"Bagus, kamu melakukannya dengan baik."
Haris menerima uang dari Weni tanpa bertanya dari mana uang itu berasal. Ia hanya menerima uang itu dan tersenyum, mengusap kepala Weni.
Hal yang selama ini sudah lama ditinggalkannya, bahkan Weni sudah lupa terakhir Haris menyentuhnya. Haris hanya menyentuhnya bila ia meminta berhubungan intim saja, saat dia terpuaskan dia akan tidur kembali.
Tak ada sentuhan perhatian seperti sekarang dilakukannya, Haris mengusapnya lembut dengan penuh kasih sayang. Hanya saja Weni tetap merasakan hampa dan kosong.
"Aku akan membayarkan uang ini," ucap Haris dengan membawa uang itu bersamanya.
"Hati-hati di jalan."
Hanya itu yang bisa diucapkan Weni, sebelum akhirnya Haris pergi.
"Mama, ayam." Weni menarik-narik tangan Weni.
"Rena mau makan?" tanya Weni berjongkok tepat di hadapan Rena.
Rena mengangguk pasti, senyuman kecilnya juga terukir di wajahnya. Weni pun menyanggupinya dan berjalan bersama ke meja makan mereka.
Rasanya sudah lama dirinya bisa makan dengan enak meski lauk yang disediakan sama seperti biasanya. Beban utama yang melilitnya terlepas dengan mudahnya.
"Mama … telepon …." Rena kembali menarik lengan baju Weni, tapi sekarang ia menunjuk ponsel Weni yang bergetar.
Weni tersenyum lebar, ia segera mengangkat panggilan tersebut.
"Sedang apa, Sayang?" tanya seseorang di seberang sana.
"Aku sedang sarapan dengan Rena, kamu sudah sarapan?" tanya balik Weni pada seseorang yang bukan lain adalah Hajoon.
"Aku sudah sarapan, apa yang akan kamu lakukan hari ini?" tanya Hajoon kembali.
"Melakukan hal yang biasanya."
"Jangan terlalu lelah, makanlah yang banyak, dan jaga kondisimu."
Seperti inilah Hajoon, selalu perhatian pada Weni melebihi suaminya. Meski mereka tak pernah atau mungkin tidak akan pernah bertemu langsung, itu sudah cukup bagi Weni.
"Kamu juga jangan lupa istirahat," ucap Weni kembali memberi perhatian pada Hajoon.
Weni tak takut untuk berbicara mesra dengan Hajoon di telepon, tepat di hadapan Rena. Hal itu dikarenakan bahasa yang dipakai dirinya dan Hajoon adalah bahasa Inggris.
"Baiklah, aku harus kembali bekerja. Sampai jumpa, sayang."
"Sampai jumpa," balas Weni yang diakhiri sambungan telepon terputus dari pihak Hajoon.
Weni tersenyum sambil melihat ponselnya, menatap beberapa foto yang dikirimkan Hajoon padanya. Ia masih tak percaya bahwa pria tampan itu kini menjadi pacarnya.
"Mama, minum."
Rena membuyarkan lamunannya, ia segera mengambilkan minuman sesuai apa yang diminta Rena. Rena menerimanya dengan senang, meneguk air dari gelas kesukaannya.
Ting!
Suara notifikasi membuat Weni bersemangat, ia segera melihat ponselnya kembali. Pesan dari Hajoon kini selalu membanjirinya, bahkan saat mereka baru saja telponan atau video call.
[Sayang, tolong kirim foto kamu dengan Rena. Aku ingin menyimpannya.]
Begitulah pesan dari Hajoon, tanpa pikir panjang Weni mengambil foto dirinya dan Rena bersama. Ia mengirimkan foto tersebut, segera setelah memilih salah satu.
[Terima kasih, cantik.]
Weni tersenyum kembali, entah sudah berapa kali dirinya tersenyum karena Hajoon.
'Sama-sama, Sayang.'
Weni membalasnya dan tak lama meletakkan ponselnya di meja makan. Ia kembali fokus pada Rena, bermain bersamanya dengan suka hati.
Rena yang seakan tahu Ibunya tengah bahagia, belakang tak rewel. Rena justru sering tertawa dan tersenyum, tingkahnya juga semakin menggemaskan.
***
"Aku lelah," ucap Haris setelah menyelesaikan kepuasannya pada Weni.
Weni kembali memakai bajunya, tanpa mendapatkan kepuasan balik dari Haris. Itu sudah menjadi hal biasa untuknya selama beberapa tahun ini, jadi Weni tak menanggapi apa-apa.
Ia segera merapikan bajunya dan kembali berjalan ke kamar Rena setelah menyempatkan membersihkan dirinya. Namun belum sempat dirinya masuk ke kamar Rena, Haris menghentikan langkahnya.
"Buatkan aku kopi dan makanan," perintahnya seraya berjalan ke ruang depan.
Weni pun menuruti apa yang diperintahkan kepadanya, ia membuat kopi dan makanan meski tubuhnya sangat lelah. Bahkan batinnya tiba-tiba merasa terluka atas perlakuan Haris.
"Ini makanannya," ucap seraya menaruh segelas kopi dan sepiring makanan.
"Duduklah," perintah Haris.
Tentu Weni duduk sesuai perintah, ia duduk berjarak dengan Haris. Haris tak juga bicara hingga makanannya habis.
Weni sudah merasa sangat lelah, sesekali dirinya memejamkan matanya dan kembali membukanya saat ia hampir terjatuh. Namun Haris tetap fokus pada televisi yang menyala.
"Uang yang kamu berikan tidak cukup."
Deg!
Weni yang setengah mengantuk berakhir sadar sepenuhnya, bahkan ia kini tak mengantuk kembali.
"Bagaimana bisa uang sepuluh juta kurang?" marah Weni pada Haris.
"Kamu tidak tahu hutang kita berapa?" marah balik Haris.
"Bagaimana kamu bisa meminta uang lagi padaku? Bahkan kamu tidak bertanya darimana aku mendapatkan uang itu!" Weni tanpa sadar menaikan nada bicaranya, mengumpulkan emosi yang ia tahan cukup lama.
Plak!
Satu tamparan cukup keras mendarat di pipi mulus Weni. Weni terkejut bukan main karena ini kali pertama Haris main tangan padanya.
"Baru menghasilkan segitu saja sudah sombong." Haris menatap tajam Weni yang saat ini hampir menangis. "Kamu tahu? Itu tidak sepadan dengan apa yang aku berikan selama ini," lanjut Haris.
Weni tak bicara dan memegangi pipinya yang panas. Meski ia sudah sering ditampar oleh kedua orangtuanya, tapi kali ini tamparan itu menembus jantungnya.
Sangat sakit, hingga membuat dadanya sesak. Mengingat Haris lah yang membawanya pergi dari keluarganya, berjanji tak akan memukulnya.
"Ini semua karena keluargamu yang meminta pernikahan kita dirayakan besar-besaran, aku sampai hutang sana-sini untuk menyanggupi ekspektasi mereka."
Haris kembali mengungkit masa lalu akan pernikahan kembali, mungkin ini sudah ke 100 kalinya selama 3 tahun terakhir ini.
"Aku tidak peduli darimana uang itu berasal, yang aku inginkan hanya kamu menghasilkan uang."
Haris beranjak dari duduknya dan kembali ke kamarnya, meninggalkan Weni yang sudah tak kuasa menahan air matanya. Bulir demi bulir air keluar dari matanya dan tak ada yang kembali peduli padanya.
Kebahagiaan pernikahannya hanya dirasakan selama 3 tahun awal pernikahan mereka, selebihnya adalah apa yang terjadi saat ini. Amarah, tekanan, dan keegoisan, mendominasi rumah tangganya.
"Apa aku memang ditakdirkan seperti ini?" gumam Weni dengan isak tangisnya.
Dadanya terasa sangat sesak mengingat, bahwa dirinya juga berasal dari keluarga yang memakai kekerasan dalam rumah tangga. Ia tak bisa membayangkan dirinya kembali ke masa lalu yang ingin sekali ia jauhi.
***
"Kenapa dia tidak membaca pesan dariku?"
Hajoon menatap ponsel yang terus di pegangannya.
Malam ini adalah jadwalnya ia mendapatkan akan video call, bahkan Weni sebelumnya janji ingin mengirimnya foto sebelum tidur.
Hal itu membuatnya terus menunggu, tapi Weni tak kunjung menepati janjinya. Padahal dirinya membutuhkan itu. Ya, dirinya membutuh wanita itu.
"Bagaimana bisa ia lupa janjinya? Bahkan dia tidak aktif lima jam lalu."
Haris menatap status terakhir kali Weni aktif dan itu kembali membuatnya frustasi. Ia benar-benar butuh foto Weni malam ini.
"Sial!" maki Hajoon dengan melempar ponselnya ke atas kasurnya.
Ia menggigit bibirnya dan mengacak-acak rambutnya, menunjukkan bagaimana frustasinya ia.
"Aku harus buat perhitungan, saat dia menghubungiku."
***
Weni terbangun dengan cukup kaget, mengingat kamar yang semula terlihat gelap kini sangat terang. Tangannya segera meraba nakas, mencari keberadaan ponselnya untuk mengetahui jam berapa sekarang.Namun tak lama pergerakannya tertahan, ada tangan besar yang kini menariknya untuk kembali tidur. Bahkan tangan itu kini memeluknya erat dengan balutan selimut tebal.“Kamu tidak bekerja?” tanya Weni menyerah saat tubuh hangat sang pemilik tangan kini bisa ia rasakan.“Aku ambil cuti hari ini.”“Bukannya kamu sedang banyak pekerjaan?” Weni melepaskan pelukan sang pria, membalik tubuhnya dan menatap pria yang selalu membuatnya terpesona itu. “Aku Ngga mau kamu sering mengabaikan pekerjaan karena aku,” tutur Weni memegang wajah tampan kekasihnya, Hajoon.Hajoon tersenyum, ia menghilang di dekapan Weni. Menghirup wangi tubuh Weni yang tembus oleh selimut tebal yang melilit tubuh kecil wanitanya. Rasanya sudah la
Weni menatap ruangan yang cukup sepi saat siang hari, Rena tengah tertidur siang dan ia baru saja menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Tak banyak yang dilakukan di kediaman Hajoon karena ada seorang Wanita paruh baya yang membantunya pada pagi hari dan ia akan menyelesaikannya sisanya.Bahkan kegiatan berbenah sangat mudah karena ada alat-alat yang cukup canggih untuk membersihkan rumah. Weni cukup sedikit kesulitan pada awal pengoperasian alat-alat canggih itu, beruntung Wanita paruh baya yang Bernama Bibi Jang sangat membantunya, meski mereka berbicara dengan Bahasa Korea yang minim.“Apa yang harus aku lakukan lagi?” gumam Weni menyalakan Televisi di hadapannya.Beruntung saluran TV tidak hanya berbahasa Korea, banyak penayangan film luar dan acara-acara yang berbahasa Inggris. Weni sedikit terhibur, hanya saja tetap ada rasa bosan tersendiri untuknya.Hal itu terus berulang sampai tak terasa sudah seminggu lamanya ia berada di negeri orang. Hal yang sangat menghibur bagi Weni ada
Weni menatap wanita bak bidadari tepat di hadapannya, wanita dengan wajah yang kecil dan cantik. Kulit putih bersih, bibir yang tipis, rambut sebahu yang indah terurai.Bahkan saat wanita itu mendekat wangi lembut semerbak mengisi indra penciuman Weni. Semua kepercayaan diri Weni hancur luluh lantah tepat di saat wanita itu duduk di dekatnya.“Maaf membuatmu terkejut akan kehadiranku,” ucap Yerim untuk membuka pembicaraan di antara mereka.Weni tak menjawab, ia bingung, kesal, marah, rendah hati, dan merasa minder. Semua perasaan itu akan meledak, andai Weni membuka mulutnya. Ia menahan segalanya, berharap masih bisa mempertahankan harga dirinya.Weni sepenuhnya tahu bahwa dirinyalah yang salah, ia yang berselingkuh. Weni bisa merasakan posisi Yerim, karena belum lama itu adalah posisinya.“Aku dan Hajoon bertunangan bukan karena cinta.” Yerim cukup fasih dengan bahas Inggris, jadi Weni bisa mengerti ucapannya. “Kami bertunangan karena aku sakit, Hajoon menerimanya begitu saja. Tapi s
Weni menatap langit yang berbeda dari langit yang biasa menemani hidupnya selama ini. Udara yang cukup dingin menerpa wajahnya, memberikan kesejukan yang berbeda.“Mamah, ini dimana?”Weni berjongkok dan memakaikan syal pada leher Rena agar anak semata wayangnya itu tak sakit dengan perubahan cuaca yang tiba-tiba. “Kita sedang berada di negara yang Bernama Korea Selatan,” jawab Weni.“Apa?”Rena menatap tak mengerti, ia bahkan sedikit mengernyitkan keningnya karena tak mengerti. Namun belum sempat Weni kembali menjelaskan, tangan besar nan kokoh sudah mengambil alih Rena darinya dan menggendong tubuh kecil Rena dengan erat.“Rena sekarang ada di tempat Om dilahirkan.” Hajoon menjelaskan dengan singkat dan di terima dengan cepat oleh Rena. “Apa Rena senang berada di tempat kelahiran Om?” tanya Hajoon dengan membawa Rena dan Weni ke sebuah mobil yang terparkir.Mereka masuk ke dalam mobil yang cukup bagus, bahkan saat masuk ke dalamnya Weni bisa merasakan kemewahan mobil itu. Bahkan so
Weni menghembuskan napasnya dalam, melangkahkan kakinya dengan pasti. Setelah ia keluar dari gedung tempatnya berada, kehidupan dan status baru kini di sandangnya.‘Janda’Ya, kini statusnya berubah dari seorang ‘Istri’ menjadi seseorang ‘janda’. Wanita yang telah bercerai dengan suaminya secara sah.Pengadilan memutuskan menerima gugatannya, begitu juga hak asuh sepenuhnya menjadi miliknya. Weni cukup merasa puas, meski ada rasa yang sedikit tertinggal kala semua diputuskan.Wajah Haris yang ia pikir akan sedikit menyesal, justru menunjukkan rasa senangnya. Bahkan salam perpisahan dengan menjabat tangan dilakukannya dengan senang hati.“Sudah selesai?”Suara berat yang kini lebih banyak menyita pikirannya, sukses membuat Weni terkejut. Bahkan ia terlihat seperti baru saja bertemu hantu.Pria tinggi nan tampan dengan gagahnya berdiri di hadapan Weni, ia seakan menanti kehadiran Weni sejak tadi. Bahkan wajah sang pria seakan menunggu kepastian yang sudah beberapa bulan ini di t
Weni yang tak menau isi perjanjian ikut terkejut. Matanya kini teralihkan menatap pengacara wanita di sampingnya, dirinya juga butuh penjelasan.“Setelah bercerai, semua hubungan akan terputus baik dengan Istri atau Anak.” Pengacara itu berbicara dengan tegas, Weni dan Haris menatap dengan penuh penolakan. “Hal ini dimaksudkan agar tidak ada ancaman yang akan merugikan pihak mana pun.”“Wah, aku tidak tahu kalau kamu segila ini.” Haris menatap Weni dengan rendah. “Kamu dengan teganya memisahkan seorang Anak dan Ayah,” sindir Haris.“Aku ....” Weni merasa bersalah.“Baiklah, lagi pula ini semua menguntungkanku. Aku juga bisa memiliki anak lainnya dari kekasihku.” Dengan yakin Haris menandatangani surat itu, yang membuat kekecewaan besar pada hati Weni. “Ini, aku kembalikan.”Haris mengeluarkan ponsel di sakunya dan menaruh di meja, ponsel yang ia ambil untuk bisa menghubungi Hajoon. “Urus semua hingga tuntas, aku tidak mau mengeluarkan sedikit pun uang.”“Kamu benar-benar menerima uan