"Aku mengkhianati pacarku." Sudah dua tahun Naya berpacaran dengan Lukas, pria yang dikenalkan oleh teman-temannya. Lukas itu baik dan tidak pernah neko-neko. Hanya saja dia sibuk mengejar karirnya. Membuat waktu bersama dengan Naya tidak banyak. Satu malam Naya bertemu seorang pria bernama Evan saat sedang menyaksikan live music. Evan, pria santai yang suka kebebasan. Naya jatuh cinta dengannya. Sangat mencintainya, hingga melebihi rasa cintanya pada Lukas. Naya berkhianat. Walau begitu, ada banyak alasan yang membuat ia ingin perjuangkan hubungannya bersama Evan. Apalagi saat Naya perlahan mengetahui rahasia tentang Lukas. . .
View MoreSudah puluhan kali Naya mengatakan bahwa, dia tidak menyukai grup itu. Bahkan lagu-lagunya saja tidak dia kenal betul, sekadar tahu kalau grup dengan musik pop punk itu lagi populer dan banyak dibicarakan.
Solar? Bensin? Minyak tanah? Apalah namanya yang jelas Maria terus-terusan membujuknya untuk ikut datang ke konser kecil mereka malam ini. Maria menarik tangan Naya dengan sekuat tenaga, sampai wanita berambut panjang itu terpaksa ikut menuju tempat mobil Yaris silver kesayangan Maria di parkiran.
Maria membukakan pintu penumpang depan. "Masuk nggak lo! Kalau nggak kita bukan temen! Rugi lo nggak punya temen kayak gue!"
Naya memandangi wajah Maria, matanya menyipit dan kening mengkerut. "Kan udah gue bilang, gue seenggak tahu itu sama Solar, yang ada mati gaya gue di sana. Nama yang nyanyi nggak tahu, lagunya nggak tahu, temen gue cuma lu."
"Ajak cowok lo dong! Telepon gih." Tangan Maria menempel pada tepian pintu mobil.
"Nggak bisa, paling masih di kantor." Tiba-tiba Naya bisa membayangkan nada suara sang pacar, Lukas yang ogah-ogahan nemenin dia menonton konser dengan alasan sibuk.
"Yah pantes si Bimo gangguin lo mulu di kantor, pacar lo jarang nongol, berasa jomblo aja kan lo."
"Bodo ah, udah gue pulang deh. Have fun!" Naya mulai mundur dan membalikan, siap-siap kabur.
Maria dengan sigap menarik kembali tangan Naya, lalu mendorong tubuh mungil cewek itu masuk dan duduk di dalam mobil. "Kali ini aja, lo nggak kasihan sama gue? Nonton sendiri kayak orang bego."
Maria menutup pintu mobil, berlari kecil ke pintu pengemudi dan masuk ke dalamnya. Tidak lupa secepat kilat mengunci semua pintu, agar Naya tidak bisa kabur.
"Yah terus gue yang jadi korban lo? Gantiin lo jadi bego." Naya mendengus kesal tapi dia memilih pasrah, memasang seatbelt, dan bersandar pada jok.
Mobil berjalan menuju sebuah cafe terkenal di bilangan Jakarta Selatan. Cafe yang memang baru buka mulai pukul lima sore. Sebelum turun dari mobil, Maria lebih dulu menyisir rambut keritingnya, mengoles lipstik matte berwarna red plum, serta menyemprotkan parfum favoritnya ke seluruh tubuh. Dia melempar lipstik ke arah Naya yang langsung dengan refleks ditangkap oleh kedua tangannya.
"Biar nggak pucet. Lo pasti cuma punya lipstik warna nude, kan? Pake sana."
Naya pun memoleskan lipstik di tangannya sambil bercermin pada kaca spion. Maria pun lanjut menyemprotkan parfum ke tubuh teman sekantornya itu.
Suasana ramai sudah terasa dari awal mereka menuju pintu masuk. Cahaya lampu berkelip-kelip menembus dari celah-celah pintu. Setelah melakukan registrasi, mereka berdua pun masuk sambil berlari. Berharap bisa mendapat tempat terbaik.
Lagi-lagi Maria menarik tangan Naya, menyelip kerumunan untuk bisa berada di paling depan. Setidaknya tidak begitu jauh dari panggung. Sekitar 15 menit, personil The Solar naik ke panggung satu-persatu, membuat teriakan penonton semakin kencang, tidak terkendali. Lagu pembuka dan lagu-lagu andalan dinyanyikan. Semua penonton tampak antusias, meloncat-loncat.
Tanpa disadari Naya menikmatinya. Walau sama sekali tidak tahu lagu apa yang band itu bawakan , tapi Naya masih bisa menikmatinya hingga ia ikut berteriak.
"Gue ke belakang, kering nih." Naya mengelus.
Maria mengangguk sambil lanjut fokus dengan penampilan The Solar.
Sekuat tenaga Naya menembus barisan penonton yang berhasil membuat tubuhnya terasa terombang-ambil.
Akhirnya! Naya bergumam dalam hati sambil menghela napas. Dia segera mencari tempat duduk di paling belakang, sebuah kursi cafe yang bersandar pada dinding. Naya duduk, memijak pelan kakinya yang mulai terasa pegal. Dia tidak menyadari sudah berapa lama berdiri di sana. Tangan Naya merogoh saku rok selututnya. Wajahnya mulai mengeluarkan ekspresi panik. Dia berdiri, mengamati sekitar, melihat ke arah lantai demi lantai yang minim pencahayaan.
Seseorang menghampirinya, menyodorkan sebuah benda yang membuat hatinya lega.
"Thank you." Naya segera mengambil benda berbentuk persegi dengan layar yang menyala, memperlihatkan foto berduanya bersama Lukas.
"Untung nggak keinjek." Pria berambut sepanjang telinga itu membalas ucapannya.
"Iya ya." Naya mengulas senyum. Walau cewek di hadapannya menggunakan setelan fashion casual, jaket jeans biru, v-neck t-shirt, celana hitam lurus, juga sepasang sepatu boots kulit cokelat, Naya menyukai tampilannya.
Tidak jauh dari posisinya terdapat bar cafe. Naya memperhatikan bar tersebut dan langsung mendatanginya. Belum benar-benar melangkah, pria itu menarik bahunya pelan.
"Haus? Ayo bareng ke sana. Kamu nggak lihat di sini banyak cowok brengsek." Dia mendekati wajahnya ke telinga Naya supaya suara pelannya yang berlomba dengan suara musik terdengar jelas.
Naya mengangkat kedua bahunya dan menggeleng. "Ya ngapain juga? Jangan negatif thinking gitu, nggak baik."
"Soalnya kamu cantik, sih."
Sesaat satu kalimat itu berhasil membuat Naya terdiam. Wajahnya mulai memerah. Dia pun coba mengatur napasnya diam-diam.
"Nah, jadi lebih bahaya kamu, kan?" Naya membalasnya dengan sedikit canggung. Tidak tahu mengapa dia malah merasa lebih penasaran berharap pria di depannya itu membalas dengan semangat.
"Tapi kamu pasti lebih aman sama aku. Udah yuk, bareng aja ke sananya. Aku jagain." Dia mengulas senyum sambil mengayunkan tangannya ke arah bar.
Lagi-lagi Naya refleks tersenyum. Aroma pria itu membuatnya terhipnotis untuk sesaat. Blackberry campur musk, pikir Naya. Semakin posisi mereka dekat, semakin kuat tercium aroma khas itu.
Mereka memesan minuman dengan menu yang sama.
"Ngapain sih lihatin muka orang sampai kayak gitu?" Naya mengamati sorot mata hangat dari wajahnya.
Kembali senyumannya membuat Naya cukup terkagum. "Kamu cantik."
"Dih..." Naya tertawa singkat. Lama-lama dia merasa aneh.
"Kenalan dulu dong." Pria itu membuka telapak tangannya lebar. "Aku Evan."
"Naya." Tepat ketika Naya menyambut dan menempelkan telapak tangannya, Evan menariknya pelan, membuat tubuh mereka berhadapan dalam jarak lebih dekat. Naya kini bisa mencium aroma tubuh Evan lebih jelas dan menatap mata Evan yang menyiratkan sesuatu.
Tiba-tiba Naya merasakan geli pada perutnya, jantungnya pun berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajahnya terasa hangat dan memerah.
Evan semakin mendekatkan tubuh dan wajahnya. Sementara Naya mengatur napas dan mencoba mengembalikan kewarasannya.
"Hi, Naya cantik. Salam kenal."
.
.
Sambil mengunyah suapan daging bercampur nasi dan sayur, Naya memerhatikan wajah Evan. Ekspresi tenang yang tidak pernah lepas dari pria itu meski sedang dalam situasi tidak mengenakan memang selalu menghipnotis dirinya. Seperti saat ini, bisa saja ia masih menangis, entah menangis bodoh atau menangis karena tidak percaya. Pengkhianat yang justru mendapat pengkhianatan. Tetapi Evan berhasil membuatnya tenang. Pikirannya memang masih berkecamuk, tapi keberadaan Evan membuat ia sadar, berkhianat bisa jadi pilihan yang baik. Apalagi dalam kondisi seperti ini, munculnya persoalan Lukas dan wanita itu, juga fakta yang tiba-tiba saja muncul. Mungkin Tuhan sengaja mempertemukan ia dengan Evan. "Jadi, bisa kan kita lebih dari ini, Na?" tanya Evan sambil menatap mata Naya. Pertanyaan itu membuat Naya hampir mengeluarkan kunyahannya. "Maksud kamu?" "Kita menikah aja ya?" Evan tersenyum, senyuman dengan tatapan mata penuh kesungguhan. "Aku ingin kita benar-benar jadi satu. Nggak ada lag
Sama sekali tidak terbayang, Naya yang baru saja terluka, mendapatkan rasa perih yang sudah pasti akan lama terobati, saat ini mendapat kenikmatan yang membuatnya lupa akan rasa perih teraebut. Sekilas air mata Naya menggenang, kembali mengalir. Namun tangisan itu tidak datang dan langsung menghilang saat nafas juga aroma tubuh Evan kini menguasainya. "Kamu cantik banget, Na. Aku selalu kangen lihat ekspresi kamu kayak gini, suara kamu, desahan..." Evan masih memainkan jarinya. "Aku juga, aku selalu ingin lakuin ini sama kamu. Setiap hari. Ahhh.. Evan...." Naya menggelinjang, sebelum Evan memberi sentuhan dahsyatnya, ia sudah mendapat kenikmatan. Evan tersenyum puas, baginya, berhasil memberi kenikmatan pada Naya adalah satu pencapaian. Apalagi ia belum memainkan miliknya. Evan mengecup tubuh Naya, dari satu bagian ke bagian yang lain. Meninggalkan tanda. "Aahh... Hh.." Naya sangat menikmati. Entah karena ia sedang dalam kondisi sangat tidak baik, lalu mendapat kenikmatan d
Naya sudah mengajukan cuti dua hari ke kantor. Tidak mungkin datang ke kantor dengan mata bengkak, wajah kucel, dan tubuh lemas. Rasanya setengah jiwa masih mengambang entah di mana. Mungkin karena masalah kemarin belum selesai dan ada ujungnya. Sejujurnya, Naya masih penasaran dan ingin bertanya banyak tentang wanita bernama Hana. Wanita yang dijodohkan pada Lukas. Tapi sudah, cukup, Naya merasa bila ia tahu lebih dalam tentang wanita itu dan Lukas sama saja seperti sedang menyayat pergelangan tangan sendiri. Akan terasa sakit, jelas menimbulkan luka, dan bekas yang sulit hilang. Kedua tangan Naya memijat kepala, terlalu banyak nangis membuat kepalanya terasa tidak enak. Nyeri. Dia mengambil ponselnya, ada tiga missed call dari Lukas. Tepat ketika dia sedang membuka aplikasi chat, datang panggilan ke ponselnya. Evan. "Hi.." Nada suara Naya parau. "Aku di lobby. Boleh ke sana?" Informasi itu membuat Naya sedikit terkejut. "Aku lagi jelek," ucap Naya. Bagaimana bisa dia m
Hampir saja Naya menangis saat mendengar kalimat itu. Air matanya telah berkumpul di pelupuk, siap untuk terjun. Dia coba menahannya, membuat dadanya terasa sangat sesak. Ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya. Memang salah menghadapi kenyataan pahit ini dengan mengamuk? Naya masih menahan segalanya. Dia berharap secepatnya sampai di ruman.Pada akhirnya, Tuhan menunjukkan bahwa, semua manusia itu punya bakat buat jahat. Bukan hanya Naya yang berselingkuh dengan Evan, tapi Lukas juga mengkhianati dirinya lebih parah. Jauh lebih dulu, langkahnya lebih cepat. Bahkan sampai tidak terlihat. Yang ada, hanya hasil dari langkah-langkah itu, lubang dalam karena injakan sepatu yang tajam. Naya yang selama ini berusaha menutupi kehadiran Evan ternyata sama saja seperti Lukas yang berusaha menutupi adanya keluarga kecil, beserta kehidupannya yang kalau dipikir menjadi sangat asing. Konyol."Makasih lho." Naya berusaha baik-baik saja, meski tubuh, hati, dan pikirannya terasa remuk."Santai
Entah dari mana rasa sakit itu muncul kembali dalam hatinya. Meski ia belum benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, tapi kecurigaannya terhadap sosok anak kecil dalam pangggilan video yang baru saja dilihat mengarah pada hubungan Lukas dengan wanita bernama Hana.Naya memandangi langit yang mulai terang di luar sana. Dia menghela napas untuk kesekian kalinya. Cara Naya menenangkan diri walau tentu tidak bisa sepenuhnya. "Mau aku antar sekarang?" Tiba-tiba Lukas muncul, wajahnya tampak lebih tenang dari sebelumnya.Naya memegang dan memijat bahunya sendiri. "Kan aku udah bilang nggak usah.""Atau aku aja gimana? Kak Lukas jagain Kak Hana aja. Dia butuh kakak di sampingnya." Eva ikut menawarkan jasa. "Aku bawa mobil."Asing, tentu saja. Naya baru mengenal Eva sekian jam lalu, tapi perempuan yang terlihat lebih muda darinya itu sudah bersedia mengantar pulang. Tetapi sesi seperti ini tidak ingin Naya lewatkan begitu saja. Dia bisa mendapat lebih banyak informasi mengenai Hana dan Luk
Setelah hampir empat jam menghabiskan waktu di perjalanan, tanpa obrolan apapun, mereka sampai ke tujuan. Seorang gadis berambut pendek dengan pakaian casual terlihat berdiri di depan pintu ruang UGD.Naya memerhatikan gadis itu, wajahnya sangat menggambarkan rasa khawatir. Saat mengetahui Lukas telah datang, gadis itu sontak mendekati."Kak, Mbak Hana nggak apa-apa kok kata dokter. Cuma tetap harus dirawat dulu buat dipantau. Lagi nunggu kamar aja."Lukas menoleh ke pintu UGD. "Beneran nggak apa-apa?"Gadis itu mengangguk. "Udah sadar, tapi masih lemes banget.""Kakak dari mana? Kantor?" Dia lanjut bertanya sambil melihat Naya, lalu tersenyum."Dari luar kota. Oh iya, ini Naya." Lukas memperkenalkan Naya."Naya.""Eva. Temannya Kak Lukas?"Naya menelan ludah. Apa yang harus ia katakan? Naya hanya bisa mengangguk."Tadi gimana ceritanya? Dia ngapain? Minum obat asal-asalan atau gimana?" Lukas seolah mengalihkan pembicaraan."Iya, obat tidurnya sendiri. Kata dokter bikin badannya nggak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments