LIBUR kali ini sangat menjemukan. Terasa sangat lama. Baru kali ini aku ingin libur segera selesai lalu aku bisa kembali sibuk mengajar. Aku berharap libur berdua dengan Bhaga tapi jangankan berdua, ditelepon saja dia sulit. Dia memang tetap menerima teleponku, tapi dia tidak akan bersuara, maka yang kudengar hanya suara pengisi materi yang sedang menjelaskan. Atau memang itu suara dia sendiri, tapi dia yang sedang bertanya atau sedang berbicara serius dengan rekannya tentang materi training atau pekerjaannya atau apa pun itu yang berarti dia sedang sibuk dan tidak bisa diganggu,
Aku sudah bermaksud menyusulnya ke sana, tapi jika jadwalnya sepadat itu, aku akan tetap akan menghabiskan liburku sendiri saja. Aku berpikir mungkin lebih baik aku menyusul Bhaga dan menjauh dari Vlad. Tapi, apa susahnya seorang Vlad menyusul? Hanya Singapura pula. Dan kenapa aku merasa menyusul Bhaga berarti melarikan diri dari Vlad? Apalagi dengan jadwal Bhaga yang sepadat itu sangat sulit buatku memamerkan kemesraan kami pada Vlad.
Mesra?
Lagi-lagi aku menarik napas. Bhaga jauh dari itu. Mungkin terbawa pekerjaannya yang lebih sering berhubungan dengan alat berat dan pekerja kasar, dia seperti kehilangan sisi humanis apalagi romantis. Semuanya serba efiesien. Untuk apa candle light dinner? Kita tidak butuh lilin jika tidak ada lalat. Dan di resto semewah itu tidak akan ada lalat. Kita butuh lilin di warung nasi pinggir jalan. Candle light dinner? Di warung nasi. Mungkin seperti itu analagi keefisienan Bhaga.
Ting
Kulirik ponsel di samping. Pop up chat mengatakan itu dari Vlad.
Vlad : Aku kirim lunch. Makan ya.
Kuabaikan.
Tak lama ponsel itu berdering. Vlad yang tak sabar menunggu balasan chat biasanya akan menelepon.
“Coba tadi kamu ke sini aja. daripada bengong terus di rumah. Aku lagi di grand opening resto. Aku nggak bisa antar Makanannya enak-enak, aku kirim sedikit-dikit aja biar kamu cobain. Nanti bilang ya, yang mana yang kamu suka.”
“Makasih. Nggak usah repot-repot.”
“Bhaga belum nelepon?”
“Apaan sih, Vlad?”
Apa dia memata-matai ponselku juga?
“Tebakanku benar kan?”
Hah?
Cuma menebak?
“Nanti malam aku ke sana.”
“Jangan, Vlad.” Aku menjawab cepat. “Vlad, tolong. Aku nggak enak sama tetangga.” Aku tinggal sendirin di sini. Tak elok seorang perempuan bersuami menerima lelaki lain saat suaminya tidak ada di rumah.
“Aku cuma mau temani kamu, Savannah. Kamu bisa mati bosan di rumah terus. Sudah mau seminggu.”
“Aku nggak bosan kok.”
“Guru itu digugu dan ditiru. Jangan kasih contoh yang nggak baik. Bohong itu nggak baik.
Aku berdecak. Inti kalimat ada di akhir. Kenapa harus sepanjang itu dan menyerempet profesiku?
“Ya sudah, kalau nggak mau aku ke sana, aku kirim supir jemput kamu ya? Kita jalan-jalan.”
“Nggak mau!”
“Savannah, kamu tau kan kalau urat malu aku nggak ada?” Dia diam menjeda seperti menunggu jawabanku. “Jangan sampai aku bikin kamu malu sama tetangga ya,” lanjutnya lagi mengancamku. Mengancam?
Antara jengkel, marah, dan ingin menangis. Ya Tuhan, kenapa nasibku seperti ini.
“Nggak usah dandan, kamu selalu cantik di mata aku.” Dan sambungan pun terputus.
Kulempar ponsel ke samping, ingin kubanting tapi, ah… lalu kubenamkan wajahku ke bantal.
“BHAGAAAA… PULANG SIH CEPETAN….” Teriakanku teredam bantal.
***
Setelah puas berteriak di dalam bantal, aku bergegas bersiap. Mandi ala kadarnya lalu mencari outfit casual. Semua kukerjakan tergesa. Setelah siap, kusambar kunci mobil lalu aku pergi. Pergi sebelum Vlad datang.
Tak ada tujuan, aku terdampar di mall. Tapi aku merasa jengah. Kepalaku penuh, aku hanya ingin diam dan merenung. Setelah bosan dan pegal berputar tak ada tujuan, aku terdampar di pusat kota. Sudah malam. Aku berjalan menyusuri trotoar yang lapang dan cantik. Sampai suara live musik menyedot perhatianku. Musik Tepi Barat. Kucari tempat duduk. Lalu aku duduk bersama yang lain. Kubiarkan telinga ini menikmati musik tapi isi kepalaku entah ada di mana.
Kulirik ponsel berkali-kali. Aku menunggu chat dari Bhaga ketika nomor Vlad sudah kublokir. Tapi chat yang kukirim ketika aku akan pergi hanya dibalas singkat. Dan tidak ada pesan lain yang menyusul.
Aku ingin menceritakan tentang Vlad pada Bhaga. Tapi menceritakan kisah ini tentu harus menunggu saat yang tepat. Dan bertelepon bukan pilihan bijak. Aku tidak tahu mood dia di sana seperti apa, aku tidak tau dia selelah apa. Aku butuh lelaki yang akan serius mendengarku bercerita, bukan respons-respons singkat dan datar ala Bhaga.
Kulirik jam di tangan. Sudah pukul sembilan. Sudah cukup pelarianku kali ini. Besok pagi blokir baru akan kubuka, malam ini aku ingin tidur tanpa gangguan Vlad.
Di dalam mobil tiba-tiba keinginan mendengar suara Bhaga sangat kuat. Dan tanpa berpikir lain selain bahwa aku istrinya, kutelepon dia.
“Ya, Na?”
“Bhaga, kamu sibuk ya?”
“Aku baru selesai. Baru masuk kamar. Kenapa?”
“Aku ke sana ya?”
“Terserah sih. Tapi aku beneran nggak bisa temenin kamu jalan-jalan.”
“Kan kalau kamu selesai training kita bisa jalan-jalan.”
“Aduh, aku capek banget, Na. Selesai training aku cuma mau istirahat aja.”
“Terus aku nggak ke sana, kamu ke sini juga cuma mau tidur aja?”
“Ya apalagi? Aku capek beneran, Na.”
“Seminggu tidur aja?”
“Ya meniduri kamu juga sih.” Dia terkekeh.
“Bhaga! Aku serius.”
“Kamu mau ke mana sih, Na?”
“Aku mau liburan!”
“Bali aja ya. Cari villa.”
“Lalu kamu tidur di villa?”
“Ya iyalah.”
“Bhaga!”
“Apa sih, Na? Aku seharian belum istirahat, baru mau rebah kamu nelepon marah-marah teriak-teriak. Kuping aku ikutan capek.”
“Ish… ya sudah, tidur sana!” Langsung kumatikan sambungan telepon dan kularikan mobil membelah jalan bersama kejengkelan yang mengisi seluruh celah di hati.
Rumahku jauh di pinggir barat Jakarta. Kami memang tidak memerlukan rumah di tengah kota. Yang kuperlukan rumah yang cukup dekat dengan sekolah tempatku mengajar. Dengan kriteria itu, kami berhasil membeli rumah dengan lahan yang agak berlebih sementara bangunan cukup kecil saja dengan konsep rumah tumbuh.
Setelah lebih sejam mengemudi, akhirnya gerbang perumahan terlihat. Ini perumahan baru, dan selarut ini, semua makin terasa sunyi. Belokan terakhir menuju rumah. Dan ketika berbelok yang tertangkap area lampu mobilku adalah mobil Vlad dan pemiliknya yang berjalan mondar-mandir di sekitar rumahku. Melihatku datang, dia langsung berlari menyambutku. Rambutnya berantakan dengan lengan kemeja yang tergulung asal. Dia membukakan pintu mobil dan membantuku turun. Lalu setengah menyeretku masuk rumah. Aku yang terkejut hanya mengikuti tarikan tangannya saja. Di depan pintu, dia mendorongku kasar, membuat aku bersandar di panel pintu.
“Jangan pernah berani ngeblokir aku lagi, Savannah!” Dia mendesis tepat di wajahku dengan wajah marah dan… cemas.
Ketakutan?
***
AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c
OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem
“I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do
MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue
DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat
JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su