Weni membuka pintu dan kembali menemukan seorang pria tengah berdiri di hadapannya. “Maaf Anda siapa?” tanyanya.
“Ini benar rumah Ibu Anggara?” tanya pria itu, sementara Weni hanya bisa mengangguk. “Ini ada kiriman paket,” ucapnya seraya mengambil sesuatu dari dalam mobil yang terparkir di depan.
Weni terdiam sejenak, ia merasa tidak pernah membeli barang. “Maaf, tapi saya tidak pernah membeli barang Online. Apa Mas tidak salah rumah?” tanya Weni sebelum menerima sebuah paper bag yang cukup besar.
“Anda bisa melihat nama pengirimnya karena saya di pesan untuk tidak boleh menyebutnya.” Pria itu memberi paper bag tersebut pada Weni.
Weni hanya bisa menerimanya dan melihat nama pengirim, yang di maksudnya oleh kurir tersebut. Betapa terkejutnya Weni saat nama Park Hajoon tertera di kertas tersebut.
“Benar, ini milik Ibu?”
Weni mengangguk dan tersenyum. “Benar Mas, terima kasih.”
Kurir tersebut segera pergi setalah Weni memberikan tanda tangan untuk tanda terima. Ia segera masuk dan kembali mengunci rumah.
Weni tidak langsung membukanya, ia lebih dulu mengambil ponsel dan menghubungi nomor orang yang memberinya paket tersebut. Tidak butuh waktu lama, panggilan segera terhubung.
“Hadiahnya sudah kamu terima?” tanya pria di seberang panggilan video.
“Benar ini dari kamu?” Weni balik bertanya.
“Hm, untuk sedikit menghiburmu.” Hajoon mengangguk dan menatap dalam Weni. “Kamu sudah membukanya?” tanya Hajoon kembali.
Weni menggeleng, ia mengambil paper bag tadi dan menaruhnya di meja. Ponselnya ia gunakan tripod agar bisa terlihat.
“Aku ingin membukanya bersamamu,” ucap Weni dengan penuh haru. Rasanya sudah lama dirinya tak mendapatkan sebuah hadiah untuk dirinya sendiri.
Hajoon hanya mengangguk dan mengamati Weni membuka hadiah yang dibelinya. Sebuah kotak yang cukup besar kini berada di hadapan Weni setelah dikeluar dari paper bag.
“Aku akan membukanya.” Weni memperingatkan Hajoon, lalu membuka kotak besar tersebut.
Betapa terkejutnya Weni dengan apa yang berada di hadapannya kini. Weni bahkan tak bisa berkata apa pun, terlebih saat mengingat dirinya baru saja mengenal Hajoon.
“Bagaimana kamu tahu ini semua?” tanya Weni dengan tatapan yang tak bisa lagi membendung air mata kebahagiaan.
“Bukannya kamu yang bilang sendiri, suka akan hal itu. Aku hanya sedikit mewujudkannya, apa kamu suka?” tanya Hajoon dengan wajah yang sedikit mendekat ke layar.
“Terima kasih, aku sangat-sangat suka.”
Weni mengambil isi di dalam kotak yang merupakan perlengkapan melukis. Ya, melukis. Weni sebenarnya sangat lihai dalam melukis, sayangnya keluarga Weni tak menyukainya hingga membuat Weni mengubur impiannya.
“Padahal kita belum ada sebulan kenal, bagaimana kamu bisa terus memanjakanku seperti ini?” Weni menatap Hajoon yang cukup dekat dengan layar, hingga ia bisa menatap mata indah Hajoon.
“Cukup lakukan hal yang sudah menjadi kesepakatan kita, itu sudah sangat membantuku.”
“Maaf, semalam aku lupa mengirimkan foto yang seharusnya menjadi rutinitas.”
Weni baru teringat kesalahannya, ia merasa sangat bersalah kini. Terlebih setelah mengingat segala hal yang sudah di lakukan Hajoon untuk dirinya.
“Aku memakluminya, tapi jangan sampai terulang kembali ya.”
Weni mengangguk keras, ia berjanji pada dirinya sendiri akan melakukan hal yang memang sudah menjadi perjanjian mereka. Weni tidak ingin kembali mengecewakan Hajoon yang selama ini sudah sangat baik padanya.
“Bagus, tunjukkan juga hasil karyamu. Aku ingin melihatnya,” ucap Hajoon kembali.
“Sebenarnya aku malu, tapi aku akan mengirimkannya untukmu.” Weni tersenyum dengan malu dengan tatapan yang terpaku pada isi kotak tersebut.
Namun tatapannya teralihkan oleh sebuah kotak kecil lainnya yang sedikit kontras dengan warna merah muda, berbeda dengan kotak cat air dan alat gambar yang berwarna lebih gelap.
Weni mengambil kotak itu dan membukanya, terlihat ada beberapa coklat di sana. Hal itu membuat pandangan Weni teralihkan kembali ke Hajoon.
“Ini ....”
“Untukmu, makanan manis cocok untukmu. Niatnya aku ingin memberikan yang lain, tapi takut kamu tidak menyukainya.” Hajoon menjelaskan panjang lebar, tanpa memperhatikan Weni yang tengah terdiam. “Kamu tidak suka?” tanyanya lagi.
Sudut mata Weni kembali mengalirkan setetes air mata, ia segera menghapusnya. Weni tersenyum lebar pada Hajoon, benar-benar merasa beruntung bertemu dengannya.
“Tidak, aku suka. Terima kasih,” ucap Weni dengan senyuman lepasnya.
“Sama-sama, aku senang melihatmu tersenyum seperti sekarang.” Hajoon ikut tersenyum. “Kita lanjutkan dengan chat ya, ada beberapa pekerjaan menungguku.”
Weni mengangguk, menyetujui apa yang dikatakan Hajoon. Panggilan pun terputus, menyisakan suara hening di ruangan Weni.
Weni menatap semua yang ada di hadapannya, merasakan getaran hebat di hatinya. Sejak dulu ia bahkan tak pernah mendapatkan hadiah dari orang tuanya dan kali terakhir ia mendapat hadiah hanya dari Haris saat pacaran.
“Apa aku pantas mendapatkannya?”
Lagi dan lagi, perasaan itu kembali menghampirinya. Namun, belum sempat ia kembali berpikir sebuah pesan masuk di ponselnya.
[Tolong kirimi fotomu yang kemarin tertunda.]
Pesan Hajoon lah yang membuatnya segera membuka pesan. Weni pun langsung merias dirinya, menggunakan pakaian layak dan memfoto seluruh tubuhnya.
Kemarin adalah hari dirinya harus mengirimkan foto full body pada Hajoon. Tentu Weni tak keberatan karena itu hanya foto biasa, dengan pakaian yang biasanya.
[Terima kasih, selamat beristirahat.]
Hajoon kembali membalas pesan setelah dirinya mengirim fotonya. Weni segera mengganti pakaian kebangsaannya yaitu daster dan kembali membersihkan rumah.
**
“Mama ....”
Rena yang baru pulang langsung memeluk Weni, Weni tersenyum saat menerima pelukan Rena. Namun tak lama pudar saat melihat Haris datang bukan hanya dengan Rena, tapi juga Ratna.
“Rena, mau bobo.”
Rena mengeluh pada Weni dan merebahkan kepalanya di bahu Ibunya. Weni menepuk-nepuk punggung Rena dan membawanya ke kamar setelah dirinya Salim pada Ratna.
Tidak butuh waktu lama Rena tertidur, Weni pun keluar kamar dan menyiapkan minuman untuk Haris dan Ibunya. Setelah menyuguhkan minuman hangat, Weni duduk di sofa terpisah dari keduanya.
“Apa pantas kamu tidak membalas pesan dari Ibu?” Haris mulai angkat bicara. “Apa kamu juga tidak terima uang itu digunakan oleh Ibu?” lanjutnya.
“Bukan begitu Mas, aku ....”
“Ibu kesini mau minta maaf. Kamu tahu sendiri Haris adalah anak pertama di keluarga, sedangkan Kayla baru saja lulus.” Ratna menatap sayu pada Weni. “Sementara Bapak sudah tidak bekerja, jadi kalau bukan Haris. Siapa lagi yang bisa Ibu minta tolong?” lanjutnya.
Weni terdiam seribu bahasa, tak mampu mengatakan apapun walau hatinya ingin sekali angkat bicara. Terlebih saat Haris kini menatapnya tajam, seakan meminta dirinya untuk meminta maaf.
Weni menarik napasnya dan menahan segala gejolak perasannya. “Maafkan Weni juga Bu, Weni tidak bermaksud apa-apa.”
“Weni sudah minta maaf Bu. Ibu jangan memikirkan itu lagi ya, Haris tidak mau Ibu sakit.”
Haris memegang kedua tangan Ibunya dengan lembutnya, menatap penuh perhatian pada sang Ibu. Weni kembali menghela napasnya dan menetralkan perasaannya.
Tidak butuh waktu lama Ratna pergi setelah di jemput oleh Kayla, sebelum pergi Kayla juga melontarkan tatapan kesal pada Weni. Pintu rumah pun di tutup, dunianya dan Haris kini di mulai.
“Apa karena kamu sudah bisa mencari uang, kamu pantas bersikap seperti itu pada Ibu?” Haris memulai pertengkaran.
“Mas, katanya kamu tidak punya uang. Padahal kami sudah mengirit agar bisa membayar motor itu, kamu ....”
Plak!
Satu tamparan kembali mendarat di pipi Weni yang baru saja pulih. Rasa panas kembali merajai pipinya, darah segar kembali mengalir.
“Apa hanya ini yang bisa kamu lakukan sekarang?” Weni berbicara dengan air mata yang sudah mengalir.
“Istri yang keluar dari jalur, bukannya harus dibenarkan? Kamu sudah sangat membangkang sekarang,” ucap Haris seraya pergi masuk ke dalam kamarnya.
Weni terdiam, bukan pipi yang ia pegang melainkan dadanya. Rasanya hatinya lebih sakit dibandingkan tamparan yang baru saja di terimanya.
***
Weni terbangun dengan cukup kaget, mengingat kamar yang semula terlihat gelap kini sangat terang. Tangannya segera meraba nakas, mencari keberadaan ponselnya untuk mengetahui jam berapa sekarang.Namun tak lama pergerakannya tertahan, ada tangan besar yang kini menariknya untuk kembali tidur. Bahkan tangan itu kini memeluknya erat dengan balutan selimut tebal.“Kamu tidak bekerja?” tanya Weni menyerah saat tubuh hangat sang pemilik tangan kini bisa ia rasakan.“Aku ambil cuti hari ini.”“Bukannya kamu sedang banyak pekerjaan?” Weni melepaskan pelukan sang pria, membalik tubuhnya dan menatap pria yang selalu membuatnya terpesona itu. “Aku Ngga mau kamu sering mengabaikan pekerjaan karena aku,” tutur Weni memegang wajah tampan kekasihnya, Hajoon.Hajoon tersenyum, ia menghilang di dekapan Weni. Menghirup wangi tubuh Weni yang tembus oleh selimut tebal yang melilit tubuh kecil wanitanya. Rasanya sudah la
Weni menatap ruangan yang cukup sepi saat siang hari, Rena tengah tertidur siang dan ia baru saja menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Tak banyak yang dilakukan di kediaman Hajoon karena ada seorang Wanita paruh baya yang membantunya pada pagi hari dan ia akan menyelesaikannya sisanya.Bahkan kegiatan berbenah sangat mudah karena ada alat-alat yang cukup canggih untuk membersihkan rumah. Weni cukup sedikit kesulitan pada awal pengoperasian alat-alat canggih itu, beruntung Wanita paruh baya yang Bernama Bibi Jang sangat membantunya, meski mereka berbicara dengan Bahasa Korea yang minim.“Apa yang harus aku lakukan lagi?” gumam Weni menyalakan Televisi di hadapannya.Beruntung saluran TV tidak hanya berbahasa Korea, banyak penayangan film luar dan acara-acara yang berbahasa Inggris. Weni sedikit terhibur, hanya saja tetap ada rasa bosan tersendiri untuknya.Hal itu terus berulang sampai tak terasa sudah seminggu lamanya ia berada di negeri orang. Hal yang sangat menghibur bagi Weni ada
Weni menatap wanita bak bidadari tepat di hadapannya, wanita dengan wajah yang kecil dan cantik. Kulit putih bersih, bibir yang tipis, rambut sebahu yang indah terurai.Bahkan saat wanita itu mendekat wangi lembut semerbak mengisi indra penciuman Weni. Semua kepercayaan diri Weni hancur luluh lantah tepat di saat wanita itu duduk di dekatnya.“Maaf membuatmu terkejut akan kehadiranku,” ucap Yerim untuk membuka pembicaraan di antara mereka.Weni tak menjawab, ia bingung, kesal, marah, rendah hati, dan merasa minder. Semua perasaan itu akan meledak, andai Weni membuka mulutnya. Ia menahan segalanya, berharap masih bisa mempertahankan harga dirinya.Weni sepenuhnya tahu bahwa dirinyalah yang salah, ia yang berselingkuh. Weni bisa merasakan posisi Yerim, karena belum lama itu adalah posisinya.“Aku dan Hajoon bertunangan bukan karena cinta.” Yerim cukup fasih dengan bahas Inggris, jadi Weni bisa mengerti ucapannya. “Kami bertunangan karena aku sakit, Hajoon menerimanya begitu saja. Tapi s
Weni menatap langit yang berbeda dari langit yang biasa menemani hidupnya selama ini. Udara yang cukup dingin menerpa wajahnya, memberikan kesejukan yang berbeda.“Mamah, ini dimana?”Weni berjongkok dan memakaikan syal pada leher Rena agar anak semata wayangnya itu tak sakit dengan perubahan cuaca yang tiba-tiba. “Kita sedang berada di negara yang Bernama Korea Selatan,” jawab Weni.“Apa?”Rena menatap tak mengerti, ia bahkan sedikit mengernyitkan keningnya karena tak mengerti. Namun belum sempat Weni kembali menjelaskan, tangan besar nan kokoh sudah mengambil alih Rena darinya dan menggendong tubuh kecil Rena dengan erat.“Rena sekarang ada di tempat Om dilahirkan.” Hajoon menjelaskan dengan singkat dan di terima dengan cepat oleh Rena. “Apa Rena senang berada di tempat kelahiran Om?” tanya Hajoon dengan membawa Rena dan Weni ke sebuah mobil yang terparkir.Mereka masuk ke dalam mobil yang cukup bagus, bahkan saat masuk ke dalamnya Weni bisa merasakan kemewahan mobil itu. Bahkan so
Weni menghembuskan napasnya dalam, melangkahkan kakinya dengan pasti. Setelah ia keluar dari gedung tempatnya berada, kehidupan dan status baru kini di sandangnya.‘Janda’Ya, kini statusnya berubah dari seorang ‘Istri’ menjadi seseorang ‘janda’. Wanita yang telah bercerai dengan suaminya secara sah.Pengadilan memutuskan menerima gugatannya, begitu juga hak asuh sepenuhnya menjadi miliknya. Weni cukup merasa puas, meski ada rasa yang sedikit tertinggal kala semua diputuskan.Wajah Haris yang ia pikir akan sedikit menyesal, justru menunjukkan rasa senangnya. Bahkan salam perpisahan dengan menjabat tangan dilakukannya dengan senang hati.“Sudah selesai?”Suara berat yang kini lebih banyak menyita pikirannya, sukses membuat Weni terkejut. Bahkan ia terlihat seperti baru saja bertemu hantu.Pria tinggi nan tampan dengan gagahnya berdiri di hadapan Weni, ia seakan menanti kehadiran Weni sejak tadi. Bahkan wajah sang pria seakan menunggu kepastian yang sudah beberapa bulan ini di t
Weni yang tak menau isi perjanjian ikut terkejut. Matanya kini teralihkan menatap pengacara wanita di sampingnya, dirinya juga butuh penjelasan.“Setelah bercerai, semua hubungan akan terputus baik dengan Istri atau Anak.” Pengacara itu berbicara dengan tegas, Weni dan Haris menatap dengan penuh penolakan. “Hal ini dimaksudkan agar tidak ada ancaman yang akan merugikan pihak mana pun.”“Wah, aku tidak tahu kalau kamu segila ini.” Haris menatap Weni dengan rendah. “Kamu dengan teganya memisahkan seorang Anak dan Ayah,” sindir Haris.“Aku ....” Weni merasa bersalah.“Baiklah, lagi pula ini semua menguntungkanku. Aku juga bisa memiliki anak lainnya dari kekasihku.” Dengan yakin Haris menandatangani surat itu, yang membuat kekecewaan besar pada hati Weni. “Ini, aku kembalikan.”Haris mengeluarkan ponsel di sakunya dan menaruh di meja, ponsel yang ia ambil untuk bisa menghubungi Hajoon. “Urus semua hingga tuntas, aku tidak mau mengeluarkan sedikit pun uang.”“Kamu benar-benar menerima uan