Hari ini, seorang wanita tengah sibuk dengan pekerjaan tambahan yang diberikan. Semua karena keluarganya hari ini tengah mengadakan acara untuk menyambut pengiriman Anak pertama di keluarganya sebagai perawat di Australia.
“Bangga banget punya anak kaya Helen,” ucap seorang wanita paruh baya pada wanita yang merupakan tuan rumah acara.
Helen Anggara sendiri adalah Anak pertama yang akan menjadi Perawat di Australia. Anak yang selalu menjadi kebanggaan keluarganya yang notabene nya adalah keluarga Pegawai Negeri Sipil.
“Anak kamu juga hebat, sudah jadi Karyawan tetap di Bank.” Ibu dari Helen kembali memuji temannya itu.
Tak lama mereka pun saling tertawa, setelah memuji anak pertama mereka yang sukses. Tanpa melihat sedikit pada wanita yang tengah membantu di dapur, yang merupakan anak kedua dari tuan rumah.
“Weni, sapa Ibu Dian.”
Tuan rumah yang merupakan Ibu dari Weni, meminta Weni untuk menyapa wanita paruh baya yang sejak tadi di ajak mengobrol. Atau lebih tepatnya yang sejak tadi berbicara tentang kelebihan anak pertamanya dan kekurangan anak keduanya.
Weni dengan berat hati menghampiri kedua wanita yang berumur tidak berbeda jauh satu sama lain. Meski ia merasa berat hati, tapi dirinya tetap harus memasang wajah yang tersenyum seolah tak mendengar apa pun yang di katakan mereka.
“Salam kenal Ibu, saya Weni anak kedua.” Weni merendahkan suaranya meski ia sebenarnya ingin menekan kalimat anak kedua.
“Ah, kamu yang sudah menikah itu ya?” Wanita bernama Dian itu tersenyum seolah merendahkan, bahkan tatapannya seakan mengejek.
Ibu Weni yang bernama Tari ikut menatap Weni dengan tatapan yang tak kalah merendahkan, alih-alih membantunya. Weni hanya bisa mengangguk pelan, menjawab pertanyaan yang di lontarkan wanita bernama Dian tersebut.
“Ayo aku antar ke Helen,” ucap Tari dengan menggiring Dian menjauh dari Weni.
Weni menahan perasaannya kembali, ia mulai kembali menyibukkan dirinya dengan beberapa pekerjaan yang ada. Ia juga sesekali melihat Rena yang tengah asyik main sendiri di ruangan yang tak jauh darinya.
“Hai, Rena.” Tiba-tiba sebuah sapaan terdengar, suara yang sangat Weni kenal.
“Bianca?” sebut Weni saat melihat siapa yang menyapa anaknya, bahkan sekarang tengah menggendong Rena.
Bianca tersenyum seraya menghampiri Weni yang bersiap mendekatinya, mereka berpelukan dan saling bertanya kabar. Weni tersenyum saat menyadari seorang pria yang kini berdiri di belakang Bianca.
“Kenalkan, dia Suamiku. Ghana,” ucap Bianca memperkenalkan pria tinggi di belakangnya.
“Weni,” sambut Weni dengan senyuman yang pantas.
“Aku tidak menyangka kamu adik dari Helen.” Bianca membuka suara saat Suaminya kembali berbaur di kerumunan tamu. “Kenapa kamu tidak pernah cerita?” lanjut Bianca sesekali menggoda Rena.
Weni terdiam sesaat, bingung untuk menjelaskannya pada Bianca. Terlebih saat dirinya mengingat seperti apa Helen, bahkan Kakak satu-satunya itu tak pernah menganggap dirinya Kakak.
“Itu ....”
“Bianca?”
Wanita yang baru saja dibicarakan datang dengan senyuman terukir di wajah cantiknya, ia menyapa Bianca dan saling berpelukan menandakan betapa dekatnya mereka.
“Kamu tahu? Weni adalah teman satu sekolahku, kenapa kamu tak pernah bilang punya adik?” tanya Bianca seraya menarik tangan Weni dengan sangat akrabnya.
Helen menatap Weni sekilas dan tak lama tersenyum ramah, senyum yang tak pernah diberikan Kakaknya itu pada dirinya. Weni mau tak mau juga ikut tersenyum untuk memperlihatkan bahwa mereka baik-baik saja.
“Kami sibuk dengan hal masing-masing, jadi terkadang tak sempat untuk melakukan hal lain.” Helen menjawab Bianca dengan pernyataan yang menurut Weni tak masuk akal.
Bianca yang peka, seakan mengerti bagaimana hubungan kedua bersaudara itu. ‘Hal lain’ yang dimaksud Helen, sudah dipastikan adalah menjalani hubungan antara dia dan juga Weni.
Hal yang kontras juga baru di rasakannya, terlihat dari pakaian Weni yang biasa saja sementara keluarganya berpakaian rapi. Bahkan Weni saat ini tengah sibuk mengurus beberapa pekerjaan padahal ada beberapa pelayan di sana.
“Kamu benar, aku juga kini sibuk sampai terkadang lupa kalau punya saudara laki-laki.” Bianca terkekeh yang syukurnya di tanggapi oleh Helen dan Weni meski terlihat kaku.
“Kamu sudah makan?” Helen mengalihkan perbincangan.
“Makanlah dulu,” timpal Weni dengan mengambil Rena dalam pelukan Bianca.
“Kebetulan aku kenyang, aku ingin bermain sebentar dengan Rena.” Bianca tersenyum dan kembali mengambil alih Rena dari tangan Weni.
Helen terlihat tidak suka dengan apa yang dilakukan Bianca, hanya saja bukan Helen namanya kalau tidak bisa menyembunyikan perasaannya. ‘Baiklah, aku tinggal dulu ya. Nikmati apa yang ada, jangan sungkan.”
Bianca mengangguk dan tak butuh waktu lama Helen menjauh dan kembali berbaur dengan beberapa tamu yang datang termasuk suami Bianca, Ghana. Bianca kembali fokus pada Weni yang masih melihat punggung Helen.
“Hubunganmu tidak baik dengan mereka?” tanya Bianca.
Weni mengangguk kecil dan tak lama tersenyum kembali, menandakan bahwa dirinya tidak apa-apa. “Itu sudah biasa, jadi aku tidak mengambil pusing.”
Bianca menatap Weni dan menilai Weni dengan seksama, terlihat bahwa semua itu mengusiknya. Namun lagi-lagi Weni menutup dirinya dan mengatakan kalau semuanya baik-baik saja.
“Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa mengenal Helen?” tanya Weni penasaran.
Bisa dibilang Helen sulit sekali untuk bergaul, dia lebih suka mengejar prestasi bukan sosialisasi. Bahkan beberapa orang menganggapnya sangat dingin, cuek dan tidak peka, sehingga tidak ada yang mau bertema dengannya.
“Kebetulan dia satu kampus dengan Ghana, mereka berteman sudah lama.” Bianca memberikan sebuah coklat di atas meja prasmanan pada Rena. “Aku tiba-tiba dekat saja dengannya, dia cukup logis dan kepribadian kita sedikit sama.”
Weni yang mendengarnya hanya mengangguk kecil, menunjukkan bahwa dirinya paham. Bisa dibilang memang benar sikap mereka yang tertutup sama, entah itu Helen atau Bianca yang dulu di kenalnya.
“Maaf ya aku tidak tahu kalau kamu adalah adik Helen, padahal aku sudah berteman dengannya cukup lama.” Bianca memberikan tatapan bersalahnya. “Apakah aku menyakiti hatimu?” tanyanya lagi dengan hati-hati.
“Tidak, kamu tidak salah. Lagi pula aku juga tak pernah membicarakan Helen padamu atau siapa pun, jadi itu bukan kesalahanmu.” Weni menggenggam lengan Bianca yang tengah menggendong Rena. “Aku justru sangat senang Helen punya teman sepertimu,” lanjutnya.
Weni kali ini benar-benar tulus, ia merasa senang kalu Kakaknya punya teman wanita. Kebahagiaannya bertambah saat mengetahui bahwa Bianca lah yang berteman dengan Helen, itu membuat hatinya cukup lega.
“Bukankah itu Bianca yang merebut pria orang?”
Sebuah bisikan bisa terdengar oleh Weni dan Bianca yang tengah asyik berbicara. Bisa dibilang itu bukan bisikan, tapi sebuah sindiran karena suaranya dapat terdengar cukup jelas dengan jarak yang lumayan jauh.
Weni siap marah, hanya saja di larang oleh tangan Bianca yang membuat dirinya menghentikan langkahnya.
“Itu di depannya anak Ibu Tari yang gagal bukan?” lanjut suara itu.
Weni terdiam, yang tadinya ia percaya diri untuk marah pada tamu tersebut kini ia justru tertunduk seakan mengatakan bahwa semua itu benar.
“Sepertinya mereka berteman, benar-benar kelompok sampah negara.”
Suara itu makin menjadi, bahkan gelak tawa mereka yang keras setelah mengatakan hal tersebut membuat hati Weni teriris.
“Jaga ucapan kalian!”
Bentakan dari seseorang membuat seisi ruangan mengalihkan pandangan mereka, termasuk Bianca dan juga Weni.
***
“Jaga ucapan kalian!” Ghana berdiri di hadapan kedua orang yang sejak tadi asyik membicarakan Bianca maupun Weni. Hal itu mampu menarik perhatian semua orang yang ada di ruangan, tanpa terkecuali sang tuan rumah. “Apa pantas wanita terhormat dan berkelas membicarakan seseorang sampai seperti itu?” ucap Ghana kembali penuh penekanan. Bianca dengan segera menghampiri Ghana, mencoba menahan Ghana yang tengah meluapkan kekesalannya. Bianca sangat tahu bagaimana bila Ghana sampai benar-benar marah. “Maafkan kami, kami hanya ....” “Ghana, mereka tidak bermaksud mengatakan hal itu.” Helen segera memotong pembicaraan salah satu wanita dan mendekati Ghana, mencoba menetralkan keadaan. “Maafkan mereka,” bisik Helen dengan sedikit memohon. “Iya, katanya kamu ingin bermain sama Rena. Ayo,” ajak Bianca segera membawa Ghana mendekat pada Weni yang tengah terdia
Makan telah usai, tapi Weni dan juga Bianca tak juga kunjung membuka pembicaraan. Mereka hanya sibuk makan dan berkutat dengan pikiran mereka sendiri, hingga tanpa sadar mereka sudah menyelesaikan makanan mereka.“Terima kasih banyak, Bia.” Weni merapikan bungkusan makanannya dan menjadikan satu di dalam plastik sampah.“Sama-sama, ini bukan hal yang patut mendapatkan ucapan terima kasih.”Bianca tersenyum dan ikut melakukan hal yang sama seperti Weni, kebisuan kembali terjadi di antara mereka. Hingga akhirnya kebisuan mereka terisikan oleh tawa Rena dan Ghana yang baru saja datang.“Mama!” seru Rena saat pintu mobil di buka oleh Weni.Rena melepaskan pegangan tangannya dari Ghana dan berlari sekuat mungkin menuju tempat Weni berdiri. Dengan sigap Weni merentangkan tangannya dan menyambut pelukan Rena, Ghana dan Bianca yang melihatnya tersenyum
[Apa harimu menyenangkan?][Kenapa tadi kamu langsung memutus, sambungan video?][Kabari aku, bila kamu sudah selesai.][Jangan lupa untuk makan dan istirahat.]Weni tengah membaca semua pesan yang baru sempat ia baca, setelah kemarin dirinya sangat lelah dan langsung tertidur begitu sampai rumah. Beruntung Haris tidak membuat ulah, ia juga langsung pulang begitu sampai.Jadi Weni punya waktu untuk beristirahat dan baru bangun awal pagi, sebelum matahari terbit. Sekarang pun pekerjaannya sudah selesai, hingga dirinya memiliki waktu untuk sendiri setelah Haris berangkat kerja.Sementara anak semata wayangnya yang biasanya sudah bangun, untuk hari ini tertidur pulas. Hal itu biasa terjadi pada Rena, bila mereka bepergian jauh atau pergi ke acara yang memakan cukup waktu dan tenaga.Jadi Weni membiarkan anaknya untuk tidur cukup lama dan mem
“Kalian, apa yang kalian lakukan?” tanya Weni setlah berdiri tepat di hadapan keduanya.“Kamu kenapa?” tanya Haris dengan tatapan yang sudah tidak enak.Aurel yang melihat keadaan itu segera menjaga jarak dengan Haris, ia juga menjauh dari pintu kamar. “Aku bisa tidur di luar,” ucapnya dengan segera.“Bagaimana bisa aku membiarkanmu tidur di sofa?” Haris menatap Aurel dengan sedikit penekanan. “Kamu tidur dengan Weni, sementara aku tidur dengan Rena, Bukankah itu benar?” ucap Haris dengan tatapan yang sedikit mengintimidasi Weni.Weni yang baru sadar akan perbuatannya, segera mendekati Aurel dan membawanya masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Haris seorang diri di luar kamar.“Maaf, aku hanya sedang memikirkan hal lain.” Weni mempersilahkan Aurel duduk di kasurnya. “Aku ....”&l
Pagi menjelang, kesibukan mulai terjadi di kediaman Weni dan juga Haris. Hal yang sama juga terjadi di kediaman keluarga Haris, semua sibuk menyiapkan segalanya.Hari ini mereka akan pergi jalan-jalan tanpa Weni. Ya, tanpa Weni. Meski seperti itu, Weni tetap membantu segala persiapan karena Rena pun ikut bersama mereka.Aurel yang berada di rumah Weni pun berkali-kali meminta maaf atas apa yang terjadi, bahwa keluarga dari Aurel-lah yang tak menginginkan dirinya ikut pergi bersama mereka. Weni pun beberapa kali mengatakan segalanya tak apa.Meski sebenarnya ia merasa hancur, tersingkirkan, dan merasa tidak dihargai oleh semua orang. Dirinya mencoba untuk tetap menerima semua itu dengan lapang dada, beruntung Haris masih mengingat Rena untuk ikut bersama mereka.“Semua keperluan Rena sudah siap,” ucap Weni dengan memberikan dua tas keperluan Rena pada Aurel.Aurel mene
Weni menatap gambar di atas kanvas yang masih basah karena cat, ia terus menatapnya hingga tak berkedip. Rasa puas entah mengapa memenuhi hatinya, hasil dari tangannya kembali tidak mengecewakan seperti dahulu.Bakat yang selama ini dibunuh oleh keluarganya sendiri, terpampang di hadapannya dengan sebuah harapan dari orang yang bahkan belum pernah bertemu secara langsung.Weni kini tidak merasakan penyesalan apa pun, atas dirinya yang berhubungan diam-diam di belakang Suaminya. Dia hanya menganggap bersama Hajoon adalah sebuah pelarian untuknya, ya hanya pelarian dan tak lebih.“Sekarang aku akan menelepon Hajoon,” gumam Weni seraya mengambil ponselnya yang sejak tadi menampilkan foto Hajoon.Panggilan tersambung di nada pertama, sebelum nada kedua berbunyi panggilan sudah tersambung. Namun kali ini pria di layar ponselnya, berada di tempat yang berbeda dan sedikit gelap di sana.&
Cukup lama Weni menunggu Hajoon untuk angkat bicara, ia pun kembali mengajukan pertanyaan yang sama pada Hajoon dan berharap dia akan menjawabnya. “Bagaimana kamu tahu alamat rumahku?” tanya Weni menulang kembali pertanyaannya.“Aku mencari tahunya,” jawab Hajoon dengan entengnya.“Apa?” Weni dibuat terkejut dengan jawaban Hajoon. “Setahu aku aplikasi ini tidak bisa melacak posisi tepatnya pengguna,” tutur Weni dengan bekal yang ia ingat dari Mila saat awal ia mulai mengetahui aplikasi tersebut.Hajoon kembali diam, ia kembali tak menjawab dan membuat jeda waktu yang membuat Weni kembali berprasangka buruk. Entah itu berprasangka buruk oleh aplikasi tersebut atau pada Hajoon.Weni yang baru genap mengenal Hajoon selama satu bulan itu tentu tidak langsung gelap mata hanya karena perhatian atau uang yang diberikan. Ya, walau sesaat ia gelap. Tapi logikany
Tok tok tok! Weni segera membuka pintu, bahkan ia tersandung karena bergegas untuk sampai di depan pintu. Namun orang yang diharapkan ternyata belum datang dan berganti seseorang yang sangat dikenalnya. “Kayla?” sebut Weni pada gadis yang merupakan Adik kandung Haris. Weni terkejut bukan karena ia kecewa lantaran prediksiinya salah. Tapi ia lebih terkejut karena mengingat bahwa seluruh keluarga Haris tengah pergi dengan keluarga Aurel, jadi bagaimana bisa Kayla kini ada di depan rumahnya. “Kenapa? Tidak suka aku datang?” omel Kayla dengan tangan yang terlipat di dada. “Ah, bukan itu maksudku. Bukannya kamu sedang pergi dengan yang lain?” tanya Weni tanpa mempersilakan Kayla untuk masuk. “Hanya aku yang tinggal, aku mau pergi sendiri dengan teman-temanku.” Kayla menadahkan tangannya, seakan meminta sesuatu dari Wen