"Ada apa, Ayah?" tanya William yang penasaran.
"Ini hadiah untuk pernikahan kalian." Haira menyerahkan dua lembar tiket kepada William dan Ella.
William dan Ella saling pandang. William bingung karena itu adalah tiket ke luar negeri. Sementara Ella bingung itu tiket untuk apa.
"Ayah dan Ibu tidak perlu repot-repot mempersiapkan ini semua."
"Ya sudah, ambil. Agar kerepotan kami tidak sia-sia." Haira meletakkan tiket ke tangan William.
"Besok kalian akan berangkat ke Paris untuk berbulan madu. Persiapkan semua keperluan kalian mulai dari sekarang," ujar Haira.
"Ba-baik, Bu." William mengangguk pasrah.
"Besok jangan terlambat. Ibu juga akan meminta Selena untuk mengingatkan Harry agar besok ia tidak lupa."
"Apa? Jadi mereka akan pergi bersama kami?" William membelalakkan matanya.
"Kenapa? Apa kau Keberatan?" Haira menatap sinis.
"Tidak, hanya saja wajah kami sama. Apa ibu tidak ingat saat aku dan Harry membuat kekacauan di hotel karena wajah kami membuat para pelayan hotel kebingungan. Apalagi sekarang kami bersama istri kami. Mereka akan mengira wajah ini adalah pria hidung belang."
"Tidak apa-apa. Kalian akan menginap di hotel yang berbeda."
"Oh, ya sudah. Aku harap Harry tidak lupa untuk apa dia ke sana." William menyimpan tiket tersebut.
Hingga saat siang tiba, Aiden dan Haira pamit. Mereka akan pergi ke rumah Harry. Namun sebelum itu, Haira memberikan beberapa paper bag yang berisi lingerie seksi untuk Ella. Meski ragu, Ella akhirnya menerimanya.
"Will, Paris itu seperti apa?" tanya Ella yang sedang mengepak barang-barang miliknya ke dalam koper termasuk lingerie pemberian Haira tadi.
"Kota yang sangat indah. Di sana kau bisa melihat keindahan dan kemegahan menara Eiffel yang merupakan salah satu ikon di kota itu," tutur William yang juga sedang mengepak barang-barangnya.
"Apa kita akan ke sana?" tanya Ella antusias.
"Ya."
"Wah, aku jadi tidak sabar ingin segera pergi berbulan madu, pasti sangat mengasyikan!" seru Ella.
William hanya menyunggihkan senyuman melihat semangat empat lima Ella.
Sementara itu...
"Apa? Bulan madu ke Paris?" Selena terkejut mendengar penuturan kedua mertuanya.
"Iya, Sayang, kenapa?" Haira heran melihat keterkejutan Selena. Harusnya ia senang karena sejak dulu hobinya adalah travelling.
"Tidak, Bu. A-aku hanya senang saja, hehehe."
'Bagaimana aku tidak terkejut? Bisa-bisa Harry meninggalkanku di bandara karena lupa. Seperti pagi tadi, aku hampir stres karenanya,' batin Selena.
Kejadian pagi tadi.
Selena baru saja bangun dari tidurnya. Ia melihat bantal guling yang menjadi pemisah sudah berserakan. Ia meregangkan otot-ototnya sambil mengumpulkan kesadaran.
"Aku lelah sekali." Selena memegangi lehernya dan berjalan gontai ke kamar mandi.
Selesai mandi dan ganti baju, Harry tak kunjung bangun. Selena mencoba membangunkannya. Saat Harry membuka mata, ia berteriak kaget.
"Kau! Kenapa kau disini?"
"Aku istrimu. Kita baru menikah malam tadi." Selena mengingatkan dirinya.
"Oh ya maaf." Harry bangkit dari tidurnya dan pergi ke kamar mandi.
"Aku akan ke balkon kamar untuk berjemur. Kau sarapan saja duluan," ujar Selena sebelum Harry masuk ke kamar mandi.
Selesai mandi, Harry melihat pintu menuju balkon terbuka. Ia pun menutupnya lalu pergi ke bawah untuk sarapan. Selesai sarapan, ia membaca koran pagi seperti biasa. Beberapa jam kemudian, Harry terlihat sedang mencoba mengingat sesuatu.
Dan tiba-tiba ia teringat Selena yang masih berada di balkon. Harry segera berlari ke kamarnya. Dan benar saja, Selena berteriak minta dibukakan pintu.
Setelah pintu terbuka, Selena mencoba menahan emosinya. Ia menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. Sepertinya menikah dengan Harry ibarat sedang menguji kesabarannya.
*****
Dua pasang pengantin baru yang akan berbulan madu sudah sampai di kota Paris. Perjalanan selama belasan jam tentu saja membuat mereka sangat lelah.
Mereka telah sampai di hotel masing-masing. Seperti kata Haira bahwa hotel mereka berbeda. Namun ternyata, hotel tersebut hanya berjarak beberapa meter saja.
William dan Ella segera merapikan barang yang mereka bawa. Mereka menyusun pakaian ke dalam lemari. Ella masih terlihat murung. William tahu apa yang membuatnya begitu.
"Apa ini pertama kalinya kau naik pesawat?"
Ella mengangguk pelan.
William menghela nafas panjang. Ia masih ingat bagaimana Ella beberapa kali ke toilet pesawat untuk muntah. Bahkan saat pesawat ingin mendarat, Ella mencengkram erat lengan William sangking takutnya.
"Ya sudah, kau istirahat saja," ujar William.
"Tidak, aku ingin menikmati pantai. Aku rasa itu akan membuatku lebih baik." Ella menatap pantai yang ada di depan hotel mereka.
"Ya sudah, pergilah, aku ingin istirahat. Jauhi ombak atau kau akan terseret."
"Aku tidak ingin sendirian. Bisakah kau menemaniku?" Ella menatap ragu.
William melihat Ella yang masih diam di tempatnya sambil menunduk.
'Bagaimana ini? Aku tidak bisa berenang. Kalau dia terseret ombak siapa yang akan menolongnya?' batin William.
"Ayolah, Will, aku mohon."
"Ya sudah, tapi berjanjilah untuk tidak terlau ke tengah air. Lihat, ombaknya tinggi." William memperingatkan.
"Aku berjanji."
Mereka pun pergi ke pantai tersebut untuk berjalan-jalan di sepanjang pinggiran pantai. Ella merasa senang bisa jalan berdua dengan William.
"Indah sekali, ya. Andai saja kita bisa melihat ini setiap hari." Ella berdecak kagum.
William hanya tersenyum kecil.
"Will, boleh aku memeluk lenganmu seperti para pasangan yang ada di sana?" Ella menunjuk beberapa pasangan yang sedang bermesraan.
"Ella turunkan tanganmu. Mereka melihat kita. Kenapa kau menunjuk mereka yang hanya berjarak beberapa langkah dari kita? Itu memalukan."
"Eh, iya maaf. Bolehkah?"
William mengangguk dan membiarkan Ella memeluk lengannya. Ella merasa sangat senang dan nyaman.
"Hei, kalian ke sini juga?" Tiba-tiba Harry datang dan menyapa mereka.
"Iya, aku merasa bosan," sahut Ella.
"Kau sendirian saja? Mana istrimu?" tanya William.
"Dia ada di....." Harry menunjuk bangku pantai yang ternyata sudah kosong.
"Kemana dia?" gumam Harry.
"Oh tidak, apakah dia ke tengah laut?" Harry memegangi kepalanya.
"Apa katamu?" William terlihat sangat panik. Matanya menyapu tengah laut dan melihat ada sesuatu yang seperti kepala sedang tergulung ombak.
Dengan cepat ia berlari menabrak ombak yang lumayan besar. Sekuat tenaga ia melawan arus ombak namun pada akhirnya ia tergulung ombak tersebut.
"Will!" Ella memekik dan segera berlari untuk menyelamatkan William.
Harry yang khawatir pada Ella juga menyusulnya dan ikut menyelamatkan William. Para pengunjung pantai berkumpul melihat keadaan William.
Akhirnya William berhasil diselamatkan. Ella menekan-nekan dadanya hingga William memuntahkan air yang tertelan olehnya.
"Kau tidak apa-apa?" Ella menatap penuh kekhawatiran.
"Mana Selena? Apa dia selamat?" William masih terlihat khawatir.
Mendengar hal itu, Ella merasa sangat kecewa. "Harry, tolong jaga William. Aku mau ganti baju."
"Harry, mana Selena?" tanya William yang masih terlihat bingung.
"Aku lupa kalau tadi dia kembali ke hotel untuk mengambil kacamata." Harry menatap dengan wajah datar.
"Huh, syukurlah." William menghembuskan nafas lega.
"Kau juga harus bersyukur. Kalau bukan karena Ella yang menyelamatkan nyawamu pasti kau sudah mati!" Harry menatap William dengan penuh emosi.
"Apa? Ella yang menyelamatkanku?" William terkejut.
"Ya, dan ketika kau sadar, yang kau tanyakan malah Selena. Tidakkah kau memikirkan bagaimana perasaannya? Bahkan kau yang tidak bisa berenang rela mempertaruhkan nyawamu demi Selena." Harry membimbing William berdiri.
Ia mencengkram kerah baju William. "Dengar, ya, aku tahu kau masih menyukai Selena. Dan kau juga tahu aku sangat menyukai Ella. Tapi keadaan sekarang sudah berbeda. Kau dan aku tidak akan mendapatkan wanita yang kita sukai. Jadi berhentilah terus mengecewakan Ella atau kau akan tahu akibatnya." Harry melepas cengkramannya dengan kasar. Ia pergi meninggalkan William yang masih diam. Entah apa yang ia pikirkan. Yang pasti ia tau bahwa Harry sangat kecewa padanya. Jika Harry sudah berlaku kasar seperti tadi, artinya hatinya sangat kecewa.
William, Ella, Jane, dan Haira sedang makan malam bersama."Ella, ingat, ya. Saat melahirkan normal, pengaturan nafas sangat penting. Dan kau juga tidak melahirkan hanya satu bayi, melainkan dua bayi. Dulu ibu memilih operasi caesar karena tidak memungkinkan melahirkan secara normal. Jika kau ingin merubah pikiranmu, masih sempat. Kita ke rumah sakit sekarang dan melakukan operasi." Haira menjelaskan panjang lebar."Benar, Nak. Jarang ada yang melahirkan bayi kembar dengan normal. Satu bayi saja rasanya sangat sakit, apalagi dua. Dan juga, kalau kau pingsan atau tak sadarkan diri setelah melahirkan anak pertama, maka itu akan membahayakan keselamatanmu. Ibu juga dulu operasi caesar saat melahirkan kau dan Selena." Jane menambahkan."Ibu, sudahlah. Aku selalu mendengar ini setiap hari. Dan keputusanku tetap sama, aku ingin melahirkan normal." Ella menengahi ceramah kedua ibunya.Sedangkan William hany
Beberapa bulan telah berlalu. Ella dan William tengah menanti kehadiran buah hati mereka. William bahkan sudah mengambil cuti untuk menjadi suami siaga jika Ella sewaktu-waktu mengalami kontraksi. Memang, Ella ingin agar kelahiran anaknya dilakukan secara normal.Namun, semakin mendekati kelahiran anak mereka, William bertambah pusing karena ibu dan mertuanya tinggal di rumahnya."Bu, aku tau kalian ingin menjaga Ella. Tetapi tidak perlu satu kamar dengan kami, kan," ucap William kepada Haira dan Jane yang merupakan ibu dan mertuanya.Kini mereka sedang berada di kamar William dan Ella."Memangnya kenapa? Kami kan ingin menjaga Ella. Ella itu anak kami," ucap Jane."Tapi tidak begini konsepnya. Aku dan Ella kan butuh privasi.""Privasi apa? Agar bisa berduaan? Bermesraan?" cibir Haira."Astaga, ibu bukan itu. Ada kalanya aku ingin m
Dua minggu kemudian, William dan Ella baru saja pulang dari rumah orang tua Ella. Mereka piknik bersama di taman belakang rumah orang tua mereka."Aku senang sekali hari ini." William berseru saat memasuki rumahnya."Kenapa kau sangat gembira sekali? Apa karena Kak Alex hanya datang sebentar?" Ella menatap penuh selidik."Tentu saja, tanpa adanya si berengsek itu, aku bisa leluasa melakukan apa yang aku ingin tanpa perlu waspada terhadapnya.""Itu kan karena dia tiba-tiba mendapat tugas penting. Ada pembunuhan yang sulit diungkap detektif kepolisian.""Memangnya sampai kapan dia akan menjadi detektif dadakan?""Tidak ada batas. Dia akan menjadi detektif kasus tersulit seumur hidupnya. Itulah kesepakatannya. Lagi pula, dia selalu dengan mudah memecahkan masalah.""Bagaimana denganmu? Kau juga mempunyai otak cerdas dan bisa memecahkan beber
"Bisa-bisanya kau bersekongkol dengan ibu dan Harry, Ella!" gerutu William saat berjalan memasuki rumah mereka. Mereka baru saja sampai rumah setelah acara piknik di taman tadi selesai."Aku tidak bersekongkol." Ella membela diri."Apa kau kira aku tuli? Jelas sekali aku mendengar ucapan Harry saat aku dan Alex mengejarnya."William mengingat kembali saat ia dan Alex mengejar Harry."Ibu, tolong akuuuu!""Kemari kau, adik laknat!" William mempercepat larinya hingga akhirnya ia berhasil mendapatkan Harry.Harry jatuh tersungkur. Bukannya memukul, William malah ikut tergeletak di atas rerumputan tepat di samping Harry. Sedangkan Alex memilih duduk di samping mereka dan mengatur nafas.Jelas saja, mereka berkejar-kejaran selama setengah jam. Untung saja taman yang sepi tidak membuat mereka terlihat seperti orang gila."N
Setahun telah berlalu. Kini, Selena telah melahirkan seorang bayi perempuan lucu yang diberi nama Hazel Alexander. Sedangkan Ella tengah mengandung anaknya dan William.Hari ini, mereka baru pulang dari berziarah dan memutuskan untuk piknik bersama di sebuah taman."Lihatlah Hazel, dia cantik sekali, ya," puji Ella."Anak siapa dulu?" Harry membanggakan diri."Apa kalian memang suka bersenang-senang tanpa aku?" Alex datang sambil menggandeng tangan Anisa istrinya yang kini sudah memberikannya seorang anak yang usianya hampir sama dengan anak Harry dan Selena. Anak laki-lakinya itu diberi naman Jimmy Wilson."Kau saja yang dayang terlambat." Ella mencibir."Jangan kebanyakan mencibir, nanti anakmu bisa tampan seperti aku.""Enak saja, dia akan tampan seperti aku." William tak mau kalah."Dasar calon ayah amatir."
"Alex." Ella tersenyum melihat kedatangan Alex yang tiba-tiba itu."Bereskan wanita ini!" perintah Alex kepada anak buahnya."Alex, jangan! Jangan bunuh dia. Jangan terjerat lebih dalam lagi," cegah Ella."Siapa juga yang mau mengotori tangan dengan membunuhnya. Dia harus merasakan dulu penderitaan dibalik jeruji baru boleh mati.""Kau! Dimana anak buahku?" tanya Margareth sambil memegangi lengannya yang berdarah karena tembakan Alex barusan."Anak buah? Maksudmu para pengecut itu? Mereka sudah lari saat melihat aku datang. Kau bilang itu anak buah." Alex menggelengkan kepalanya.Memang, saat kedatangan Alex tadi. Semua anak buah Margareth langsung ciut. Mereka lansung pucat dan ketakutan. Bahkan saat Alex melangkah mendekat, mereka langsung lari kocar kacir."Kau! Siapa kau sebenarnya?""Aku adalah Alex Julian. Jika