KEHADIRAN Vlad mengganggu rencana libur yang sudah kususun rapi. Jika dulu aku bisa abai ketika dia berkata ingin menjadikan aku kekasihnya, saat ini aku tidak bisa lagi abai. Jelas dia kembali sembilan tahun setelah dia mengatakan itu.
Vlad brengsek!
Layar LED di depanku memang menyala. Tapi blablabla drakor yang kutunggu malah lebih sering terabaikan. Aku terlalu sering melamun. Melamunkan Vlad dan Bhaga.
Aku lagi-lagi mendengus dan mengembuskan napas kasar. Cuti Bhaga dan libur sekolah jarang bersamaan. Dan yang jarang itu terjadi sekarang. Well, tidak utuh kami libur bersama, hanya seminggu. Setelah itu Bhaga masih libur tapi aku sudah kembali mengajar. Tapi lihatlah aku sekarang. Hanya tergeletak gelisah sendirian di depan layar TV. Seminggu libur yang beririsan akan Bhaga pakai untuk training, lalu ketika dia ke sini, aku sudah kembali sibuk.
Aku kembali menarik napas, lelah.
Seperti biasa, jika Bhaga ada di sini, dia yang akan menjadi supirku sepanjang libur. Dan yang menyenangkan adalah setelah pulang kami akan berjalan-jalan entah kemana menghabiskan hari dan mengisi malam.
Aku kembali menarik napas. Biasanya memang seperti itu. Tapi entah mengapa kali ini aku merasa butuh lebih. Butuh Bhaga segera ada di sini sehingga dia bisa menemaniku mengisi libur. Tapi lihatlah dia, profesional sejati yang gila kerja. Sesibuk itukah pelatihannya? Lebih sibuk daripada waktu kerjanya? Sampai-sampai bertelepon pun susah. Dia hanya mengabariku ketika sudah di hotel. Sudah terlalu malam, dia pamit undur diri hendak tidur. Tentu kuiyakan meski aku masih ingin berbincang dengannya. Dan setelahnya, jika aku tidak mengirim chat, mungkin dia lupa bahwa ada aku istrinya yang sedang sendirian di rumah ditemani bantal dan koleksi drakor yang berisi romansa pasangan-pasangan yang membuatku makin membutuhkan dirinya.
Matahari masih bulat utuh nyaris di atas kepala, Hari memang baru melewati tengahnya. Kutatap siang yang menyengat di luar. Perumahan ini sepi. Apalagi di siang hari. Nyaris seluruh penghuninya bekerja dan bersekolah. Jika libur seperti ini, rumah-rumah akan terisi murid yang asyik dengan dunia mayanya masing-masing. Membuat dunia nyata tetap sepi seperti biasa.
Ting.
Segera kusambar ponsel.
Semoga Bhaga.
Dan ketika nama Vlad yang muncul semangatku hilang. Haruskah kuhilangkan juga sopan santun ketimuranku? For your informations, Vlad lebih sering menghubungiku dibanding Bhaga. Dan itu membuatku jengkel entah pada siapa. Pada Bhaga yang terlalu sibuk atau pada Vlad yang terlalu gencar? Atau pada diriku yang tidak bisa menolak telepon dari Vlad?
Vlad : OTW ke sana. Siap-siap ya.
Apa?
Kuabaikan saja pesan itu. Dan dia pun tidak mengirim pesan lanjutan. Biar saja dia melihatku seperti ini. Biar dia tahu aku mengabaikan pesannya.
Dan dia sungguh-sungguh berdiri di depan pintu rumahku tiga puluh menit kemudian. Melihat aku masih memakai pakaian rumah yang lusuh dengan rambut berantakan dia tersenyum.
Hah?
Seharusnya dia marah kan? Bukankah perintahnya menyuruhku bersiap?
“Aku suka kamu begini.” Dia langsung masuk. Lebih tepatnya menerobos masuk karena dia langsung merebahkan dirinya di tempat tadi aku tidur.
Astaga!
“Kamu ingat, dulu aku pikir kamu sudah 25 tahun? Dandanan kamu kayak emak-emak banget waktu itu.” Dia duduk bersandar di kaki sofa dengan kaki bersilang dan langsung mengakuisisi stoples pengananku.
“Sengaja. Biar nggak diganggu murid iseng.”
Di terbahak keras sekali. Padahal aku serius dengan ucapanku. Aku mendandani diriku lebih tua agar murid lebih segan padaku. Ingat, aku lebih muda dua tahun daripada usia guru magang normal.
“Aku pergi sembilan tahun kamu nggak berubah, Savannah. Masih mungil, masih cantik, dan masih imut. Kamu masih bisa nyamar jadi murid loh.”
Dia yang sangat berubah. Sungguh. Aku tidak menyangka Vlad bisa berubah seperti ini. Well, dia memang tampan dari dulu, tapi Vlad yang dulu hanya remaja yang sedang mencari jati diri dengan wajah nakal menantang semua orang. Satu kata: mengesalkan. Vlad yang sekarang… jika kami berpapasan di tempat umum, dapat kupastikan aku akan melirinya lebih lama dari seharusnya seperti yang perempuan-perempuan lain juga akan lakukan.
Dan sekarang lelaki tampan itu berlaku seakan dia ada di rumahnya. Itu menjengkelkanku sangat.
“Aku sebenarnya mau ngajak kamu dinner. Kita bisa jalan-jalan dulu,” lanjutnya lagi ketika melihat jam di dinding masih terlalu sore untuk makan malam. “Tapi ngelihat kamu santai begitu, aku nggak keberatan banget rencanaku batal.” Dia terus menatapku dengan senyum yang selalu hadir di bibirnya. “Kamu masak?”
“Nggak.”
“Oke. Kita order aja ya.” Dia semakin merebahkan tubuhnya. “Girls…” Dia memutar matanya ketika melihat TV. “Nggak murid nggak guru, sama aja. Drakor terooosss…” Dia mengambil remote. “Aku ganti ya?”
“Awas aja kalau berani.” Kusambar remote dari tangannya.
“Ngapain sih kamu ngelihatin cowok-cowok cantik itu? Padahal ada cowok keren macho pulak nyata di depan kamu.”
“Astaga. PD apa dosa itu? Banyak amat.”
“Can be both.” Dia terkekeh kecil.
“Siang-siang gini ngapain ke sini? Bukannya kerja.”
“Aku bisa atur waktu kerja aku kok. Sembilan tahun aku nunggu, aku kangen kamu. Ya aku ke sini.”
“Vlad, kapan ya kamu sadar kalau aku ini sudah punya Bhaga sebagai suami aku.”
“Aku sadar kok.”
“Ya sudah, sana pergi. Ngapain di sini? Kayak nggak ada perempuan lain aja gangguin istri orang.”
Tiba-tiba dia terdiam. Menakutkan buatku.
“Kamu nggak tau kan gimana aku waktu terima kabar kamu nikah sama Bhaga? Seandainya membunuh nggak dosa, sudah kubunuh si Bhaga sebelum ijab kabul.”
Aku diam.
Sungguh, aku ingin mengusirnya—aku sudah mengusirnya kan?—tapi manusia di depanku sungguh bebal. Dan ucapannya barusan membuatku tersentak, tersengat tak bisa berkata-kata.
“Aku sudah lulus satu tahun. Aku berusaha secepat mungkin lulus. Tapi ketinggalan dua tahun bikin aku cuma bisa kembali ke titik nol. Usaha aku pun belum mapan banget. Aku kejar-kejaran sama jadwal kuliah jadi nggak bisa fokus kerja. Lulus kuliah baru bisa fokus kerja. Lalu saat aku fokus kerja aku dengar kamu terima lamaran Bhaga. Waktu itu, kalau ada Baygon rasa coklat pengin aku cobain. Rasa stroberi juga nggak apa-apa.”
Oh.My.God.
Dari mana dia bisa tau semuanya? Sementara aku benar-benar tidak ingat dia dan tidak pernah berusaha mencari tahu keberadaannya.
“Kenapa sih kamu tega banget?” Dia bertanya tapi pandangannya menerawang. “Aku minta waktu sembilan tahun karena kalau lima belas tahun kamu kelamaan nunggu. Aku juga hitung umur kamu. Aku yang kamu cap ababil sudah tau kalau batas psikologis perempuan menikah itu tiga puluh. Aku nggak mau kamu nunggu aku sampai lewat tiga puluh. Dan waktu sembilan tahun itu aku isi dengan sungguh-sungguh belajar dan bekerja. Seperti yang kamu mau. Tapi aku dapat apa?”
Diam.
“Vlad, aku nggak tau apa perlu aku minta maaf, tapi Vlad, sadarlah, aku sekarang istri Bhaga. So, stop-lah. Mending sekarang kamu pulang.”
Dia mendengus mencebik.
“Dia lebih milih ngisi cuti dengan training daripada temani kamu libur di sini.”
“Kamu tau dari mana sih, Vlad?” Aku tidak bisa lagi menutupi rasa penasaran ini.
“Aku memang nakal, tapi kalau aku sudah punya mau, aku nggak akan berhenti sampai aku dapat apa yang aku mau. Termasuk kamu. Aku nggak akan ngebiarin perjuangan dan penantian aku sembilan tahun kemarin sia-sia.” Dia berkata dengan tatapan tajam menatap lurus menembus bola mataku. “Aku akan lakukan semuanya termasuk memata-matai kalian.”
***
ANNA tentu sudah melupakan ucapan asal bunyi yang Vlad lontarkan di kantin sampai dia tersedak kuah mi instan. Tepatnya tidak melupakan, tapi mengabaikan. Apalagi ketika dia melihat Vlad bersikap biasa saja setelah berkata seperti itu. Setelah mengucapkan itu Vlad memang tidak terkekeh mengesalkan sambil berkata ‘tapi bohooonnnggg’, dia hanya diam sambil menatap Anna. Tapi justru diamnya itu yang menakuti Anna.Cerita itu sudah berlalu dua minggu lalu. Pagi ini Anna kembali mengisi kelas Vlad. Ketika dia masuk, kelas masih ribut dan Vlad duduk di meja. Melihat gurunya datang, yang lain langsung berlarian ke tempatnya masing-masing sementara Vlad sangat santai turun dari meja lalu berdiri bersandar di meja itu.“Kita lagi bahas perpisahan, Bu. Ada ide nggak?” tanyanya.“Memang kamu mau lulus tahun ini, Vlad?” Pertanyaan Anna dijawab oleh koor tawa teman sekelas.“Kayaknya sih dia sudah bosan di sini, Bu. Tadi dia b
LIBUR kali ini sangat menjemukan. Terasa sangat lama. Baru kali ini aku ingin libur segera selesai lalu aku bisa kembali sibuk mengajar. Aku berharap libur berdua dengan Bhaga tapi jangankan berdua, ditelepon saja dia sulit. Dia memang tetap menerima teleponku, tapi dia tidak akan bersuara, maka yang kudengar hanya suara pengisi materi yang sedang menjelaskan. Atau memang itu suara dia sendiri, tapi dia yang sedang bertanya atau sedang berbicara serius dengan rekannya tentang materi training atau pekerjaannya atau apa pun itu yang berarti dia sedang sibuk dan tidak bisa diganggu,Aku sudah bermaksud menyusulnya ke sana, tapi jika jadwalnya sepadat itu, aku akan tetap akan menghabiskan liburku sendiri saja. Aku berpikir mungkin lebih baik aku menyusul Bhaga dan menjauh dari Vlad. Tapi, apa susahnya seorang Vlad menyusul? Hanya Singapura pula. Dan kenapa aku merasa menyusul Bhaga berarti melarikan diri dari Vlad? Apalagi dengan jadwal Bhaga yang sepadat itu sangat sulit buatku
MATAHARI masih cukup menyengat. Tapi atap dari kain terpal berwarna biru yang sudah lusuh cukup ampuh menahan panasnya. Di bawah pelindung ala kadarnya itu berkumpul sepuluh siswa yang sedang asyik merokok. Semuanya duduk tak beraturan dengan berbagai gaya.“Sebenarnya lu mau ngapain sih, Vlad? Kayak nggak ada kerjaan aja nyari duit buat ngegratisin perpisahan. Mending duitnya buat kita sendiri aja,” ujar Candra dengan tone bosan.“Lu nggak bosan main gini-gini aja? Gue bosan. Gue pengin nyoba yang lain.”“Terus ngapain cari duit buat satu sekolah? Lu gila?”“Kalau cuma buat kita senang-senang doang sama sekolah nggak akan diizinkan, Ontohod.” Vlad menoyor kasar dahi Vicenzo.“Dan sejak kapan kita butuh izin sekolah?” ganti yang lain lagi bersuara.“Sejak gue butuh bantuan lu pada buat jadi lebih gila lagi dari sekarang.”“Lu kesambet apa sih, Vlad?
VLAD merebut kunci rumah dari tangan Anna. Dia membuka pintu lalu menarik kunci dari lubang kunci kemudian tanpa merasa perlu diundang masuk dia langsung menerjang masuk dan membanting bokongnya di sofa.Tangannya kasar melepaskan semua isi kunci dari gantungan kunci. Dia mengambil kunci depan lalu mengambil sebuah kunci.“Ini kunci apa?” tanyanya sambil menunjukkan kunci di tangannya.“Kamar,” jawabku sambil tetap berdiri seperti pesakitan di ambang pintu. Pintu rumahku sendiri.Dia melempar kunci itu.“Ini?”“Lemari.”Dia melempar lagi.“Ini?”“Pintu samping.”Masih dengan gerakan kasar, dia menggabungkan dengan kunci yang dia pegang sejak awal. Lalu menyeleksi sisanya. Mengambil kunci pagar dan membuang kunci yang lain. Tiga kunci dia masukkan kembali ke gantungan kunci. Sisanya entah bertebaran ke mana.“Kumpulin kunci-kunci y
KEHIDUPAN di sekolah ini berjalan seperti biasa. Rencana Vlad seperti sudah menguap yang bahkan murid lain pun seperti sudah bosan merundungnya. Mungkin juga karena sejak awal ide itu tidak pernah dianggap serius. Hanya dianggap kehaluan yang hakiki dari murid unik yang selama ini dikenal suka membangkang.Pembahasan soal itu di ruang guru pun tenggelam. Terganti bahasan lain yang dianggap lebih penting di semester genap. Untuk kelas tiga, itu berarti persiapan ujian nasional. Anak seperti Vlad mungkin tidak bermasalah dengan nilai ujian. Tapi melihat kelakuan Vlad yang tidak berubah, guru hanya bisa menarik napas panjang.Tuntutan umum adalah semua anak harus lulus. Apalagi di sekolah swasta seperti ini. Apalagi sekolah ini tergolong sekolah prestisius. Tidak selalu juara tapi namanya wara-wiri di bagian atas daftar. Ada anak yang tidak lulus berarti noda. Ketidaklulusan Vlad tahun lalu adalah hasil rapat panjang dan maraton nyaris semua guru yang terkait dengan kurik
BHAGA sungguh-sungguh membangunkanku untuk menuntaskan hajatnya. Kebutuhan badaniah dan tidak ingin berlama-lama merajuk membuatku bisa mengimbangi permainan Bhaga. Kebersamaan fisik yang membuat pagi pertama Bhaga di rumah tetap hangat bahkan bisa dibilang panas. Serangan fajar membuat pagi menjadi lebih berenergi.“Kamu kayak gini, belagak nggak mau cuti.” Aku berlagak menggerutu sambil mengikat rambut. Ranjang kami kacau berkat pertempuran beberapa babak. Bhaga terkekeh sambil bergelung menguasai selimut.“Mau ke mana?” tanyanya ketika melihatku mengambil pakaian.“Lapar, Bhaga. Memang kamu nggak lapar?” Aku bangun dan dia lagi-lagi terkekeh.“Bangunin kalau sudah matang ya.”“Njih, Ndoro Bhagavad.”Aku tidak pernah berharap Bhaga membantu di dapur. Dia bukan type pria pemasak. Dia sangat payah di dapur. Sambil bersenandung aku menyiapkan semuanya. Nasi goreng spesial, k
DISKUSI singkat Anna dan Vlad berakhir ketika bel tanda jam pelajaran berakhir berbunyi, tanda jam baru akan dimulai. Vlad bisa bergabung dengan teman sekelasnya lagi. Anna memandangi punggung Vlad yang menjauh sambil tersenyum. Semoga otak Vlad kali ini melancarkan aliran ide. Anna masih bertugas di meja piket.Dan hari itu berjalan tanpa ada kejadian lain. Lepas waktu pelajaran terakhir, Anna melaporkan hasil pembicarannya pada Bu Ros yang dibalas dengan anggukan mantap dan senyum lega.Jika kemarin panas begitu menyengat, kali ini langit begitu pekat penuh awan hujan. Anna menengadah ke langit melihat potensi hujan. Ini akan hujan, tapi kapan? Sekolah telah usai, waktunya pulang, dengan langit segelap itu, semua terburu pulang, berharap tak bertemu hujan di jalan.Anna pun sama. Belum ada titik gerimis sama sekali, dia memilih berkendara tanpa jas hujan. Tapi sialnya, di tengah jalan hujan turun. Semua pemotor menepi. Anna pun. Bermaksud memakai jas hujan, di
TERNYATA aku butuh waktu lebih banyak untuk menenangkan diri. Bahkan aku berpikir tidur di sofa saja alih-alih ke kamar dan melihat Bhaga. Mengingat rumah ini hanya mempunyai satu kamar, membuatku semakin ingin segera merenovasi rumah. Dan itu membuatku kembali teringat percakapan yang membuat leherku menggelembung maksimal seperti katak.Tentu Bhaga sudah mendengkur ketika aku masuk kamar. Menarik napas panjang, aku merasa sangat-sangat jengah. Aku duduk di tepi ranjang, lalu merebahkan tubuh membelakangi Bhaga. Mungkin merasa ranjang bergerak, tidurnya terusik. Dari cermin meja rias di hadapanku, kulihat Bhaga bergerak memunggungiku. Aku semakin merasa jemu. Bukan libur seperti ini yang aku mau habiskan berdua dengannya. Tidak ada dalam rencana liburku untuk tidur saling memunggungi.Kutunggu dia untuk menghangatkan ranjang kami dan memulai proyek perkembangbiakan generatif tapi beginilah yang kudapat.Ting.Bunyi notifikasi ponsel di nakas mengganggu l