Share

7, Spy

KEHADIRAN Vlad mengganggu rencana libur yang sudah kususun rapi. Jika dulu aku bisa abai ketika dia berkata ingin menjadikan aku kekasihnya, saat ini aku tidak bisa lagi abai. Jelas dia kembali sembilan tahun setelah dia mengatakan itu.

Vlad brengsek!

Layar LED di depanku memang menyala. Tapi blablabla drakor yang kutunggu malah lebih sering terabaikan. Aku terlalu sering melamun. Melamunkan Vlad dan Bhaga.

Aku lagi-lagi mendengus dan mengembuskan napas kasar. Cuti Bhaga dan libur sekolah jarang bersamaan. Dan yang jarang itu terjadi sekarang. Well, tidak utuh kami libur bersama, hanya seminggu. Setelah itu Bhaga masih libur tapi aku sudah kembali mengajar. Tapi lihatlah aku sekarang. Hanya tergeletak gelisah sendirian di depan layar TV. Seminggu libur yang beririsan akan Bhaga pakai untuk training, lalu ketika dia ke sini, aku sudah kembali sibuk.

Aku kembali menarik napas, lelah.

Seperti biasa, jika Bhaga ada di sini, dia yang akan menjadi supirku sepanjang libur. Dan yang menyenangkan adalah setelah pulang kami akan berjalan-jalan entah kemana menghabiskan hari dan mengisi malam.

Aku kembali menarik napas. Biasanya memang seperti itu. Tapi entah mengapa kali ini aku merasa butuh lebih. Butuh Bhaga segera ada di sini sehingga dia bisa menemaniku mengisi libur. Tapi lihatlah dia, profesional sejati yang gila kerja. Sesibuk itukah pelatihannya? Lebih sibuk daripada waktu kerjanya? Sampai-sampai bertelepon pun susah. Dia hanya mengabariku ketika sudah di hotel. Sudah terlalu malam, dia pamit undur diri hendak tidur. Tentu kuiyakan meski aku masih ingin berbincang dengannya. Dan setelahnya, jika aku tidak mengirim chat, mungkin dia lupa bahwa ada aku istrinya yang sedang sendirian di rumah ditemani bantal dan koleksi drakor yang berisi romansa pasangan-pasangan yang membuatku makin membutuhkan dirinya.

Matahari masih bulat utuh nyaris di atas kepala, Hari memang baru melewati tengahnya. Kutatap siang yang menyengat di luar. Perumahan ini sepi. Apalagi di siang hari. Nyaris seluruh penghuninya bekerja dan bersekolah. Jika libur seperti ini, rumah-rumah akan terisi murid yang asyik dengan dunia mayanya masing-masing. Membuat dunia nyata tetap sepi seperti biasa.

Ting.

Segera kusambar ponsel.

Semoga Bhaga.

Dan ketika nama Vlad yang muncul semangatku hilang. Haruskah kuhilangkan juga sopan santun ketimuranku? For your informations, Vlad lebih sering menghubungiku dibanding Bhaga. Dan itu membuatku jengkel entah pada siapa. Pada Bhaga yang terlalu sibuk atau pada Vlad yang terlalu gencar? Atau pada diriku yang tidak bisa menolak telepon dari Vlad?

Vlad : OTW ke sana. Siap-siap ya.

Apa?

Kuabaikan saja pesan itu. Dan dia pun tidak mengirim pesan lanjutan. Biar saja dia melihatku seperti ini. Biar dia tahu aku mengabaikan pesannya.

Dan dia sungguh-sungguh berdiri di depan pintu rumahku tiga puluh menit kemudian. Melihat aku masih memakai pakaian rumah yang lusuh dengan rambut berantakan dia tersenyum.

Hah?

Seharusnya dia marah kan? Bukankah perintahnya menyuruhku bersiap?

“Aku suka kamu begini.” Dia langsung masuk. Lebih tepatnya menerobos masuk karena dia langsung merebahkan dirinya di tempat tadi aku tidur.

Astaga!

“Kamu ingat, dulu aku pikir kamu sudah 25 tahun? Dandanan kamu kayak emak-emak banget waktu itu.” Dia duduk bersandar di kaki sofa dengan kaki bersilang dan langsung mengakuisisi stoples pengananku.

“Sengaja. Biar nggak diganggu murid iseng.”

Di terbahak keras sekali. Padahal aku serius dengan ucapanku. Aku mendandani diriku lebih tua agar murid lebih segan padaku. Ingat, aku lebih muda dua tahun daripada usia guru magang normal.

“Aku pergi sembilan tahun kamu nggak berubah, Savannah. Masih mungil, masih cantik, dan masih imut. Kamu masih bisa nyamar jadi murid loh.”

Dia yang sangat berubah. Sungguh. Aku tidak menyangka Vlad bisa berubah seperti ini. Well, dia memang tampan dari dulu, tapi Vlad yang dulu hanya remaja yang sedang mencari jati diri dengan wajah nakal menantang semua orang. Satu kata: mengesalkan. Vlad yang sekarang… jika kami berpapasan di tempat umum, dapat kupastikan aku akan melirinya lebih lama dari seharusnya seperti yang perempuan-perempuan lain juga akan lakukan.

Dan sekarang lelaki tampan itu berlaku seakan dia ada di rumahnya. Itu menjengkelkanku sangat.

“Aku sebenarnya mau ngajak kamu dinner. Kita bisa jalan-jalan dulu,” lanjutnya lagi ketika melihat jam di dinding masih terlalu sore untuk makan malam. “Tapi ngelihat kamu santai begitu, aku nggak keberatan banget rencanaku batal.” Dia terus menatapku dengan senyum yang selalu hadir di bibirnya. “Kamu masak?”

“Nggak.”

“Oke. Kita order aja ya.” Dia semakin merebahkan tubuhnya. “Girls…” Dia memutar matanya ketika melihat TV. “Nggak murid nggak guru, sama aja. Drakor terooosss…” Dia mengambil remote. “Aku ganti ya?”

“Awas aja kalau berani.” Kusambar remote dari tangannya.

“Ngapain sih kamu ngelihatin cowok-cowok cantik itu? Padahal ada cowok keren macho pulak nyata di depan kamu.”

“Astaga. PD apa dosa itu? Banyak amat.”

Can be both.” Dia terkekeh kecil.

“Siang-siang gini ngapain ke sini? Bukannya kerja.”

“Aku bisa atur waktu kerja aku kok. Sembilan tahun aku nunggu, aku kangen kamu. Ya aku ke sini.”

“Vlad, kapan ya kamu sadar kalau aku ini sudah punya Bhaga sebagai suami aku.”

“Aku sadar kok.”

“Ya sudah, sana pergi. Ngapain di sini? Kayak nggak ada perempuan lain aja gangguin istri orang.”

Tiba-tiba dia terdiam. Menakutkan buatku.

“Kamu nggak tau kan gimana aku waktu terima kabar kamu nikah sama Bhaga? Seandainya membunuh nggak dosa, sudah kubunuh si Bhaga sebelum ijab kabul.”

Aku diam.

Sungguh, aku ingin mengusirnya—aku sudah mengusirnya kan?—tapi manusia di depanku sungguh bebal. Dan ucapannya barusan membuatku tersentak, tersengat tak bisa berkata-kata.

“Aku sudah lulus satu tahun. Aku berusaha secepat mungkin lulus. Tapi ketinggalan dua tahun bikin aku cuma bisa kembali ke titik nol. Usaha aku pun belum mapan banget. Aku kejar-kejaran sama jadwal kuliah jadi nggak bisa fokus kerja. Lulus kuliah baru bisa fokus kerja. Lalu saat aku fokus kerja aku dengar kamu terima lamaran Bhaga. Waktu itu, kalau ada Baygon rasa coklat pengin aku cobain. Rasa stroberi juga nggak apa-apa.”

Oh.My.God.

Dari mana dia bisa tau semuanya? Sementara aku benar-benar tidak ingat dia dan tidak pernah berusaha mencari tahu keberadaannya.

“Kenapa sih kamu tega banget?” Dia bertanya tapi pandangannya menerawang. “Aku minta waktu sembilan tahun karena kalau lima belas tahun kamu kelamaan nunggu. Aku juga hitung umur kamu. Aku yang kamu cap ababil sudah tau kalau batas psikologis perempuan menikah itu tiga puluh. Aku nggak mau kamu nunggu aku sampai lewat tiga puluh. Dan waktu sembilan tahun itu aku isi dengan sungguh-sungguh belajar dan bekerja. Seperti yang kamu mau. Tapi aku dapat apa?”

Diam.

“Vlad, aku nggak tau apa perlu aku minta maaf, tapi Vlad, sadarlah, aku sekarang istri Bhaga. So, stop-lah. Mending sekarang kamu pulang.”

Dia mendengus mencebik.

“Dia lebih milih ngisi cuti dengan training daripada temani kamu libur di sini.”

“Kamu tau dari mana sih, Vlad?” Aku tidak bisa lagi menutupi rasa penasaran ini.

“Aku memang nakal, tapi kalau aku sudah punya mau, aku nggak akan berhenti sampai aku dapat apa yang aku mau. Termasuk kamu. Aku nggak akan ngebiarin perjuangan dan penantian aku sembilan tahun kemarin sia-sia.” Dia berkata dengan tatapan tajam menatap lurus menembus bola mataku. “Aku akan lakukan semuanya termasuk memata-matai kalian.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status