Sejak sampai kembali ke apartemen Naya merasa gelisah. Dia memandangi jam dinding dan jam pada ponselnya bergantian. Setelah berhasil meminta Lukas untuk pulang lebih cepat dengan alasan ingin istirahat, Naya berharap apa yang dikatakan oleh Evan adalah sebuah kebenaran. Benar jika itu merupakan janji untuk bertemu.
Lagipula Lukas baik-baik saja dan terlihat senang ketika ia meminta pulang, tidak memakan banyak waktu di mall, tempat yang membosankan bagi Lukas. Lalu bagaimana Naya bisa yakin bahwa Evan akan muncul di lobby nanti?
"Ah, udahlah… Cowok kayak dia juga punya bakat jadi cowok brengsek, goda sana, goda sini." Naya membanting ponsel, pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Dia memutuskan untuk menghabiskan malam dengan menonton series sambil menikmati camilan yang ia beli saat pergi tadi.
Jam 9.43 malam. Naya memandangi jam dinding sambil mengucek mata. Tanpa direncanakan dia ketiduran entah dari kapan, yang jelas ia adegan di layar televisi di hadapannya terlihat asing dan tidak dimengerti. Mungkin sudah terlewat satu sampai dua episode, entahlah, Naya berjanji akan menontonnya kembali besok.
Naya loncat dari sofa, berdiri, mencari cardigan yang tadi ia taruh di atas sandaran. Bagaimana kalau Evan benar-benar ada di lobby? Bagaimana kalau dia sudah menunggu dari lama? Sesungguhnya Naya mengutuk dirinya akan sendiri harapan dan rasa khawatir akan kehadiran Evan.
Naya beranjak pergi, coba turun ke lantai dasar. Setidaknya dia bertanggung jawab karena tidak menolak tawaran Evan jika memang ada di sana. Kosong. Tidak ada siapa-siapa dan hanya ada penjaga yang duduk di balik mejanya, mengetahui kedatangan Naya, tapi terlihat tidak peduli.
Siap, batin Naya kesal, merasa dipermainkan. Dia merogoh kartu dari dalam saku, bersiap menaiki lift, kembali ke atas.
"Lama banget, sih?" Evan muncul entah dari mana memeluknya dari belakang.
Sontak Naya melepas pelukan itu, menoleh ke arah penjaga yang masih dalam posisi yang sama.
"Jadi, kamu mau apa ke sini?" Naya mengecilkan volume suaranya.
"Kan udah aku bilang, aku bersedia nemenin kamu. Kapanpun. Kamu kelihatan kesepian, Naya." Evan menatap tulus wajah Naya, memperhatikan semua bagian yang ada di wajahnya.
Naya kembali menoleh ke arah penjaga. "Astaga… Kita bicara di atas."
Naya mengajak Evan menaiki lift menuju unit apartemennya. Mempersilakan pria itu masuk ke area pribadinya untuk kedua kali.
"Aku tahu kamu butuh aku, Naya." Evan memperhatikan Naya yang berjalan ke sofa kecil, di depannya terdapat televisi yang menyala. Tepat di samping sofa itu terdapat sebuah kasur berukuran sedang.
Naya meningkatkan suara volume televisi sedikit. "Maksudnya? Apa yang kamu mau?"
"Nggak ada. Aku cuma mau bikin kamu seneng." Evan melepas sepatu converse hitamnya, menyusul Naya yang sejak tadi berdiri di antara sofa dan kasur.
Evan menarik tangan Naya, mengecupnya. "Dari kemarin kamu nggak kelihatan bahagia, padahal kamu lagi jalan dan habisin waktu bareng orang terdekat."
Naya hanya memperhatikan gerakan Evan, merasakan tangannya yang hangat saat bersentuhan dengan bibir Evan, juga mendengar kata-kata dari mulutnya yang tidak tahu mengapa terasa menenangkan.
Evan menarik tubuhnya, kedua tangannya melingkar di pinggang Naya. "Kalau kamu mau bantuan aku buat bikin kamu seneng atau bahagia, kamu bisa ngomong sekarang juga."
Naya menaikan alisnya. Tidak begitu paham dengan apa yang Evan katakan, tapi dia sangat paham dengan perasaannya sendiri. Memang, berpacaran dengan Lukas tidak benar-benar membuatnya merasa bahagia selama ini. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya dan sampai saat ini Naya tidak tahu apa itu.
Evan mendekatkan wajahnya. "Please bilang sama aku. Kamu mau bahagia."
Naya hanya mengangguk. Dia berbisik lirih. "Iya, aku mau bahagia dan dia nggak pernah buat aku bahagia."
Dalam sekejap Evan mencium Naya, mulutnya meraba dan memainkannya. Dia melumat bibir Naya tanpa jeda. Naya mengikuti ciuman liar itu. Dia merasa ingin melakukannya.
.
.
Lukas jarang memberinya ciuman. Seperti ciuman yang dilakukan oleh Evan sekarang. Bagi Naya, pria asing di hadapannya ini hadir untuk membayar semua hal yang ia harapkan ada di diri Lukas. Dia selalu ingin Lukas lebih berani dalam mengutarakan perasaan dalam hubungan spesial mereka. Termasuk ucapan manis dan menggoda yang sekarang malah Naya dapatkan dari Evan, orang yang baru dia kenal.Kedua tangan Evan menarik perlahan cardigan yang Naya, melepasnya, dan lanjut membuka atasan piyama dengan tetap melumat bibir Naya yang kini semakin ganas karena Naya sudah mampu mengikuti.Yang ada di pikiran Naya hanya menikmati apa yang dilakukan Evan kepadanya dan terpesona dengan bentuk wajah pria itu. Ketika wajah mereka semakin dekat, Naya bisa melihat lebih rinci wajah Evan yang baginya biasa tapi istimewa. Alis Evan yang tidak tipis, tapi juga tidak tebal.
Naya sudah tidak mampu menahan desahannya, batinnya berteriak ingin menolak apa yang sedang ia terima. Namun setan di dalam dirinya begitu kuat, membuat ia menikmati semuanya. Gerakan dan perlakuan Evan terhadapnya, suara desahan Evan yang mulus masuk ke telinga, juga embusan napasnya yang menggelora. Aroma tembakau bercampur mint keluar dari sana, semakin membuat Naya ketagihan."Kamu suka?" bisik Evan dengan jarinya yang masih bergerak di bawah sana.Naya mengangguk, sejujurnya ia malu."Mau yang lebih?" Evan mempercepat gerakannya.Lagi-lagi Naya mengangguk. Pipinya semakin merah merona.Kamu udah sinting, Naya!Evan kembali menciuminya, dari telinga, pipi,
Lukas mengeluarkan cake tart dengan cream berwarna putih, pada bagian sisi ditaruh stroberi segar dan hiasan keemasan. Ukurannya tidak begitu besar, cukup dihabiskan oleh dua orang saja. Di bagian permukaan tertulis 'selamat dua tahun untuk kita'.Naya membacanya berkali-kali. Semua kenangan bersama Lukas selama dua tahun ini muncul perlahan di kepala. Saat pertama dia bertemu dengan Lukas, di sebuah acara ulang tahun teman mereka. Saat pria itu untuk pertama menjabat tangannya, sambil mengucapkan 'aku Lukas, Lukas William'. Nada suaranya tenang dan lembut."Nggak kerasa ya." Naya fokus melihat Lukas yang menusukan sebuah lilin gold di atas cake."Iya… Soalnya kita sering LDR-an, sih. Walau tanpa sengaja. Maaf, aku sibuk terus." Lukas menyodorkan cake lebih dekat ke hadapan Naya.
"We never know, Na…" Maria menempelkan post-it ke monitor komputer. Beberapa hari terakhir Naya merasakan perasaan yang membuat ia sulit tidur. Lukas sudah pergi ke Surabaya semalam.Naya membaca paduan yang tertulis di post-it. "Dia nggak kasih tahu gue, Ia. Ya masa sampai lupa? Dia bakal nggak ada di sini sebulanan. Kan bisa pamit dulu.""Gue kan udah bilang sama lo, Lukas tuh makin ke sini, makin aneh. Gue masih bisa terima kalau dia nemuin lo satu minggu sekali selama ini, Na. Tapi ya harusnya dia ingat dong buat kabarin lo pas mau berangkat. Minimal lo bisa nganterin dia, kan? Gue udah bilang lho, dia tuh mencurigakan." Maria mengambil karet dan mengikat rambutnya.Sebenarnya Naya ingin sekali menelepon Lukas sekarang juga, bertanya padanya tentang bagaimana bisa pria itu pergi begitu saja tanpa memberi
Dibandingkan cafe sebelumnya, cafe satu ini lebih kecil dan terasa sempit. Naya bisa paham mengapa Maria suka dengan cafe ini. Selain karena bisa lebih dekat dengan personil band favoritnya, suasana cafe ini sedikit berbeda. Tidak ada kelompok orang-orang yang sibuk dengan acara sendiri. Semuanya berbaur jadi satu, berkumpul di dekat stage dengan ukuran kecil. Tidak ada pengunjung yang sibuk asyik dengan obrolannya. Semua fokus mendekati stage, menunggu The Solar yang sedang asyik menyetel alat musik mereka. Siap menikmati penampilan. "Cek.. Cek.." Suara yang tidak asing, Rama, sang vocalist mengecek kualitas mic di tangannya. Maria berbisik. "Dia duda lho. Udah cerai dua kali. Tapi kayak masih single gitu ya, awet muda." "Nah, itu tuh yang namanya Billy, Na. B
Naya tidak kalah kagetnya dengan Maria. Bukan seperti ini rencana yang dia buat. Awalnya Naya hanya ingin perkenalkan Evan sebagai teman barunya. Minimal Maria kenalan dulu dengan Evan, baru nanti Naya bercerita tentang kisahnya dengan pria itu. "Evan." Evan menyodorkan tangannya tanpa rasa kikuk, sementara Naya tidak bisa menutupi perasaan malu bercampur khawatir. Maria menyambut tangan Evan sambil memperhatikan wajahnya yang kemudian dengan cepat kilat melihat penampilannya dari atas sampai bawah. "Gue Maria. Lo?" "Cowoknya Naya." Evan menjawab yakin. Maria melihat Naya dengan ekspresi bingung, berbagai macam pertanyaan yang nyangkut di kepala. Naya hanya bisa menjawab dengan sikap diam, mengulas senyum kecil. Dia tida
"Hmmm…" Naya memejamkan mata. Semakin terbiasa, dia semakin jago mengikuti gerakan Evan. Berbeda saat pertama kali melakukannya, kali ini terasa lebih nyaman. Evan mendorong miliknya lebih dalam dari biasanya membuat Naya menggelinjang. Kedua tangan Naya mencengkeram punggung Evan kuat. Begitupun Evan yang berusaha menahan badannya dengan kedua tangan. "Ahh… Evan.. Ahh…..." Suara desahan Naya membuat Evan kian mempercepat gerakannya. Dia menciumi Naya tanpa ampun. Napas mereka semakin menggebu. "En..nak?" Evan berbisik sambil tetap fokus menggerakan miliknya dengan tempo yang semakin cepat. "Ah.. Aku.. Aku mau keluar." Naya tidak kuat lagi. "Aaaahhhh……." Hentakan kencang dari Evan berhasil membuatnya sampai di puncak.
Pada awalnya Naya merasa tidak masalah saat Lukas jauh darinya. Toh, selama ini mereka memang jarang bertemu. Lukas sibuk, Naya pun mencoba sibuk. Dia selalu coba menyeimbangi dan tidak pernah berhenti usaha membuang pikiran negatif soal Lukas.Semua teman-temannya yang mengenal Lukas pun sudah dari pertama bilang kalau pria itu adalah pria baik-baik. Seorang pria yang sedang menggapai mimpinya untuk sukses berkarir di bidang yang ia sukai."Lho? Kirain lagi ngikut Lukas, Na." Hanif duduk di sofa. Malam ini mereka janji untuk merayakan ulang tahun Risa di salah satu restoran Asian food langganan.Naya menggeleng cepat. Boro-boro nemenin Lukas di sana, kontakan saja terbatas."Tuh Risa. Niat banget, neng… Pake dress cantik gitu. Kita rayain cuma bertiga gini doang.