Alang-alang kumitir : langit ke tujuh/bumi khayangan.
"Katakan, Nawangsih! Bukan hanya anggukan kepala." sergah Suryawijaya.Nawangsih terperangah. Satu detik lalu dia begitu fasih mengatakan cinta kepada Suryawijaya namun pada alam semesta, sekarang hilang entah kemana keberaniannya saat dihadapkan langsung oleh pemilik seluruh kebahagiaannya."Katakan." pinta Suryawijaya, matanya menghangat, "aku menunggu jawaban terbaik darimu, Tania."Jantung hati Nawangsih mulai terbawa suasana. Mungkin waktunya walau tidak tepat. Akhirnya perhatiannya tertuju pada Suryawijaya sepenuhnya.Suryawijaya merasakan sentakan daya tarik yang sama pada sorot mata yang terus menyelaminya."Aku tersihir olehmu, ndomas. Aku mencintaimu. Sungguh." Nawangsih tersenyum.Kesedihan Suryawijaya lenyap, mungkin kata-kata itulah yang mereka butuhkan untuk saling menguatkan.Nawangsih berbalik, tergopoh-gopoh menghampiri eyang Ningrum yang bergeming di depan pohon kamboja. "Eyang." panggilnya dengan suara parau seraya memeluknya.Eyang Ningrum mengusap-usap punggung Naw
"Family values?" Ayahanda bergumam. Sorot matanya seketika melebar, teringat dengan slogan kebanggaan Suryawijaya sejak kecil. Nilai-nilai kekeluargaan yang akan menjadi taktik Suryawijaya untuk tetap menunjukkan rasa kekeluargaannya pada Nawangsih sekarang. Sungguh cerdik, pikirnya.Suryawijaya memberi senyum. "Iya Ayahanda. Jadi, karena Nawangsih adikku, kami bisa bermain bersama seperti waktu kecil. Ayahanda tidak keberatan? Aku kangmas yang baik.."Senyum Suryawijaya merekah dengan begitu lugas sekaligus penuh arti.Ayahanda Kaysan mendadak pucat, seolah oksigen sulit masuk ke dalam alat pernapasannya. Apa ini karma bagiku? pikir Ayahanda Kaysan, berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya saat teringat sifat kurang ajarnya kepada sang ayahnya dulu."Tunggu sebentar, adik! Biar aku ambilkan tiner dan kapas di ruanganku." Suryawijaya melepas genggaman tangannya.Nawangsih menggeleng, jangan. Dia takut.Suryawijaya tersenyum dan justru mendorong bahu Nawangsih untuk duduk bersimpuh
"Apa yang terjadi, kangmas. Kenapa bisa seperti ini? Apa anak-anakku membuat kegaduhan lagi?" ucap Rinjani khawatir, dahinya berkerut, tangannya mengoleskan minyak kayu putih seraya membelai dada suaminya sampai ke lehernya yang tegang dan hangat."Maafkan saya yang tidak pecus mengurus anak-anak, kangmas. Saya tahu, ada masanya saya menganggap apa yang terjadi saat ini adalah buah dari pemberontak kita kepada Ayahanda dulu. Maafkan saya!" ucap Rinjani dengan menyesal."Berhentilah minta maaf dan teruskan mengurut leherku, Rinjani!" ucpa Ayahanda Kaysan sembari memejamkan mata, menikmati sentuhan sang istri yang ia dambakan sejak dulu. "Teruslah seperti itu. Ini lebih menenangkan!"Ibunda Rinjani memperhatikan wajah suaminya sambil mengangguk, beliau mengurut urat-urat di wajah suaminya yang menegang sebelum mengecup mesra bibir yang membentuk garis lurus itu."Sepertinya ide untuk liburan bersama cukup bagus untuk refreshing, kangmas. Anak-anak pasti merindukan kehangatan kita.""Tida
Rintik-rintik hujan turun membasahi alam semesta, dedaunan bergemerisik tertiup angin ribut. Keneswari menarik selimut hingga menutupi sebagian wajahnya. Namun baru saja kenyamanan ia rasakan, dering ponsel terus mengganggu waktu istirahatnya."Pagi-pagi udah ada yang ganggu aja, ampun!" desisnya jengkel seraya meraba-raba ponselnya di atas meja. Keneswari membuka mata perlahan."Raden Mas Suryawijaya?" gumam Keneswari, "mau apa dia?"Keneswari mengucek mata seraya menggulir layar ponselnya dan menempelkan ponselnya di pipi kirinya."Selamat pagi, Raden. Sepertinya anda cukup banyak waktu luang hari ini." ujar Keneswari dengan muka malas, tangan kanannya terangkat untuk menutup lubang speaker seraya menguap."Bagaimana kabarmu? Apakah kamu sudah tidak sibuk dengan pekerjaan?" Suryawijaya menahan senyum sembari beranjak dari tepi ranjang. "Rasakan! Aku akan mengganggu kalian semua yang ingin menjadi istriku. Yang sabar masuk list, yang enggak buang. Sesimpel itu menyortir jodoh idaman."
Suryawijaya menghampiri pria yang kerap memasang raut wajah serius setiap waktu itu seraya menaruh kopi hitam dan sepiring pisang rebus di meja. Suryawijaya memberi hormat."Menurut Ayahanda apakah weton masih menjadi patokan penting dalam menentukan pasangan hidup untuk keluarga kita?" tanya Suryawijaya kalem.Ayahanda Kaysan berhenti membaca buku diary Dalilah seraya melepas kacamatanya."Weton itu memang ramalan dari sejak lama dari masyarakat Jawa yang mempercayai hal itu. Namun itu juga tergantung kepercayaan juga. Kondisinya sekarang juga bisa pro dan kontra. Bisa percaya dan tidak, dan yang bisa kita lakukan adalah menghormatinya. Seperti halnya ilmu titen. Tapi letaknya kesukaran atau kemudahan dalam berumah tangga itu kan berasal dari diri sendiri! Setiap orang pasti berbeda-beda masalahnya dan selalu ada dinamikanya tersendiri."Ayahanda Kaysan meraih cangkir klasik bergambar kembang-kembang, menggumamkan terima kasih seraya meminumnya.Suryawijaya mengangguk setuju. "Itu art
Ayahanda Kaysan keluar dari ruang keluarga dengan wajah pucat seolah habis terserang asma lagi. Wajah manis dan ayu istrinya yang slalu menyambutnya dalam tataran terbaik pun gagal membuat beliau tenang."Ada apa, kangmas? Apa Suryawijaya membuat perkara baru?" Ibunda Rinjani mengamati keresahan yang nampak jelas di wajah suaminya."Putraku ingin memiliki istri lebih dari satu, Rinjani. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi di dalam isi kepalanya, kenapa putraku ingin membangkitkan sesuatu yang saya hindari dulu."Terduduk lemas, Ayahanda Kaysan mengambil segelas air putih dan meminumnya."Suryawijaya harus menerima keputusan besar, jadi apa yang dia katakan adalah bentuk dari rasa kecewanya, mas." Rinjani mengulurkan tangannya, mengusap punggung suaminya yang tak sekekar dulu. "Mengertilah, tidak mudah bagi Suryawijaya untuk menikah dengan gadis yang tidak dia cintai. Apalagi hanya untuk menebus kesalahan kita dimasa lalu. Ini tidak adil dan sebagai orang tuanya, kita sepatutn
"Nesu yo nesu to, mas. Paling-paling cemburu!" jawab Suryawijaya svil menatap lurus Iwan dan menghela napas panjang. "Apa menikah juga bisa nesu dan bertengkar, mas?" Iwan menatap Suryawijaya dengan ekspresi terkejut. "Ya - iya, Raden." jawab Iwan ragu, "Menikah itu menyatukan satu tujuan dari dua kepala yang berbeda. Kalau gak bertengkar itu bukankah terlihat aneh." "Anehnya dimana mas? Bukannya bagus jika rumah tangga ayem tentrem?" tukas Suryawijaya."Begini." Iwan menghela napas. "Bertengkar saat menikah itu sulit, bikin mumet. Berbeda kalau masih pacaran, bisa putus ditengah jalan. Tapi kalau menikah berbeda, harus ada diskusi panjang yang melelahkan, namun dari bertengkar itu kan kita bisa ngerti apa yang harus di perbaiki lagi dari diri kita sendiri biar rumah tangga utuh, Raden." urai Iwan.Suryawijaya membuang rokoknya seraya bangkit dari posisinya yang bersila. "Kalau gitu apa ada yang harus aku perbaiki biar Nawangsih gak marah?"Sekonyong-konyong Iwan menahan tawa. Mukany
"Semuanya?" Dada Suryawijaya bergolak, ia mengulum senyum dengan kikum. Berusaha menahan diri agar pipinya tidak bersemu merah dengan keluguan Nawangsih. "Iya semuanya, ndomas. Semuanya sakit, tidak ada obatnya! Kalau ada pasti ndomas susah nyarinya." cibir Nawangsih dengan sengaja."Oke. Semuanya. Jadi mana yang harus aku periksa dulu?" Suryawijaya mengusap sisa air mata di pipi Nawangsih. Nawangsih berhenti mengusap kepalanya yang nyut-nyutan dan mungkin nanti akan benjol, tapi tak separah isi hatinya. "Hatiku dulu, ndomas. Hatiku sakit gara-gara kamu!" Nawangsih menepuk-nepuk dadanya. "Gak bisa kayak tadi, ndomas ngawur!" "Ngawur? Kok bisa?" bibir Suryawijaya melengkung senyum, ia bersila sembari menatap Nawangsih yang menyandarkan kepalanya di lutut yang ia tekuk. "Ndomas tega. Aku - aku merasa aku tidak ada artinya karena aku hanya seorang dayang disini." Untuk sesaat Nawangsih terisak pelan dan menyembunyikan wajahnya. Suryawijaya mendesah. "Kamu berarti bagi kami, Nia. Sl