“KAMU masih ada urusan?”
“Hah?” Aku tergagap mendadak ditanya.
“Masih ada yang mau dikerjain nggak? Aku lihat semua sudah ambil rapot nih.” Matanya bergerak dari atas ke bagian bawah kertas yang dia pegang dengan sebelah tangan.
“Eh, iya. Sudah selesai semua.” Aku masih tergagap. Gagap yang membuat gerakan tanganku terasa kasar tak beraturan ketika mengumpulkan berkas. Aku harus segera pergi dari hadapannya.
“Ya sudah, ayo aku antar pulang.” Dia langsung berdiri, menjulurkan tangannya membantuku berdiri. Gesture yang spontan kusambut dan membuat aku tertarik ke masa sembilan tahun lalu. Tercekat, aku menarik napas lalu terburu menarik napas panjang. Segera kusambar tas sebagai alasan melepaskan pegangan tangannya.
“Eh, aku bawa kendaraan sendiri. Terima kasih, tapi nggak usah diantar.”
“Ck.” Dia berdecak lalu berjalan di sampingku. Terlalu dekat sehingga membuat aku merasa tak nyaman. Aku melirik ke sekitar, memastikan tidak ada mata, mata, dan mata yang bisa menjadi mata-mata lalu menyebarkan berita aneh.
Fyuhh…
Siapalah aku ni.
Kami berjalan melintasi lapangan menuju tempat parkir motor. Aku bergegas menuju motorku dan dia tetap mengikut sedepa di sampingku. Gagapku membuat mencari kunci motor pun menjadi drama. Kunci itu jatuh dan dia yang mengambilnya. Kujulurkan tanganku meminta kunci itu, tapi dia malah menyerahkan pada seseorang yang ternyata sudah bersiap di dekat kami. Tanpa banyak bicara, orang itu mengeluarkan motorku dan aku hanya bisa diam sementara dia bekerja.
“Ayo,” ajaknya lagi.
“Hah?”
“Apa sih dari tadi hah-hah terus?” Dia tidak bisa menutupi suara jengkel dan tak sabarnya. Dan seingatku, dia memang seperti itu. Tak suka menunggu.
Dan tak suka menunggunya itu membuat dia menarikku di siku sampai aku berjengit terkejut. Dia membuka sebuah pintu SUV di sisi penumpang dan dengan gesturenya menyuruhku masuk.
Entah apa yang dia lakukan padaku, aku begitu penurut saat ini. Tanpa banyak kata, aku duduk dan diam saja ketika dia membantu memasang safety belt lalu dia berjalan memutar menuju sisi pengemudi dan tanpa banyak kata langsung mengemudi.
Embusan AC dan suara musik lembut tidak membuatku nyaman. Dudukku terlalu tegang di mobil senyaman ini. Vlad malah mengemudi sangat santai dengan jari mengetuk-ngetuk kemudi seirama musik. Jarak yang biasa kutempuh sendirian kali ini berteman tapi tetap dalam diam. Dia mengemudi begitu santai seakan ini rutenya setiap hari. Semakin mendekati rumah aku semakin terhenyak ketika aku semakin yakin bahwa dia sudah tahu rumahku.
Memasuki gerbang perumahan aku semakin tegang. Dan aku hanya bisa diam ketika dia memarkirkan mobil tepat di depan rumahku.
“Ayo.” Tiba-tiba dia sudah ada di sampingku dengan pintu mobil terbuka. Bahkan dia yang melepas safety belt.
“Hah?” Aku lagi-lagi tergagap. Dan dia lagi-lagi berdecak.
“Mau turun nggak? Apa mau langsung jalan aja?”
“Mau ke mana?” Pertanyaan bodoh.
“Ya kamu mau ke mana? Sudah di depan rumah nggak mau turun.” Dia melepas aviatar sunglasses lalu melempar asal ke dashboard. “Ayo.”
Fyuhhh…
Seakan stok bodoh, terkejut, dan terkesima tidak habis dari diriku, aku terus mempermalukan diri sendiri di depannya. Termasuk ketika aku tidak bisa membuka pintu rumah sendiri dan dia gesit mengambil alih.
“Kamu tuh dari dulu masih aja suka ngumpulin kunci kayak penjaga sekolah begini.” Serenceng kunci itu berisi semua kunci di rumah ini. Termasuk kunci lemari. Dia sudah berhasil membuka pintu dan tanpa diundang dan dipersilakan langsung masuk mendahului pemilik rumah. Aku. “Ngapain sih segala kunci dibawa ke mana-mana? Bikin berat tas aja.” Dia berkata sambil menjatuhkan bokongnya ke kursi tamu.
“Savannah, kamu nggak perlu bawa semua printilan di tas. Kita hidup di era milenial di mana semua kebutuhan kita dijual di pinggir jalan. Kalau pun nggak ada, kita bisa cepat order lalu diantar.” Dia mengambil bungkus rokok dari sakunya, mengambil sebatang, dan santai menyalakan lalu mengembuskan asapnya.
Sementara itu, aku hanya berdiri mematung di depannya.
“Kayak sekarang nih. Aku pegang HP. Kalau kamu nggak ambilin aku minum walau cuma segelas air mineral, ya aku tinggal order aja. Apalagi pin point rumah ini sudah aku save.”
Tergagap, aku bergegas ke dapur menyiapkan segelas sirup. Tuhan, tolong kembalikan kecerdasanku segera. Aku lelah menjadi orang bodoh di depan mantan muridku.
Sambil menyiapkan minuman aku berusah menata hati dan menyiapkan mental. Berjuta pertanyaan hadir dan semua tidak ada jawabannya. Kelebat kibasan memori mengentak menganggu dan semua tentang dia.
“Savannah, kamu bikin apa sih? Lama amat. Freshwater its okay. Nggak usah bikin cocktail. Aku nggak minum alkohol kok.”
“Sebentar,” jawabku sambil mendesah dan memutar bola mata.
“Aku cuma haus, kamu nggak usah masak. Nanti kita order atau keluar aja kalau lapar.”
Astaga.
Manusia ini…
Aku tidak bisa menemukan kata yang cocok. Aku hanya mempercepat gerakanku saja.
“Kok cuma satu? Minum kamu mana? But its okay. Segelas berdua.” Dia langsung menyorongkan gelas ke bibirku.
Thanks God! Kali ini spontanitas mendorong bahuku ke belakang, menolak sodorannya. Dia hanya terkekeh lalu bibirnya langsung ribut menyeruput isi gelas.
Tapi setelahnya sunyi. Dia tidak bersuara lagi. Dia hanya menatap lurus ke arah foto pernikahan kami—aku dan Bhagavad Antares. Caranya melihat membuatku jengah tapi tidak mengubah posisi dudukku di sisi lain kursi yang dia duduki.
Kudengar helaan napas panjang dan tubuhnya merosot turun.
“Kenapa kamu nggak sabar, Savannah? Kenapa kamu nikah? Sekarang aku harus merebut kamu dari Bhaga. Aku nggak mau nyakitin dia. Tapi kalau nggak, aku yang sakit lihat kalian.”
Mendengar itu, tiba-tiba aku siuman dari mantranya.
“Vlad, aku sudah nikah, dan kedatangan kamu nggak akan mengubah itu.”
“No, Savannah, aku akan mengubah itu. Dan itu akan berhasil seperti aku berhasil mengubah diriku sendiri.”
Dia seperti berbicara sendiri sambil tetap menatap foto pernikahan kami. Tapi ucapannya membuatku terkekeh meremehkan, dan kekeh itu membuat perhatiannya teralihkan. Dia menoleh dan kali ini dia menatapku tanpa penghalang apa pun dan dengan kenangan yang utuh atas mata itu.
Percayalah, jika kalian berada di posisiku saat ini, kalian pun akan sebodoh aku. Aku berusaha memanggil kembali semua isi otak ini agar bisa menguasai keadaan. Tapi itu sungguh sulit. Keterkejutan yang tidak bisa segera hilang membuatku sulit berpikir.
Tolong bayangkan posisiku saat ini. Bayangkan. Apa yang kau rasa jika ada mantan muridmu tiba-tiba datang setelah sembilan tahun berlalu kemudian langsung berkata akan merebutmu dari suamimu.
“Tapi bagus kalian nggak punya anak. Aku memang bersedia jadi bapak sambung anak kalian, tapi…” Dia mengedikkan bahu. “Aku tahu rasanya jadi anak korban perceraian.”
“Oke, Vlad. Cukup.” Dia semakin berani, aku yang semakin kacau harus segera menghentikan kegilaan ini. “Aku nggak tau gimana caranya kamu bisa tau semua tentang aku termasuk rumah ini termasuk soal anak.” Dia seperti ingin memutus kalimat panjang itu. Terburu aku berkata, “Tapi cukup. Tolong pergi dan jangan ganggu aku. Jangan ganggu kami. Pernikahan kami baik-baik saja.”
Vlad mendengus.
“Nggak usah bohong, Savannah. Kalau kalian baik-baik saja, Bhaga akan pulang setiap cuti ke sini, nggak akan dia ambil lembur ketika cuti. Kalian nggak butuh uang sampai sebegitunya.”
***
“PAGI, Bu.” Suara bariton membuat Anna mendongak.Vlad.Menatap lurus ke mata Anna dengan wajah sedatar papan.Spontan Anna melirik ke jam tangannya.“Sudah lewat batas toleransi keterlambatan, Vlad.” Anna menulis nama Vlad di log book dengan keterangan terlambat lengkap dengan berapa menit keterlambatannya itu.Santai, Vlad duduk di kursi di samping Anna.“Saya masuk jam kedua aja kalau begitu.” Dia mengambil pulpen yang tadi Anna gunakan untuk menulis lalu membuka halaman terakhir log book piket. Anna membiarkan saja Vlad berulah. Makhluk seperti Vlad memang penguji kesabaran yang nyata.Anna melihat Vlad menulis—menggambar?—di halaman terakhir itu. Entah akan jadi apa hasil tangannya. Tapi Anna serius menekuri ujung mata pulpen yang bergerak di kertas membentuk pola. Dia sampai bertopang dagu.Savannah Gayatri.Itu yang Vlad tulis ala graffiti. Bagian dalam tulisannya ma
“CUKUP, Vlad!” Aku mendesis dengan kelancangannya. “Aku nggak suka kamu ngurusin rumah tangga aku sampai sejauh itu.” Tidak akan ada manusia normal mau jika urusan rumah tangganya ditelisik seperti itu. Dia terlalu lancang.“Aku nggak maksud ke sana. Aku cuma memantau kamu aja.”Dia mengucapkan itu tanpa nada bersalah sama sekali. Membuat darahku mendadak menyembur dari seluruh lubang di tubuh akibat tekanan yang terlalu kuat.“Aku nggak perlu dijagain, dipantau, diawasi, atau apa pun itu.” Dia membuka mulut bermaksud membalas ucapanku, tapi langsung kupotong saja, “Lebih baik kamu pergi sekarang. Kamu nggak ada urusan lagi di sini.”Dia hanya mengedikkan bahu lalu menepuk kedua pangkal pahanya kemudian berdiri.“Oke, aku pergi sekarang.” Dia melongok ke luar lalu melambai ke arah orang yang tadi mengendarai motorku dari sekolah. Orang yang dia panggil datang lalu menyera
“ADA pertanyaan?” Anna melirik jam di pergelangan tangan. Masih ada sisa waktu. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Sedikit lama di Vlad yang ternyata asyik dengan dunianya sendiri. Anna malas memancing keributan, dia membiarkan saja Vlad dengan maunya. Salah seorang murid mengacungkan tangan, bertanya. Perhatiannya teralihkan pada si murid. Waktu sisa terpakai untuk menjawab pertanyaan itu.Bel berbunyi. Ini jam terakhir, seisi kelas langsung gaduh terburu bersiap pulang. Usai doa singkat dan salam berpamit, kelas bubar. Santai, Anna merapikan isi meja. Setelah selesai, dia melihat di kelas masih ada makhluk lain.“Nggak pulang, Vlad?” Vlad masih asyik duduk bersandar dengan kepala tersanggah dua lengannya.“Kenapa mau jadi guru?” tanya Vlad tiba-tiba.“Mau jadi model, muka nggak cantik, mau jadi tentara, tingginya kurang. Mau jadi bos, nggak ada yang mau jadi anak buahnya.” Anna menjawab asal.
KEHADIRAN Vlad mengganggu rencana libur yang sudah kususun rapi. Jika dulu aku bisa abai ketika dia berkata ingin menjadikan aku kekasihnya, saat ini aku tidak bisa lagi abai. Jelas dia kembali sembilan tahun setelah dia mengatakan itu.Vlad brengsek!Layar LED di depanku memang menyala. Tapi blablabla drakor yang kutunggu malah lebih sering terabaikan. Aku terlalu sering melamun. Melamunkan Vlad dan Bhaga.Aku lagi-lagi mendengus dan mengembuskan napas kasar. Cuti Bhaga dan libur sekolah jarang bersamaan. Dan yang jarang itu terjadi sekarang. Well, tidak utuh kami libur bersama, hanya seminggu. Setelah itu Bhaga masih libur tapi aku sudah kembali mengajar. Tapi lihatlah aku sekarang. Hanya tergeletak gelisah sendirian di depan layar TV. Seminggu libur yang beririsan akan Bhaga pakai untuk training, lalu ketika dia ke sini, aku sudah kembali sibuk.Aku kembali menarik napas, lelah.Seperti biasa, jika Bhaga ada di sini, dia yang akan menjadi supirk
ANNA tentu sudah melupakan ucapan asal bunyi yang Vlad lontarkan di kantin sampai dia tersedak kuah mi instan. Tepatnya tidak melupakan, tapi mengabaikan. Apalagi ketika dia melihat Vlad bersikap biasa saja setelah berkata seperti itu. Setelah mengucapkan itu Vlad memang tidak terkekeh mengesalkan sambil berkata ‘tapi bohooonnnggg’, dia hanya diam sambil menatap Anna. Tapi justru diamnya itu yang menakuti Anna.Cerita itu sudah berlalu dua minggu lalu. Pagi ini Anna kembali mengisi kelas Vlad. Ketika dia masuk, kelas masih ribut dan Vlad duduk di meja. Melihat gurunya datang, yang lain langsung berlarian ke tempatnya masing-masing sementara Vlad sangat santai turun dari meja lalu berdiri bersandar di meja itu.“Kita lagi bahas perpisahan, Bu. Ada ide nggak?” tanyanya.“Memang kamu mau lulus tahun ini, Vlad?” Pertanyaan Anna dijawab oleh koor tawa teman sekelas.“Kayaknya sih dia sudah bosan di sini, Bu. Tadi dia b
LIBUR kali ini sangat menjemukan. Terasa sangat lama. Baru kali ini aku ingin libur segera selesai lalu aku bisa kembali sibuk mengajar. Aku berharap libur berdua dengan Bhaga tapi jangankan berdua, ditelepon saja dia sulit. Dia memang tetap menerima teleponku, tapi dia tidak akan bersuara, maka yang kudengar hanya suara pengisi materi yang sedang menjelaskan. Atau memang itu suara dia sendiri, tapi dia yang sedang bertanya atau sedang berbicara serius dengan rekannya tentang materi training atau pekerjaannya atau apa pun itu yang berarti dia sedang sibuk dan tidak bisa diganggu,Aku sudah bermaksud menyusulnya ke sana, tapi jika jadwalnya sepadat itu, aku akan tetap akan menghabiskan liburku sendiri saja. Aku berpikir mungkin lebih baik aku menyusul Bhaga dan menjauh dari Vlad. Tapi, apa susahnya seorang Vlad menyusul? Hanya Singapura pula. Dan kenapa aku merasa menyusul Bhaga berarti melarikan diri dari Vlad? Apalagi dengan jadwal Bhaga yang sepadat itu sangat sulit buatku
MATAHARI masih cukup menyengat. Tapi atap dari kain terpal berwarna biru yang sudah lusuh cukup ampuh menahan panasnya. Di bawah pelindung ala kadarnya itu berkumpul sepuluh siswa yang sedang asyik merokok. Semuanya duduk tak beraturan dengan berbagai gaya.“Sebenarnya lu mau ngapain sih, Vlad? Kayak nggak ada kerjaan aja nyari duit buat ngegratisin perpisahan. Mending duitnya buat kita sendiri aja,” ujar Candra dengan tone bosan.“Lu nggak bosan main gini-gini aja? Gue bosan. Gue pengin nyoba yang lain.”“Terus ngapain cari duit buat satu sekolah? Lu gila?”“Kalau cuma buat kita senang-senang doang sama sekolah nggak akan diizinkan, Ontohod.” Vlad menoyor kasar dahi Vicenzo.“Dan sejak kapan kita butuh izin sekolah?” ganti yang lain lagi bersuara.“Sejak gue butuh bantuan lu pada buat jadi lebih gila lagi dari sekarang.”“Lu kesambet apa sih, Vlad?
VLAD merebut kunci rumah dari tangan Anna. Dia membuka pintu lalu menarik kunci dari lubang kunci kemudian tanpa merasa perlu diundang masuk dia langsung menerjang masuk dan membanting bokongnya di sofa.Tangannya kasar melepaskan semua isi kunci dari gantungan kunci. Dia mengambil kunci depan lalu mengambil sebuah kunci.“Ini kunci apa?” tanyanya sambil menunjukkan kunci di tangannya.“Kamar,” jawabku sambil tetap berdiri seperti pesakitan di ambang pintu. Pintu rumahku sendiri.Dia melempar kunci itu.“Ini?”“Lemari.”Dia melempar lagi.“Ini?”“Pintu samping.”Masih dengan gerakan kasar, dia menggabungkan dengan kunci yang dia pegang sejak awal. Lalu menyeleksi sisanya. Mengambil kunci pagar dan membuang kunci yang lain. Tiga kunci dia masukkan kembali ke gantungan kunci. Sisanya entah bertebaran ke mana.“Kumpulin kunci-kunci y