Share

Bab 2: Suara Berat yang Khas

Posisi Evan yang terlalu dekat, bercampur suara berat pria itu sekilas membuat Naya terpesona. Tapi Naya segera menggeleng dan menutup matanya, menjauh dari tubuh Evan. Naya kembali mengatur napas. Dia menoleh ke arah kerumunan penonton di depan stage, tidak terlihat Maria sedikitpun, padahal sekarang juga dia butuh temannya itu untuk bantu atasi kondisi aneh ini. Naya pun lagi-lagi tersenyum kikuk tanpa tahu ingin membalas dengan kata-kata apa yang diucapkan oleh Evan.

Evan yang menyadari suasana canggung ini memainkan gelas di tangannya, campuran bir dan perasan lemon. “Kenapa? Merah banget mukanya.”

Naya mengelus pipinya sendiri. “Oh, iya, biasa, nggak kuat kalau minum alkohol banyak-banyak.”

Tentu jawabannya tidak masuk di akal mengingat mereka baru saja menenggak sedikit minuman dari gelas. Naya menyadari jawaban konyolnya, lalu meminum lebih banyak hingga cairan dalam gelas hanya tinggal seperempat saja. Dia memandangi wajah Evan yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik dirinya, membuat ia menghabiskan isi gelas di tangannya sampai tetes terakhir.

“Mau lagi?” tawar Evan.

Naya menggeleng, wajahnya semakin memerah. “Nggak usah. Udah kebanyakan.”

Naya berusaha tidak kehilangan kesadaran. Sudah cukup dua tahun lalu dia mabuk dan muntah-muntah di mobil Maria.

Dia beranjak dari kursi tingginya, berdiri, dan memutuskan untuk kembali ke dalam kerumunan penonton. Sialnya, segelas bir itu berhasil membuat Naya sedikit tidak stabil. Evan menarik tubuh Naya, membiarkan wanita itu bersandar pada tubuhnya.

“Beneran, nih? Segelas lho.” Evan tertawa, dia sempat berpikir apa yang dikatakan Naya hanya bohong saja dan demi hilangkan suasana awkward mereka.

“Santai. Aku ke sini sama teman kok.”

Evan membawa Naya keluar cafe, duduk di tangga menuju area parkir. Angin malam yang cukup kencang membuat  Naya sedikit lebih sadar. Dia menutup kakinya yang terasa dingin dengan kedua tangan. Tahu akan menjadi korban paksaan dari Maria, dia akan memakai pakaian yang lebih nyaman dari awal, keluh Naya dalam hati. Atau dia akan benar-benar meminta Lukas untuk menemaninya.

Sehelai jaket jeans menyelimuti kaki Naya ketika dia sedang berpikir akan hal-hal yang ia sesalkan. Jaket Evan. Ingin rasanya ia mengembalikan jaket itu dan berkata, tidak usah, tetapi dinginnya angin malam membuatnya memilih cuek dan menikmati sikap hangat dari Evan.

“Thank you.” Naya berkata pelan. Dia memperhatikan kedua lengan Evan, ada beberapa tatto di sana.

Evan mengambil sekotak rokok dari kantong celananya. Menyalakan dan melakukan hisapan pertama, membuat asapnya menyentuh rongga hidung Naya, mengikuti arah angin. Sesaat Naya menikmati pemandangan di matanya dan membiarkan asap itu lewat begitu saja.

Tetapi beberapa detik kemudian dia menyadari, kalau selama ini dia selalu ngomel dengan mereka yang merokok tanpa melihat tempat dan orang sekitar.

“Mau?” Kotak rokok itu kini ada di hadapan wajahnya, Naya menyambutnya dengan gelengan kepala.

“Kamu pasti nggak kenal band di dalam sana, kan? Kejebak deh. Rumah di mana?”

Naya mengarahkan kepalanya ke sisi kanan. “Nggak jauh, di apartemen sekitar situ.”

“Sendiri di Jakarta?”

“Iya.” Sekilas Naya menyesal mengatakannya, satu data hidupnya bocor begitu saja. “Kamu?”

“Asli sini? Aku asli sini. Cuma ortuku di Bali.” Evan kembali menghisap rokoknya.

“Sama kok, aku asli Jakarta. Cuma ortuku kerjanya di Banten.”

Hening sesaat, mereka sama-sama menonton pemandangan malam dan merasakan tusukan angin malam yang membuat tubuh terasa cenat-cenut.

Evan mematikan rokoknya dan berdiri. “Aku anterin sini. Daripada nungguin temanmu. Beresnya masih lama. Belum after party. Ya masa fans berat gitu nggak ikut after party.”

“Aduh…” Naya bisa membayangkan Maria yang sudah pasti ikut dan berujung tidak sadar. Wanita berkulit sawo matang itu pasti mabuk berat dan membutuhkan orang lain untuk memastikan dia tidak mengemudi mobilnya. “Temanku nggak ada yang antar pulang.”

Sesungguhnya tawaran Evan kepadanya buat Naya merasa spesial, tertarik, sekaligus tidak ingin melepaskannya begitu saja. Naya membuka ponsel, coba menghubungi Maria di dalam cafe. Dia tidak ingin masuk lagi, tubuhnya sudah tidak sanggup menerobos kerumunan itu lagi.

“Hallo? Gue di luar nih. Lo  di mana? Jangan mabok ya lo! Kalo mabok, jangan nyetir! Gue nggak bisa nyetir.” Naya menutup teleponnya.

Dia beranjak kembali ke dalam cafe dengan susah payah untuk mencari Maria. Ketemu! Wanita itu sedang asyik ngobrol dengan seorang laki-laki berwajah oriental.

Naya menghela napas. Sepertinya dia harus pulang naik taksi sendiri malam ini. Setidaknya dia masih sadar walau sedikit mabuk.

Evan yang sejak tadi terus di samping, mengikutinya mencolek bahu Naya. Dia menaikan alisnya. “Gimana?”

"Aku pulang deh. Lumayan hectic di kantor dan udah ngga ada tenaga buat lama-lama di sini."

"Aku anter ya?" Evan menawarkan ulang jasanya.

Naya menggeleng cepat.

"Ya udah kalau gitu, aku tungguin kamu sampai naii taksi ya?"

"Bebas." Naya membuka aplikasi taksi online, segera melakukan pemesanan.

Tidak lama taksi yang dia pesan tiba. Evan membantunya, membuka pintu mobil, memastikan Naya masuk ke dalamnya dengan selamat. Sebelum menutup pintu, Evan mengambil ponsel wanita itu dari genggaman, menghubungi ponselnya sendiri, lalu mengembalikannya.

"Kabarin kalau udah sampai rumah. Jangan bikin aku khawatir." Pintu ditutup.

Naya menoleh ke jendela belakang, memperhatikan Evan yang terus berdiri. Senyum kecil tanpa Naya sadari keluar dari bibirnya. Dia pun membuka layar ponsel, menatap jajaran nomor yang baru saja melakukan panggilan tidak terjawab di dalamnya.

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status