Share

6, Guru dan Murid

“ADA pertanyaan?” Anna melirik jam di pergelangan tangan. Masih ada sisa waktu. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Sedikit lama di Vlad yang ternyata asyik dengan dunianya sendiri. Anna malas memancing keributan, dia membiarkan saja Vlad dengan maunya. Salah seorang murid mengacungkan tangan, bertanya. Perhatiannya teralihkan pada si murid. Waktu sisa terpakai untuk menjawab pertanyaan itu.

Bel berbunyi. Ini jam terakhir, seisi kelas langsung gaduh terburu bersiap pulang. Usai doa singkat dan salam berpamit, kelas bubar. Santai, Anna merapikan isi meja. Setelah selesai, dia melihat di kelas masih ada makhluk lain.

“Nggak pulang, Vlad?” Vlad masih asyik duduk bersandar dengan kepala tersanggah dua lengannya.

“Kenapa mau jadi guru?” tanya Vlad tiba-tiba.

“Mau jadi model, muka nggak cantik, mau jadi tentara, tingginya kurang. Mau jadi bos, nggak ada yang mau jadi anak buahnya.” Anna menjawab asal.

Insecure sama fisik sendiri?”

Eh, kenapa sepertinya pertanyaan ini serius ya? Anna berpikir dalam hati.

“Nggak juga. Saya menikmati diri saya apa adanya.”

“Lalu kenapa jawabannya ke fisik semua?”

“Pun saya bilang otak nggak mampu kamu akan bilang saya insecure juga kan?”

Vlad mengedikkan bahu dengan bibir mencucu. Anna berdiri bersandar di meja guru. Lalu perlahan Vlad berdiri dan berjalan ke arah Anna yang mengikuti gerakannya dengan tatapan mata.

“Lalu kenapa mau jadi guru?” Vlad bertanya sambil duduk di kursi paling dekat dengan gurunya.

Ini pertanyaan yang sulit dijawab substansinya. Anna menerawang menatap ke halaman yang makin sepi.

“Memang Ibu suka ngajar?” tanyanya lagi ketika Anna tetap diam.

“Menurut kamu, saya kalau menjelaskan gimana?”

Dia mengedikkan bahunya. “Nggak tau.”

“Kamu ngerti nggak kalau saya ngajar?”

“Ya gitu deh. Lihat aja hasil ulangannya.”

“Kenapa nanya kayak gitu sih? Ada masalah dengan cara saya ngajar?”

“Nggak. Saya nggak peduli guru ngajarnya kayak apa.”

“Lalu?”

“Mau nanya aja. Siapa tau saya mau jadi guru juga.”

Spontan Anna terkekeh.

“Kenapa? Saya nggak cocok jadi guru ya?”

“Mending jangan deh, Vlad. Saya kasihan sama kamu. Bakal kena karma. Kamu bakal dapat murid yang kelakuannya kayak kamu malah lebih parah.”

“Subyektif banget.” Vlad menggerutu.

“Kenapa sih kamu sering cari gara-gara?”

“Saya nggak cari gara-gara, orang aja yang maunya semua diturutin.”

“Bukannya kamu yang begitu? Aturan kamu langgar kalau nggak sesuai mau kamu.”

“Loh ya itu juga parah, kenapa aturan harus selalu diikuti? Egois amat. Kenapa nggak aturan yang ngikutin mau kita. Nggak usah semua, sedikiiit aja. Biar adil. Kalau semua maunya aturan diikuti, di mana adilnya?”

A s t a g a !

“Ah, sudahlah, Vlad. Kamu aja yang koslet, nggak usah ngajak-ngajak orang lain.” Anna langsung mengambil buku dari meja dan bergegas pergi.

“Tuh kan. Saya ngomong apa juga selalu saya yang dibilang salah. Selalu saya yang dibilang cari gara-gara. Semua maunya dingertiin. Tapi nggak ada yang mau ngertiin saya.”

Langkahnya terhenti, bahkan napas pun berhenti. Anna langsung menoleh ke arah Vlad. Bahkan membalik tubuh utuh menghadap ke arahnya.

Terdiam beberapa detik, Anna menekuri wajah muridnya. Ekspresi Vlad menunjukkan bahwa dia sungguh kecewa dengan respons gurunya tadi.

“Kamu yang seperti apa yang minta dimengerti, Vladimir?”

Vlad mengedikkan bahu.

“Berapa umurmu?”

“Tujuh belas.”

“Umur segitu seharusnya kamu sudah lebih mengerti soal bagaimana menyikapi aturan.”

“Mungkin karena nggak bisa menyikapi aturan makanya saya nggak naik kelas dua kali meski nilai saya nggak rendah-rendah banget.”

“Nah, itu kamu tau.” Anna kembali bersandar di meja sambil memeluk buku. “Kamu itu pintar, Vlad. Tapi terlalu banyak aturan yang kamu langgar makanya kamu nggak naik.”

“Apa sih untungnya patuh aturan? Selama ini saya nggak dapat apa-apa dari patuh aturan. Saya sudah berusaha patuh, tetap aja saya salah.”

“Pasal yang mana yang kamu usahakan patuh?”

“Contoh, terlambat. Tertulis batas toleransi keterlambatan sepuluh menit. Seharusnya, selama saya datang sebelum sepuluh menit saya nggak dibilang terlambat dong. Tapi nyatanya, di rapot tetap dihitung terlambat. Dan saya sering dihukum karena itu. Padahal setelah saya baca, nggak ada klausa batas maksimal menggunakan toleransi sepuluh menit itu.”

Anna menahan napas sepanjang dia berkata.

“Kalau “nggak terlambat”,” dua jari kedua belah tangannya bergerak membentuk tanda kutip, “juga nggak pernah dapat hadiah apa-apa kan?”

“Hadiah itu nggak harus berupa barang, Vlad. Aturan yang ada itu untuk mendisiplinkan. Biar kamu biaa hidup disiplin. Ketika kamu disiplin, hidup kamu akan teratur.”

“Tuh kan. Aturan lagi. Kenapa sih kita harus selalu diatur?”

Anna kembali mengembuskan napas.

“Kita ke kantin yuk. Ibu lapar ngomong sama kamu.”

“Traktir ya.”

“Iya.” Anna bergerak dan Vlad mengikut di belakang. “Nggak ambil tas dulu?”

“Biarin aja. Nggak bakal hilang juga.”

“Itu karena ada aturan. Dilarang mengambil yang bukan haknya.” Mereka berjalan berdampingan. Anna agak mendongak menatap Vlad yang tinggi. Dan masih mungkin menjadi lebih tinggi lagi.

“Halah. Karena nilai tas dan isinya nggak seberapa. Kalau berharga, pasti hilang. Kalau semua taat aturan, nggak ada koruptor, Bu.”

Mereka sudah duduk berhadapan di bangku panjang. Tangan Anna menjadi penumpu dagunya sementara Vlad bersedekap di meja.

“Vlad, karena itu ada yang namanya sekolah. Untuk mendidik. Bahwa sebagai makhluk sosial, manusia hidup dengan makhluk lain dan harus bertoleransi.”

“Lalu koruptor-koruptor itu, maling-maling itu nggak terdidik? Dibanding maling ayam, maling berdasi itu sekolahnya tinggi, titel mereka berderet loh, Bu.”

“Ya mereka sekolah sampai tinggi tapi nggak dapat ilmunya.”

“Kalau gitu buat apa sekolah? Buat apa saya harus kejar nilai tinggi? Buat apa saya harus taat aturan? Nggak masalah dong kalau saya tinggal kelas bekali-kali?”

Anna merasa semakin lapar.

“Pak, mi ayam dua ya.”

“Habis, Bu.”

Haduh.

“Adanya apa, Pak?”

“Indomi.”

“Ya sudah, itu aja. Dua. Lengkap. Es teh manis dua.”

Pak kantin mengangguk lalu Anna kembali pada Vlad yang ternyata dari ekspresinya menunggu jawaban gurunya.

“Vlad, sekolah nggak cuma kejar nilai di rapot. Kalau cuma begitu, kamu nggak akan tinggal kelas.” Anna menunggu responsnya. “Banyak ilmu yang nilainya nggak tercantum di rapot dan justru itu yang akan kamu pakai sepanjang hidup. Sementara yang di rapor kadang malah nggak terpakai. Paling yang terpakai yang sesuai profesi aja. Yang jadi dokter nilai biologi dam kimianya berguna tapi pengacara nggak butuh dua nilai itu.”

“Lalu untuk apa kita sekolah?”

“Ya seperti yang tadi Ibu bilang, untuk cari ilmu. Ilmu nggak cuma yang ada di rapot. Kamu nggak disiplin, kamu belum lulus ilmu itu, makanya kamu nggak naik kelas.”

“Ah!” Vlad mengentak jengkel. Pesanan mereka datang, Anna langsung mengambil jatahnya.

“Makan dulu. Lapar sering bikin orang emosi.” Anna sudah menyantap porsinya. Melihat Anna makan lahap, Vlad pun tergugah. Dia ikut melahap porsinya.

“Kenapa kamu malas sekolah?” tanya Anna untuk mengisi waktu sambil mengunyah.

“Saya nggak malas.”

“Kalau nggak malas kamu nggak akan sering terlambat.”

“Nggak ada yang menarik di sekolah.”

“Biasanya umur segitu anak cowok lagi tertarik sama cewek. Nah itu yang bikin semangat sekolah.”

Vlad terkekeh. “Saya nggak tertarik sama cewek tulalit yang cuma bisa bahas fashion dan gosip.”

“Wow, itu sudah selangkah lebih maju. Biasanya ababil mah cuma lihat fisik aja.”

“Tuh kan, fisik lagi. Insecure amat sih sama fisik sendiri.”

“Loh, kok jadi ke saya sih? Di usia kamu itu ketertarikan dengan lawan jenis lebih ke pengaruh hormon. Tapi kamu sudah mikir kenyamanan psikis.”

“Buat saya nyaman adalah segalanya.”

“Dan kamu nyaman di zona ini?”

Vlad diam. Tapi Anna tersenyum.

“Kamu cuma sedang mencari jati diri aja, Vlad. Selama kamu nggak sentuh narkoba, kamu akan baik-baik aja. Oh iya, jangan coba-coba free sex. Kamu belum siap jadi ayah. Kalau belum nikah, p*n*s kamu buat pipis aja, jangan buat yang lain.”

“Kalau saya nikah?”

“Bahas soal itu bisa berhari-hari, Vlad. Karena menikah nggak cuma urusan fisik aja. Banyak yang harus dipikir. Dan untuk cara berpikir kamu yang kayak gitu, jauh panggang dari api. Kamu cuma akan nyakitin anak gadis orang aja.”

“Tuh kan, saya selalu dibilang nggak bisa apa-apa. Bahkan untuk hal yang belum saya coba pun sudah dicap begitu.”

Anna terdiam sampai berhenti mengunyah. “Lha, terus kamu mau nikah coba-coba?” Matanya menatap Vlad seakan melihat aliens.

Ganti Vlad yang terdiam.

“Vlad, kamu pintar. Cuma kamu belum sadar aja potensi diri kamu apa.” Anna tersenyum. “Kalau kamu sudah tau, dan kamu kembangkan… wuss…” Tangan Anna bergerak ke atas menirukan gerakan roket, “Kamu akan sukses.”

“Ibu yakin?”

“Yakin banget.”

“Kenapa? Orang lain selalu bilang saya medesu. Masa depan suram.”

Anna menatap jauh ke dalam bola mata Vlad.

“Saya yakin kamu akan sukses, Vlad. Syaratnya cuma satu. Kamu kenali diri kamu sendiri. Karena cuma dengan itu kamu bisa mencintai diri kamu sendiri dan kehidupan yang menyertainya.”

“Apa saya nggak mencintai diri saya sendiri?”

“Paling tidak kamu tidak menghargai waktu. Kamu buang dua tahun umur kamu cuma gara-gara hal sepele. Tapi kamu bisa buktikan, dua tahun itu terbuang percuma atau ada hikmahnya.”

“Apa?”

“Banyak orang harus belajar dari kegagalannya, Vlad. Kalau kamu bisa belajar dari sana, maka tinggal kelas kamu nggak sia-sia. Kamu masih SMP. Ijazah SMP nggak terpakai kalau sudah ada ijazah SMA. Kamu masih bisa kejar ketertinggalan kamu. Saya yakin, dengan otak kamu, selama kamu serius, kamu bisa kejar.”

“Gimana caranya?”

“Akselerasi. Saya dua kali akselerasi. Otak saya mungkin nggak seencer kamu, tapi saya menghitung waktu. Saya akan diuntungkan jika dua tahun lebih cepat lulus. Kalau sudah kuliah lebih gampang lagi. Kejar IP tinggi, kamu bisa ambil SKS maksimal.”

“Berapa umur Ibu?”

Next birthday dua puluh.”

“Astaga….” Vlad terhenyak. “Ibu terlalu serius menyikapi hidup. Umur semuda itu, saya pikir umur sudah 25. Santai sedikit, Bu. Belanda masih jauh. Nggak perlu stand by ngeruncingin bambu terus.”

Anna terkekeh.

“Ambil akselerasi biar untung di tahun tapi ternyata muka tetap ikut ke umur sekolah.”

Anna makin terkekeh.

“Kita cuma selisih nggak sampai tiga tahun. Malas amat panggil ibu. Ck.” Vlad berdecak.

“Guru itu, biar lebih muda ya tetap dipanggil ibu atau bapak.”

“Saya nggak mau jadi murid Ibu.”

“Maunya jadi apa? Adek?”

“Pacar.”

Anna tersedak kuah mi. Dan itu pedih sekali.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status