Weni terbangun dengan cukup kaget, mengingat kamar yang semula terlihat gelap kini sangat terang. Tangannya segera meraba nakas, mencari keberadaan ponselnya untuk mengetahui jam berapa sekarang.Namun tak lama pergerakannya tertahan, ada tangan besar yang kini menariknya untuk kembali tidur. Bahkan tangan itu kini memeluknya erat dengan balutan selimut tebal.“Kamu tidak bekerja?” tanya Weni menyerah saat tubuh hangat sang pemilik tangan kini bisa ia rasakan.“Aku ambil cuti hari ini.”“Bukannya kamu sedang banyak pekerjaan?” Weni melepaskan pelukan sang pria, membalik tubuhnya dan menatap pria yang selalu membuatnya terpesona itu. “Aku Ngga mau kamu sering mengabaikan pekerjaan karena aku,” tutur Weni memegang wajah tampan kekasihnya, Hajoon.Hajoon tersenyum, ia menghilang di dekapan Weni. Menghirup wangi tubuh Weni yang tembus oleh selimut tebal yang melilit tubuh kecil wanitanya. Rasanya sudah la
"Bisa tidak kamu usaha seperti yang lain?" Suami yang harusnya membimbing istrinya dan menafkahinya, justru menyudutkan sang istri. Sebanyak apapun pekerjaan yang dilakukan sang istri tak ada harganya di mata sang suami. "Aku sudah mencari pekerjaan, tapi tak juga ada yang memanggilku." Sang istri mengatakan kebenarannya, ia terus mencari pekerjaan hanya saja tak kunjung mendapat panggilan. Jadi dia hanya bisa di rumah mengurus anak semata wayangnya dan juga rumah yang memang tak besar. "Kalau hanya mengandalkan gajiku saja itu tidak cukup, mau sampai kapan kita seperti ini?" Sang suami berlalu pergi untuk bekerja, tak ada salam pamita
Weni kembali mengisi harinya dengan rutinitas yang terus ia jalani beberapa tahun ini. Meski terkadang lelah dan penat, Weni sangat tahu posisinya. "Mama, aku mau es." Rena menarik baju Weni, saat Weni membawanya untuk berbelanja kebutuhan. Weni yang berniat membeli sesuatu yang diinginkannya, kembali mengenyampingkan hal itu dan membeli apa yang diinginkan Rena. "Rena mau yang mana?" sambil menggendong tubuh kecil Rena, Weni membuka chiller es krim. "Ini," ucapnya dengan menunjuk es krim yang cukup mahal. "Kalau yang ini mau tidak?" Rena mencoba mengalihkan ke es krim yang memiliki rasa yang sama, tapi lebih murah.
"Mas, bisa tolong bantu aku bermain sebentar dengan Rena?" Weni meminta tolong Haris yang tengah bermain ponselnya dengan televisi yang menyala.Hari ini adalah hari libur Haris, sejak pagi Haris terus bermain ponselnya. Sementara Weni, ia sudah sibuk sejak matahari mulai terbit.Pekerjaan yang sama terus ia lakukan setiap harinya, tapi itu adalah kewajibannya. Meski terkadang penat, kodratnya sebagai seorang Istri membuatnya tak bisa menolaknya."Aku ini sedang libur, aku ingin beristirahat. Bukankah itu wajar?" Haris menatap tajam Weni, menolak dibalik ucapannya.Weni terdiam, dia butuh Rena ditemani Haris. Tapi lagi-lagi dirinya harus mengurus anaknya dan juga mengurus rumah secara bersamaan."Mama …."Tangan kecil Rena yang menarik tangannya, membuyarkan lamunannya. Rasa kesal dan sakit hati yang dirasakan berangsur reda, terlebih saat Rena t
"Makanlah dahulu." Weni menahan Haris yang ingin langsung berangkat bekerja, padahal Weni sudah memasak sejak pagi. Bahkan ia sudah membuatkan kopi, yang biasa menjadi rutinitas sang suami. "Aku sudah telat," elak Haris. "Ini masih jam berapa Mas, kamu …." "Aku sudah bilang telat, ya telat." Haris menepis tangan Weni yang tadi sempat menahannya. Ia bahkan tak mengecup kening dan memberi salam seperti dulu, saat awal dirinya menikah. Weni yang kecewa, mengambil kopi yang dibuatnya dan meminumnya. Ia tidak nafsu makan belakangan ini, kopilah yang membuatnya sedikit tenang.
"Bagus, kamu melakukannya dengan baik." Haris menerima uang dari Weni tanpa bertanya dari mana uang itu berasal. Ia hanya menerima uang itu dan tersenyum, mengusap kepala Weni. Hal yang selama ini sudah lama ditinggalkannya, bahkan Weni sudah lupa terakhir Haris menyentuhnya. Haris hanya menyentuhnya bila ia meminta berhubungan intim saja, saat dia terpuaskan dia akan tidur kembali. Tak ada sentuhan perhatian seperti sekarang dilakukannya, Haris mengusapnya lembut dengan penuh kasih sayang. Hanya saja Weni tetap merasakan hampa dan kosong. "Aku akan membayarkan uang ini," ucap Haris dengan membawa uang itu bersamanya. "Hati-hati di jalan."
“Mama ... Mama ....”Weni yang tengah tertidur, terbangun oleh suara kecil dan guncangan tangan kecil Rena di lengannya. Dengan mata yang masih berat, Weni mencoba membuka matanya.“Ah ...,” rintih Weni saat merasakan pipinya yang sedikit perih.Ia dengan berat hati mendudukkan tubuhnya dan menutup pipi yang terasa sakit dengan tangan dinginnya. Weni baru ingat apa yang terjadi semalam.Matanya yang bengkak dan rambut yang berantakan, terpantul dari kaca meja rias di hadapannya. Weni menghela napas berat dan beranjak dari duduknya.“Rena tunggu sini ya, Mama ke kamar mandi dulu.”Weni mencoba tersenyum perlahan karena sudut bibirnya terasa sakit. Namun tangan kecil Rena justru mencegahnya, ia menunjuk ponsel yang berada di atas kasurnya.“Itu, bunyi ....” Rena mencoba menjelaskan bahwa ponse
“Maaf Pak, Anda harus menghadiri rapat.”Seorang wanita masuk setelah mengetuk pintu beberapa kali dan memberikan sebuah berkas pada atasannya. Atasannya menatap layar komputer dan kembali menatap jam tangannya beberapa kali.Ia memutuskan untuk mematikan microphone yang masih menyala dan menatap wanita yang merupakan Sekretaris pribadinya. “Beri aku waktu sepuluh menit,” ucapnya.“Baik,” ucap wanita yang memiliki nama Kim Dami.Pria itu kembali menyalakan microphone dan menatap seorang wanita yang tengah menangis di layar komputernya. Ia ingin berbicara, hanya saja dirinya takut wanita itu justru semakin menangis.“Maafkan aku Hajoon,” ucap wanita yang berada di seberang panggilan videonya.“Tidak apa-apa.” Hajoon tersenyum pada wanita di dalam layar yang bukan lain adalah Weni. Seorang wanita yang ia kenal dari sebuah aplikasi dan kini mulai mengisi hari-harinya.“Aku