Share

5. Tamparan

"Bagus, kamu melakukannya dengan baik."

Haris menerima uang dari Weni tanpa bertanya dari mana uang itu berasal. Ia hanya menerima uang itu dan tersenyum, mengusap kepala Weni.

Hal yang selama ini sudah lama ditinggalkannya, bahkan Weni sudah lupa terakhir Haris menyentuhnya. Haris hanya menyentuhnya bila ia meminta berhubungan intim saja, saat dia terpuaskan dia akan tidur kembali.

Tak ada sentuhan perhatian seperti sekarang dilakukannya, Haris mengusapnya lembut dengan penuh kasih sayang. Hanya saja Weni tetap merasakan hampa dan kosong.

"Aku akan membayarkan uang ini," ucap Haris dengan membawa uang itu bersamanya.

"Hati-hati di jalan."

Hanya itu yang bisa diucapkan Weni, sebelum akhirnya Haris pergi. 

"Mama, ayam." Weni menarik-narik tangan Weni.

"Rena mau makan?" tanya Weni berjongkok tepat di hadapan Rena.

Rena mengangguk pasti, senyuman kecilnya juga terukir di wajahnya. Weni pun menyanggupinya dan berjalan bersama ke meja makan mereka.

Rasanya sudah lama dirinya bisa makan dengan enak meski lauk yang disediakan sama seperti biasanya. Beban utama yang melilitnya terlepas dengan mudahnya.

"Mama … telepon …." Rena kembali menarik lengan baju Weni, tapi sekarang ia menunjuk ponsel Weni yang bergetar.

Weni tersenyum lebar, ia segera mengangkat panggilan tersebut.

"Sedang apa, Sayang?" tanya seseorang di seberang sana.

"Aku sedang sarapan dengan Rena, kamu sudah sarapan?" tanya balik Weni pada seseorang yang bukan lain adalah Hajoon.

"Aku sudah sarapan, apa yang akan kamu lakukan hari ini?" tanya Hajoon kembali.

"Melakukan hal yang biasanya."

"Jangan terlalu lelah, makanlah yang banyak, dan jaga kondisimu." 

Seperti inilah Hajoon, selalu perhatian pada Weni melebihi suaminya. Meski mereka tak pernah atau mungkin tidak akan pernah bertemu langsung, itu sudah cukup bagi Weni.

"Kamu juga jangan lupa istirahat," ucap Weni kembali memberi perhatian pada Hajoon.

Weni tak takut untuk berbicara mesra dengan Hajoon di telepon, tepat di hadapan Rena. Hal itu dikarenakan bahasa yang dipakai dirinya dan Hajoon adalah bahasa Inggris.

"Baiklah, aku harus kembali bekerja. Sampai jumpa, sayang." 

"Sampai jumpa," balas Weni yang diakhiri sambungan telepon terputus dari pihak Hajoon.

Weni tersenyum sambil melihat ponselnya, menatap beberapa foto yang dikirimkan Hajoon padanya. Ia masih tak percaya bahwa pria tampan itu kini menjadi pacarnya.

"Mama, minum."

Rena membuyarkan lamunannya, ia segera mengambilkan minuman sesuai apa yang diminta Rena. Rena menerimanya dengan senang, meneguk air dari gelas kesukaannya.

Ting!

Suara notifikasi membuat Weni bersemangat, ia segera melihat ponselnya kembali. Pesan dari Hajoon kini selalu membanjirinya, bahkan saat mereka baru saja telponan atau video call.

[Sayang, tolong kirim foto kamu dengan Rena. Aku ingin menyimpannya.]

Begitulah pesan dari Hajoon, tanpa pikir panjang Weni mengambil foto dirinya dan Rena bersama. Ia mengirimkan foto tersebut, segera setelah memilih salah satu.

[Terima kasih, cantik.]

Weni tersenyum kembali, entah sudah berapa kali dirinya tersenyum karena Hajoon.

'Sama-sama, Sayang.'

Weni membalasnya dan tak lama meletakkan ponselnya di meja makan. Ia kembali fokus pada Rena, bermain bersamanya dengan suka hati.

Rena yang seakan tahu Ibunya tengah bahagia, belakang tak rewel. Rena justru sering tertawa dan tersenyum, tingkahnya juga semakin menggemaskan.

***

"Aku lelah," ucap Haris setelah menyelesaikan kepuasannya pada Weni.

Weni kembali memakai bajunya, tanpa mendapatkan kepuasan balik dari Haris. Itu sudah menjadi hal biasa untuknya selama beberapa tahun ini, jadi Weni tak menanggapi apa-apa.

Ia segera merapikan bajunya dan kembali berjalan ke kamar Rena setelah menyempatkan membersihkan dirinya. Namun belum sempat dirinya masuk ke kamar Rena, Haris menghentikan langkahnya.

"Buatkan aku kopi dan makanan," perintahnya seraya berjalan ke ruang depan.

Weni pun menuruti apa yang diperintahkan kepadanya, ia membuat kopi dan makanan meski tubuhnya sangat lelah. Bahkan batinnya tiba-tiba merasa terluka atas perlakuan Haris.

"Ini makanannya," ucap seraya menaruh segelas kopi dan sepiring makanan.

"Duduklah," perintah Haris.

Tentu Weni duduk sesuai perintah, ia duduk berjarak dengan Haris. Haris tak juga bicara hingga makanannya habis.

Weni sudah merasa sangat lelah, sesekali dirinya memejamkan matanya dan kembali membukanya saat ia hampir terjatuh. Namun Haris tetap fokus pada televisi yang menyala.

"Uang yang kamu berikan tidak cukup."

Deg!

Weni yang setengah mengantuk berakhir sadar sepenuhnya, bahkan ia kini tak mengantuk kembali.

"Bagaimana bisa uang sepuluh juta kurang?" marah Weni pada Haris.

"Kamu tidak tahu hutang kita berapa?" marah balik Haris.

"Bagaimana kamu bisa meminta uang lagi padaku? Bahkan kamu tidak bertanya darimana aku mendapatkan uang itu!" Weni tanpa sadar menaikan nada bicaranya, mengumpulkan emosi yang ia tahan cukup lama.

Plak!

Satu tamparan cukup keras mendarat di pipi mulus Weni. Weni terkejut bukan main karena ini kali pertama Haris main tangan padanya.

"Baru menghasilkan segitu saja sudah sombong." Haris menatap tajam Weni yang saat ini hampir menangis. "Kamu tahu? Itu tidak sepadan dengan apa yang aku berikan selama ini," lanjut Haris.

Weni tak bicara dan memegangi pipinya yang panas. Meski ia sudah sering ditampar oleh kedua orangtuanya, tapi kali ini tamparan itu menembus jantungnya.

Sangat sakit, hingga membuat dadanya sesak. Mengingat Haris lah yang membawanya pergi dari keluarganya, berjanji tak akan memukulnya.

"Ini semua karena keluargamu yang meminta pernikahan kita dirayakan besar-besaran, aku sampai hutang sana-sini untuk menyanggupi ekspektasi mereka."

Haris kembali mengungkit masa lalu akan pernikahan kembali, mungkin ini sudah ke 100 kalinya selama 3 tahun terakhir ini.

"Aku tidak peduli darimana uang itu berasal, yang aku inginkan hanya kamu menghasilkan uang."

Haris beranjak dari duduknya dan kembali ke kamarnya, meninggalkan Weni yang sudah tak kuasa menahan air matanya. Bulir demi bulir air keluar dari matanya dan tak ada yang kembali peduli padanya.

Kebahagiaan pernikahannya hanya dirasakan selama 3 tahun awal pernikahan mereka, selebihnya adalah apa yang terjadi saat ini. Amarah, tekanan, dan keegoisan, mendominasi rumah tangganya.

"Apa aku memang ditakdirkan seperti ini?" gumam Weni dengan isak tangisnya.

Dadanya terasa sangat sesak mengingat, bahwa dirinya juga berasal dari keluarga yang memakai kekerasan dalam rumah tangga. Ia tak bisa membayangkan dirinya kembali ke masa lalu yang ingin sekali ia jauhi.

***

"Kenapa dia tidak membaca pesan dariku?" 

Hajoon menatap ponsel yang terus di pegangannya.

Malam ini adalah jadwalnya ia mendapatkan akan video call, bahkan Weni sebelumnya janji ingin mengirimnya foto sebelum tidur.

Hal itu membuatnya terus menunggu, tapi Weni tak kunjung menepati janjinya. Padahal dirinya membutuhkan itu. Ya, dirinya membutuh wanita itu.

"Bagaimana bisa ia lupa janjinya? Bahkan dia tidak aktif lima jam lalu."

Haris menatap status terakhir kali Weni aktif dan itu kembali membuatnya frustasi. Ia benar-benar butuh foto Weni malam ini.

"Sial!" maki Hajoon dengan melempar ponselnya ke atas kasurnya.

Ia menggigit bibirnya dan mengacak-acak rambutnya, menunjukkan bagaimana frustasinya ia.

"Aku harus buat perhitungan, saat dia menghubungiku." 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status