“Mama ... Mama ....”
Weni yang tengah tertidur, terbangun oleh suara kecil dan guncangan tangan kecil Rena di lengannya. Dengan mata yang masih berat, Weni mencoba membuka matanya.
“Ah ...,” rintih Weni saat merasakan pipinya yang sedikit perih.
Ia dengan berat hati mendudukkan tubuhnya dan menutup pipi yang terasa sakit dengan tangan dinginnya. Weni baru ingat apa yang terjadi semalam.
Matanya yang bengkak dan rambut yang berantakan, terpantul dari kaca meja rias di hadapannya. Weni menghela napas berat dan beranjak dari duduknya.
“Rena tunggu sini ya, Mama ke kamar mandi dulu.”
Weni mencoba tersenyum perlahan karena sudut bibirnya terasa sakit. Namun tangan kecil Rena justru mencegahnya, ia menunjuk ponsel yang berada di atas kasurnya.
“Itu, bunyi ....” Rena mencoba menjelaskan bahwa ponsel Weni terus berbunyi.
Weni dengan sigap mengambil ponselnya dan melihat yang di maksud Rena. Benar saja panggilan tak terjawab dan beberapa pesan muncul saat aplikasi yang digunakannya di buka.
Weni terkejut saat melihat semua telepon dan pesan di kirim oleh Hajoon. Belum sempat dirinya membalas salah satu pesan tersebut, panggilan video masuk dan tidak sengaja terangkat olehnya.
“Ada apa dengan wajahmu?”
Hajoon yang berada di seberang panggilan video langsung bertanya saat panggilan tersambung. Weni yang lupa akan kondisinya dengan segera menutup panggilan dan segera merapikan dirinya.
Beberapa kali panggilan kembali masuk, tapi Weni mengabaikannya dan memilih untuk merias dirinya. Ia merasa malu bila Hajoon tahu apa yang dilakukan Haris padanya.
“Rena lapar?” tanya Weni dengan tangan yang sibuk menutupi lukanya.
Rena mengangguk pasti dengan mata yang tak lepas dari mainannya. Weni menggendong Rena, setelah mengirim pesan singkat pada Hajoon.
‘Rena lapar, aku akan menelepon balik nanti.’
Begitulah isi pesan Weni, yang berakhir ponselnya ia lempar ke kasur. Dirinya hari ini malas untuk masak, jadi memutuskan untuk membeli makanan di luar.
“Mama, makan ayam.”
Rena menunjuk sebuah etalase ayam crispy yang biasa di belinya, tentu Weni kini bisa menyanggupinya.
“Mas, beli dua sama nasi ya.” Weni berbicara pada penjual ayam crispy tersebut.
“Saus atau sambal geprek Mbak Wen?” tanya si Mas-nya.
“Satu saus tomat, satu sambal Mas.” Weni mengeluarkan uang dan menaruhnya di etalase. “Mbak Linda mana?” tanya Weni melihat sekeliling dan tak menemukan Istri dari penjual ayam tersebut.
“Linda lagi pergi ke pasar,” jawabnya.
Weni hanya mengangguk mengerti. “Terima kasih ya Mas,” ucap Weni saat menerima kembalian.
“Sama-sama.”
“Mama, mau es.” Rena meronta untuk turun dan berlari ke warung yang kebetulan menjual es krim.
Weni hanya bisa menggeleng dan tak lama tersenyum, ia mengejar Rena yang sudah sibuk menggapai pintu chiller es krim.
“Rena mau yang mana?” tanya Weni seraya menggendong Rena kembali.
“Itu,” jawab Rena penuh semangat.
“Tumben keluar Mbak?” Suara yang sangat dikenal Weni, cukup mengejutkannya. Dengan segera ia menoleh ke arah suara tersebut.
“Kayla,” sebut Weni.
“Tante Kai,” seru Rena senang.
Kayla Darmawan atau biasa dipanggil Kay adalah Adik kandung Haris. Rumah kedua orang tua Haris tak terlalu jauh dari rumahnya, jadi sesekali pasti mereka akan bertemu.
Weni sendiri jarang datang ke rumah keluarga Haris, itu karena permintaan dari keluarganya. Mereka sangat terang-terangan menunjukkan ke tidak sukaannya pada Weni, jadi Weni hanya bisa menurut.
“Rena beli apa?” Kayla menyambut Rena yang minta di gendongnya.
“Es,” jawab Rena penuh semangat.
“Sudah makan?” Rena menggeleng saat Kayla kembali bertanya. “Mbak gimana sih? Mbak mau buat Rena sakit?” omel Kayla di hadapan beberapa orang yang juga ingin berbelanja.
Weni terdiam, ia ingin sekali menjawab apa yang dikatakan Kayla. Namun dirinya sangat tahu, apa yang akan terjadi bila dirinya menjawab.
“Kalau bisa, Rena suruh makan dulu Mbak Weni. Lagi pula sekarang cuca sedang tidak bersahabat, salah-salah nanti malah Anaknya sakit.”
Salah satu Ibu-ibu yang sedang berbelanja, melontarkan pendapatnya yang diikuti anggukan beberapa orang. Kayla tersenyum dan memeluk erat Rena, seakan menunjukkan rasa kasihannya.
“Saya ....”
“Mama pulang, Lena mau makan.” Rena mencoba menggapai Weni, melepaskan pelukannya pada Kayla.
Weni dengan senang hati menyambut Rena, hanya saja Kayla kembali menarik Rena ke pelukannya. Weni dan Rena terkejut bersamaan.
“Rena ikut Tante saja, kebetulan Tante habis bikin puding coklat kesukaan Rena.” Kayla mencoba membujuk Rena. “Nenek juga masak sup kesukaan Rena,” lanjutnya.
“Ikut!” seru Rena semangat.
“Mbak, Rena aku bawa ya.” Kayla meminta izin pada Weni.
Weni yang ditanya, mau tak mau mengangguk. Pasalnya semua orang yang berada di sekitar sudah berbisik-bisik, mengatakan dirinya tidak becus mengurus Anak.
Tak butuh waktu lama, Kayla dan Rena sudah pergi meninggalkan warung dengan motor meninggalkan Weni yang masih di pandang aneh.
“Lain kali masak makanan yang sehat, Mbak.” Seorang wanita lainnya, menyindir Weni.
Weni kembali tidak menggubrisnya dan memilih untuk mengambil beberapa es krim, membayarnya lalu pergi.
Sepanjang perjalanan dirinya merasa kesal, ingin sekali menimpali ucapan orang-orang tersebut. Hanya saja dirinya benar-benar lelah, ada banyak hal lain yang harus di pikirannya.
“Ngomong-ngomong urusan, aku lupa harus mengabari dia.” Weni menepuk keningnya dan berlari menuju rumahnya, tanpa memedulikan sekitarnya.
Sesampainya di rumah, ia segera mengambil ponsel dan mendapati banyak panggilan tak terjawab. Nomor itu bukanlah milik Hajoon, melainkan dari Bianca.
Weni sedikit mengabaikan panggilan tersebut dan membuka aplikasi chatting. Beruntung Hajoon tidak membombardir panggilan dan pesan lagi.
Ia pun melakukan panggilan video Dengan Hajoon, tidak lupa menggunakan earphone. Ia tak mau seseorang akan mendengar suara Hajoon.
Tidak butuh waktu lama, Hajoon mengangkat panggilan videonya. Terlihat Hajoon yang memakai setelan jas, menatap ke arah yang berbeda beberapa kali.
“Apa kamu sedang sibuk?” tanya Weni.
“Beri waktu aku lima menit, jangan tutup panggilannya.” Hajoon menatap layar dan mematikan microphone nya, membuat Weni tak bisa mendengar suara di sana.
Hajoon terlihat tengah menerima beberapa berkas, menandatanganinya dan kembali menyerahkan berkas tersebut pada seseorang di hadapannya.
“Maaf, ada beberapa pekerjaan yang harus aku kerjakan.” Hajoon melonggarkan dasinya dan sedikit merebahkan tubuhnya di kursi kerjanya yang terlihat nyaman. “Di mana Rena?” tanya Hajoon menatap layar dengan seksama.
“Dia bersama Adikku, tadi tidak sengaja bertemu di jalan.”
“Apa dia sudah makan?” tanya Hajoon kembali.
Weni hanya bisa tersenyum kecil, ia sangat suka saat Hajoon perhatian seperti sekarang. “Kamu sendiri sudah makan belum?” balas Weni sedikit menyindir.
Hajoon menggeser ponselnya sedikit menjauh dan menjatuhkan dagunya di atas meja dengan tumpuan kedua tangannya. “Aku malas makan,” ucapnya sedikit lesu.
“Sayangku harus makan, aku tidak mau kamu sakit.” Weni mengubah suaranya sedikit manja. “Kamu ....”
Belum sempat Weni menyelesaikan kalimatnya, ia terkejut dengan pergerakan tiba-tiba Hajoon. Posisinya yang sedikit menunduk kini duduk tegak, bahkan ponselnya ia ambil dan dekatkan.
“Kenapa wajahmu terluka tadi? Apa pria itu melakukan hal yang tidak baik padamu?” tanya Hajoon dengan wajah yang terlihat marah.
“Aku jatuh dan menabrak tembok, jadi ....”
“Itu bukan luka kamu terbentur, itu seperti luka pukulan atau tamparan.” Hajoon tidak mudah untuk dikelabui. “Katakan dengan jujur!” tegasnya yang membuat Weni justru terdiam.
Weni tanpa sadar menangis, melimpahkan segala perasaannya di hadapan Hajoon. Ia tak mengatakan apa pun dan hanya terus menangis.
Hajoon sendiri dengan perhatian menunggu Weni berhenti menangis, perasaannya entah mengapa terasa ikut sakit saat melihat Weni menangis.
***
“Maaf Pak, Anda harus menghadiri rapat.”Seorang wanita masuk setelah mengetuk pintu beberapa kali dan memberikan sebuah berkas pada atasannya. Atasannya menatap layar komputer dan kembali menatap jam tangannya beberapa kali.Ia memutuskan untuk mematikan microphone yang masih menyala dan menatap wanita yang merupakan Sekretaris pribadinya. “Beri aku waktu sepuluh menit,” ucapnya.“Baik,” ucap wanita yang memiliki nama Kim Dami.Pria itu kembali menyalakan microphone dan menatap seorang wanita yang tengah menangis di layar komputernya. Ia ingin berbicara, hanya saja dirinya takut wanita itu justru semakin menangis.“Maafkan aku Hajoon,” ucap wanita yang berada di seberang panggilan videonya.“Tidak apa-apa.” Hajoon tersenyum pada wanita di dalam layar yang bukan lain adalah Weni. Seorang wanita yang ia kenal dari sebuah aplikasi dan kini mulai mengisi hari-harinya.“Aku
Weni membuka pintu dan kembali menemukan seorang pria tengah berdiri di hadapannya. “Maaf Anda siapa?” tanyanya.“Ini benar rumah Ibu Anggara?” tanya pria itu, sementara Weni hanya bisa mengangguk. “Ini ada kiriman paket,” ucapnya seraya mengambil sesuatu dari dalam mobil yang terparkir di depan.Weni terdiam sejenak, ia merasa tidak pernah membeli barang. “Maaf, tapi saya tidak pernah membeli barang Online. Apa Mas tidak salah rumah?” tanya Weni sebelum menerima sebuah paper bag yang cukup besar.“Anda bisa melihat nama pengirimnya karena saya di pesan untuk tidak boleh menyebutnya.” Pria itu memberi paper bag tersebut pada Weni.Weni hanya bisa menerimanya dan melihat nama pengirim, yang di maksudnya oleh kurir tersebut. Betapa terkejutnya Weni saat nama Park Hajoon tertera di kertas tersebut.“Benar, ini milik I
Hari ini, seorang wanita tengah sibuk dengan pekerjaan tambahan yang diberikan. Semua karena keluarganya hari ini tengah mengadakan acara untuk menyambut pengiriman Anak pertama di keluarganya sebagai perawat di Australia.“Bangga banget punya anak kaya Helen,” ucap seorang wanita paruh baya pada wanita yang merupakan tuan rumah acara.Helen Anggara sendiri adalah Anak pertama yang akan menjadi Perawat di Australia. Anak yang selalu menjadi kebanggaan keluarganya yang notabene nya adalah keluarga Pegawai Negeri Sipil.“Anak kamu juga hebat, sudah jadi Karyawan tetap di Bank.” Ibu dari Helen kembali memuji temannya itu.Tak lama mereka pun saling tertawa, setelah memuji anak pertama mereka yang sukses. Tanpa melihat sedikit pada wanita yang tengah membantu di dapur, yang merupakan anak kedua dari tuan rumah.“Weni, sapa Ibu Dian.”
“Jaga ucapan kalian!” Ghana berdiri di hadapan kedua orang yang sejak tadi asyik membicarakan Bianca maupun Weni. Hal itu mampu menarik perhatian semua orang yang ada di ruangan, tanpa terkecuali sang tuan rumah. “Apa pantas wanita terhormat dan berkelas membicarakan seseorang sampai seperti itu?” ucap Ghana kembali penuh penekanan. Bianca dengan segera menghampiri Ghana, mencoba menahan Ghana yang tengah meluapkan kekesalannya. Bianca sangat tahu bagaimana bila Ghana sampai benar-benar marah. “Maafkan kami, kami hanya ....” “Ghana, mereka tidak bermaksud mengatakan hal itu.” Helen segera memotong pembicaraan salah satu wanita dan mendekati Ghana, mencoba menetralkan keadaan. “Maafkan mereka,” bisik Helen dengan sedikit memohon. “Iya, katanya kamu ingin bermain sama Rena. Ayo,” ajak Bianca segera membawa Ghana mendekat pada Weni yang tengah terdia
Makan telah usai, tapi Weni dan juga Bianca tak juga kunjung membuka pembicaraan. Mereka hanya sibuk makan dan berkutat dengan pikiran mereka sendiri, hingga tanpa sadar mereka sudah menyelesaikan makanan mereka.“Terima kasih banyak, Bia.” Weni merapikan bungkusan makanannya dan menjadikan satu di dalam plastik sampah.“Sama-sama, ini bukan hal yang patut mendapatkan ucapan terima kasih.”Bianca tersenyum dan ikut melakukan hal yang sama seperti Weni, kebisuan kembali terjadi di antara mereka. Hingga akhirnya kebisuan mereka terisikan oleh tawa Rena dan Ghana yang baru saja datang.“Mama!” seru Rena saat pintu mobil di buka oleh Weni.Rena melepaskan pegangan tangannya dari Ghana dan berlari sekuat mungkin menuju tempat Weni berdiri. Dengan sigap Weni merentangkan tangannya dan menyambut pelukan Rena, Ghana dan Bianca yang melihatnya tersenyum
[Apa harimu menyenangkan?][Kenapa tadi kamu langsung memutus, sambungan video?][Kabari aku, bila kamu sudah selesai.][Jangan lupa untuk makan dan istirahat.]Weni tengah membaca semua pesan yang baru sempat ia baca, setelah kemarin dirinya sangat lelah dan langsung tertidur begitu sampai rumah. Beruntung Haris tidak membuat ulah, ia juga langsung pulang begitu sampai.Jadi Weni punya waktu untuk beristirahat dan baru bangun awal pagi, sebelum matahari terbit. Sekarang pun pekerjaannya sudah selesai, hingga dirinya memiliki waktu untuk sendiri setelah Haris berangkat kerja.Sementara anak semata wayangnya yang biasanya sudah bangun, untuk hari ini tertidur pulas. Hal itu biasa terjadi pada Rena, bila mereka bepergian jauh atau pergi ke acara yang memakan cukup waktu dan tenaga.Jadi Weni membiarkan anaknya untuk tidur cukup lama dan mem
“Kalian, apa yang kalian lakukan?” tanya Weni setlah berdiri tepat di hadapan keduanya.“Kamu kenapa?” tanya Haris dengan tatapan yang sudah tidak enak.Aurel yang melihat keadaan itu segera menjaga jarak dengan Haris, ia juga menjauh dari pintu kamar. “Aku bisa tidur di luar,” ucapnya dengan segera.“Bagaimana bisa aku membiarkanmu tidur di sofa?” Haris menatap Aurel dengan sedikit penekanan. “Kamu tidur dengan Weni, sementara aku tidur dengan Rena, Bukankah itu benar?” ucap Haris dengan tatapan yang sedikit mengintimidasi Weni.Weni yang baru sadar akan perbuatannya, segera mendekati Aurel dan membawanya masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Haris seorang diri di luar kamar.“Maaf, aku hanya sedang memikirkan hal lain.” Weni mempersilahkan Aurel duduk di kasurnya. “Aku ....”&l
Pagi menjelang, kesibukan mulai terjadi di kediaman Weni dan juga Haris. Hal yang sama juga terjadi di kediaman keluarga Haris, semua sibuk menyiapkan segalanya.Hari ini mereka akan pergi jalan-jalan tanpa Weni. Ya, tanpa Weni. Meski seperti itu, Weni tetap membantu segala persiapan karena Rena pun ikut bersama mereka.Aurel yang berada di rumah Weni pun berkali-kali meminta maaf atas apa yang terjadi, bahwa keluarga dari Aurel-lah yang tak menginginkan dirinya ikut pergi bersama mereka. Weni pun beberapa kali mengatakan segalanya tak apa.Meski sebenarnya ia merasa hancur, tersingkirkan, dan merasa tidak dihargai oleh semua orang. Dirinya mencoba untuk tetap menerima semua itu dengan lapang dada, beruntung Haris masih mengingat Rena untuk ikut bersama mereka.“Semua keperluan Rena sudah siap,” ucap Weni dengan memberikan dua tas keperluan Rena pada Aurel.Aurel mene