Share

9. Acara Keluarga Weni

Hari ini, seorang wanita tengah sibuk dengan pekerjaan tambahan yang diberikan. Semua karena keluarganya hari ini tengah mengadakan acara untuk menyambut pengiriman Anak pertama di keluarganya sebagai perawat di Australia.

“Bangga banget punya anak kaya Helen,” ucap seorang wanita paruh baya pada wanita yang merupakan tuan rumah acara.

Helen Anggara sendiri adalah Anak pertama yang akan menjadi Perawat di Australia. Anak yang selalu menjadi kebanggaan keluarganya yang notabene nya adalah keluarga Pegawai Negeri Sipil.

“Anak kamu juga hebat, sudah jadi Karyawan tetap di Bank.” Ibu dari Helen kembali memuji temannya itu.

Tak lama mereka pun saling tertawa, setelah memuji anak pertama mereka yang sukses. Tanpa melihat sedikit pada wanita yang tengah membantu di dapur, yang merupakan anak kedua dari tuan rumah.

“Weni, sapa Ibu Dian.”

Tuan rumah yang merupakan Ibu dari Weni, meminta Weni untuk menyapa wanita paruh baya yang sejak tadi di ajak mengobrol. Atau lebih tepatnya yang sejak tadi berbicara tentang kelebihan anak pertamanya dan kekurangan anak keduanya.

Weni dengan berat hati menghampiri kedua wanita yang berumur tidak berbeda jauh satu sama lain. Meski ia merasa berat hati, tapi dirinya tetap harus memasang wajah yang tersenyum seolah tak mendengar apa pun yang di katakan mereka.

“Salam kenal Ibu, saya Weni anak kedua.” Weni merendahkan suaranya meski ia sebenarnya ingin menekan kalimat anak kedua.

“Ah, kamu yang sudah menikah itu ya?” Wanita bernama Dian itu tersenyum seolah merendahkan, bahkan tatapannya seakan mengejek.

Ibu Weni yang bernama Tari ikut menatap Weni dengan tatapan yang tak kalah merendahkan, alih-alih membantunya. Weni hanya bisa mengangguk pelan, menjawab pertanyaan yang di lontarkan wanita bernama Dian tersebut.

“Ayo aku antar ke Helen,” ucap Tari dengan menggiring Dian menjauh dari Weni.

Weni menahan perasaannya kembali, ia mulai kembali menyibukkan dirinya dengan beberapa pekerjaan yang ada. Ia juga sesekali melihat Rena yang tengah asyik main sendiri di ruangan yang  tak jauh darinya.

“Hai, Rena.” Tiba-tiba sebuah sapaan terdengar, suara yang sangat Weni kenal.

“Bianca?” sebut Weni saat melihat siapa yang menyapa anaknya, bahkan sekarang tengah menggendong Rena.

Bianca tersenyum seraya menghampiri Weni yang bersiap mendekatinya, mereka berpelukan dan saling bertanya kabar. Weni tersenyum saat menyadari seorang pria yang kini berdiri di belakang Bianca.

“Kenalkan, dia Suamiku. Ghana,” ucap Bianca memperkenalkan pria tinggi di belakangnya.

“Weni,” sambut Weni dengan senyuman yang pantas.

“Aku tidak menyangka kamu adik dari Helen.” Bianca membuka suara saat Suaminya kembali berbaur di kerumunan tamu. “Kenapa kamu tidak pernah cerita?” lanjut Bianca sesekali menggoda Rena.

Weni terdiam sesaat, bingung untuk menjelaskannya pada Bianca. Terlebih saat dirinya mengingat seperti apa Helen, bahkan Kakak satu-satunya itu tak pernah menganggap dirinya Kakak.

“Itu ....”

“Bianca?”

Wanita yang baru saja dibicarakan datang dengan senyuman terukir di wajah cantiknya, ia menyapa Bianca dan saling berpelukan menandakan betapa dekatnya mereka.

“Kamu tahu? Weni adalah teman satu sekolahku, kenapa kamu tak pernah bilang punya adik?” tanya Bianca seraya menarik tangan Weni dengan sangat akrabnya.

Helen menatap Weni sekilas dan tak lama tersenyum ramah, senyum yang tak pernah diberikan Kakaknya itu pada dirinya. Weni mau tak mau juga ikut tersenyum untuk memperlihatkan bahwa mereka baik-baik saja.

“Kami sibuk dengan hal masing-masing, jadi terkadang tak sempat untuk melakukan hal lain.” Helen menjawab Bianca dengan pernyataan yang menurut Weni tak masuk akal.

Bianca yang peka, seakan mengerti bagaimana hubungan kedua bersaudara itu. ‘Hal lain’ yang dimaksud Helen, sudah dipastikan adalah menjalani hubungan antara dia dan juga Weni.

Hal yang kontras juga baru di rasakannya, terlihat dari pakaian Weni yang biasa saja sementara keluarganya berpakaian rapi. Bahkan Weni saat ini tengah sibuk mengurus beberapa pekerjaan padahal ada beberapa pelayan di sana.

“Kamu benar, aku juga kini sibuk sampai terkadang lupa kalau punya saudara laki-laki.” Bianca terkekeh yang syukurnya di tanggapi oleh Helen dan Weni meski terlihat kaku.

“Kamu sudah makan?” Helen mengalihkan perbincangan.

“Makanlah dulu,” timpal Weni dengan mengambil Rena dalam pelukan Bianca.

“Kebetulan aku kenyang, aku ingin bermain sebentar dengan Rena.” Bianca tersenyum dan kembali mengambil alih Rena dari tangan Weni.

Helen terlihat tidak suka dengan apa yang dilakukan Bianca, hanya saja bukan Helen namanya kalau tidak bisa menyembunyikan perasaannya. ‘Baiklah, aku tinggal dulu ya. Nikmati apa yang ada, jangan sungkan.”

Bianca mengangguk dan tak butuh waktu lama Helen menjauh dan kembali berbaur dengan beberapa tamu yang datang termasuk suami Bianca, Ghana. Bianca kembali fokus pada Weni yang masih melihat punggung Helen.

“Hubunganmu tidak baik dengan mereka?” tanya Bianca.

Weni mengangguk kecil dan tak lama tersenyum kembali, menandakan bahwa dirinya tidak apa-apa. “Itu sudah biasa, jadi aku tidak mengambil pusing.”

Bianca menatap Weni dan menilai Weni dengan seksama, terlihat bahwa semua itu mengusiknya. Namun lagi-lagi Weni menutup dirinya dan mengatakan kalau semuanya baik-baik saja.

“Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa mengenal Helen?” tanya Weni penasaran.

Bisa dibilang Helen sulit sekali untuk bergaul, dia lebih suka mengejar prestasi bukan sosialisasi. Bahkan beberapa orang menganggapnya sangat dingin, cuek dan tidak peka, sehingga tidak ada yang mau bertema dengannya.

“Kebetulan dia satu kampus dengan Ghana, mereka berteman sudah lama.” Bianca memberikan sebuah coklat di atas meja prasmanan pada Rena. “Aku tiba-tiba dekat saja dengannya, dia cukup logis dan kepribadian kita sedikit sama.”

Weni yang mendengarnya hanya mengangguk kecil, menunjukkan bahwa dirinya paham. Bisa dibilang memang benar sikap mereka yang tertutup sama, entah itu Helen atau Bianca yang dulu di kenalnya.

“Maaf ya aku tidak tahu kalau kamu adalah adik Helen, padahal aku sudah berteman dengannya cukup lama.” Bianca memberikan tatapan bersalahnya. “Apakah aku menyakiti hatimu?” tanyanya lagi dengan hati-hati.

“Tidak, kamu tidak salah. Lagi pula aku juga tak pernah membicarakan Helen padamu atau siapa pun, jadi itu bukan kesalahanmu.” Weni menggenggam lengan Bianca yang tengah menggendong Rena. “Aku justru sangat senang Helen punya teman sepertimu,” lanjutnya.

Weni kali ini benar-benar tulus, ia merasa senang kalu Kakaknya punya teman wanita. Kebahagiaannya bertambah saat mengetahui bahwa Bianca lah yang berteman dengan Helen, itu membuat hatinya cukup lega.

“Bukankah itu Bianca yang merebut pria orang?”

Sebuah bisikan bisa terdengar oleh Weni dan Bianca yang tengah asyik berbicara. Bisa dibilang itu bukan bisikan, tapi sebuah sindiran karena suaranya dapat terdengar cukup jelas dengan jarak yang lumayan jauh.

Weni siap marah, hanya saja di larang oleh tangan Bianca yang membuat dirinya menghentikan langkahnya.

“Itu di depannya anak Ibu Tari yang gagal bukan?” lanjut suara itu.

Weni terdiam, yang tadinya ia percaya diri untuk marah pada tamu tersebut kini ia justru tertunduk seakan mengatakan bahwa semua itu benar.

“Sepertinya mereka berteman, benar-benar kelompok sampah negara.”

Suara itu makin menjadi, bahkan gelak tawa mereka yang keras setelah mengatakan hal tersebut membuat hati Weni teriris.

“Jaga ucapan kalian!”

Bentakan dari seseorang membuat seisi ruangan mengalihkan pandangan mereka, termasuk Bianca dan juga Weni.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status