Apa dia suka nongkrong di sana? Apa kalau aku ke sana bisa ketemu dia? Naya menepuk dahinya sendiri. Dia tidak mengerti mengapa keinginannya bertemu lagi dengan Evan begitu tinggi. Sudah sangat lama dia tidak merasakan perasaan spesial seperti ini.
Padahal pertemuan saat itu biasa saja. Sama seperti Bimo yang sesekali menggodanya di kantor. Tapi bayangan tentang pria bernama Evan itu terus muncul di kepala. Apa karena aku kangen sama Lukas, ya? Apa karena aku ngerasa kosong? Aku jarang ngabisin waktu sama Lukas karena dia sibuk. Naya terus memutar otak, mencari jawaban.
Sebenarnya sudah biasa jika ia harus libur bertemu pacarnya, Lukas memang selalu sibuk dan tidak suka pergi ke pusat keramaian, ia ingib membeli sesuatu.
Kali ini tidak tahu mengapa Naya ingin marah dan protes kepada Lukas karena pria itu memberi waktu bersama sedikit kepadanya. Naya bisa saja datang ke cafe itu bersama Lukas. Menikmati penampilan band Solar bersama. Tidak tahu kenapa, perasaan untuk tidak mengajak Lukas di tempat satu itu begitu tinggi.
Itu tempatnya Evan.
Naya berpikir untuk mengiyakan tawaran Maria datang kembali ke acara musik di cafe.
"Lo jadi ketagihan? Biasa nolak." Maria memindahkan ponsel dan dompetnya ke dalam tas kecil. Dia membenarkan posisi spion tengah.
Naya menggeleng. "Bosen aja. Lukas sibuk mulu."
"Lo sama Lukas udah mau dua tahunan, ya masa lo baru sadar sekarang?"
"Iya, anggap aja gitu. Nanya terus sih lo. Cerewet." Naya mengambil lipstik berwarna bold dari dalam tas. "Nih gue udah bawa sendiri, jadi nggak usah pinjem segala."
Maria tertawa. "Hahaha tuh lo aja udah nyiapin. Ketagihan kan lo nonton Solar."
"Terserah deh mau bilang apa. Tapi lo jangan mabok bisa kali? Mana pasti lo bawa cowok kan ke apartemen?"
Maria menatap cermin di tangannya, memastikan tampilannya sudah sempurna. "Kenapa? Mau dikenalin juga? Gue sih nggak ada masalah, secara gue single."
"Dih! Pokoknya lo harus balik sama gue malam ini!" Naya melepas ikatan rambut panjangnya. Membiarkan helaian rambut terlihat sedikit urakan.
Sama seperti sebelumnya, Maria sudah asyik sendiri menikmati penampilan dari Solar. Bedanya, kini mata Naya sibuk mencari seseorang. Memang konyol rasanya kalau bisa bertemu dengan pria itu lagi. Dia membuka ponsel, menekan deretan nomor yang sudah ia simpan dengan kontak bernama 'Evan'.
Tepat saat telepon itu terhubung, pria yang membayanginya selama dua minggu ini muncul di hadapan. Mereka sama-sama menaruh ponsel di telinga.
"Sendiri?" Evan menutup panggilan, memasukan ponsel ke dalam saku celana. Sama seperti sebelumnya, pria itu mengenakan setelan casual.
Naya yang masih terkejut dengan kehadiran pria itu menangguk. Entah mengapa dia tidak ingin bilang kalau kedatangannya tidak sendiri. Evan membawa Naha ke sebuah meja. Mereka memesan minuman yang sama.
"Aku yakin ini bukan kebetulan." Evan menyodorkan gelas. "Ini takdir."
Naya mengulas senyum. "Mungkin."
Tidak banyak pembicaraan yang keluar dari mulut mereka. Bahkan Naya bisa merasakan perasaan canggung.
Pengunjung cafe lain satu-persatu memenuhi area tengah cafe, mendekati Solar yang masih menguasai stage.
"Spesial buat kalian yang datengnya sama pacar." Vocalist Solar berbicara di atas stage.
Tanpa aba-aba, Evan menarik Naya ke dalam kerumunan. Bergabung dengan pengunjung lainnya.
You're just too good to be true…
Can't take my eyes off of you….
Lagu dari Frankie Valli yang dibawakan Solar membangun suasana hangat. Kedua tangan Evan melingkar di pinggang Naya. Pria itu juga menggerakan kedua tangan Naya, menaruh di bahunya.
"Bisa dansa?" tanya Evan sambil terus memperhatikan wajah Naya yang memerah.
Sementara Naya tidak berani menatap langsung kedua mata Evan sambil menggeleng.
Mereka berdua bergerak pelan menikmati lagu.
Di pertengahan, Solar mengganti ritme lagu menjadi lebih cepat dan membuatnya berganti genre menjadi musik versi EDM. Semua pengunjung joget mengikuti musik. Termasuk Naya dan Evan yang kini saling menatap satu sama lain dengan tawa kecil. Sudah lama Naya tidak merasakan perasaan bahagia seperti ini.
.
.
Sambil mengunyah suapan daging bercampur nasi dan sayur, Naya memerhatikan wajah Evan. Ekspresi tenang yang tidak pernah lepas dari pria itu meski sedang dalam situasi tidak mengenakan memang selalu menghipnotis dirinya. Seperti saat ini, bisa saja ia masih menangis, entah menangis bodoh atau menangis karena tidak percaya. Pengkhianat yang justru mendapat pengkhianatan. Tetapi Evan berhasil membuatnya tenang. Pikirannya memang masih berkecamuk, tapi keberadaan Evan membuat ia sadar, berkhianat bisa jadi pilihan yang baik. Apalagi dalam kondisi seperti ini, munculnya persoalan Lukas dan wanita itu, juga fakta yang tiba-tiba saja muncul. Mungkin Tuhan sengaja mempertemukan ia dengan Evan. "Jadi, bisa kan kita lebih dari ini, Na?" tanya Evan sambil menatap mata Naya. Pertanyaan itu membuat Naya hampir mengeluarkan kunyahannya. "Maksud kamu?" "Kita menikah aja ya?" Evan tersenyum, senyuman dengan tatapan mata penuh kesungguhan. "Aku ingin kita benar-benar jadi satu. Nggak ada lag
Sama sekali tidak terbayang, Naya yang baru saja terluka, mendapatkan rasa perih yang sudah pasti akan lama terobati, saat ini mendapat kenikmatan yang membuatnya lupa akan rasa perih teraebut. Sekilas air mata Naya menggenang, kembali mengalir. Namun tangisan itu tidak datang dan langsung menghilang saat nafas juga aroma tubuh Evan kini menguasainya. "Kamu cantik banget, Na. Aku selalu kangen lihat ekspresi kamu kayak gini, suara kamu, desahan..." Evan masih memainkan jarinya. "Aku juga, aku selalu ingin lakuin ini sama kamu. Setiap hari. Ahhh.. Evan...." Naya menggelinjang, sebelum Evan memberi sentuhan dahsyatnya, ia sudah mendapat kenikmatan. Evan tersenyum puas, baginya, berhasil memberi kenikmatan pada Naya adalah satu pencapaian. Apalagi ia belum memainkan miliknya. Evan mengecup tubuh Naya, dari satu bagian ke bagian yang lain. Meninggalkan tanda. "Aahh... Hh.." Naya sangat menikmati. Entah karena ia sedang dalam kondisi sangat tidak baik, lalu mendapat kenikmatan d
Naya sudah mengajukan cuti dua hari ke kantor. Tidak mungkin datang ke kantor dengan mata bengkak, wajah kucel, dan tubuh lemas. Rasanya setengah jiwa masih mengambang entah di mana. Mungkin karena masalah kemarin belum selesai dan ada ujungnya. Sejujurnya, Naya masih penasaran dan ingin bertanya banyak tentang wanita bernama Hana. Wanita yang dijodohkan pada Lukas. Tapi sudah, cukup, Naya merasa bila ia tahu lebih dalam tentang wanita itu dan Lukas sama saja seperti sedang menyayat pergelangan tangan sendiri. Akan terasa sakit, jelas menimbulkan luka, dan bekas yang sulit hilang. Kedua tangan Naya memijat kepala, terlalu banyak nangis membuat kepalanya terasa tidak enak. Nyeri. Dia mengambil ponselnya, ada tiga missed call dari Lukas. Tepat ketika dia sedang membuka aplikasi chat, datang panggilan ke ponselnya. Evan. "Hi.." Nada suara Naya parau. "Aku di lobby. Boleh ke sana?" Informasi itu membuat Naya sedikit terkejut. "Aku lagi jelek," ucap Naya. Bagaimana bisa dia m
Hampir saja Naya menangis saat mendengar kalimat itu. Air matanya telah berkumpul di pelupuk, siap untuk terjun. Dia coba menahannya, membuat dadanya terasa sangat sesak. Ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya. Memang salah menghadapi kenyataan pahit ini dengan mengamuk? Naya masih menahan segalanya. Dia berharap secepatnya sampai di ruman.Pada akhirnya, Tuhan menunjukkan bahwa, semua manusia itu punya bakat buat jahat. Bukan hanya Naya yang berselingkuh dengan Evan, tapi Lukas juga mengkhianati dirinya lebih parah. Jauh lebih dulu, langkahnya lebih cepat. Bahkan sampai tidak terlihat. Yang ada, hanya hasil dari langkah-langkah itu, lubang dalam karena injakan sepatu yang tajam. Naya yang selama ini berusaha menutupi kehadiran Evan ternyata sama saja seperti Lukas yang berusaha menutupi adanya keluarga kecil, beserta kehidupannya yang kalau dipikir menjadi sangat asing. Konyol."Makasih lho." Naya berusaha baik-baik saja, meski tubuh, hati, dan pikirannya terasa remuk."Santai
Entah dari mana rasa sakit itu muncul kembali dalam hatinya. Meski ia belum benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, tapi kecurigaannya terhadap sosok anak kecil dalam pangggilan video yang baru saja dilihat mengarah pada hubungan Lukas dengan wanita bernama Hana.Naya memandangi langit yang mulai terang di luar sana. Dia menghela napas untuk kesekian kalinya. Cara Naya menenangkan diri walau tentu tidak bisa sepenuhnya. "Mau aku antar sekarang?" Tiba-tiba Lukas muncul, wajahnya tampak lebih tenang dari sebelumnya.Naya memegang dan memijat bahunya sendiri. "Kan aku udah bilang nggak usah.""Atau aku aja gimana? Kak Lukas jagain Kak Hana aja. Dia butuh kakak di sampingnya." Eva ikut menawarkan jasa. "Aku bawa mobil."Asing, tentu saja. Naya baru mengenal Eva sekian jam lalu, tapi perempuan yang terlihat lebih muda darinya itu sudah bersedia mengantar pulang. Tetapi sesi seperti ini tidak ingin Naya lewatkan begitu saja. Dia bisa mendapat lebih banyak informasi mengenai Hana dan Luk
Setelah hampir empat jam menghabiskan waktu di perjalanan, tanpa obrolan apapun, mereka sampai ke tujuan. Seorang gadis berambut pendek dengan pakaian casual terlihat berdiri di depan pintu ruang UGD.Naya memerhatikan gadis itu, wajahnya sangat menggambarkan rasa khawatir. Saat mengetahui Lukas telah datang, gadis itu sontak mendekati."Kak, Mbak Hana nggak apa-apa kok kata dokter. Cuma tetap harus dirawat dulu buat dipantau. Lagi nunggu kamar aja."Lukas menoleh ke pintu UGD. "Beneran nggak apa-apa?"Gadis itu mengangguk. "Udah sadar, tapi masih lemes banget.""Kakak dari mana? Kantor?" Dia lanjut bertanya sambil melihat Naya, lalu tersenyum."Dari luar kota. Oh iya, ini Naya." Lukas memperkenalkan Naya."Naya.""Eva. Temannya Kak Lukas?"Naya menelan ludah. Apa yang harus ia katakan? Naya hanya bisa mengangguk."Tadi gimana ceritanya? Dia ngapain? Minum obat asal-asalan atau gimana?" Lukas seolah mengalihkan pembicaraan."Iya, obat tidurnya sendiri. Kata dokter bikin badannya nggak