Rintik-rintik hujan turun membasahi alam semesta, dedaunan bergemerisik tertiup angin ribut. Keneswari menarik selimut hingga menutupi sebagian wajahnya. Namun baru saja kenyamanan ia rasakan, dering ponsel terus mengganggu waktu istirahatnya."Pagi-pagi udah ada yang ganggu aja, ampun!" desisnya jengkel seraya meraba-raba ponselnya di atas meja. Keneswari membuka mata perlahan."Raden Mas Suryawijaya?" gumam Keneswari, "mau apa dia?"Keneswari mengucek mata seraya menggulir layar ponselnya dan menempelkan ponselnya di pipi kirinya."Selamat pagi, Raden. Sepertinya anda cukup banyak waktu luang hari ini." ujar Keneswari dengan muka malas, tangan kanannya terangkat untuk menutup lubang speaker seraya menguap."Bagaimana kabarmu? Apakah kamu sudah tidak sibuk dengan pekerjaan?" Suryawijaya menahan senyum sembari beranjak dari tepi ranjang. "Rasakan! Aku akan mengganggu kalian semua yang ingin menjadi istriku. Yang sabar masuk list, yang enggak buang. Sesimpel itu menyortir jodoh idaman."
Suryawijaya menghampiri pria yang kerap memasang raut wajah serius setiap waktu itu seraya menaruh kopi hitam dan sepiring pisang rebus di meja. Suryawijaya memberi hormat."Menurut Ayahanda apakah weton masih menjadi patokan penting dalam menentukan pasangan hidup untuk keluarga kita?" tanya Suryawijaya kalem.Ayahanda Kaysan berhenti membaca buku diary Dalilah seraya melepas kacamatanya."Weton itu memang ramalan dari sejak lama dari masyarakat Jawa yang mempercayai hal itu. Namun itu juga tergantung kepercayaan juga. Kondisinya sekarang juga bisa pro dan kontra. Bisa percaya dan tidak, dan yang bisa kita lakukan adalah menghormatinya. Seperti halnya ilmu titen. Tapi letaknya kesukaran atau kemudahan dalam berumah tangga itu kan berasal dari diri sendiri! Setiap orang pasti berbeda-beda masalahnya dan selalu ada dinamikanya tersendiri."Ayahanda Kaysan meraih cangkir klasik bergambar kembang-kembang, menggumamkan terima kasih seraya meminumnya.Suryawijaya mengangguk setuju. "Itu art
Ayahanda Kaysan keluar dari ruang keluarga dengan wajah pucat seolah habis terserang asma lagi. Wajah manis dan ayu istrinya yang slalu menyambutnya dalam tataran terbaik pun gagal membuat beliau tenang."Ada apa, kangmas? Apa Suryawijaya membuat perkara baru?" Ibunda Rinjani mengamati keresahan yang nampak jelas di wajah suaminya."Putraku ingin memiliki istri lebih dari satu, Rinjani. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi di dalam isi kepalanya, kenapa putraku ingin membangkitkan sesuatu yang saya hindari dulu."Terduduk lemas, Ayahanda Kaysan mengambil segelas air putih dan meminumnya."Suryawijaya harus menerima keputusan besar, jadi apa yang dia katakan adalah bentuk dari rasa kecewanya, mas." Rinjani mengulurkan tangannya, mengusap punggung suaminya yang tak sekekar dulu. "Mengertilah, tidak mudah bagi Suryawijaya untuk menikah dengan gadis yang tidak dia cintai. Apalagi hanya untuk menebus kesalahan kita dimasa lalu. Ini tidak adil dan sebagai orang tuanya, kita sepatutn
"Nesu yo nesu to, mas. Paling-paling cemburu!" jawab Suryawijaya svil menatap lurus Iwan dan menghela napas panjang. "Apa menikah juga bisa nesu dan bertengkar, mas?" Iwan menatap Suryawijaya dengan ekspresi terkejut. "Ya - iya, Raden." jawab Iwan ragu, "Menikah itu menyatukan satu tujuan dari dua kepala yang berbeda. Kalau gak bertengkar itu bukankah terlihat aneh." "Anehnya dimana mas? Bukannya bagus jika rumah tangga ayem tentrem?" tukas Suryawijaya."Begini." Iwan menghela napas. "Bertengkar saat menikah itu sulit, bikin mumet. Berbeda kalau masih pacaran, bisa putus ditengah jalan. Tapi kalau menikah berbeda, harus ada diskusi panjang yang melelahkan, namun dari bertengkar itu kan kita bisa ngerti apa yang harus di perbaiki lagi dari diri kita sendiri biar rumah tangga utuh, Raden." urai Iwan.Suryawijaya membuang rokoknya seraya bangkit dari posisinya yang bersila. "Kalau gitu apa ada yang harus aku perbaiki biar Nawangsih gak marah?"Sekonyong-konyong Iwan menahan tawa. Mukany
"Semuanya?" Dada Suryawijaya bergolak, ia mengulum senyum dengan kikum. Berusaha menahan diri agar pipinya tidak bersemu merah dengan keluguan Nawangsih. "Iya semuanya, ndomas. Semuanya sakit, tidak ada obatnya! Kalau ada pasti ndomas susah nyarinya." cibir Nawangsih dengan sengaja."Oke. Semuanya. Jadi mana yang harus aku periksa dulu?" Suryawijaya mengusap sisa air mata di pipi Nawangsih. Nawangsih berhenti mengusap kepalanya yang nyut-nyutan dan mungkin nanti akan benjol, tapi tak separah isi hatinya. "Hatiku dulu, ndomas. Hatiku sakit gara-gara kamu!" Nawangsih menepuk-nepuk dadanya. "Gak bisa kayak tadi, ndomas ngawur!" "Ngawur? Kok bisa?" bibir Suryawijaya melengkung senyum, ia bersila sembari menatap Nawangsih yang menyandarkan kepalanya di lutut yang ia tekuk. "Ndomas tega. Aku - aku merasa aku tidak ada artinya karena aku hanya seorang dayang disini." Untuk sesaat Nawangsih terisak pelan dan menyembunyikan wajahnya. Suryawijaya mendesah. "Kamu berarti bagi kami, Nia. Sl
Bunyi hujan mereda. Bola matahari menampakkan sinarnya di cakrawala. Di saat itu pula lukisan Suryawijaya selesai. Butuh tiga jam untuk menyelesaikan lukisannya dengan sempurna. Suryawijaya tersenyum puas. Rencananya mengerjai kedua gadis ini berhasil."Kemarilah, kalian harus melihat kalian dalam bentuk lukisan."Kesua putri Tirtodiningratan mendesah lega. Mereka merenggangkan tubuhnya dengan skeptis demi mempertahankan sikap perempuan bangsawan yang tidak yak-yakan.Ekspresi keduanya sama-sama terlihat lelah dan ngantuk. Terlebih Keneswari, berkali-kali Suryawijaya menginterupsinya saat matanya terpejam. "Saya suka melukis, jadi yang akan menjadi istri saya harus siap menjadi model saya seperti tadi." Suryawijaya menjelaskan personalnya.Keneswari dan Dyah saling melempar pandang. Mata keduanya melebar. Rasa kantuk yang sejak tadi begitu terasa langsung enyah seketika. "Tiga jam diam ditempat?" Dyah membatin, ia tersenyum rikuh. "Cukup lama ya, Raden. S
"Kamu yakin tidak jadi ikut, Nawang?" Suryawijaya menyandarkan lukisannya di tembok.Nawangsih terdiam beberapa detik sebelum memaksa dirinya bicara. Suaranya terdengar susah payah menemukan ketenangan."Aku yakin, ndomas. Aku tidak ikut karena Ibunda juga sudah siap sidak ke pasar." ia tersenyum, sengaja memberi ruang bagi Suryawijaya untuk memahami waktu antara dirinya dan kegiatannya. Sementara kemarin, kesibukan terjadi di istana Tirtodiningratan untuk menyambut kedatangan Suryawijaya."Yakin? Nanti aku pulang gak marah-marah apa ngambek?"Mereka bertatapan. Lalu lambat-laun tersenyum. Senyum paruh luka. Mereka sama-sama tahu jawabannya. "Ya sudah, mau aku belikan sesuatu?" tawar Suryawijaya."Tidak, ndomas. Aku nanti jalan-jalan di surganya belanja. Ibunda pasti mendapatkan banyak buah tangan dari pedagang." urai Nawangsih sambil menyunggingkan senyum.Kening Suryawijaya berkerut. "Jadi itu alasanmu suka ikut Ibunda sidak ke pasar." Suryawijaya mengele
Nawangsih mengerucutkan bibirnya dengan muka mengejek. "Banyakan juga punyaku, ndomas. Lihat..., ada daster, kerudung, sendal, jajanan pasar, kebaya, kaos, kain jarik, pita, sama stagen. Gak cuma serabi dan combro!" celetuknya seraya menaruh barang pemberian pedagang pasar di hadapan Suryawijaya."Kok banyak, kamu pasti ngerampok tadi di pasar!" goda Suryawijaya. Nawangsih mendesis. "Ndomas sembarangan. Ini hadiah buat aku karena sudah bantu-bantu di pasar tadi. Tanya Ibunda saja kalau tidak percaya. Dan semua ini untukku, ndomas jangan minta!" "Bun, serius?" Suryawijaya menoleh kepada sang Ratu yang baru mengipasi wajahnya dengan kipas bulu ayam."Adikmu itu kalau ikut sidak ke pasar pasti menjadi mediator antara Ibu dan perwakilan pasar. Sudah jangan ribut terus, Ibu pusing, banyak yang harus Ibu pikir." sang Ratu menghela napas.Kening Suryawijaya berkerut. "Jadi mediator? Aku tidak percaya, Bun. Tania bisanya cuma pringas-pringis kalau diajak diskusi." "Mema