Haira dan Aiden serta Harry pun pulang. Di perjalanan, Haira memberikan banyak nasihat pada Harry.
"Mulai malam ini kau akan tinggal di rumah ayah dan ibu sampai kau menikah dengan Selena. Ibu tidak ingin hari ini terjadi lagi. Kembaran mu hanya satu, kau tidak punya cadangan kembaran lagi, mengerti?"
"Aku mengerti bu. Maafkan aku, aku akan berusaha semampuku untuk mengingat hal-hal penting. Oh ya, mengenai Selena, apa dia mau menjadi istriku?" tanya Harry.
"Kita akan tau besok. Ibu rasa Selena lebih cocok denganmu. Ingatannya tajam persis seperti ayahmu. Dia sering membantu ayahnya saat mencari barang hilang. Dia sudah seperti detektif saja. Pintar, cantik, elegan, dan perfeksionis persis seperti bibi Resya."
"Tapi aku dengar dia itu cerewet bu. Dia sombong dan angkuh. Apa menurut ibu kami akan cocok? Dia lebih cocok bersama William."
"Ya ibu tau, tapi perlu diingat William tidak jadi menikah dengan Selena karena kau, sayang." Haira mengingatkan.
"Maafkan aku bu. Aku berjanji tidak akan mengacau lagi. Tapi bolehkah aku memarahiya jika dia bersikap tidak baik, bu?"
"Marah bukan lah solusi. Ayah tidak pernah memarahi ibu bahkan saat mata ayah terkena sambal karena ibu, dia tidak pernah marah. Iyakan sayang?" Haira menoleh ke Aiden yang tersenyum padanya.
"Iya sayang."
'Memangnya apa yang terjadi jika aku marah? Kau akan diam dan minta maaf? Itu mustahil, nyonya Alexander. Kau selalu benar' Batin Aiden.
"Jika kau tidak senang, tegur saja dia tapi dengan sangat lembut," ucap Haira.
"Kapan kami akan menikah, bu?"
"Minggu depan, sayang. Catatlah di agendamu," ujar Haira.
Harry mengeluarkan agenda kecil dan menuliskan tanggal pernikahan nya dengan Selena.
"Ibu sangat senang, punya dua anak yang penurut." Haira tersenyum pada Harry.
"Aku masih ingat saat kau mengatakan pada anak-anak untuk pergi ke luar negeri dan tidak akan kembali jika mereka tidak mau dijodohkan," ucap Aiden.
"Jangan memulai sayang. Aku hanya ingin yang terbaik untuk William dan Harry. Mungkin Ella karena rasa bersalah. Tapi dia gadis yang baik dan lugu. Eh dia suka lagu dangdut juga loh," bisik Haira diujung kalimatnya.
"Oh pantas saja," guma Aiden.
"Tapi kau tau kan William tidak suka dengan sesuatu yang berisik."
"Dia akan belajar untuk menggunakan mulutnya setelah ini."
"Ya aku bisa bayangkan." Aiden tampak berpikir.
"Bu, apakah William marah padaku? Aku tau dia sudah tertarik dengan Selena sejak awal. Sejak dulu dia selalu mengalah dan aku hanya bisa merepotkan dirinya." Harry tertunduk sedih.
"Dia itu kakak terbaik di dunia. Dia tidak akan marah." Aiden mencoba menghibur.
Harry berusaha tersenyum. Dia memang adik paling beruntung di dunia. Meskipun William agak dingin, namun dia sangat menyayangi Harry.
Mobil telah sampai di halaman rumah mewah Haira dan Aiden. Mereka masuk ke dalam rumah dan masuk ke kamar masing-masing.
Sementara itu, di rumah William, para pelayan tengah sibuk mempersiapkan kamar untuk Ella. Tentu saja William tidak ingin seranjang dengan Ella. Gadis yang jauh dari seleranya. Dia tidak akan meminta haknya pada Ella. Apalagi Ella masih dalam keadaan berduka. Namun disini William masih bersikap baik pada Ella. Ya, sebelum William tau bahwa Ella suka bernyanyi.
*****
"Bang," sapa Ella pada William yang tengah memandori para pelayan nya bekerja.
William menoleh mendengar panggilan menggelikan itu. "Apa tadi katamu?" tanyanya.
"Bang," ulang Ella.
"Jangan panggil aku dengan nama itu. Aku merasa tidak nyaman." William menegur Ella.
"Jadi panggil apa?"
"Ya terserah tapi jangan itu."
"Kalau begitu aku panggil Mas saja ya."
"Jangan, panggil William saja."
"Tapi itu terdengar tidak sopan."
"Bagiku itu sopan."
Ella mengangguk setuju. "Baiklah, Will aku ingin tanya sesuatu."
'Will katanya?' Batin William. "Tanya apa?"
"Begini, bolehkah aku tetap bekerja?" Ella terlihat sedikit takut menanyakan hal itu.
"Tidak! Memangnya apa pekerjaan mu?"
"Aku biasa menjadi kasir di tempat karaoke."
"Tidak! Itu bisa mencoreng nama keluargaku. Semua kebutuhan mu akan aku penuhi. Aku tidak akan membuatmu kekurangan!"
William menggelengkan kepalanya. Baru satu jam Ella disini, tapi dia sudah pusing.
Ella hanya menunduk saja mendengar ucapan William. Ada rasa kasihan di hati William melihat Ella yang baru saja kehilangan ayahnya menjadi bersedih.
"Maafkan aku Ella. Tapi jika kau bekerja, kau akan membuat semua orang beranggapan bahwa aku tidak memberimu uang, tolong mengerti ya."
Ella mendongak dan tersenyum pada William lalu mengangguk. "Baiklah, tapi sampai kapan kita pisah kamar? Seharusnya kalau pengantin baru kan tidur satu ranjang dan melakukan malam pertama?" Ella menatap penuh tanya.
'Apa katanya? Astaga kenapa dia polos sekali? Bahkan hal semacam ini pun dia tanyakan di tempat yang ada orang lain?' Batin William.
"Ella, ayo ikut aku." William mengajak Ella ke dalam kamarnya.
Setelah menutup pintu, William mulai membuka suara. "Begini Ella. Kau dan aku tidak saling mencintai bukan?"
Ella mengangguk dengan cepat.
"Jika pasangan tidak saling mencintai, maka kita tidak bisa berada dalam satu kamar."
Ella tampak berpikir. "Ya sudah, bagaimana kalau kita belajar mencintai saja?"
Mata William membulat mendengar kalimat polos Ella. Dia sampai menekan pelipisnya karena semakin pusing dibuat Ella.
"Ella, mencintai itu tidak semudah kedengarannya. Bahkan beberapa orang butuh bertahun-tahun untuk bisa mencintai seseorang. Dan aku salah satu tipe orang yang sulit untuk jatuh cinta." William mencoba memberi pengertian.
"Jadi kau tidak akan pernah mencintaiku?" Ella menunduk sedih.
"Memangnya kenapa? Apa kau mencintai ku?" tanya William.
"Iya," sahut Ella.
Mata William membulat sempurna. "Tapi kenapa secepat ini?"
"Almarhum ayah pernah mengatakan padaku saat beliau masih di rawat di rumah sakit. Beliau berpesan, jika aku menikah nanti aku harus mencintai suamiku. Seperti apapun dia, aku harus tetap mencintainya. Karena setelah menikah aku akan mengabdikan seluruh hidupku pada suamiku." Ella tampak bersedih saat menceritakan perihal ayahnya.
"Ayahmu memang benar. Tapi mencintai bukan soal perilaku atau status, melainkan perasaan. Kau tidak mencintaiku, Ella. Maksudku, pernahkah kau jatuh cinta?"
Ella menggeleng perlahan.
"Kau harus tau apa itu cinta jika kau ingin jatuh cinta. Itu sangat sulit untuk kita yang baru saja kenal. Jadi aku mohon mengerti lah." William menatap dengan serius.
"Baiklah, lalu jika ayah dan ibu kesini apa kita tetap pisah kamar?" tanya Ella.
"Jika mereka kesini, mereka tidak akan mengecek kamar kita. Kau hanya cukup mengatakan bahwa kita baik-baik saja. Kita bahagia dengan pernikahan kita."
"Bukankah itu artinya berbohong?"
"Ya, tapi jika kau mengatakan yang sebenarnya mereka akan bersedih."
"Benarkah? Aku tidak mau mereka bersedih. Baiklah aku akan berbohong pada mereka."
'Bagaimana bisa gadis seperti ini menjadi istriku? Sepertinya mulai sekarang aku harus sering-sering mengunjungi psikiater agar aku tidak gila' Batin William.
Hari ini adalah pertemuan keluarga Aiden dan Selena. Rencananya, mereka akan memberitahukan masalah pertukaran pengantin dimana Selena akan menikah dengan Harry, bukannya William.Kini mereka tengah berada di sebuah restoran yang sudah direservasi. Ada Aiden, Haira, Harry, William, Ella dan juga kedua orang tua Selena yang sebenarnya sudah mengetahui hal ini.Sejak mereka datang ke restoran itu, Selena melihat kejanggalan dimana Ella terus bersama William. Setahu dia, Ella harusnya terus bersama dengan Harry. Bahkan kini William dan Ella duduk bersebelahan.Aiden dan Haira tau bahwa saat ini, Selena sedang bingung. Mereka pun memulai pembicaraan penting malam itu."Begini, Selena. Pertemuan kita ini untuk membicarakan tentang pernikahan." Haira tampak ragu menyebutkan pernikahan Selena dan Harry."Ya, bibi." Selena terlihat menunggu lanjutan kalimat Haira."S
Sepulang dari restoran, William dan Ella masuk ke kamar masing-masing. Namun, baru beberapa detik William merebahkan tubuhnya ke atas ranjang, sebuah ketukan pintu terdengar. Dengan malas William berjalan ke arah pintu dan melihat siapa yang mengganggunya."Ada apa?" tanyanya dengan wajah datar."Will, apakah AC di kamarku bisa dimatikan dan diganti kipas angin saja?" tanya Ella dengan ragu."Di rumah ini tidak ada benda itu. Bahkan kamar pelayan di rumah ini menggunakan AC juga." William menolak permintaan Ella."Tapi sudah beberapa hari aku tidak tidur dengan nyenyak. Aku selalu kedinginan setiap malam dan malam ini kepalaku terasa sangat pusing karena masuk angin."William memerhatikan wajah Ella yang agak pucat. Pantas saja selama di restoran dia diam saja dan tidak terlihat sehat."Baiklah, tapi besok saja aku belikan kipas anginnya. Jika kau tidak tahan
William sudah pulang dari bekerja. Namun, sepanjang jalan perasaannya tidak enak terus. Bahkan saat sampai di rumah, hatinya semakin tak karuan. Baru saja dia melangkah melewati pintu, aura seram sudah merebak di seluruh ruangan."Pasti ibu belum pulang." William bergumam. Ia menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. "Bismillahirrahmanirrahim, lindungi aku Ya Allah." Melanjutkan langkah menuju kamar Ella. Ia menapaki anak tangga dengan sekuat hati.Hingga pada saat mencapai ambang pintu kamar Ella, aura menakutkan semakin kuat. Terlihat Haira, ibunya sedang berdiri dengan menyilangkan tangan di dada serta wajah masam."Hai, Bu, kapan datang?" William mencoba berbasa basi meski hatinya kian berkecamuk."Kapan datang atau kapan pulang?" Haira semakin melotot pada William.William menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Tidak, Bu, aku senang ibu ke sini." Berjalan
Beberapa minggu telah berlalu. Hari ini adalah hari pernikahan Harry dan Selena. Akad nikah diselenggarakan di gedung Alexan Group milik ayahnya, Aiden. Dan resepsi akan diselenggarakan pada malam harinya bersamaan dengan William dan Ella.Aiden dan Haira benar-benar menjaga ketat Harry malam tadi. Mereka mengurung Harry di kamar agar ia tidak lupa lagi hari pernikahannya. Mereka juga sampai menyuruh pengawal menjaga setiap pintu rumah itu agar Harry tidak keluar.Pernikahan pun segera dimulai. Pernikahan kali ini penuh drama karena Harry harus latihan terus agar pada saat ijab qobul dilakukan, ia tidak salah menyebut nama.Hingga pada akhirnya para saksi dan tamu mengucapkan kata "SAH" sebagai pertanda bahwa pernikahan tersebut telah sah di mata agama dan hukum.Aiden dan Haira mengucapkan syukur atas lancarnya pernikahan Harry dan Selena.Pada malam harinya, resepsi pernikahan
Sesampainya di rumah, Harry dan Selena masuk ke dalam rumah besar milik Harry."Mana kamarku?" tanya Selena yang menguap tiada henti karena sangat mengantuk. Sekarang sudah jam satu dini hari ketika mereka menginjakkan kaki di lantai rumah itu.Harry menepuk dahinya."Kenapa? Apa kau lupa mempersiapkan kamar terpisah untuk kita?" Selena membelalakkan matanya. Ia sudah menduga ini akan terjadi."Iya, aku...lupa."Selena kembali mengusap wajahnya dengan kasar. Ia menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. "Baiklah, kita lewati saja ini. Aku ingin segera tidur. Dimana kamarmu?""Ada di lantai dua." Harry menunjuk ke atas."Baiklah, hoaaam." Selena segera melangkah menapaki anak tangga satu persatu."Tunggu, sebenarnya kau tidak perlu....""Ssssstttt, aku mengantuk." Selena melanjutkan langk
"Ada apa, Ayah?" tanya William yang penasaran."Ini hadiah untuk pernikahan kalian." Haira menyerahkan dua lembar tiket kepada William dan Ella.William dan Ella saling pandang. William bingung karena itu adalah tiket ke luar negeri. Sementara Ella bingung itu tiket untuk apa."Ayah dan Ibu tidak perlu repot-repot mempersiapkan ini semua.""Ya sudah, ambil. Agar kerepotan kami tidak sia-sia." Haira meletakkan tiket ke tangan William."Besok kalian akan berangkat ke Paris untuk berbulan madu. Persiapkan semua keperluan kalian mulai dari sekarang," ujar Haira."Ba-baik, Bu." William mengangguk pasrah."Besok jangan terlambat. Ibu juga akan meminta Selena untuk mengingatkan Harry agar besok ia tidak lupa.""Apa? Jadi mereka akan pergi bersama kami?" William membelalakkan matanya."Kenapa? Apa kau Keb
William kembali ke kamar hotelnya untuk menemui Ella. Sebelum ia pergi, ia sempat melihat bahwa benda yang seperti kepala berambut hitam yang terombang-ambing di tengah laut adalah sebuah wig entah punya siapa.William telah sampai ke kamar hotel. Ia melihat Ella sedang duduk di sebuah kursi sambil menatap keluar jendela."Ella.""Mandilah, Will, air laut tidak bagus berada lama-lama di tubuhmu." Ella tidak menoleh. Ia masih terus menatap hamparan ombak di lautan."Ella, aku...""Nanti kau bisa sakit jika tidak mengeringkan tubuhmu." Masih tidak menoleh."Aku ingin....""Aku sudah memanggil dokter untuk memeriksa keadaanmu. Mandilah, sebentar lagi dia akan datang." Kali ini Ella menoleh sambil tersenyum.William pergi ke kamar mandi. Ia terus memikirkan reaksi yang diberikan Ella. Senyuman barusan itu bukanlah senyuma
Selena dan Ella tengah asyik memakan hidangan makan malam di restoran hotel. Sesekali Selena terlihat menggerutu tentang kejadian yang baru saja mereka alami. "Memangnya mereka pikir mereka siapa? Seenaknya saja memanfaatkan tampang kembar mereka.""Kenapa kau kesal sekali?" tanya Ella."Bagaimana aku tidak kesal. Tadi itu aku berdansa dengan William dan rasanya sangat tidak nyaman." Selena memotong daging steak dengan kasar hingga menimbulkan suara. Menumpahkan semua rasa kesalnya pada makanan lezat itu."Apa kau menyukai William?" Ella menunggu reaksi di wajah Selena."Awalnya. Aku kira bersama dengan orang yang sama diamnya seperti aku akan membuat hidupku lebih nyaman. Ternyata membosankan. Baru beberapa menit aku berbincang dengannya rasanya sangat tidak nyaman." Selena mengaduk minumannya lalu menikmatinya dengan sedotan."Tapi William masih menyukaimu."