William sudah pulang dari bekerja. Namun, sepanjang jalan perasaannya tidak enak terus. Bahkan saat sampai di rumah, hatinya semakin tak karuan. Baru saja dia melangkah melewati pintu, aura seram sudah merebak di seluruh ruangan.
"Pasti ibu belum pulang." William bergumam. Ia menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. "Bismillahirrahmanirrahim, lindungi aku Ya Allah." Melanjutkan langkah menuju kamar Ella. Ia menapaki anak tangga dengan sekuat hati.
Hingga pada saat mencapai ambang pintu kamar Ella, aura menakutkan semakin kuat. Terlihat Haira, ibunya sedang berdiri dengan menyilangkan tangan di dada serta wajah masam.
"Hai, Bu, kapan datang?" William mencoba berbasa basi meski hatinya kian berkecamuk.
"Kapan datang atau kapan pulang?" Haira semakin melotot pada William.
William menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Tidak, Bu, aku senang ibu ke sini." Berjalan mendekat ingin memeluk Haira namun yang ia dapat malah sebuah jeweran telinga.
"Adududu, sakit, Bu." William meringis sambil memegangi telinganya yang masih ditarik Haira.
"Apa-apaan kau ini. Kenapa kalian pisah kamar, ha?" Haira semakin menarik kuat telinga William.
"Tidak, Bu, dengarkan aku dulu."
Haira melepas telinga William. "Katakan!"
"Ibu lihat tidak, kamar ini pakai kipas angin, kan. Ella tidak bisa pakai AC dan aku tidak bisa pakai kipas angin. Jadi aku tidur di kamar yang terpisah dengannya." William melirik Ella sambil mengkode dengan kedipan mata berulang-ulang.
'Kenapa dia? Sakit mata?' batin Ella.
"Tapi yang Ibu dengar, selama ini Ella pakai AC." Haira menatap curiga.
"Ya, tapi dengan suhu yang tidak terlalu dingin. Aku berkeringat terus jika berada di sini." William terus berkilah.
"Dan kenapa kau membiarkan Ella tidur di luar. Tidak bisakah kau membeli kipas angin malam tadi? Toko mana yang akan menolak kedatanganmu?" Haira menyorot William dengan lebih tajam lagi.
"Maafkan aku, Bu, itulah keteledoranku. Aku lelah, jadi tidak begitu memerhatikan Ella. Ella Sayang, maafkan aku, ya." William mendekati Ella dan memegangi tangannya.
Jantung Ella seketika berdetak kencang. Ada rasa senang yang tidak terhingga saat William melakukan hal itu. Apalagi William memanggilnya dengan sebutan 'Sayang.
"Iya, Bang, eh, maksudku suamiku." Ella terlihat salah tingkah saat menyebutkan kalimat itu.
"Apa yang dikatakan William benar, Ella?" Haira beralih ke Ella.
'Aku harus jawab apa? Jelas yang dikatakan William itu tidak benar. Tapi katanya kalau aku mengatakan perihal pisah kamar karena tidak saling cinta, maka ibu akan sedih,' batin Ella.
"Nurlella!" panggil Haira lagi.
"Eh, iya, Bu, apa yang William katakan itu benar," sahut Ella.
William menghembuskan nafas lega. Sepertinya Ella masih ingat akan pesannya waktu itu.
"Ya sudah, Ibu percaya. Tapi ingat, jika ibu melihat hal yang aneh lagi, kau akan kehilangan telingamu." Haira menatap tajam pada William.
Entah sejak kapan ia menjadi ibu yang galak. Sikapnya yang tegas dan anak-anaknya yang semakin tumbuh dewasa, menjadi pemicu kegalakan jika sedikit saja melihat kesalahan ataupun kejanggalan. Tidak ada pilih kasih. Baik William ataupun Harry tetap mendapat perlakuan dan kegalakan yang sama. Ia hanya ingin anak-anaknya tidak tumbuh seperti Resya adiknya yang membenci dirinya karena perhatian berbeda dari kedua orang tua palsu mereka dulu.
"Baik, Bu, sebaiknya Ibu pulang. Aku yakin ayah sudah menunggu."
"Kau mau mengusir Ibu, ya? Kau takut Ibu akan berkaraoke di rumah ini?" Haira menatap curiga.
"Tidak, Bu." William menggeleng.
"Bagus! Karena setelah Ella sembuh, kami akan karaokean bersama di sini. Iya, kan, Sayang." Haira tersenyum pada Ella.
'Apa? Yang benar saja? Oh tidak!' batin William.
"Kenapa? Apa kau keberatan?" Haira melirik William.
"Tidak, Bu." William dengan cepat menggelengkan kepalanya.
"Ya sudah, ibu pulang dulu. Ingat, usahakan kalian satu kamar lagi. Bagaimana mau bermesraan kalau pisah kamar. Mulai sekarang biasakan dirimu menggunakan kipas angin. Ibu harap jika Ibu datang, hanya ada satu kamar yang kalian tempati bersama." Haira menatap William lalu Ella.
"Baik, Bu, aku akan berusaha. Terima kasih telah menjenguk Ella." William tersenyum. 'Dan terima kasih telah menjewer telingaku hingga hampir copot,' batinnya.
Haira mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih, Sayang. Kau memang anak ibu yang penurut." Haira menepuk pipi William lalu pergi keluar. Sepeninggal Haira, William akhirnya bisa bernafas lega.
William menatap Ella yang masih diam di atas ranjang. Dia ingin sekali marah namun ia tidak tega pada Ella.
"Ella kenapa kau mengatakan semuanya pada ibu? Lihat apa yang terjadi pada telingaku." William menunjukan telinganya yang masih memerah karena jeweran ibunya tadi.
"Maafkan aku. Tapi aku memang tidak tau apa yang harus aku katakan. Ibu terus mendesakku. Beliau berpikir kau telah melakukan KDRT padaku." Ella tertunduk sedih.
"Tidak mungkin aku melakukan itu padamu. Seharusnya kau bisa memberi alasan lain pada ibu. Kau sudah membuat ibu marah padaku. Kau senang sekarang?" William mulai tersulut emosi.
"Tidak, aku tidak bermaksud begitu. Maafkan aku. Maukah kau mengajariku cara berbohong?" Ella mengangkat sedikit. Kini William bisa melihat dengan jelas wajah Ella. Bagaimana bening matanya, kelentikan bulu matanya, alis alami yang bejejer rapi, hidung bangir dan bibir tipis. Benar-benar kecantikan yang alami. Bahkan saat sakit begini ia masih terlihat cantik.
William segera menggelengkan kepalanya. 'Apa yang aku pikirkan? Ini pasti karena omongan Steven tadi pagi, dasar playboy micin,' batinnya.
"Ada apa, Will? Kau pusing?" tanya Ella.
"Ya, tentu saja aku pusing. Kau menyuruhku mengajarimu berbohong. Itu permintaan yang aneh bagiku. Kau ini polos atau kurang pergaulan?" William berdecak kesal.
"Apa berbohong itu mengatakan kebalikan dari apa yang terjadi?" tanya Ella.
"Nah itu kau tahu."
"Will, kau adalah orang paling jelek dan bodoh yang pernah aku temui."
"Apa?" Mata William membulat mendengarnya.
"Aku sedang memberikan contoh. Aku sedang berbohong."
"Tidak, bukan begitu. Berbohong bukan berarti melukai hati orang. Biasanya orang berbohong untuk menyenangkan hati orang lain. Misalnya memuji agar orang tersebut merasa senang," tutur William.
"Oh pantas saja aku tidak punya teman. Aku selalu berkata jujur pada mereka jika meminta pendapat." Ella mengangguk.
"Jujur seperti apa? Apa yang kau katakan?"
"Dulu aku punya teman satu pekerjaan. Dia pernah bertanya bagaimana penampilannya saat memakai gaun seksi. Aku hanya bilang bahwa tubuhnya seperti gumpalan lemak berlipat yang terbungkus kain."
William menepuk dahinya mendengar cerita Ella. "Ya, begitulah. Kau tidak akan punya teman jika terlalu jujur. Jadi mulai sekarang, jangan katakan pada ibu hal-hal yang tidak ia sukai. Aku membicarakan dirimu."
"Baiklah, aku berjanji. Aku akan berkata bohong untuk menyenangkan semua orang. Will, kau adalah suami terbaik yang pernah ada. Bagaimana?" Ella menatap William dengan serius.
"Ya, seperti itu. Tapi kalau kepadaku kau tidak perlu bohong. Berkatalah yang jujur."
"Iya, aku mengerti. Aku senang menjadi istrimu." Tersenyum lembut.
William menatap lekat padanya. 'Apa dia baru saja berkata jujur? Ah sudahlah kenapa aku peduli' batinnya.
"Ya sudah aku mau ganti baju. Masalah kamar, aku akan membuat pintu penghubung antara kamar kita. Jadi, jika ibu datang, aku tinggal ke kamarmu dan kau hanya perlu berbohong dengan baik, mengerti?" William melangkah ke kamarnya setelah mendapat anggukan dari Ella.
"Tunggu!"
"Ada apa lagi?" Berbalik menatap Ella.
"Bolehkah aku memasak makanan untukmu. Saat pagi hari saja pun tidak apa-apa." Menatap dengan ragu.
"Kau masih sakit."
"Setelah aku sembuh." Ella menatap penuh harap.
"Terserah kau saja." William melanjutkan langkah ke kamarnya. Ia langsung menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.
Sementara itu, Harry tengah sibuk menghafal poin tidak suka Selena yang ada di buku agendanya. Ia benar-benar tidak ingin pernikahannya dengan Selena tidak harmonis karena dirinya yang pelupa. Meski ini perjodohan, ia akan membina rumah tangga sesuai keinginan orang tuanya. Karena percuma saja jika bercerai. Ia akan melihat air mata dan tatapan kecewa ibunya yang tidak ingin dilihatnya lagi.
Beberapa minggu telah berlalu. Hari ini adalah hari pernikahan Harry dan Selena. Akad nikah diselenggarakan di gedung Alexan Group milik ayahnya, Aiden. Dan resepsi akan diselenggarakan pada malam harinya bersamaan dengan William dan Ella.Aiden dan Haira benar-benar menjaga ketat Harry malam tadi. Mereka mengurung Harry di kamar agar ia tidak lupa lagi hari pernikahannya. Mereka juga sampai menyuruh pengawal menjaga setiap pintu rumah itu agar Harry tidak keluar.Pernikahan pun segera dimulai. Pernikahan kali ini penuh drama karena Harry harus latihan terus agar pada saat ijab qobul dilakukan, ia tidak salah menyebut nama.Hingga pada akhirnya para saksi dan tamu mengucapkan kata "SAH" sebagai pertanda bahwa pernikahan tersebut telah sah di mata agama dan hukum.Aiden dan Haira mengucapkan syukur atas lancarnya pernikahan Harry dan Selena.Pada malam harinya, resepsi pernikahan
Sesampainya di rumah, Harry dan Selena masuk ke dalam rumah besar milik Harry."Mana kamarku?" tanya Selena yang menguap tiada henti karena sangat mengantuk. Sekarang sudah jam satu dini hari ketika mereka menginjakkan kaki di lantai rumah itu.Harry menepuk dahinya."Kenapa? Apa kau lupa mempersiapkan kamar terpisah untuk kita?" Selena membelalakkan matanya. Ia sudah menduga ini akan terjadi."Iya, aku...lupa."Selena kembali mengusap wajahnya dengan kasar. Ia menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. "Baiklah, kita lewati saja ini. Aku ingin segera tidur. Dimana kamarmu?""Ada di lantai dua." Harry menunjuk ke atas."Baiklah, hoaaam." Selena segera melangkah menapaki anak tangga satu persatu."Tunggu, sebenarnya kau tidak perlu....""Ssssstttt, aku mengantuk." Selena melanjutkan langk
"Ada apa, Ayah?" tanya William yang penasaran."Ini hadiah untuk pernikahan kalian." Haira menyerahkan dua lembar tiket kepada William dan Ella.William dan Ella saling pandang. William bingung karena itu adalah tiket ke luar negeri. Sementara Ella bingung itu tiket untuk apa."Ayah dan Ibu tidak perlu repot-repot mempersiapkan ini semua.""Ya sudah, ambil. Agar kerepotan kami tidak sia-sia." Haira meletakkan tiket ke tangan William."Besok kalian akan berangkat ke Paris untuk berbulan madu. Persiapkan semua keperluan kalian mulai dari sekarang," ujar Haira."Ba-baik, Bu." William mengangguk pasrah."Besok jangan terlambat. Ibu juga akan meminta Selena untuk mengingatkan Harry agar besok ia tidak lupa.""Apa? Jadi mereka akan pergi bersama kami?" William membelalakkan matanya."Kenapa? Apa kau Keb
William kembali ke kamar hotelnya untuk menemui Ella. Sebelum ia pergi, ia sempat melihat bahwa benda yang seperti kepala berambut hitam yang terombang-ambing di tengah laut adalah sebuah wig entah punya siapa.William telah sampai ke kamar hotel. Ia melihat Ella sedang duduk di sebuah kursi sambil menatap keluar jendela."Ella.""Mandilah, Will, air laut tidak bagus berada lama-lama di tubuhmu." Ella tidak menoleh. Ia masih terus menatap hamparan ombak di lautan."Ella, aku...""Nanti kau bisa sakit jika tidak mengeringkan tubuhmu." Masih tidak menoleh."Aku ingin....""Aku sudah memanggil dokter untuk memeriksa keadaanmu. Mandilah, sebentar lagi dia akan datang." Kali ini Ella menoleh sambil tersenyum.William pergi ke kamar mandi. Ia terus memikirkan reaksi yang diberikan Ella. Senyuman barusan itu bukanlah senyuma
Selena dan Ella tengah asyik memakan hidangan makan malam di restoran hotel. Sesekali Selena terlihat menggerutu tentang kejadian yang baru saja mereka alami. "Memangnya mereka pikir mereka siapa? Seenaknya saja memanfaatkan tampang kembar mereka.""Kenapa kau kesal sekali?" tanya Ella."Bagaimana aku tidak kesal. Tadi itu aku berdansa dengan William dan rasanya sangat tidak nyaman." Selena memotong daging steak dengan kasar hingga menimbulkan suara. Menumpahkan semua rasa kesalnya pada makanan lezat itu."Apa kau menyukai William?" Ella menunggu reaksi di wajah Selena."Awalnya. Aku kira bersama dengan orang yang sama diamnya seperti aku akan membuat hidupku lebih nyaman. Ternyata membosankan. Baru beberapa menit aku berbincang dengannya rasanya sangat tidak nyaman." Selena mengaduk minumannya lalu menikmatinya dengan sedotan."Tapi William masih menyukaimu."
William dan Ella sudah sampai di kamar mereka. Secepat mungkin William menurunkan Ella karena rasanya tangannya hampir patah."Will, apa kau yakin baik-baik saja?" tanya Ella yang melihat William mengibas-ngibaskan kedua tangannya berkali-kali."Tidak, aku hanya ingin meregangkan ototku saja. Ayo makan bersama, aku sangat lapar." William membuka paper bag lalu menatanya di atas meja dengan piring-piring yang tersedia di dalam kamar itu.Ella masih terngiang-ngiang daging steak dua juta yang belum habis tadi. Ia duduk dengan lesu dan memakan makanannya."Apa tidak enak?" tanya William yang heran melihat reaksi Ella."Enak, tapi aku menyayangkan sisa steak tadi. Harusnya kita bungkus saja." Ella memainkan sendok di atas piringnya."Ketahuilah, Ella, sekarang steak itu sudah ada di tempat sampah atau di perut seseorang. Menyesal pun tidak berguna. Steak sudah pe
Keesokan paginya, Ella yang baru saja bangun dari tidur terkejut kala merasakan ada sesuatu yang berat tengah menekan perutnya. Samar-samar ia melihat dan ternyata itu adalah tangan William. Mata Ella terbelalak. Bukan hanya karena William tengah memeluknya, namun juga karena melihat tubuh bagian atas William polos tanpa baju. Bentuk tubuh atletisnya berhasil membuat Ella tertegun. Sepertinya, karena kepanasan, ia membuka bajunya dan karena tidak nyaman di sofa, ia tidur di ranjang bersama Ella.Ella berusaha menggeser tangan William dari tubuhnya. Itu bukanlah hal sulit baginya karena pada dasarnya tenaganya memang lumayan kuat. Itulah kenapa kemarin gebrakan tangannya di restoran membuat meja restoran itu bergetar.Jika saja William sudah membuka mata, mungkin saat ini Ella akan berpura-pura menjadi wanita lemah.Ella berjalan ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Setelah itu, ia bersantai di balkon kamar hotel ters
Waktu terus berlalu, hari ini adalah jadwal kepulangan William dan lainnya. Mereka merasa sangat puas setelah berlibur di negara itu.Ketika sudah sampai bandara, mereka sudah dijemput oleh supir masing-masing. Tidak ada pengawal sesuai permintaan William. Memang sejak kecil, ia dan Harry tidak mau dikawal seperti raja. Mereka ingin hidup seperti biasa.Sepanjang perjalanan, Ella lebih banyak diam. Ia melihat ke luar jendela mobil sambil memikirkan sesuatu."Apa kau senang?" William membuka suara."Aku senang. Ini kali pertama aku ke negara itu." Menoleh ke arah William dan tersenyum."Kau bisa ke negara manapun yang kau mau. Swiss, Korea, Spanyol. Kemanapun yang kau suka.""Kenapa kau malah mengatakan ini? Apa kau ingin berlibur lagi? Bagaimana dengan pekerjaanmu? Maksudku, tidak ada CEO yang tidak bekerja kecuali di dalam cerita novel." Ella menatap William