon remaja saja.

“Aku menepati janji.” Dia duduk tegak sambil merentangkan tangannya. Sementara aku? Aku masih dengan ekspresi yang sama, terpaku mendekati bodoh. “Here I am. Seperti yang dulu kamu inginkan.” Dia merentangkan lagi tangannya, menunjukkan dirinya lebih lagi. Lalu melipat tangannya di dada. Menarik napas, dia melanjutkan, “Aku menepati janji. Aku akan kembali sembilan tahun lagi saat pembagian rapot kenaikan kelas. Tapi kamu tidak menepati janji. Kamu malah menikah dengan Bhaga, Savannah.”

Panggilan itu...

Hanya satu orang yang pernah memanggil dengan nama depan selengkap itu dengan tone yang…. Satu orang yang semakin nyata membuatku berlari ke kala sembilan tahun lalu.

Savannah....

Caranya menyebut nama itu begitu khas. Sedikit berbisik mendesah memuja seakan merapal doa. Membuatku bergidik.

“Dulu kamu suruh aku berjuang untuk masa depanku. Sekarang, kamu akan lihat aku berjuang lagi. Juga untuk masa depanku. Kamu akan melihat langsung karena kali ini aku nggak akan pergi lagi untuk membuktikan janjiku.”

Aku masih terdiam. Apa lagi yang bisa kulakukan? Aku utuh duduk tegak di kursi masih dengan kenangan sembilan tahun lalu.

Saat seorang siswa nakal mengajakku menjauh dari api unggun untuk mengucapkan kata cinta di malam hari perpisahan. Ungkapan hati yang kubalas dengan senyum lembut, ramah, dan penuh pengertian. Hanya cinta monyet remaja dengan hormon yang menggila. Remaja tujuh belas tahun itu menyuruhku menunggunya sembilan tahun lagi sambil mengecup ringan pipiku nyaris mendekat di sudut bibir. Lalu pergi. Pergi tanpa pernah terdengar kabarnya kecuali kabar bahwa dia melanjutkan sekolah ke luar negeri.

Siapa bisa percaya ucapan anak nakal yang baru lulus SMP?

Dia pergi dan aku melanjutkan hidupku.

Tapi siswa itu sekarang ada di depanku. Menepati janii dan menagih janii.

Dan dia bukan lagi remaja yang sedang berjuang mengendalikan hormonnya. Saat ini, dia yang duduk di depanku adalah seorang lelaki matang dan terlihat mapan. Lengkap dengan pesona adonis yang memikat dan melelehkan. Membuat lidahku kelu dan semakin kesulitan mengatur napas.

“Aku sudah tunggu kamu sembilan tahun. Ceraikan Bhaga. Ayo kita nikah.”

“Vlad….” Meski tercekat, aku berhasil berbisik menyebut namanya.

Vladimir Darmawangsa.

***

[1] Author’s note: Abaikan pandemi. Tahun 2021 anggap saja dunia tetap normal tanpa ada new normal.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sukmawati Dewi
usia 17th seharusnya lulus SMA?
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Buset murid smp udah cinta mati sama gurunya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status